“Apa yang harus aku lakukan?” gumam Kimberly seraya menutupi wajahnya dengan bantal.“Nggak ada cara lain lagi selain kamu ngaku, Kim.” Deby menatap cemas pada sahabatnya yang sejak datang ke rumahnya, terus murung dan bengong seperti orang kesambet. “Itu satu-satunya cara supaya nanti Malik nggak marah ke kamu. Kalau kamu jelasin semuanya, aku yakin dia bakal ngerti kok.”Kimberly memejamkan mata di bawah bantal, membiarkan rongga dadanya yang sudah sesak, kini semakin sesak karena kurangnya pasokan oksigen.“Kamu yakin dia nggak bakal marah, By?” Suara Kimberly terdengar teredam.“Yakin sembilan puluh persen,” jawab Deby, yang sebenarnya keyakinannya itu fifty-fifty karena Kimberly sudah membohongi Malik terlalu jauh. Namun tak mungkin Deby menakut-nakuti Kimberly mengenai keyakinannya itu. “Jangan ditunda-tunda lagi, Kim. Lagian kenapa sih kamu nggak jujur aja sama dia dari awal? Ya minimal mata kamu nggak usah ditutupi gitu pake softlens hitam di depan Malik.”Kimberly melepaskan
Kimberly duduk memeluk lutut, bersandar pada pintu kamarnya sambil menggigit bibir bawah dengan perasaan tak karuan.Setelah Malik melepaskan jabatan tangannya tiga puluh menit yang lalu, Kimberly langsung bergegas masuk ke kamar dan mengurung diri. Ia tak sanggup berlama-lama ada di dekat Malik.Dadanya terasa sesak, Kimberly tidak bisa membaca apakah Malik marah kepadanya atau tidak.Namun, tatapan tajam yang sempat Malik layangkan kepadanya membuat Kimberly merasa yakin jika pria itu marah.Kimberly membenamkan wajahnya di atas lutut, matanya berkaca-kaca.Andai saja bisa, ia ingin berharap bahwa ini hanyalah mimpi. Lalu ia akan terbangun dalam situasi seperti semula—di mana Malik belum tahu siapa dirinya, biar Kimberly yang memberitahu mengenai kebohongannya. Dengan begitu semuanya tidak akan menjadi serumit sekarang.Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Kimberly hanya bisa berharap pria itu mau mendengarkan penjelasan darinya, nanti.“Sayang, sudah mandinya, Nak? Kita makan dulu yuk
Malam itu Kimberly tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah, berguling ke kiri dan kanan seolah tak menemukan kenyamanan dalam tidurnya.Ia juga sudah berusaha menghubungi nomor telepon Malik berulang kali, tapi panggilannya dialihkan. Pesannya hanya centang satu. Ketakutan Kimberly semakin menyeruak di dalam hatinya, ia takut Malik marah dan kecewa hingga pria itu tidak mau memaafkannya.Kimberly menghabiskan malam itu dengan melamun sendirian sambil bersandar pada headboard ranjang. Hingga pukul tiga dini hari akhirnya matanya mau terpejam dan ia terlelap. Lalu alarm memaksanya bangun pukul delapan pagi, tapi Kimberly kehilangan semangat untuk menjalani akhir pekannya.Tiba-tiba Kimberly ingat bahwa ia memiliki janji bertemu dengan Malik di sebuah café pagi ini—yang ia rencanakan kemarin siang di telepon bersama Malik, akhirnya Kimberly terpaksa menyeret langkahnya ke kamar mandi dengan gontai.Tubuhnya terasa jauh lebih segar setelah mandi. Ia sarapan bersama orang tua dan adiknya. B
“Apa Neverland mau terima tawaran kerjasama kita? Saya dengar, CEO Neverland jarang terjun langsung ke lapangan. Dia selalu mengutus sekretarisnya dalam hal apapun,” ujar Kimberly.Ia mendecak lidah, bersandar di punggung kursi sambil geleng-geleng kepala. “Biar saya tebak, kemungkinan besar CEO Neverland adalah anak yang lahir dengan sendok emas. Dia nggak pernah bekerja, alias selalu makan gaji buta. Atau mungkin dia nggak mampu jadi CEO, makanya selalu mengandalkan sekretarisnya.”Di sampingnya, Archer terkekeh-kekeh mendengar celotehan sekretaris sekaligus putrinya itu.“Kamu akan terkejut setelah tahu siapa pemilik sekaligus CEO Neverland, Kimberly,” ujar Archer, menyebut nama Kimberly dengan formal di saat jam kerja seperti saat ini.“Anda sudah bertemu sebelumnya dengan orang itu?”“Hm. Dua kali.” Archer mengangguk, tersenyum penuh arti pada Kimberly.Perempuan berpakaian formal itu pun mengesah panjang. “Wow! Dua kali dan Anda sama sekali nggak memberitahu saya?” gerutunya den
