“Besok aku harus kembali lagi.”Ucapan Malik tersebut membuat Kimberly sontak membuka matanya. “Cuma dua hari aja?” tanyanya dengan perasaan tak rela.“Hm. Cuma dua hari aja,” jawab Malik seraya mengelus kepala Kimberly yang sejak tadi rebah di atas pahanya. “Total sama perjalanan jadi empat hari.”“Kenapa cepat sekali?” Kimberly menghela napas kecewa.“Karena aku cuma diberi waktu empat hari, Kim.” Suara Malik terdengar lembut, ia menunduk, menatap mata hazel yang dihiasi bulu mata lentik nan panjang itu dengan lekat. “Aku harus mempersiapkan diri untuk balapan selanjutnya di Belanda.”“Ya udah,” gumam Kimberly pada akhirnya.Sebesar apapun keinginannya untuk menahan Malik agar tidak pergi, tetap saja Kimberly tak bisa melakukannya. Balapan adalah dunia Malik, ia akan mendukung jika memang Malik bahagia dengan dunianya itu.“Maafkan aku, Kim,” gumam pria itu, jemarinya kini mengelus pipi Kimberly dengan lembut.“Maaf untuk?”“Meninggalkanmu lagi.”Kimberly tersenyum, telapak tanganny
Keesokan harinya Malik pun kembali meninggalkan Jakarta di siang hari. Dan Kimberly mengantarnya sampai ke bandara setelah dari pagi mereka menghabiskan waktu bersama di apartemen Malik.Malik tak sempat mengunjungi Bunda Tessa dan Arsya, juga anak-anak panti asuhan. Karena kepulangannya kali ini hanya untuk bertemu Kimberly.Dan setelah sosok Malik hilang dari pandangannya, hari-hari Kimberly kembali terasa sepi dan hampa. Ia merasa seperti kehilangan separuh jiwanya.Namun tak dapat dipungkiri, Kimberly merasa bahagia selama dua hari ini karena meski sibuk tapi Malik tetap menyempatkan diri untuk pulang. Ini bukan perjalanan dekat seperti sesama negara Asean, tapi perjalanan cukup jauh yang memakan waktu hampir 18 jam di udara.Meski terasa hampa dan kosong, Kimberly tetap melanjutkan hidupnya seperti biasa. Bekerja dengan profesional dan menahan rasa rindu yang tak dapat ia buang begitu saja.“Nona, Kim, ada kiriman bunga lagi untuk Anda.”“Lagi?!” pekik Kimberly yang langsung melo
“Arsya Abinaya?”“I-iya. Saya.”“Mari ikut kami.”Sontak, Arsya menggeleng tegas untuk menolak perintah dua pria berpakaian serba hitam, di hadapannya, yang bertamu ke rumahnya siang ini.“Siapa kalian?” tanya Arsya waspada.Salah satu dari dua pria itu merogoh saku jaket kulitnya, lalu menunjukkan kartu namanya. “Saya Rex, Tuan Archer menyuruh saya membawamu ke hadapan beliau.”Arsya terkesiap. “Tu-Tuan Archer?” ulangnya, tergagap. Ia sudah tahu siapa itu pria bernama Archer setelah Malik dan temannya memberitahu.“Nggak! Saya nggak mau ikut! Saya nggak punya salah apa-apa!” tolak Arsya dengan perasaan takut.“Ikut kami! Atau kami obrak-abrik rumahmu?!” ancam pria yang satunya lagi, sorot mata tajamnya membuat lutut Arsya gemetar.Pada akhirnya Arsya mengangguk pasrah. “Ba-baik. Saya ikut kalian.”Tanpa basa-basi, dua pria itu segera mencekal lengan Arsya, tapi Arsya langsung menolak dan ia meminta jalan sendiri tanpa perlu dipegangi. Mereka pun membiarkan Arsya berjalan sendiri di t
Malik tak berhenti menatap layar ponsel, yang memperlihatkan chat room-nya dengan Kimberly. Padahal dua puluh menit lagi ia harus segera bersiap masuk ke sirkuit, tapi ia masih menunggu kabar dari perempuan itu.Sudah menjadi kebiasaan Malik akhir-akhir ini, ia selalu menghubungi Kimberly terlebih dulu sebelum dan sesudah balapan. Baginya, mendengar suara Kimberly—meski hanya melalui telepon, bisa memberi tambahan energi dan membuatnya selalu bersemangat untuk memacu motornya sampai garis finish.Akan tetapi siang ini, Kimberly tak kunjung mengangkat panggilan darinya. Entah ke mana perginya wanita itu.Apakah dia sedang ada pekerjaan? Sepertinya tidak, karena Kimberly selalu memberitahunya lebih dulu jika ia sedang sibuk dan tidak bisa menerima panggilan.Sekali lagi Malik menghela napas panjang. Penampilannya sudah terlihat siap dengan baju balapannya, tanpa helm.Saat akan mengunci layar ponsel, nama Kimberly tiba-tiba muncul di layar. Malik seketika berdiri. Tanpa basa-basi, ia se
