“Emang siapa yang lagi nyindir kamu?”“Tatapan kamu itu bikin aku ngeri, Sunshine,” Archer mendekatkan kursinya semakin rapat dengan Feli.Lantas dirangkulnya bahu sang istri mesra. Kepala Feli bersandar ke bahunya, sementara tatapan mereka berdua tertuju ke arah tenda yang pintunya terbuka.“Yang kasihan itu laki-laki yang baik dan setia, Sunshine,” lanjut Archer, “kesetiaan mereka seolah tertutupi oleh sejumlah laki-laki yang nggak bertanggung jawab dan nggak cukup dengan satu wanita. Jadi para wanita di luar sana kehilangan kepercayaan mereka kepada lelaki dan menganggap bahwa semua lelaki itu sama saja, padahal nggak. Masih banyak lelaki yang baik dan setia, kok. Contohnya aku.”“Dih!” cibir Feli seraya mencubit paha Archer dengan cubitan kecil, membuat pria itu meringis sakit. “GR banget, Pak. Nggak ada tuh orang baik nganggap dirinya baik.”“Ada. Aku orangnya.”“Bukan cuma aku, nih semut di kaki kamu aja mual dengernya, Yang,” kelakar Feli, yang membuat Archer tergelak.Keduanya
15 tahun kemudian.Seorang gadis bermata hazel melangkah dengan anggun menyusuri lorong apartemen. Bibir merah chery-nya tersenyum merekah. Senyuman yang mampu meruntuhkan iman lelaki manapun yang menatapnya.Matanya berbinar-binar, tampak sebening kristal. Rambut berwarna coklat gelap di bagian atas dan pirang di ujungnya itu tergerai sepunggung.Dia Kimberly.Anak yang dulu cengeng dan manja kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik jelita. Juga didukung dengan postur tubuhnya yang semampai.Di usianya yang ke 21 tahun, Kimberly sudah menyelesaikan program sarjana. Sekarang dia bekerja menjadi sekretaris sang ayah.Oh, tentu saja itu atas permintaan ayahnya sendiri. Archer tidak mengizinkan Kimberly bekerja di tempat lain. Pria berusia 45 tahun itu sangat protektif. Dengan Kimberly bekerja bersamanya dan terlihat di depan mata, Archer merasa lebih tenang karena bisa memantau putrinya setiap saat.“Semoga dia suka kuenya,” gumam Kimberly seraya memandangi kue tart dengan
“Aneh kamu. Cewek lain pengen cantik, kamu malah pengen jadi jelek.”“Aku cuma butuh cinta sejati yang benar-benar tulus cinta sama aku, By. Bukan cinta karena alasan cantik atau duit doang,” keluh Kimberly seraya melirik Deby—sahabatnya yang duduk di sampingnya. "Kalau alasan laki-laki milih perempuan karena cantik, dia akan langsung pergi setelah menemukan yang jauh lebih cantik.""Berarti laki-laki itu emang bukan jodoh kamu, Kim. Kalau jodoh, mau kamu kayak nenek sihir sekalipun, kalian akan tetap bersama dan di matanya kamu yang paling cantik."Pandangan Kimberly beralih lagi ke cermin di hadapannya. Ia tidak buta, wajahnya memang cantik dan pengakuan itu diperkuat oleh pujian dari orang-orang di sekitarnya. Yang terkadang membuat Kimberly muak karena mereka terlalu berlebihan memuji.Memiliki wajah cantik ternyata menjadi malapetaka bagi Kimberly, setidaknya itulah yang Kimberly pikirkan saat ini. Sehingga, setelah dua malam mengurung diri di kamar usai memergoki Marco, Kimberly
“Sayang, apa kita izinin aja Kimmy, ya? Dia udah tiga hari lho nggak keluar kamar dan nggak makan dengan betul.”Feli duduk di lengan sofa, tepat di samping Archer. Dia merangkul bahu sang suami dan memberinya pijatan lembut.Mendengarnya, Archer hanya menghela napas panjang. Kemudian diraihnya tangan sang istri dan ditariknya agar pindah duduk ke atas paha. Feli menurut, ia duduk menyamping seraya memeluk leher Archer.“Gimana menurutmu?” susul Feli kemudian. “Kita kasih izin aja. Ya?”“Tapi aku nggak bisa, Sunshine. Ngebiarin dia ke luar kota sendiri aja aku sampai nggak bisa tidur berhari-hari. Apa lagi ini ke luar negeri. Spanyol pula. Bisa-bisa aku gila terus-menerus mikirin anak itu,” gerutu Archer dengan tatapan resah.Sebagai seorang ayah yang sudah memiliki pengalaman hidup dan tahu bagaimana mengerikannya dunia di luar sana, membuatnya selalu ingin melindungi Kimberly dan memastikan putrinya itu selalu aman dan nyaman.“Iya, aku juga tahu itu,” sahut Feli lembut. “Awalnya ak
