Malik tidak berbicara apa-apa. Ia hanya menatap Kimberly yang mengolesi lukanya dengan cairan antiseptik, lalu menutupinya dengan plester.“Sulit banget ya buat jawab pertanyaan aku?” tanya Kimberly saat Malik tak kunjung menjawab pertanyaannya mengenai penyebab luka di tangan pria itu.Kimberly tidak tahu, bahwa sebenarnya luka itu akibat Malik menonjok dinding dan kaca hingga pecah, di rumahnya. Dan Kimberly-lah yang menjadi penyebab emosi Malik tak terkendali.“Bukan sesuatu yang penting yang harus kamu tahu,” jawab Malik dengan ekspresi dingin.Kimberly menggigit bibir bawahnya, ia tidak suka dengan suasana canggung dan mencekam seperti ini.“Beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya padamu,” gumam Kimberly seraya menarik tangannya setelah selesai menempelkan plester di tangan Malik. “Kalau memang kamu nggak mau lama-lama berbicara sama aku, seenggaknya beri waktu aku sepuluh menit. Nggak-” Kimberly menggeleng cepat. “Maksudku lima menit. Itu sudah lebih dari cukup.”Satu sudut bi
Kimberly menatap Malik dan Risa bergantian dengan hati mencelos. Tenggorokannya tercekat saat bertanya, “Kenapa dia ada di sini? Apa rumahmu jadi tempat penampungan wanita, Malik?” Ia tersenyum miris.“Hai... kamu Kimberly, ‘kan? Yang kemarin ketemu di restoran itu?” tanya Risa saat Malik tak kunjung menanggapi pertanyaan Kimberly."Ya, kamu benar," jawab Kimberly dengan ekspresi datar. "Kita bertemu saat kamu menjemput calon kekasihmu."“Ah, pantas saja aku merasa familiar.” Risa terkekeh-kekeh, lalu menatap Malik dan bertanya, “Apa dia masih belum tahu tentang hubungan kita, Malik?”Malik tidak menjawab.Risa mendekati Malik, lalu mengalungkan kedua lengannya di leher pria itu dan mengecup pipinya cukup lama.Kimberly membelalak. Kedua belah telapak tangannya mengepal kuat dan bergetar. Napasnya mulai terasa memburu akibat rasa sesak yang terus menyerangnya tanpa henti.“Jadi kalian berdua sedang berkencan?” Suara Kimberly terdengar bergetar.“Aku sudah memutuskan untuk menerima Mali
Malik melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya. Kepalan tangannya menonjok dinding dengan kuat, darahnya keluar, mengaliri jari-jarinya dan menetes ke lantai.Risa tampak ketakutan melihat emosi Malik yang tak terkendali. Ia mendekati Malik dan mencoba menggenggam tangannya untuk menenangkannya. “Hey… tenangkan dulu dirimu. Jangan begini, kamu akan semakin terluka kalau—”“Keluar!” sela Malik dengan tajam.“Tapi—”“Ah, bayaranmu?” potong Malik lagi, ia mendengus kasar, lalu masuk ke kamarnya dan kembali lagi tak lama kemudian.Ia melemparkan amplop berisi sejumlah uang ke atas meja. “Ambil dan keluar sekarang!”Risa tak bisa membantah perintah ‘kliennya’ itu sekalipun ia khawatir dengan kondisi emosi Malik. Ia segera mengambil amplop tersebut dan memastikan isinya sudah sesuai kesepakatan. Kemudian tersenyum puas.“Terima kasih. Kalau kamu butuh bantuanku, hubungi aku lagi saja.”Malik tidak memberi tanggapan apapun, sampai akhirnya Risa pergi dari hadapannya dan sempat memakai
“Gimana? Kamu tertarik jadi pembalap?”“Sempat berpikir sih buat jadi pembalap, tapi aku sudah tahu jalan hidupku bakal kayak apa kalau dewasa nanti. Papi selalu bilang aku yang bakal gantiin dia duduk di 'kursinya'.”Malik tersenyum kecil seraya menyerahkan minuman kaleng kepada Ernest, lalu ia duduk di samping anak muda itu. Malik sudah tahu jawaban yang akan keluar dari mulut Ernest seperti itu. Ia bertanya hanya sekadar basa-basi saja.Beberapa saat yang lalu Malik baru selesai mengajari Ernest bagaimana menjadi seorang pembalap. Bahkan Ernest sempat mencoba mengendarai motor khusus untuk balapan dan dia terlihat antusias.Tidak sulit mengajari Ernest, karena dia sudah bisa mengendarai motor sport sebelumnya. Dan kini mereka sedang duduk di tribun, di sirkuit yang ada di daerah Bogor.“Papimu ingin yang terbaik buat kamu, Ernest.” Malik menepuk pundak laki-laki berusia tujuh belas tahun itu.“Well, yeah! Dan untuk kesejahteraan perusahaan juga,” jawab Ernest sembari merotasi matan
