Berjarak dengan Kimberly ternyata bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Tidak ada satu orang pun yang tahu bahwa hal itu amatlah menyiksa. Malik ingin menghapus semua jarak tersebut yang terbentang di antara mereka.Maka dari itu, hari ini ia kembali berdiri di sini, di atas marmer putih sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elite, di Jakarta.Dua bulan yang lalu, ketika ia berkunjung ke Indonesia dan ingin menemui Kimberly, ia pun sempat mendatangi rumah ini lalu mengobrol dengan Archer. Namun, bukan hanya penolakan yang ia dapatkan dari ayah Kimberly, tapi ia juga mendapat sebuah tantangan.Tantangan yang paling berat yang pernah Malik alami selama hidupnya. Ia harus memilih salah satu di antara dua pilihan yang sama-sama berharga.Malik menghela napas berat kala mengingat hal itu. Kini ia melihat Archer yang sedang menuruni tangga dan berkata, “Ternyata kamu belum menyerah, Malik.”“Saya bukan orang yang pantang menyerah, Om.”Satu sudut bibir Archer terangkat. Malik berdiri, menyap
Kimberly terperangah, merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. “Wedding… organizer?” ulangnya dengan ragu. “Untuk apa?”“Untuk mendiskusikan rencana pernikahanku dengan kekasihku.”“Kekasihmu?” Detik itu juga Kimberly terkesiap, seakan-akan ia baru saja keluar dari kebingungannya. “Maksudmu aku?”“Kamu pikir aku punya kekasih selain kamu?” tanya Malik dengan mata menyipit. Kemudian tertawa kala melihat rona merah menyembul di pipi Kimberly.“Baiklah, biar aku jelaskan mengenai sesuatu.” Tangan Malik yang semula melingkar di pinggang Kimberly, kini menangkup kedua pipi mungil wanita di hadapannya itu, seraya menatapnya dengan lekat. “Setelah aku selesai balapan di musim ini, kamu akan jadi nyonya Malik. Tapi kita harus persiapkan segala sesuatunya untuk pernikahan kita dari sekarang.”Kimberly tertegun. Ribuan kupu-kupu seketika beterbangan di perutnya. “Jadi… barusan kamu bicara sama Papi buat ngobrolin itu?”Malik mengangguk.“Dia kasih kita restu?”Sekali lagi, Malik
Kimberly mengurus rencana pernikahannya tanpa kehadiran Malik. Namun ia tak benar-benar melakukannya sendiri, ada Mami Feli yang selalu menemani dan memberinya saran apa saja yang harus Kimberly lakukan agar persiapan itu berjalan sesuai yang diinginkan.Tak hanya Mami Feli, kedua sahabat Kimberly—Deby dan Nancy, sesekali membantu dan selalu ada di kala Kimberly butuh bantuan mereka. Meski Nancy berada di benua berbeda, ia selalu berkontribusi minimal menjadi pendengar yang baik di saat Kimberly sedang lelah dan butuh teman curhat.Malik tentu tidak lepas tangan begitu saja. Di sela-sela kesibukannya, Malik tidak pernah absen bertanya mengenai perasaan Kimberly, dan dengan sabar Malik mendengarkan keluh kesah Kimberly selama mengurus pernikahan mereka tanpa ditemani olehnya.Tak hanya itu, Malik pun mengutus Edwin, sekretarisnya, untuk mewakili dirinya membantu Kimberly.Sejujurnya Kimberly tidak merasa terbebani melakukan persiapan tanpa kehadiran Malik, karena hampir tujuh puluh per
Malik menatap pantulan dirinya di cermin. Ia sudah memakai baju balapan kombinasi warna hitam dan merah, tanpa helm.Ia terdiam cukup lama. Hari ini adalah hari terakhir ia memakai baju balapan dan terakhir menginjakkan kaki di sirkuit.Berat memang. Melepaskan sesuatu yang dicintai memang tidaklah mudah. Namun, Malik selalu menyadarkan dirinya sendiri, bahwa perlu ada pengorbanan untuk sebuah cinta. Dan ia memilih mengorbankan dunianya demi wanita yang dicintainya.“Hai, boleh aku masuk?”Malik menoleh ke arah pintu yang baru saja terbuka, terlihat Kimberly sedang melongokan kepalanya di celah pintu tersebut.Seulas senyum lembut terukir di bibir Malik. Ia menganggukkan kepala, lalu merentangkan kedua tangan ke samping.Kimberly terkekeh, ia tahu apa maksud pria itu, lalu segera menghampiri Malik dan masuk ke dalam pelukannya. Malik melingkarkan kedua lengannya di punggung Kimberly dan mendekapnya dengan erat.Kimberly dan keluarganya tiba di Valencia tiga hari yang lalu dan mereka s
