Malik Cowok Kulkas: Tempat kerja kamu ada di Jakarta Selatan, kan? Kebetulan aku lagi ada di sini, mau ketemu?Malik Cowok Kulkas: Aku jemput ke kantor kamu, ya?Malik Cowok Kulkas: Aku… merindukanmu.“Aaaah!”Kimberly sontak memekik terkejut begitu membaca pesan terakhir Malik. Sampai-sampai ia nyaris terjatuh dari kursinya saking kaget.Dia merindukanku?Kimberly membatin sambil melongo pada layar ponsel. Jantungnya seketika berdegup kencang, ribuan kupu-kupu terasa beterbangan di perutnya.Dengan jemari bergetar ia membalas pesan Malik. Kimberly meminta agar mereka bertemu di dekat sebuah toko roti dengan alasan ingin membeli roti dulu di sana. Kimberly belum memberitahu Malik bahwa perusahaan tempatnya bekerja adalah Tiger Corp.Tepat pukul tiga, Kimberly bergegas merapikan mejanya dan meja sang CEO yang kebetulan pemiliknya sedang keluar sejak siang tadi bersama Vicky. Jadi Kimberly tak usah repot-repot izin pada ayahnya itu.Sore itu Kimberly memilih menumpangi taksi dan meminta
Malik memandangi cincin putih berpermata satu yang sedang ia pegang dengan ibu jari dan jari telunjuk.Bibirnya mengulas senyum kecil, ia penasaran akan seperti apa reaksi Kimberly nanti setelah ia memberikan cincin ini kepadanya?Namun sampai saat ini Malik belum menemukan waktu yang tepat.Hanya saja ia merasa tak bisa menunda terlalu lama. Dua minggu lagi ia akan kembali ke Andorra. Dan sebelum itu, ia harus mengatakan perasaannya yang sesungguhnya kepada Kimberly, terlepas dari Kimberly akan menerimanya atau tidak.“Cincin buat siapa? Kimberly?”Pertanyaan Arsya yang baru saja duduk di hadapannya membuat Malik seketika mendongak dan tersenyum pada adiknya itu.“Gimana menurutmu? Cantik?” tanya Malik, hanya untuk memastikan cincin pilihannya tidak salah dan benar-benar disukai wanita.Arsya tersenyum, mengamati cincin di tangan Malik sebentar, lalu mengangguk. “Cantik dan mewah,” pujinya, “aku yakin Kimberly akan suka.”Tidak perlu pusing memikirkan untuk siapa cincin itu, Arsya bi
“Halo? Malik, kenapa diam aja? Atau emang teleponnya nggak ada suaranya?” tanya Kimberly saat ia tak kunjung mendengar suara Malik di ujung sana.“Iya, aku dengar.”Kimberly mengurungkan niatnya untuk menutup sambungan telepon—karena ia pikir sedang ada gangguan, tatkala Malik akhirnya bersuara.“Kalau dengar kenapa diam aja dari tadi?” gerutu Kimberly sembari menyuruh sopir agar keluar dari mobil, yang baru saja berhenti di depan rumah orang tuanya.“Nggak apa-apa, cuma sedang meresapi suara kamu yang bikin aku… semakin rindu.”Ya Tuhan… pipi Kimberly seketika berubah merah seolah-olah aliran darah mengalir deras ke wajahnya itu.Ia mengulum senyum, menunduk malu meski Malik tak ada di hadapannya. Entah ke mana perginya kata-kata dingin dan pedas yang dulu sering Malik lontarkan kepadanya. Kini mulutnya berubah menjadi semanis madu.“Jangan bikin anak orang jadi ge-er, Malik. Kalau aku masuk ICU karena sesak napas, gimana coba?” kelakar Kimberly.Malik tertawa kecil. “Gampang, kok. N
“Apa yang harus aku lakukan?” gumam Kimberly seraya menutupi wajahnya dengan bantal.“Nggak ada cara lain lagi selain kamu ngaku, Kim.” Deby menatap cemas pada sahabatnya yang sejak datang ke rumahnya, terus murung dan bengong seperti orang kesambet. “Itu satu-satunya cara supaya nanti Malik nggak marah ke kamu. Kalau kamu jelasin semuanya, aku yakin dia bakal ngerti kok.”Kimberly memejamkan mata di bawah bantal, membiarkan rongga dadanya yang sudah sesak, kini semakin sesak karena kurangnya pasokan oksigen.“Kamu yakin dia nggak bakal marah, By?” Suara Kimberly terdengar teredam.“Yakin sembilan puluh persen,” jawab Deby, yang sebenarnya keyakinannya itu fifty-fifty karena Kimberly sudah membohongi Malik terlalu jauh. Namun tak mungkin Deby menakut-nakuti Kimberly mengenai keyakinannya itu. “Jangan ditunda-tunda lagi, Kim. Lagian kenapa sih kamu nggak jujur aja sama dia dari awal? Ya minimal mata kamu nggak usah ditutupi gitu pake softlens hitam di depan Malik.”Kimberly melepaskan