Ini bukan pertama kalinya Kimberly menonton motoGP secara langsung, tapi euforianya selalu saja terasa berbeda. Ia duduk di tribun bersama penonton lainnya.Di tengah-tengah euforianya itu terselip rasa khawatir, ketika ia melihat di layar ada salah seorang pembalap yang terpelanting dari motornya, lalu terbanting ke aspal.Kejadian seperti ini memang hal yang biasa di sirkuit, tapi Kimberly selalu saja merasa was-was, lalu ia menghela napas lega ketika tahu bahwa bukan Malik yang kecelakaan itu.Hari ini memang orang lain, tapi tak ada yang bisa menebak di masa depan barangkali giliran Malik? Entahlah. Kimberly tak bisa membayangkan jika kecelakaan itu terjadi kepada Malik, ia hanya berharap Tuhan akan selalu melindungi pria itu di setiap langkahnya.Ketika sesi balapan hari itu selesai, Kimberly menghampiri Malik dan menghambur ke dalam pelukannya. Kimberly mengucapkan terima kasih karena Malik sudah bekerja keras dan berakhir dengan selamat.“Kamu adalah alasanku untuk berakhir di g
Berjarak dengan Kimberly ternyata bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Tidak ada satu orang pun yang tahu bahwa hal itu amatlah menyiksa. Malik ingin menghapus semua jarak tersebut yang terbentang di antara mereka.Maka dari itu, hari ini ia kembali berdiri di sini, di atas marmer putih sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elite, di Jakarta.Dua bulan yang lalu, ketika ia berkunjung ke Indonesia dan ingin menemui Kimberly, ia pun sempat mendatangi rumah ini lalu mengobrol dengan Archer. Namun, bukan hanya penolakan yang ia dapatkan dari ayah Kimberly, tapi ia juga mendapat sebuah tantangan.Tantangan yang paling berat yang pernah Malik alami selama hidupnya. Ia harus memilih salah satu di antara dua pilihan yang sama-sama berharga.Malik menghela napas berat kala mengingat hal itu. Kini ia melihat Archer yang sedang menuruni tangga dan berkata, “Ternyata kamu belum menyerah, Malik.”“Saya bukan orang yang pantang menyerah, Om.”Satu sudut bibir Archer terangkat. Malik berdiri, menyap
Kimberly terperangah, merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. “Wedding… organizer?” ulangnya dengan ragu. “Untuk apa?”“Untuk mendiskusikan rencana pernikahanku dengan kekasihku.”“Kekasihmu?” Detik itu juga Kimberly terkesiap, seakan-akan ia baru saja keluar dari kebingungannya. “Maksudmu aku?”“Kamu pikir aku punya kekasih selain kamu?” tanya Malik dengan mata menyipit. Kemudian tertawa kala melihat rona merah menyembul di pipi Kimberly.“Baiklah, biar aku jelaskan mengenai sesuatu.” Tangan Malik yang semula melingkar di pinggang Kimberly, kini menangkup kedua pipi mungil wanita di hadapannya itu, seraya menatapnya dengan lekat. “Setelah aku selesai balapan di musim ini, kamu akan jadi nyonya Malik. Tapi kita harus persiapkan segala sesuatunya untuk pernikahan kita dari sekarang.”Kimberly tertegun. Ribuan kupu-kupu seketika beterbangan di perutnya. “Jadi… barusan kamu bicara sama Papi buat ngobrolin itu?”Malik mengangguk.“Dia kasih kita restu?”Sekali lagi, Malik
Kimberly mengurus rencana pernikahannya tanpa kehadiran Malik. Namun ia tak benar-benar melakukannya sendiri, ada Mami Feli yang selalu menemani dan memberinya saran apa saja yang harus Kimberly lakukan agar persiapan itu berjalan sesuai yang diinginkan.Tak hanya Mami Feli, kedua sahabat Kimberly—Deby dan Nancy, sesekali membantu dan selalu ada di kala Kimberly butuh bantuan mereka. Meski Nancy berada di benua berbeda, ia selalu berkontribusi minimal menjadi pendengar yang baik di saat Kimberly sedang lelah dan butuh teman curhat.Malik tentu tidak lepas tangan begitu saja. Di sela-sela kesibukannya, Malik tidak pernah absen bertanya mengenai perasaan Kimberly, dan dengan sabar Malik mendengarkan keluh kesah Kimberly selama mengurus pernikahan mereka tanpa ditemani olehnya.Tak hanya itu, Malik pun mengutus Edwin, sekretarisnya, untuk mewakili dirinya membantu Kimberly.Sejujurnya Kimberly tidak merasa terbebani melakukan persiapan tanpa kehadiran Malik, karena hampir tujuh puluh per