Malik pulang bersama Ernest menggunakan mobil yang ia kemudikan. Sedangkan motor miliknya—yang tadi ia gunakan untuk berlatih, diangkut oleh asisten pribadinya dengan mobil pick up.“Aku antar kamu pulang sampai rumah,” ucap Malik pada Ernest saat masih di perjalanan.Ia gunakan alasan itu karena ingin menemui Kimberly di rumah Archer. Setelah mendengar penjelasan Ernest tadi, Malik sadar jika dirinya bersalah telah membuat Kimberly terluka.Egonya terlalu tinggi, sehingga ia lebih memikirkan perasaannya sendiri ketimbang perasaan Kimberly.Setibanya di rumah besar nan mewah milik Archer, sang tuan rumah menyambut Malik dengan hangat. Ernest sudah mengirim pesan pada ibunya bahwa ia diantar Malik, jadi saat mereka tiba, Feli dan Archer tampak tidak begitu terkejut melihat Malik.Mereka berbincang berempat di ruang tengah. Ernest bercerita bagaimana antusiasnya dia mencoba motor balapan.Well, motor itu bukan yang biasa Malik pakai saat di sirkuit, tapi ia gunakan untuk berlatih ketika
Malik duduk di sofa, kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri. Punggungnya bersandar, mata hitamnya tertuju pada buku terbuka di tangannya yang tak benar-benar ia baca.Di atas meja yang ada di hadapannya terhidang sepiring kentang goreng, buah apel, cookies dan air putih. Semuanya belum tersentuh sama sekali.Sesekali Malik mengecek arloji di tangan kiri. Sudah pukul empat sore. Seharusnya para karyawan perusahaan sudah pulang di waktu ini.Malik menatap pintu sejenak, lalu menghela napas panjang dan membaca buku di tangannya lagi.Lima menit berlalu.Sepuluh menit.Dua puluh menit.Malik kembali melirik arloji, lalu menatap pintu lagi.Tak ada satu orang pun yang tahu, bahwa saat ini ia tengah menunggu kedatangan seseorang yang beberapa hari lalu selalu datang ke rumahnya di sore hari seperti sekarang, dengan tatapan terluka dan bersikeras memastikan jika tidak ada hubungan apa-apa antara Malik dan Risa.Kini, Malik berharap wanita itu akan datang lagi seperti yang lalu-lalu. Bahka
Di saat Kimberly ingin menghindar, melupakan Malik dan mengobati luka hatinya yang menganga seorang diri, kenapa justru pria itu malah datang dan meminta maaf kepadanya?Kimberly terkejut kala mendengar permintaan maaf Malik. Ia bahkan tahu jika kata ‘maaf’ yang keluar dari bibir pria berkemeja putih itu benar-benar tulus, pertahanan Kimberly nyaris runtuh.Namun, ketika ingat bagaimana sikap kejam Malik kepadanya dan wajah Risa yang berkelebat di kepala, detik itu juga ia kembali berubah dingin dan ketus.Kimberly lantas menyuruh Malik pergi, tapi pria itu cukup bebal juga ternyata.Tadinya Kimberly akan memberi alasan bahwa hari ini akan lembur, tapi tiba-tiba ia melihat Eric—yang juga datang tidak diundang, yang tengah membuka pintu.Bak mendapat angin segar, Kimberly memanfaatkan momen itu dengan bilang kepada Malik bahwa ia akan berkencan dengan Eric.Nanti, Kimberly akan meminta maaf kepada Eric karena ia telah memanfaatkannya.“Kencan?” tanya Malik dengan satu alis terangkat. D
‘Athalleric Erlangga atau yang biasa dipanggil Eric, merupakan calon pemimpin dan ahli waris Erlangga Group. Grup perusahaan ini dikenal sebagai raksasa karena memiliki lebih dari 10 anak perusahaan besar yang tersebar di beberapa negara ASEAN.’Malik mengembuskan napas kasar kala membaca artikel tersebut, lalu menutup laptop dengan gerakan jauh dari kata lembut. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan memijat pelipis yang terasa berdenyut.Kemudian ia mendengus sembari tertawa singkat. Pantas saja Kimberly akan dijodohkan dengan Eric, rupanya Eric bukan orang sembarangan, pikirnya. Eric memiliki latar belakang keluarga yang kuat, yang bisa mengimbangi kekuatan keluarga Ivander.Sementara dirinya hanya anak panti asuhan yang berjuang sendiri dari nol, tanpa privilege dari keluarga.Bukan. Malik bukan insecure tidak bisa menghidupi Kimberly. Ia hanya tidak yakin Archer akan lebih memilihnya ketimbang Eric untuk menjadi pendamping putrinya.Malik mengembuskan napas kasar, ia bera
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”