“Eric datang untuk meminta restu dari Papi, dia meminta agar perjodohan kalian tetap dilanjutkan seperti dulu.”“Lalu… gimana tanggapan Papi? Papi nerima dia?”“Sedang Papi pertimbangkan.”“Aku nggak mau dijodoh-jodohin lagi, Papi. Sampai kapan orang-orang seperti kita akan dipaksa menikah cuma demi kepentingan bisnis?!”"Bukan demi kepentingan bisnis, Princess, tapi Papi lakukan demi kamu.""Kalau demi aku seharusnya Papi lebih mementingkan perasaan aku."Kimberly mengembuskan napas panjang ketika ia teringat dengan percakapannya bersama Archer saat makan bersama tadi malam. Sudah ia duga jika Eric akan nekat menemui orang tuanya meski berkali-kali ia tolak.Kemarin sore Kimberly tidak bertemu lagi dengan Eric—yang katanya langsung pulang setelah Malik datang, dan Kimberly pun tidak menemui Malik lagi. Ia berdiam diri di kamar. Setelah Malik pulang usai bermain catur bersama ayahnya, barulah Kimberly keluar dari kamarnya untuk makan malam bersama.Kimberly penasaran apa yang Malik da
Kimberly bimbang. Ia ingin mengajak Malik masuk dan menunggu di dalam mobil saja, tapi sebagian dari dirinya yang lain melarang Kimberly untuk melakukan itu. Ia merasa tak sanggup berada di ruangan yang sama dengan Malik, berdua. Alhasil, Kimberly hanya termenung, menatap jari-jari tangannya yang saling bertaut di atas paha. Sesekali ia melihat ke luar, Malik masih berdiri di tempat yang sama. Bahkan pria itu tidak protes sama sekali dan dengan sabar menunggunya di sana. Kimberly menghela napas berat. Setelah berpikir beberapa saat, ia menurunkan kaca mobil dan melongokan kepalanya sedikit keluar. “Masuk. Tunggunya di sini aja, jangan di situ,” gumam Kimberly, yang membuat perhatian Malik teralihkan dari layar ponsel ke arahnya. Kedua sudut bibir Malik terangkat dengan lembut. Melihat senyuman itu mata Kimberly mengerjap, lalu dengan cepat Kimberly menarik lagi kepalanya ke dalam dan duduk dengan lurus ke depan. “Kalau nunggunya di sini, boleh?” Kimberly berjengit kaget kala men
Ponsel Kimberly berdenting.Air muka perempuan itu seketika berubah agak cerah, buru-buru ia menaruh bindex ke dalam lemari arsip. Lalu merogoh ponsel dari saku blazer dan wajahnya kembali lesu begitu melihat notifikasi itu bukan dari orang yang dia harapkan.“Memangnya siapa yang aku harapkan?” gumam Kimberly, bermonolog, lalu mendengus kasar dan mengunci kembali ponselnya. Itu hanya notifikasi dari grup alumni sekolah SMA-nya.Kimberly menghela napas berat, lalu menggeleng pelan dan kembali bergumam, “Aku sama sekali nggak mengharapkan telepon atau chat dari dia.”Tok! Tok! Tok!Mendengar pintu ruangannya diketuk, Kimberly terkesiap, lalu dalam sekejap mata dia membalikkan badan untuk melihat siapa yang datang.“Oh, Papi?” Kimberly menghilangkan kesan formal di antara mereka karena jam kerja sudah habis.Archer masuk dan menatap Kimberly dengan alis terangkat. “Kamu sedang menunggu seseorang?”“Ng-nggak!” sanggah Kimberly dengan cepat. “Kenapa Papi bisa nanya begitu?”“Kelihatan dar
Selama dua hari terakhir ini Malik disibukkan dengan pekerjaannya di Neverland yang akan ia tinggalkan. Bahkan ia hanya pulang ke rumah saat tengah malam, lalu pergi lagi ke kantor saat pagi menjelang.Kesibukan membuatnya nyaris lupa makan dan ia tidak sempat menghubungi Kimberly. Padahal jauh di dalam hati ia sangat merindukan perempuan itu.Setelah barusan pekerjaannya di kantor selesai, ia langsung pergi ke rumah Archer. Mobilnya berhenti di depan gerbang rumah mewah tersebut.[“Aku ada di depan rumah kamu, Kim. Bisa mengobrol sebentar?”]Malik mengirimkan pesan tersebut. Pesannya langsung terbaca beberapa detik kemudian. Malik mengulum senyum, ia berharap Kimberly mau memenuhi permintaannya.Namun, hingga dua puluh menit kemudian, tak ada tanda-tanda kemunculan Kimberly. Pesannya menganggur begitu saja, tak ada balasan.Malik menghela napas berat. Ia pikir wanita itu masih marah kepadanya dan enggan menemuinya. Malik menyesal telah mengabaikan Kimberly dua hari terakhir, padahal
