Archer hanya tersenyum menanggapi ucapan istrinya yang sedang memelotot ke arahnya. Tangan Archer terulur, mengusap puncak kepala Feli.“Kenapa nggak jawab?” desak Feli tak sabar. “Jangan-jangan tebakanku benar. Iya?”“Di antara klien terdekatku, Erlangga Group adalah yang terbaik, Sunshine. Itu akan bagus untuk masa depan Kimmy.”“Tapi Kimmy masih kecil! Astaga…!” Mata Feli merotasi malas. Dia memukul dada suaminya dan kembali berkata dengan jengkel, “Jangan cuma mikirin masalah bisnis, pikirin juga perasaan Kimmy kalau udah dewasa nanti. Dia mau atau nggak.”“Iya, Cinta, iya,” ujar Archer lembut seraya mengelus-elus punggung Feli dengan telapak tangannya. “Kan ini baru rencana, belum resmi karena mereka memang sama-sama masih kecil.”Feli tidak bisa lagi menanggapi ucapan suaminya karena Tuan Erlangga bersama keluarganya sudah menghampiri mereka.Archer dan Feli menyalami Nyonya Erlangga yang rambutnya sudah sama-sama memutih. Lalu berikutnya menjabat tangan anak dan menantunya. Ter
Open house itu diadakan di kediaman Tuan Erlangga sendiri. Tidak begitu banyak tamu yang hadir. Erlangga hanya mengundang klien terdekatnya saja. Salah satunya adalah Archer.Selama acara, Archer tidak membiarkan anak dan istrinya jauh-jauh darinya. Hanya Kimberly yang ikut, sementara Ernest kembali dititipkan kepada Leica.Perjamuan makan malam itu sangat meriah. Feli pikir, perihal perjodohan itu tidak akan dibahas lagi malam ini. Namun Feli kecele. Tuan Erlangga sendiri yang mulai membahas hal tersebut kepada mereka berdua, seolah-olah pria paruh baya itu yang paling ‘ngebet’ untuk menjodohkan cucunya dan Kimberly.Astaga. Padahal mereka masih anak-anak!Jika boleh berbangga, Feli sangat bangga kepada suaminya karena Archer adalah pengusaha termuda yang sukses—di antara semua yang hadir di acara malam ini. Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa Tuan Erlangga ingin sekali besanan dengan Archer.“Saya ini sudah tua. Makanya mumpung saya masih sehat, saya mau mengurus segala sesu
Feli terperangah mendengar keinginan Archer.Memang sesayang itu Archer pada Kimberly. Oh, begitupun kepada Ernest, tentu saja. Feli bersyukur karena dikaruniai lelaki yang penyayang, terlepas dari apa yang pernah pria itu lakukan kepadanya. Biarlah, masa lalu tidak perlu dibahas lagi. Toh, Feli juga sudah merelakan semuanya.Setibanya di panti asuhan, Feli menghela napas lega karena ternyata para penghuninya belum tidur. Sepertinya mereka sedang ada acara. Aula terlihat ramai dan terdengar gelak tawa anak-anak dari dalam sana.Seorang satpam menyambut mereka dan mengantarnya ke ruangan pengelola.Saat sedang berjalan melewati Aula, Feli sempat melihat apa yang sedang dilakukan anak-anak di dalam sana.“Sedang ada artis yang melakukan charity, Bu. Kebetulan acaranya malam hari, dan sebenarnya itu sudah selesai lima menit yang lalu,” jelas pak satpam, seolah-olah dia mengerti rasa ingin tahu dalam benak Feli.Feli manggut-manggut paham. Pandangannya mengedar ke sekeliling ruangan, beru
Keinginan Feli untuk menambahkan Malik menjadi anggota baru di dalam kartu keluarganya masih saja sebesar gunung.Kalau sudah menyangkut keinginan sang istri, Archer tidak bisa menolak. Ia akan melakukannya jika itu memang membuat Feli bahagia.Dua minggu kemudian mereka datang kembali ke panti asuhan dan menyampaikan niat baik mereka kepada ketua panti untuk mengadopsi Malik.Hanya saja Feli tidak memaksa, ia akan menyerahkan seluruh keputusannya kepada Malik.Jika Malik mau, maka Feli akan merasa bahagia dan berjanji akan membesarkan anak itu layaknya anak kandung sendiri.Namun, jika Malik menolak, itu tidak akan jadi masalah meski nantinya ada sedikit rasa kecewa di hati Feli. Ia akan terus mendukung Malik dan tetap menyayanginya.Kini, Archer dan Feli mengajak Malik mengobrol bertiga di sebuah restoran dekat panti asuhan sembari makan siang.Setelah mereka menghabiskan makanan di piring masing-masing, barulah Feli menyampaikan keinginannya kepada Malik. Tanpa ada paksaan dalam ka