Kimberly duduk memeluk lutut, bersandar pada pintu kamarnya sambil menggigit bibir bawah dengan perasaan tak karuan.Setelah Malik melepaskan jabatan tangannya tiga puluh menit yang lalu, Kimberly langsung bergegas masuk ke kamar dan mengurung diri. Ia tak sanggup berlama-lama ada di dekat Malik.Dadanya terasa sesak, Kimberly tidak bisa membaca apakah Malik marah kepadanya atau tidak.Namun, tatapan tajam yang sempat Malik layangkan kepadanya membuat Kimberly merasa yakin jika pria itu marah.Kimberly membenamkan wajahnya di atas lutut, matanya berkaca-kaca.Andai saja bisa, ia ingin berharap bahwa ini hanyalah mimpi. Lalu ia akan terbangun dalam situasi seperti semula—di mana Malik belum tahu siapa dirinya, biar Kimberly yang memberitahu mengenai kebohongannya. Dengan begitu semuanya tidak akan menjadi serumit sekarang.Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Kimberly hanya bisa berharap pria itu mau mendengarkan penjelasan darinya, nanti.“Sayang, sudah mandinya, Nak? Kita makan dulu yuk
Malam itu Kimberly tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah, berguling ke kiri dan kanan seolah tak menemukan kenyamanan dalam tidurnya.Ia juga sudah berusaha menghubungi nomor telepon Malik berulang kali, tapi panggilannya dialihkan. Pesannya hanya centang satu. Ketakutan Kimberly semakin menyeruak di dalam hatinya, ia takut Malik marah dan kecewa hingga pria itu tidak mau memaafkannya.Kimberly menghabiskan malam itu dengan melamun sendirian sambil bersandar pada headboard ranjang. Hingga pukul tiga dini hari akhirnya matanya mau terpejam dan ia terlelap. Lalu alarm memaksanya bangun pukul delapan pagi, tapi Kimberly kehilangan semangat untuk menjalani akhir pekannya.Tiba-tiba Kimberly ingat bahwa ia memiliki janji bertemu dengan Malik di sebuah café pagi ini—yang ia rencanakan kemarin siang di telepon bersama Malik, akhirnya Kimberly terpaksa menyeret langkahnya ke kamar mandi dengan gontai.Tubuhnya terasa jauh lebih segar setelah mandi. Ia sarapan bersama orang tua dan adiknya. B
“Apa Neverland mau terima tawaran kerjasama kita? Saya dengar, CEO Neverland jarang terjun langsung ke lapangan. Dia selalu mengutus sekretarisnya dalam hal apapun,” ujar Kimberly.Ia mendecak lidah, bersandar di punggung kursi sambil geleng-geleng kepala. “Biar saya tebak, kemungkinan besar CEO Neverland adalah anak yang lahir dengan sendok emas. Dia nggak pernah bekerja, alias selalu makan gaji buta. Atau mungkin dia nggak mampu jadi CEO, makanya selalu mengandalkan sekretarisnya.”Di sampingnya, Archer terkekeh-kekeh mendengar celotehan sekretaris sekaligus putrinya itu.“Kamu akan terkejut setelah tahu siapa pemilik sekaligus CEO Neverland, Kimberly,” ujar Archer, menyebut nama Kimberly dengan formal di saat jam kerja seperti saat ini.“Anda sudah bertemu sebelumnya dengan orang itu?”“Hm. Dua kali.” Archer mengangguk, tersenyum penuh arti pada Kimberly.Perempuan berpakaian formal itu pun mengesah panjang. “Wow! Dua kali dan Anda sama sekali nggak memberitahu saya?” gerutunya den
Malik tidak berbicara apa-apa. Ia hanya menatap Kimberly yang mengolesi lukanya dengan cairan antiseptik, lalu menutupinya dengan plester.“Sulit banget ya buat jawab pertanyaan aku?” tanya Kimberly saat Malik tak kunjung menjawab pertanyaannya mengenai penyebab luka di tangan pria itu.Kimberly tidak tahu, bahwa sebenarnya luka itu akibat Malik menonjok dinding dan kaca hingga pecah, di rumahnya. Dan Kimberly-lah yang menjadi penyebab emosi Malik tak terkendali.“Bukan sesuatu yang penting yang harus kamu tahu,” jawab Malik dengan ekspresi dingin.Kimberly menggigit bibir bawahnya, ia tidak suka dengan suasana canggung dan mencekam seperti ini.“Beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya padamu,” gumam Kimberly seraya menarik tangannya setelah selesai menempelkan plester di tangan Malik. “Kalau memang kamu nggak mau lama-lama berbicara sama aku, seenggaknya beri waktu aku sepuluh menit. Nggak-” Kimberly menggeleng cepat. “Maksudku lima menit. Itu sudah lebih dari cukup.”Satu sudut bi
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”