Setelah berbincang cukup lama, Feli akhirnya menyuruh Malik agar rebahan di kasur dan istirahat. Feli melihat sorot mata Malik tampak lelah tapi anak itu tidak mengeluh dan tetap mendengarkan serta menanggapi celotehan Kimberly yang tanpa titik koma. Padahal baru dua kali bertemu, tapi Kimberly sudah mau cerita panjang lebar dengan Malik. Kimberly yang bawel dan Malik yang tipe pendengar, mereka terlihat cocok sebagai teman atau saudara, pikir Feli. Yang tentu saja jika pemandangan itu dilihat Archer, maka ekspresi suaminya itu akan langsung mengeras. “Tante, boleh aku ketemu Om Archer?” Feli mengangguk seraya menarik selimut hingga menutupi dada Malik. “Om Archer memang akan menemui kamu, tapi gantian dengan Tante. Sekarang Om lagi jagain Ernest.” Malik mengangguk mengerti. “Ada sesuatu yang mau kamu bicarain ke suami Tante?” Sekali lagi Malik mengangguk. “Aku… mau ceritain apa yang sempat Om Archer minta waktu itu.” Feli paham, Malik sudah bersedia menceritakan mengenai kehid
Malam itu langit tampak cerah. Feli tersenyum lebar seraya memandangi kerlap-kerlip dari puluhan kunang-kunang yang beterbangan di hadapannya. “Kenapa bisa ada kunang-kunang di sini?” gumamnya, tangannya ingin menangkap kunang-kunang itu tapi dia urungkan. Kasihan. Biarkan kunang-kunang terbang dengan bebas, sesuai takdir hidupnya. “Gimana? Kamu suka?” “Astaga…!” pekik Feli saat sebuah lengan kekar tiba-tiba memeluk perutnya dari belakang, ditambah lagi suaranya yang dalam dan berat, membuat Feli sempat berpikir bahwa lelaki itu adalah penjahat atau pencuri yang menyusup ke dalam rumah. Namun, dengan cepat Feli mengenali aroma tubuh sang suami yang begitu harum memabukkan. Suaminya itu baru saja pulang ke rumah dan tadi siang dia sempat izin akan pulang telat untuk mengurus masalah panti asuhan itu. “Kebiasaan deh, ngagetin!” desis Feli dengan galak. “Jadi gimana? Suka nggak kunang-kunangnya? Kamu belum jawab pertanyaanku.” Feli sedikit menggeliat ketika merasakan sesuatu yang
Hari ini adalah hari diputuskannya hukuman untuk Eden di pengadilan atas kejahatan yang dia lakukan. Namun, baik Feli maupun Archer, keduanya sama-sama tidak datang ke pengadilan dan memilih menunggu kabar dari Vicky.Mereka berdua pergi ke rumah sakit untuk menjemput Malik yang sudah dibolehkan pulang oleh dokter. Bik Ijah membantu merapikan barang-barang yang akan dibawa pulang.“Aku sudah boleh pulang, Tante?” tanya Malik dengan wajah ceria setelah dokter meninggalkan ruangan tersebut.Feli mengangguk. “Iya, kondisi kamu sudah mulai pulih dan boleh pulang,” jawabnya lembut.Keceriaan di wajah Malik seketika hilang, dia menunduk, iris mata hitamnya tampak sendu seraya menatap selimut di hadapannya. Malik tidak punya tujuan untuk pulang. Kalau boleh, dia ingin menginap di rumah sakit saja lebih lama lagi sembari memikirkan ke mana ia harus pulang dan pekerjaan apa yang bisa menghasilkan uang untuk anak seusianya.Feli yang menyadari perubahan raut muka Malik pun segera memeluk anak i
“Oh My God!!!”Bik Ijah terkesiap sambil berseru menirukan gaya orang Barat saat sedang terkejut. Kantong kresek berisi baju kotor Malik di tangannya terlempar keluar pintu. Matanya membelalak melihat kedua majikannya sedang berciuman di tangga. Spontan ia membalikkan tubuh dan menutupi mata dengan telapak tangan.“Ada apa, Ijah? Ngapain berhenti di sini?”“Ssstt!” Bik Ijah menempelkan ibu jari di mulut satpam yang akan mengantarkan barang belanjaan ke dapur. “Jangan berisik! Sana keluar lagi. Simpan aja belanjaannya di situ!” tunjuknya ke arah dekat pintu.“Lah, tadi nyuruh saya bawa ini. Katanya capek dan barangnya berat, sekarang malah ngusir. Gimana, sih?”“Sudah sana! Jangan berisik. Nanti kamu dipecat sama Tuan. Mau?”Pria berkumis itu garuk-garuk kepala. “Saya nggak punya salah, ngapain dipecat?”“Pokoknya pergi dari sini sekarang. Nurut aja sama aku.”Bik Ijah berdecak lidah. Dia membalikkan tubuh satpam itu dan mendorongnya keluar sekuat tenaga.Setelah kepergian satpam, sudu