Sepasang kelopak mata yang dihiasi bulu mata lentik dan tebal itu bergetar. Lalu perlahan-lahan terbuka. Tirai putih dan aroma obat-obatan adalah dua hal pertama yang ia dapati saat matanya terbuka sempurna.“Huh? Dia bangun! Mami, Malik sudah bangun!” seru Kimberly dengan suara yang terdengar bindeng seperti orang flu.Feli segera menutup sambungan telepon, lalu bergegas menghampiri Kimberly di dekat ranjang pasien dan melihat Malik sudah membuka matanya.“Malik, kamu ingat aku? Gimana perasaan kamu sekarang? Kamu merasakan sesuatu yang sakit?” cecar Kimberly diiringi isakan pelan seraya menggenggam tangan Malik yang terbebas dari jarum infus. “Please… katakan sesuatu, jangan diam aja.”“Sayang, Malik baru bangun, dia pasti belum sadar sepenuhnya akibat efek obat bius.” Feli berusaha menenangkan Kimberly dan mengusap punggungnya. “Sebentar, Mami panggil dulu perawat dan dokter,” ucapnya sembari menekan sebuah tombol di dekat ranjang.“Mi, Malik nggak akan hilang ingatan, ‘kan?” Kimbe
“Kamu tahu? Saat ditinggalkan mati sama kelinci yang dia besarkan dari kecil saja, dia sampai merajuk dan nggak mau makan selama tiga hari. Lalu ujung-ujungnya jatuh sakit. Bisa kamu bayangin ‘kan sekacau apa perasaannya sekarang?”Pertanyaan Feli yang terdengar lembut itu membuat Malik terdiam. Malik lantas menatap Kimberly yang terlelap di sofa dengan tatapan lekat. Perempuan itu baru saja tertidur dari sepuluh menit yang lalu.“Kami sudah berusaha membujuk dia supaya istirahat dan mau makan selama kamu dioperasi dan belum sadarkan diri.” Kali ini Archer yang berbicara sembari menghampiri ranjang. “Tapi dia terlalu keras kepala.”“Dia belum makan sejak kemarin?” tanya Malik, terkejut.“Iya,” jawab Archer, “gimana kaki kamu? Sudah dengar dari dokter kalau kemungkinan selama sebulan ke depan kamu belum bisa berjalan dengan baik?”Malik mengalihkan tatapannya dari Kimberly, ke arah kakinya yang dipasangi gips dan dililit perban.“Saya sudah dengar, Om. Tapi saya nggak begitu terkejut.”
Feli menatap Malik dengan tatapan penasaran. Malik lantas menjelaskan kepada Feli bahwa tadi ia sempat cerita mengenai perawat yang membantunya turun dari ranjang dan memapahnya sampai ke sofa, kepada Kimberly. Mendengarnya, Feli merotasi matanya dengan malas, sudah tidak heran jika putrinya itu masih saja bersikap kekanakkan. “Ya sudah, kalian selesaikan masalah kalian berdua, ya. Tante keluar dulu, nggak mau ikut campur urusan anak muda.” Feli terkekeh. Sebelum pergi, ia sempat menatap Malik dan berkata, “Menghadapi Kimberly itu perlu kesabaran yang banyak, Malik. Ayahnya saja sering dia buat kelimpungan kalau lagi merajuk.” Malik tersenyum, mengangguk. Tak lama setelah Feli pergi, Kimberly keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah lemari untuk mengambil sling bag-nya, tanpa menatap Malik sedikit pun. Ekspresinya tampak ketus.“Aaaah…! Sakit sekali,” keluh Malik sembari meringis. Sontak, Kimberly yang akan keluar ruangan pun langsung panik dan bergegas menghampiri Malik di sof
Feli melangkah memasuki kamar, ia lihat suaminya tengah berdiri di depan jendela besar, sedang memandang ke arah laut di luar sana. Pria tampan itu terlihat gagah dengan tuksedo hitamnya.“Kenapa melamun? Kamu sedang mikirin sesuatu?” tanya Feli seraya memeluk Archer dari belakang.Archer tak langsung menjawab. Helaan napasnya terdengar berat. Ia memutar badan, menatap Feli dan balas memeluk pinggangnya.“Aku masih merasa kalau hari ini adalah mimpi, Sunshine,” ucap Archer dengan suara rendah.Feli berjinjit, mengecup bibir Archer, terkekeh. “Gimana? Sudah bangun dari mimpinya sekarang?”Archer tertawa. Lalu memeluk Feli dan menumpukan dagu di bahu perempuan yang memakai dress hitam berlengan panjang itu.“Rasanya baru kemarin aku pulang ke rumah dan disambut anak kecil, yang manja dan selalu merajuk kalau aku nggak kasih apa yang dia mau,” ujar Archer, mengenang masa lalu yang berlalu begitu cepat.“Sekarang anak kita sudah dewasa dan akan membangun rumah tangganya sendiri,” timpal F
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”