“Adek…! Kamu di mana, Dek? Jangan bercanda dong! Ayo keluar! Kakak capek nih nyari-nyari kamu!”Teriakan Kimberly yang melengking nyaring, membuat mata Archer dan Feli sontak terbuka hingga tautan bibir mereka terlepas.“Ernest bangun?” tanya Archer dengan napas sedikit terengah, tatapan sayunya memandangi Feli yang tengah ia penjarakan di dinding.“Iya, sepertinya dia bangun. Astaga anak itu!” gerutu Feli sembari menghela napas berat. “Padahal baru tidur setengah jam yang lalu, lho. Sebentar, aku lihat mereka dulu, ya.”“Terus nasib aku gimana, Sunshine?” keluh Archer seraya menunjuk anggota tubuh di bagian bawahnya dengan dagu. Raut wajahnya tampak memelas.Feli merasa geli sekaligus kasihan melihat ekspresinya.“Sabar ya, Papi. Mungkin sekarang belum saatnya. Kita cari waktu yang tepat, ya, biar sama-sama nyaman.” Feli terkekeh seraya menepuk-nepuk rahang sang suami dengan pelan. Kemudian membetulkan kancing kemejanya yang terbuka dan bergegas keluar dari kamar.“Damn!”Archer hany
“Emang siapa yang lagi nyindir kamu?”“Tatapan kamu itu bikin aku ngeri, Sunshine,” Archer mendekatkan kursinya semakin rapat dengan Feli.Lantas dirangkulnya bahu sang istri mesra. Kepala Feli bersandar ke bahunya, sementara tatapan mereka berdua tertuju ke arah tenda yang pintunya terbuka.“Yang kasihan itu laki-laki yang baik dan setia, Sunshine,” lanjut Archer, “kesetiaan mereka seolah tertutupi oleh sejumlah laki-laki yang nggak bertanggung jawab dan nggak cukup dengan satu wanita. Jadi para wanita di luar sana kehilangan kepercayaan mereka kepada lelaki dan menganggap bahwa semua lelaki itu sama saja, padahal nggak. Masih banyak lelaki yang baik dan setia, kok. Contohnya aku.”“Dih!” cibir Feli seraya mencubit paha Archer dengan cubitan kecil, membuat pria itu meringis sakit. “GR banget, Pak. Nggak ada tuh orang baik nganggap dirinya baik.”“Ada. Aku orangnya.”“Bukan cuma aku, nih semut di kaki kamu aja mual dengernya, Yang,” kelakar Feli, yang membuat Archer tergelak.Keduanya
15 tahun kemudian.Seorang gadis bermata hazel melangkah dengan anggun menyusuri lorong apartemen. Bibir merah chery-nya tersenyum merekah. Senyuman yang mampu meruntuhkan iman lelaki manapun yang menatapnya.Matanya berbinar-binar, tampak sebening kristal. Rambut berwarna coklat gelap di bagian atas dan pirang di ujungnya itu tergerai sepunggung.Dia Kimberly.Anak yang dulu cengeng dan manja kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik jelita. Juga didukung dengan postur tubuhnya yang semampai.Di usianya yang ke 21 tahun, Kimberly sudah menyelesaikan program sarjana. Sekarang dia bekerja menjadi sekretaris sang ayah.Oh, tentu saja itu atas permintaan ayahnya sendiri. Archer tidak mengizinkan Kimberly bekerja di tempat lain. Pria berusia 45 tahun itu sangat protektif. Dengan Kimberly bekerja bersamanya dan terlihat di depan mata, Archer merasa lebih tenang karena bisa memantau putrinya setiap saat.“Semoga dia suka kuenya,” gumam Kimberly seraya memandangi kue tart dengan
“Aneh kamu. Cewek lain pengen cantik, kamu malah pengen jadi jelek.”“Aku cuma butuh cinta sejati yang benar-benar tulus cinta sama aku, By. Bukan cinta karena alasan cantik atau duit doang,” keluh Kimberly seraya melirik Deby—sahabatnya yang duduk di sampingnya. "Kalau alasan laki-laki milih perempuan karena cantik, dia akan langsung pergi setelah menemukan yang jauh lebih cantik.""Berarti laki-laki itu emang bukan jodoh kamu, Kim. Kalau jodoh, mau kamu kayak nenek sihir sekalipun, kalian akan tetap bersama dan di matanya kamu yang paling cantik."Pandangan Kimberly beralih lagi ke cermin di hadapannya. Ia tidak buta, wajahnya memang cantik dan pengakuan itu diperkuat oleh pujian dari orang-orang di sekitarnya. Yang terkadang membuat Kimberly muak karena mereka terlalu berlebihan memuji.Memiliki wajah cantik ternyata menjadi malapetaka bagi Kimberly, setidaknya itulah yang Kimberly pikirkan saat ini. Sehingga, setelah dua malam mengurung diri di kamar usai memergoki Marco, Kimberly
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”