Selesai makan siang Kimberly masih saja cemberut dan marah kepada ayahnya dan Malik. Meski begitu, Kimberly sempat memakan habis brokolinya karena ia selalu diajarkan untuk tidak menyisakan makanan.“Maaf, dia marah gara-gara aku,” aku Malik dengan tatapan bersalah, kepalanya tertunduk lesu di depan Archer yang sedang minum kopi di meja makan, serta Feli yang tengah mengupas apel.“Tadinya aku mau ngajak dia bercanda, biar dia mau makan brokoli, tapi aku malah membuat dia kecewa.”“Udah, nggak usah dikhawatirin, ya,” ujar Feli lembut. “Kimmy anaknya memang sangat sensitif, Malik. Dan kami sudah biasa dengan sifatnya yang seperti itu. Kamu jangan merasa bersalah begitu. Hm?”Mata Malik mengerjap. “Sensitif?”“Iya.” Archer menjawab setelah menaruh cangkir kopi di atas tatakan. “Perasaannya memang sangat halus. Kalau sedikit saja hatinya tergores, ya bakalan seperti sekarang. Ngambek dan sulit diajak baikan,” ujarnya, terkekeh kecil. Putrinya itu memang unik. Tak jauh berbeda dengan istr
Feli membawa nampan berisi teh kamomil hangat dan cookies kesukaan Archer, ke ruangan kerja suaminya itu. Dia mendorong pintu perlahan dan melongokan kepala. Terlihat pria itu sedang memegangi mouse dengan tatapan fokus ke layar MacBook.Seolah menyadari kehadiran seseorang, mata elang pria itu beralih ke arah pintu.Feli tersenyum kecil dan berbisik, “Boleh aku masuk?”Alih-alih menjawab, Archer justru malah bangkit berdiri dan menghampiri Feli, membuat Feli mengerjapkan mata dan tak enak hati sudah mengganggu konsentrasi sang suami.“Harus aku tegaskan berapa kali lagi supaya kamu sadar kalau aku ini milikmu sepenuhnya, hem?” ujar Archer seraya membuka pintu lebar-lebar, sehingga bukan hanya kepala saja yang terlihat, tapi seluruh tubuh istrinya terpampang di depan mata. “Nggak usah izin-izin lagi. Kamu boleh sesuka hati melakukan apa yang kamu suka padaku.”“Ish! Nggak bisa begitu,” sanggah Feli, dia tidak menolak ketika Archer mengambil alih nampan dari tangannya. “Kamu juga punya
“Aku akan pergi hari ini.”Malik duduk di samping Kimberly, ucapannya barusan membuat anak perempuan yang rambutnya digerai itu seketika melemparkan boneka kuda poni di tangannya. Kimberly menoleh, menatap Malik dengan mata membulat jernih.“Kak Malik mau pergi ke mana?”Malik tersenyum. “Ke tempat aku akan tinggal nanti.”“Rumah Kak Malik?”“Bukan.” Anak berusia sepuluh tahun itu menggelengkan kepalanya, membuat rambutnya yang hitam lurus ikut bergerak. “Tapi ke panti asuhan.”Kimberly yang sudah tahu apa itu panti asuhan karena sering diajak orang tuanya saat donasi, langsung cemberut dan membuang muka dari Malik.Malik tampak terkejut melihatnya. Dia berpindah posisi duduk ke sisi yang dipandangi Kimberly, tapi Kimberly langsung membuang muka lagi ke arah lain.“Hey… kenapa kok ngambek?” Jemari Malik mengacak rambut halus anak itu.“Kenapa Kak Malik harus pergi, sih?! Kenapa nggak tinggal aja di sini? Kan kamar tamu kosong, kalau Kakak takut tidur sendirian di kamar itu, Kakak bisa
Proses penyerahan Malik ke pihak terkait berlangsung sangat mengharukan. Padahal pertemuannya dengan Malik bisa dihitung dengan jari, tapi Feli merasa berat melepas anak malang itu.Bahkan Kimberly ‘ngambek’ dan menangis sebelum turun dari mobil, tapi setelah Malik berjanji akan datang untuk menemuinya dan akan memberikan risol suatu saat nanti, Kimberly pun berhenti menangis dan merelakan kepergiannya. Sementara itu, air muka Archer tampak biasa-biasa saja. Namun dari sorot matanya, Feli bisa melihat kalau pria itu pun merasa sedih. Hanya saja rasa gengsi Archer yang setinggi langit, membuatnya menyembunyikan perasaannya itu. “Om, Tante, sekali lagi… terima kasih banyak.” Malik tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca, menatap Feli dan Archer bergantian. “Semoga Tuhan membalas semua kebaikan keluarga Om Archer.” Feli mengaminkan. Dia memeluk Malik cukup lama seraya mengelus-elus punggung kurusnya. Kemudian melepaskannya lagi dan berkata, “Tante yakin, kamu akan menjadi orang sukse
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”