Malik tersenyum, jemarinya mengelus lembut pipi Kimberly. “Aku akan sangat merindukanmu nanti,” bisiknya.‘Aku juga,’ balas Kimberly dalam hati. Namun ia malu menyuarakannya.“Besok, kamu mau mengantarku ke bandara?” tanya Malik, yang dibalas dengan anggukkan cepat oleh perempuan itu.Sekali lagi Malik tersenyum. Tatapannya turun dari mata ke arah bibir Kimberly. Lalu wajahnya maju perlahan-lahan.Kimberly yang sudah mengerti apa yang akan Malik lakukan, seketika memejamkan mata dengan perasaan tak karuan. Napas hangat pria itu terasa menerpa wajahnya.Namun, bunyi pintu gerbang yang dibuka membuat Kimberly spontan mendorong dada Malik jauh-jauh. Malik pun terkejut.Mereka sama-sama menatap ke arah gerbang dan mendapati Archer sedang berdiri sambil bersedekap dada, di gerbang kecil khusus pejalan kaki. Archer memperhatikan mereka dengan tatapan tajam.“Sepertinya aku akan dicap sebagai laki-laki mesum oleh ayahmu.” Malik terkekeh pelan, lalu menghela napas berat.Kimberly meringis. “A
Tak terasa waktu sudah berlalu tiga bulan.Namun bagi Kimberly, tiga bulan rasanya seperti tiga tahun. Menjalani hari-hari tanpa Malik di sisinya bagai sayur tanpa garam. Hambar. Hidupnya terasa ada yang kurang dan kosong.Kimberly tak pernah ketinggalan menonton siaran langsung MotoGP, meskipun tayangnya tengah malam atau dini hari, ia tak akan pernah melewatkannya dan rela begadang.Tak hanya Kimberly, Ernest pun sama, tidak pernah absen menonton tayangan tersebut. Kedua kakak beradik itu selalu menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga, hanya untuk menonton balapan profesional itu.Satu bulan yang lalu, Kimberly pernah pergi ke Prancis hanya untuk menonton motoGP, saat seri balapan itu dilaksanakan di sirkuit Le Mans. Dia bertemu Malik, lalu keduanya menghabiskan waktu di Paris selama dua hari. Sebab Malik harus kembali ke rutinitasnya, berlatih untuk seri selanjutnya di negara lain. Pertemuan itu cukup mengobati kerinduan Kimberly kepada Malik yang selalu menyerangnya hampir se
Malik membenamkan wajahnya di pundak Kimberly dan berkata dengan suara teredam. “Aku merindukanmu, Kim. Sangat merindukanmu.”Kimberly terkekeh-kekeh. “Aku juga."“Juga apa, hem?”“Kangen kamu.”Malik tertawa. Ia melepaskan pelukannya hanya untuk menatap wajah Kimberly yang sudah lama tak ia tatap secara langsung. Tidak ada yang berubah dengan wajah kekasihnya itu, selain bertambah cantik dan mempesona.Kekasih?Ya Tuhan… kenapa rasanya geli sekali ketika satu kata itu terlintas di kepala Malik?Bukan. Malik bukan tidak mau berkencan dengan perempuan yang rambutnya sudah sepanjang di bawah bahu itu. Hanya saja Malik ingin Kimberly menjadi lebih dari sekadar ‘kekasih’.Untuk beberapa detik lamanya tak ada yang berbicara di antara mereka. Keduanya saling mentransfer perasaan masing-masing melalui tatapan yang intens dan lekat.Hingga Kimberly tidak sadar, entah sejak kapan bibirnya dengan bibir Malik saling melekat, seakan-akan tengah menumpahkan semua rasa rindu lewat pagutan yang lemb
“Besok aku harus kembali lagi.”Ucapan Malik tersebut membuat Kimberly sontak membuka matanya. “Cuma dua hari aja?” tanyanya dengan perasaan tak rela.“Hm. Cuma dua hari aja,” jawab Malik seraya mengelus kepala Kimberly yang sejak tadi rebah di atas pahanya. “Total sama perjalanan jadi empat hari.”“Kenapa cepat sekali?” Kimberly menghela napas kecewa.“Karena aku cuma diberi waktu empat hari, Kim.” Suara Malik terdengar lembut, ia menunduk, menatap mata hazel yang dihiasi bulu mata lentik nan panjang itu dengan lekat. “Aku harus mempersiapkan diri untuk balapan selanjutnya di Belanda.”“Ya udah,” gumam Kimberly pada akhirnya.Sebesar apapun keinginannya untuk menahan Malik agar tidak pergi, tetap saja Kimberly tak bisa melakukannya. Balapan adalah dunia Malik, ia akan mendukung jika memang Malik bahagia dengan dunianya itu.“Maafkan aku, Kim,” gumam pria itu, jemarinya kini mengelus pipi Kimberly dengan lembut.“Maaf untuk?”“Meninggalkanmu lagi.”Kimberly tersenyum, telapak tanganny
