Ia berjongkok, mencari tasnya di bawah kursi. Barangkali saja terjatuh saat ketiduran barusan.Tidak ada.Kimberly semakin panik.Sekali lagi ia mengecek ke bawah, lalu ke kursi belakang dan depan. Tetap tidak ada.Lutut Kimberly mendadak lemas, wajahnya pucat. Semua dokumen penting miliknya ada di situ, paspor dan visa juga di situ. Dompet berisi uang tunai, kartu identitas dan kartu debet juga kredit pun ada di dalam tas tersebut.Dan sialnya lagi, tadi ia memasukkan ponsel miliknya ke tas itu sebelum ketiduran.Sang sopir kembali menghampirinya dan bertanya apa yang terjadi."Pak, apakah Anda lihat tasku?" tanya Kimberly, panik."Tas? Kau kehilangan tas?"Kimberly mengangguk cepat. "Tadi, sebelum ketiduran tas itu masih ada di pangkuanku. Lalu barusan... aku baru sadar tasnya sudah tidak ada." Kemudian ia menyebutkan warna dan bentuk tas miliknya itu, berharap sang sopir mau membantunya mencarikan.Setelah mendengar ciri-ciri tas tersebut, pria berkulit putih itupun menghela napas
Pria yang mengenakan coat coklat muda selutut itu mengangkat sebelah alisnya, saat Kimberly sudah berdiri di hadapannya sambil mengerjap-ngerjapkan mata yang terasa perih karena terkena sapuan udara dingin.“Kamu masih mengingatku, ‘kan?” tanya Kimberly sekali lagi, menggunakan bahasa Indonesia. Dia tersenyum, berusaha seramah mungkin di depan pria itu supaya mau menolongnya.Kimberly mengerjapkan matanya lagi, lalu berdehem dan merasa sedikit salah tingkah saat pria berahang tegas itu hanya diam dan menatapnya dengan penuh selidik.“Nggak ingat ya? Em… itu, di Jerez, kamu sedang nelepon di lorong lalu aku menyapa kamu.” Kimberly mencoba membangun ingatan pria itu. “Ingat?”Pria itu menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku coat. “Lalu?”Kimberly mengembuskan napas lega hingga terlihat uap keluar dari mulutnya. ‘Akhirnya dia bersuara juga,’ batinnya. Suaranya berat dan dalam sebanding dengan sosoknya yang cool dan maskulin.“Saat dalam perjalanan dari Barcelona ke sini tadi siang, aku
Suara dentingan air fryer membuat mata Kimberly sontak terbuka nyalang. Matanya mengerjap-ngerjap, berusaha mengumpulkan kesadaran sepenuhnya.‘Apa aku sedang bermimpi?’ batin Kimberly seraya menatap plafon warna putih.Ya, ia pasti sedang bermimpi. Sebab Kimberly ingat, tadi dirinya sedang tidur di pinggir jalan dan orang-orang yang melihatnya mungkin akan beranggapan kalau dirinya pengemis baru, imigran gelap atau apalah itu.Yang pasti, ia tidur berselimutkan udara dingin, bukan selimut abu tua yang kini tengah menyelimuti tubuhnya.Hmm… selimut ini harum sekali. Aromanya perpaduan antara musk, woody dan floral. Lalu aroma sedap seperti daging di panggang, tiba-tiba menyusup ke hidungnya dan perutnya langsung berbunyi.Tunggu!Ini terlalu nyata untuk disebut mimpi. Aroma parfum, makanan dan bunyi perutnya terdengar terlalu nyata.Sontak Kimberly bangkit duduk. Detik itu juga mulutnya ternganga begitu melihat pemandangan di sekitarnya.Bukan jalanan lengang yang gelap, pohon kering
Setelah lensa kamera DSLR-nya terpasang sempurna, Kimberly bergegas kembali ke dekat jendela seraya membawa kamera tersebut. Kemudian memotret pemandangan di luar sana berkali-kali, hingga bunyi shutter kameranya yang terdengar mengganggu membuat Malik memejamkan mata.“Boleh aku buka pintunya? Aku mau foto langsung dari luar biar nggak ada yang menghalangi pemandangannya,” pinta Kimberly tanpa ragu-ragu.“Kalau mau foto dari luar, silahkan keluar dari rumahku sambil bawa kopermu,” ujar Malik, masih dengan wajahnya yang tanpa ekspresi.“Galak banget. Padahal cuma mau minta dibukain pintu doang.” Kimberly menggerutu lalu duduk bersila di lantai vinyl sembari melihat hasil fotonya barusan.Dia berdecak kagum, bibirnya tidak berhenti menggumamkan kekagumannya, yang membuat Malik membuang napas kasar karena suara wanita itu mengganggu konsentrasinya.“Semalam kamu pingsan.”“Hah?!” Kimberly sontak mendongak, pandangan mereka bertemu dan Kimberly baru sadar mata hitam pria itu memiliki tat