Malik tidak berbicara apa-apa. Ia hanya menatap Kimberly yang mengolesi lukanya dengan cairan antiseptik, lalu menutupinya dengan plester.“Sulit banget ya buat jawab pertanyaan aku?” tanya Kimberly saat Malik tak kunjung menjawab pertanyaannya mengenai penyebab luka di tangan pria itu.Kimberly tidak tahu, bahwa sebenarnya luka itu akibat Malik menonjok dinding dan kaca hingga pecah, di rumahnya. Dan Kimberly-lah yang menjadi penyebab emosi Malik tak terkendali.“Bukan sesuatu yang penting yang harus kamu tahu,” jawab Malik dengan ekspresi dingin.Kimberly menggigit bibir bawahnya, ia tidak suka dengan suasana canggung dan mencekam seperti ini.“Beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya padamu,” gumam Kimberly seraya menarik tangannya setelah selesai menempelkan plester di tangan Malik. “Kalau memang kamu nggak mau lama-lama berbicara sama aku, seenggaknya beri waktu aku sepuluh menit. Nggak-” Kimberly menggeleng cepat. “Maksudku lima menit. Itu sudah lebih dari cukup.”Satu sudut bi
Kimberly menatap Malik dan Risa bergantian dengan hati mencelos. Tenggorokannya tercekat saat bertanya, “Kenapa dia ada di sini? Apa rumahmu jadi tempat penampungan wanita, Malik?” Ia tersenyum miris.“Hai... kamu Kimberly, ‘kan? Yang kemarin ketemu di restoran itu?” tanya Risa saat Malik tak kunjung menanggapi pertanyaan Kimberly."Ya, kamu benar," jawab Kimberly dengan ekspresi datar. "Kita bertemu saat kamu menjemput calon kekasihmu."“Ah, pantas saja aku merasa familiar.” Risa terkekeh-kekeh, lalu menatap Malik dan bertanya, “Apa dia masih belum tahu tentang hubungan kita, Malik?”Malik tidak menjawab.Risa mendekati Malik, lalu mengalungkan kedua lengannya di leher pria itu dan mengecup pipinya cukup lama.Kimberly membelalak. Kedua belah telapak tangannya mengepal kuat dan bergetar. Napasnya mulai terasa memburu akibat rasa sesak yang terus menyerangnya tanpa henti.“Jadi kalian berdua sedang berkencan?” Suara Kimberly terdengar bergetar.“Aku sudah memutuskan untuk menerima Mali
Malik melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya. Kepalan tangannya menonjok dinding dengan kuat, darahnya keluar, mengaliri jari-jarinya dan menetes ke lantai.Risa tampak ketakutan melihat emosi Malik yang tak terkendali. Ia mendekati Malik dan mencoba menggenggam tangannya untuk menenangkannya. “Hey… tenangkan dulu dirimu. Jangan begini, kamu akan semakin terluka kalau—”“Keluar!” sela Malik dengan tajam.“Tapi—”“Ah, bayaranmu?” potong Malik lagi, ia mendengus kasar, lalu masuk ke kamarnya dan kembali lagi tak lama kemudian.Ia melemparkan amplop berisi sejumlah uang ke atas meja. “Ambil dan keluar sekarang!”Risa tak bisa membantah perintah ‘kliennya’ itu sekalipun ia khawatir dengan kondisi emosi Malik. Ia segera mengambil amplop tersebut dan memastikan isinya sudah sesuai kesepakatan. Kemudian tersenyum puas.“Terima kasih. Kalau kamu butuh bantuanku, hubungi aku lagi saja.”Malik tidak memberi tanggapan apapun, sampai akhirnya Risa pergi dari hadapannya dan sempat memakai
“Gimana? Kamu tertarik jadi pembalap?”“Sempat berpikir sih buat jadi pembalap, tapi aku sudah tahu jalan hidupku bakal kayak apa kalau dewasa nanti. Papi selalu bilang aku yang bakal gantiin dia duduk di 'kursinya'.”Malik tersenyum kecil seraya menyerahkan minuman kaleng kepada Ernest, lalu ia duduk di samping anak muda itu. Malik sudah tahu jawaban yang akan keluar dari mulut Ernest seperti itu. Ia bertanya hanya sekadar basa-basi saja.Beberapa saat yang lalu Malik baru selesai mengajari Ernest bagaimana menjadi seorang pembalap. Bahkan Ernest sempat mencoba mengendarai motor khusus untuk balapan dan dia terlihat antusias.Tidak sulit mengajari Ernest, karena dia sudah bisa mengendarai motor sport sebelumnya. Dan kini mereka sedang duduk di tribun, di sirkuit yang ada di daerah Bogor.“Papimu ingin yang terbaik buat kamu, Ernest.” Malik menepuk pundak laki-laki berusia tujuh belas tahun itu.“Well, yeah! Dan untuk kesejahteraan perusahaan juga,” jawab Ernest sembari merotasi matan