Madrid menjadi destinasi pertama yang Kimberly kunjungi setelah menempuh perjalanan udara selama 16 jam.Ini bukan pertama kalinya dia pergi ke luar negeri. Minimal satu tahun dua kali keluarganya pergi berlibur ke negara-negara favorit.Namun, liburan kali ini Kimberly merasakan sensasi berbeda. Dari mulai naik pesawat komersil sendiri, makan di restoran pun sendirian dan pergi ke tempat wisata di Madrid mengandalkan map digital serta informasi dari Nancy.Sejauh ini Kimberly merasa baik-baik saja dan sangat antusias. Dia tidak tersesat. Komunikasi dengan warga lokal pun lancar-lancar saja. Tidak lupa dia memberi kabar kepada orang tuanya. Telat sedikit saja ayahnya sudah uring-uringan.Di lehernya menggantung kamera DSLR. Walaupun kamera ponselnya sudah canggih, tapi rasanya kurang afdol kalau liburan tidak menggunakan kamera DSLR, pikir Kimberly.Cuaca sudah mulai dingin di Madrid. Dia mengenakan setelan musim dingin dengan coat warna hitam dan boot selutut.“Kimmy?!”Seruan seoran
“Nona, ada yang bisa kami bantu?”Kimberly terkejut ketika dua lelaki berwajah khas Eropa itu menghampirinya. Mungkin mereka harus memastikan kalau Kimberly bukan orang yang berniat jahat kepada pembalap mereka.“Ti-tidak! Saya… saya hanya sedang lewat,” tukas Kimberly menggunakan bahasa Inggris. Ia menatap pembalap yang tak beranjak sedikit pun dari tempatnya, yang juga tengah menatap Kimberly.Ia lalu berseru sok akrab sembari melambaikan tangan pada lelaki itu, “Halo! Kamu dari Indonesia, ya? Nggak nyangka banget ada pembalap dari Indonesia di sini. Kamu keren banget tadi! Good job! Tetap semangat, ya!”Kimberly SKSD sambil terkekeh kering, padahal dia sama sekali tidak tahu bagaimana performa lelaki itu saat di sirkuit tadi. Jangankan performa, yang mana dan nomor berapa motornya saja Kimberly tidak tahu.Yah… kadang basa-basi itu memang penting. Sebagai sesama orang Indonesia yang bertemu di negara orang, apa salahnya saling sapa?Pria itu mengangkat satu alisnya, lalu membalas l
Ia berjongkok, mencari tasnya di bawah kursi. Barangkali saja terjatuh saat ketiduran barusan.Tidak ada.Kimberly semakin panik.Sekali lagi ia mengecek ke bawah, lalu ke kursi belakang dan depan. Tetap tidak ada.Lutut Kimberly mendadak lemas, wajahnya pucat. Semua dokumen penting miliknya ada di situ, paspor dan visa juga di situ. Dompet berisi uang tunai, kartu identitas dan kartu debet juga kredit pun ada di dalam tas tersebut.Dan sialnya lagi, tadi ia memasukkan ponsel miliknya ke tas itu sebelum ketiduran.Sang sopir kembali menghampirinya dan bertanya apa yang terjadi."Pak, apakah Anda lihat tasku?" tanya Kimberly, panik."Tas? Kau kehilangan tas?"Kimberly mengangguk cepat. "Tadi, sebelum ketiduran tas itu masih ada di pangkuanku. Lalu barusan... aku baru sadar tasnya sudah tidak ada." Kemudian ia menyebutkan warna dan bentuk tas miliknya itu, berharap sang sopir mau membantunya mencarikan.Setelah mendengar ciri-ciri tas tersebut, pria berkulit putih itupun menghela napas
Pria yang mengenakan coat coklat muda selutut itu mengangkat sebelah alisnya, saat Kimberly sudah berdiri di hadapannya sambil mengerjap-ngerjapkan mata yang terasa perih karena terkena sapuan udara dingin.“Kamu masih mengingatku, ‘kan?” tanya Kimberly sekali lagi, menggunakan bahasa Indonesia. Dia tersenyum, berusaha seramah mungkin di depan pria itu supaya mau menolongnya.Kimberly mengerjapkan matanya lagi, lalu berdehem dan merasa sedikit salah tingkah saat pria berahang tegas itu hanya diam dan menatapnya dengan penuh selidik.“Nggak ingat ya? Em… itu, di Jerez, kamu sedang nelepon di lorong lalu aku menyapa kamu.” Kimberly mencoba membangun ingatan pria itu. “Ingat?”Pria itu menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku coat. “Lalu?”Kimberly mengembuskan napas lega hingga terlihat uap keluar dari mulutnya. ‘Akhirnya dia bersuara juga,’ batinnya. Suaranya berat dan dalam sebanding dengan sosoknya yang cool dan maskulin.“Saat dalam perjalanan dari Barcelona ke sini tadi siang, aku
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”