‘Dia mencintaimu.’‘Huh?! Dia mencintaiku? Nggak mungkin. Dia bahkan nggak pernah bilang cinta sama aku.’‘Jadi selama ini kamu nggak sadar mengenai perasaan dia ke kamu? Astaga…. Aku saja yang baru bertemu dia tiga kali, sudah bisa melihat dari tatapannya saat menatapmu kalau dia mencintai kamu.’Percakapannya dengan Risa tadi sore kembali terngiang di telinga Kimberly. Ia menatap puluhan lilin—atau mungkin ratusan, di taman itu dengan mata berkaca-kaca. Ia terpana.Sekarang kata-kata Risa sudah terbukti benar. Namun Kimberly masih tak yakin apakah ini nyata atau ia justru sedang bermimpi?Satu hal yang membuat Kimberly seketika sadar jika ini nyata, yaitu debaran jantungnya yang bergemuruh hebat di dalam dada. Sampai-sampai Kimberly takut Malik akan mendengar suara berisik di dalam dadanya itu.“Dulu aku pikir, perasaan asing yang memenuhi hatiku hanya akan singgah sementara saja,” ucap Malik seraya menggenggam tangan Kimberly, membuat tatapan Kimberly seketika beralih dari taman ke
Malik tersenyum, jemarinya mengelus lembut pipi Kimberly. “Aku akan sangat merindukanmu nanti,” bisiknya.‘Aku juga,’ balas Kimberly dalam hati. Namun ia malu menyuarakannya.“Besok, kamu mau mengantarku ke bandara?” tanya Malik, yang dibalas dengan anggukkan cepat oleh perempuan itu.Sekali lagi Malik tersenyum. Tatapannya turun dari mata ke arah bibir Kimberly. Lalu wajahnya maju perlahan-lahan.Kimberly yang sudah mengerti apa yang akan Malik lakukan, seketika memejamkan mata dengan perasaan tak karuan. Napas hangat pria itu terasa menerpa wajahnya.Namun, bunyi pintu gerbang yang dibuka membuat Kimberly spontan mendorong dada Malik jauh-jauh. Malik pun terkejut.Mereka sama-sama menatap ke arah gerbang dan mendapati Archer sedang berdiri sambil bersedekap dada, di gerbang kecil khusus pejalan kaki. Archer memperhatikan mereka dengan tatapan tajam.“Sepertinya aku akan dicap sebagai laki-laki mesum oleh ayahmu.” Malik terkekeh pelan, lalu menghela napas berat.Kimberly meringis. “A
Tak terasa waktu sudah berlalu tiga bulan.Namun bagi Kimberly, tiga bulan rasanya seperti tiga tahun. Menjalani hari-hari tanpa Malik di sisinya bagai sayur tanpa garam. Hambar. Hidupnya terasa ada yang kurang dan kosong.Kimberly tak pernah ketinggalan menonton siaran langsung MotoGP, meskipun tayangnya tengah malam atau dini hari, ia tak akan pernah melewatkannya dan rela begadang.Tak hanya Kimberly, Ernest pun sama, tidak pernah absen menonton tayangan tersebut. Kedua kakak beradik itu selalu menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga, hanya untuk menonton balapan profesional itu.Satu bulan yang lalu, Kimberly pernah pergi ke Prancis hanya untuk menonton motoGP, saat seri balapan itu dilaksanakan di sirkuit Le Mans. Dia bertemu Malik, lalu keduanya menghabiskan waktu di Paris selama dua hari. Sebab Malik harus kembali ke rutinitasnya, berlatih untuk seri selanjutnya di negara lain. Pertemuan itu cukup mengobati kerinduan Kimberly kepada Malik yang selalu menyerangnya hampir se
Malik membenamkan wajahnya di pundak Kimberly dan berkata dengan suara teredam. “Aku merindukanmu, Kim. Sangat merindukanmu.”Kimberly terkekeh-kekeh. “Aku juga."“Juga apa, hem?”“Kangen kamu.”Malik tertawa. Ia melepaskan pelukannya hanya untuk menatap wajah Kimberly yang sudah lama tak ia tatap secara langsung. Tidak ada yang berubah dengan wajah kekasihnya itu, selain bertambah cantik dan mempesona.Kekasih?Ya Tuhan… kenapa rasanya geli sekali ketika satu kata itu terlintas di kepala Malik?Bukan. Malik bukan tidak mau berkencan dengan perempuan yang rambutnya sudah sepanjang di bawah bahu itu. Hanya saja Malik ingin Kimberly menjadi lebih dari sekadar ‘kekasih’.Untuk beberapa detik lamanya tak ada yang berbicara di antara mereka. Keduanya saling mentransfer perasaan masing-masing melalui tatapan yang intens dan lekat.Hingga Kimberly tidak sadar, entah sejak kapan bibirnya dengan bibir Malik saling melekat, seakan-akan tengah menumpahkan semua rasa rindu lewat pagutan yang lemb