“Ya. Dan semoga kita tidak bertemu lagi. Jangan khawatir, polisi pasti akan membantumu.”Dengan enggan Kimberly menganggukkan kepala. Ia menerima sejumlah uang dari Malik dan mengantonginya, tak lupa Kimberly mengucapkan terima kasih. Setidaknya, uang itu berguna untuk ongkos ke kantor polisi dan menginap di hotel bintang tiga satu malam.Kimberly menghela napas panjang, lalu mendongak dan ia seketika terdiam ketika mendapati Malik tengah menatapnya.Mata hitam Malik bak magnet yang membuat Kimberly enggan mengalihkan tatapannya ke arah lain. Kedua pasang mata itu saling bertatapan selama beberapa detik, sebelum akhirnya Malik memutusnya terlebih dulu sembari membuang napas.“Tunggu apa lagi?” Malik mengedikkan dagu ke arah pintu. “Silahkan pergi. Aku ada keperluan yang tidak bisa diganggu.”Kimberly terkejut dan seketika ia membuang tatapannya ke arah lain. “I-iya, aku keluar sekarang,” katanya sembari meresletingkan coat bulu angsanya yang berwarna krem. Kemudian menutupi kepala men
“Hey! Kamu pernah juara MotoGP?!” tanya Kimberly sekali lagi, kali ini sembari melongokan kepalanya di pintu.“Kamu pasti tinggal di planet lain, makanya baru tahu.” Malik menjawab datar, yang membuat bibir Kimberly cemberut.Kimberly tak berhenti berdecak kagum memperhatikan piala-piala yang tersimpan di lemari transparan. Karena sudah menyisir semua sudut ruangan itu dan Malik masih belum selesai memasak, Kimberly pun bergegas membongkar koper dan mengeluarkan kameranya lagi. Perutnya terus berbunyi apalagi saat mencium aroma makanan yang menggugah selera, tapi Kimberly harus bersabar sedikit lagi.Mendengar suara pintu yang digeser dan pekikan riang serta bunyi shutter kamera yang berulang-ulang, Malik hanya bisa menghela napas pasrah. Padahal dia sudah melarang wanita—yang belum ia ketahui namanya itu, untuk tidak membuka pintu balkon. Malik tidak suka wanita yang ‘ngeyel’ dan tidak mendengarkan ucapannya.Setelah makanan terhidang di atas meja makan, Malik menyeret langkahnya men
“Apa sekarang nomornya sudah aktif?” Feli menatap cemas pada Archer yang tengah menempelkan ponsel di telinga.Archer menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya dengan kasar seraya mengusap wajahnya, gusar. “Belum, Sunshine. Masih belum aktif,” jawabnya, yang membuat Feli seketika terduduk lemas di sofa.“Ke mana dia? Kenapa dari kemarin malam nggak bisa dihubungi? Nggak biasanya Kimmy seperti ini, Yang,” keluh Feli dengan raut muka khawatir, ia berdiri, berjalan mondar-mandir, kemudian duduk lagi seolah tidak menemukan kenyamanan.“Kakak tersesat kali, Mi.”“Adek!” sergah Feli dengan cepat. “Hati-hati kalau ngomong, Sayang.”Pemuda tanggung yang mirip dengan Archer saat kecil itupun meringis, tanpa menunjukkan perasaan bersalahnya di depan sang ibu. “Ya… kan Kakak teledor orangnya, Mi. Atau bisa jadi handphone-nya hilang. Emang udah paling bener diam di rumah aja Kak Kimmy tuh.”“Mami juga berpikiran seperti itu, Nak, kemungkinan besar handphone-nya Kimmy hilang.” Feli menggigit bib
“Bodoh! Bodoh! Kenapa aku nggak pinjam handphone dia buat telepon papi?!”Kimberly terus menggerutu, menyesali kebodohannya, sambil terus berjalan menyeret koper di tengah-tengah terjangan udara dingin.Akan lebih mudah lagi jika ia hapal nomor Nancy. Sayang, Kimberly hanya hapal dua nomor telepon orang tuanya saja. Bahkan nomor Ernest saja dia tidak ingat.Kimberly terus melangkah di jalanan yang hanya cukup dilewati satu mobil dan lengang, melewati rumah-rumah unik yang dindingnya terlihat seperti tumpukan batu-batu kecil.Andorra memiliki pemandangan yang menakjubkan. Harapan Kimberly bermain ski di negara ini hancur sudah akibat keteledorannya.Rencana Kimberly sudah tersusun rapi untuk hari ini. Ia akan mencari telepon umum lebih dulu untuk menelepon orang tuanya supaya mereka tidak khawatir.Kemudian datang ke kantor polisi, menindaklanjuti kasus kehilangan tasnya. Setelah itu pergi ke hotel yang sudah dia pesan saat masih di Spanyol—hotel yang mengusirnya pergi karena tidak ada