Keesokan harinya Malik pun kembali meninggalkan Jakarta di siang hari. Dan Kimberly mengantarnya sampai ke bandara setelah dari pagi mereka menghabiskan waktu bersama di apartemen Malik.Malik tak sempat mengunjungi Bunda Tessa dan Arsya, juga anak-anak panti asuhan. Karena kepulangannya kali ini hanya untuk bertemu Kimberly.Dan setelah sosok Malik hilang dari pandangannya, hari-hari Kimberly kembali terasa sepi dan hampa. Ia merasa seperti kehilangan separuh jiwanya.Namun tak dapat dipungkiri, Kimberly merasa bahagia selama dua hari ini karena meski sibuk tapi Malik tetap menyempatkan diri untuk pulang. Ini bukan perjalanan dekat seperti sesama negara Asean, tapi perjalanan cukup jauh yang memakan waktu hampir 18 jam di udara.Meski terasa hampa dan kosong, Kimberly tetap melanjutkan hidupnya seperti biasa. Bekerja dengan profesional dan menahan rasa rindu yang tak dapat ia buang begitu saja.“Nona, Kim, ada kiriman bunga lagi untuk Anda.”“Lagi?!” pekik Kimberly yang langsung melo
“Arsya Abinaya?”“I-iya. Saya.”“Mari ikut kami.”Sontak, Arsya menggeleng tegas untuk menolak perintah dua pria berpakaian serba hitam, di hadapannya, yang bertamu ke rumahnya siang ini.“Siapa kalian?” tanya Arsya waspada.Salah satu dari dua pria itu merogoh saku jaket kulitnya, lalu menunjukkan kartu namanya. “Saya Rex, Tuan Archer menyuruh saya membawamu ke hadapan beliau.”Arsya terkesiap. “Tu-Tuan Archer?” ulangnya, tergagap. Ia sudah tahu siapa itu pria bernama Archer setelah Malik dan temannya memberitahu.“Nggak! Saya nggak mau ikut! Saya nggak punya salah apa-apa!” tolak Arsya dengan perasaan takut.“Ikut kami! Atau kami obrak-abrik rumahmu?!” ancam pria yang satunya lagi, sorot mata tajamnya membuat lutut Arsya gemetar.Pada akhirnya Arsya mengangguk pasrah. “Ba-baik. Saya ikut kalian.”Tanpa basa-basi, dua pria itu segera mencekal lengan Arsya, tapi Arsya langsung menolak dan ia meminta jalan sendiri tanpa perlu dipegangi. Mereka pun membiarkan Arsya berjalan sendiri di t
Malik tak berhenti menatap layar ponsel, yang memperlihatkan chat room-nya dengan Kimberly. Padahal dua puluh menit lagi ia harus segera bersiap masuk ke sirkuit, tapi ia masih menunggu kabar dari perempuan itu.Sudah menjadi kebiasaan Malik akhir-akhir ini, ia selalu menghubungi Kimberly terlebih dulu sebelum dan sesudah balapan. Baginya, mendengar suara Kimberly—meski hanya melalui telepon, bisa memberi tambahan energi dan membuatnya selalu bersemangat untuk memacu motornya sampai garis finish.Akan tetapi siang ini, Kimberly tak kunjung mengangkat panggilan darinya. Entah ke mana perginya wanita itu.Apakah dia sedang ada pekerjaan? Sepertinya tidak, karena Kimberly selalu memberitahunya lebih dulu jika ia sedang sibuk dan tidak bisa menerima panggilan.Sekali lagi Malik menghela napas panjang. Penampilannya sudah terlihat siap dengan baju balapannya, tanpa helm.Saat akan mengunci layar ponsel, nama Kimberly tiba-tiba muncul di layar. Malik seketika berdiri. Tanpa basa-basi, ia se
Ini bukan pertama kalinya Kimberly menonton motoGP secara langsung, tapi euforianya selalu saja terasa berbeda. Ia duduk di tribun bersama penonton lainnya.Di tengah-tengah euforianya itu terselip rasa khawatir, ketika ia melihat di layar ada salah seorang pembalap yang terpelanting dari motornya, lalu terbanting ke aspal.Kejadian seperti ini memang hal yang biasa di sirkuit, tapi Kimberly selalu saja merasa was-was, lalu ia menghela napas lega ketika tahu bahwa bukan Malik yang kecelakaan itu.Hari ini memang orang lain, tapi tak ada yang bisa menebak di masa depan barangkali giliran Malik? Entahlah. Kimberly tak bisa membayangkan jika kecelakaan itu terjadi kepada Malik, ia hanya berharap Tuhan akan selalu melindungi pria itu di setiap langkahnya.Ketika sesi balapan hari itu selesai, Kimberly menghampiri Malik dan menghambur ke dalam pelukannya. Kimberly mengucapkan terima kasih karena Malik sudah bekerja keras dan berakhir dengan selamat.“Kamu adalah alasanku untuk berakhir di g
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”