Keinginan Feli untuk menambahkan Malik menjadi anggota baru di dalam kartu keluarganya masih saja sebesar gunung.Kalau sudah menyangkut keinginan sang istri, Archer tidak bisa menolak. Ia akan melakukannya jika itu memang membuat Feli bahagia.Dua minggu kemudian mereka datang kembali ke panti asuhan dan menyampaikan niat baik mereka kepada ketua panti untuk mengadopsi Malik.Hanya saja Feli tidak memaksa, ia akan menyerahkan seluruh keputusannya kepada Malik.Jika Malik mau, maka Feli akan merasa bahagia dan berjanji akan membesarkan anak itu layaknya anak kandung sendiri.Namun, jika Malik menolak, itu tidak akan jadi masalah meski nantinya ada sedikit rasa kecewa di hati Feli. Ia akan terus mendukung Malik dan tetap menyayanginya.Kini, Archer dan Feli mengajak Malik mengobrol bertiga di sebuah restoran dekat panti asuhan sembari makan siang.Setelah mereka menghabiskan makanan di piring masing-masing, barulah Feli menyampaikan keinginannya kepada Malik. Tanpa ada paksaan dalam ka
“Adek…! Kamu di mana, Dek? Jangan bercanda dong! Ayo keluar! Kakak capek nih nyari-nyari kamu!”Teriakan Kimberly yang melengking nyaring, membuat mata Archer dan Feli sontak terbuka hingga tautan bibir mereka terlepas.“Ernest bangun?” tanya Archer dengan napas sedikit terengah, tatapan sayunya memandangi Feli yang tengah ia penjarakan di dinding.“Iya, sepertinya dia bangun. Astaga anak itu!” gerutu Feli sembari menghela napas berat. “Padahal baru tidur setengah jam yang lalu, lho. Sebentar, aku lihat mereka dulu, ya.”“Terus nasib aku gimana, Sunshine?” keluh Archer seraya menunjuk anggota tubuh di bagian bawahnya dengan dagu. Raut wajahnya tampak memelas.Feli merasa geli sekaligus kasihan melihat ekspresinya.“Sabar ya, Papi. Mungkin sekarang belum saatnya. Kita cari waktu yang tepat, ya, biar sama-sama nyaman.” Feli terkekeh seraya menepuk-nepuk rahang sang suami dengan pelan. Kemudian membetulkan kancing kemejanya yang terbuka dan bergegas keluar dari kamar.“Damn!”Archer hany
“Emang siapa yang lagi nyindir kamu?”“Tatapan kamu itu bikin aku ngeri, Sunshine,” Archer mendekatkan kursinya semakin rapat dengan Feli.Lantas dirangkulnya bahu sang istri mesra. Kepala Feli bersandar ke bahunya, sementara tatapan mereka berdua tertuju ke arah tenda yang pintunya terbuka.“Yang kasihan itu laki-laki yang baik dan setia, Sunshine,” lanjut Archer, “kesetiaan mereka seolah tertutupi oleh sejumlah laki-laki yang nggak bertanggung jawab dan nggak cukup dengan satu wanita. Jadi para wanita di luar sana kehilangan kepercayaan mereka kepada lelaki dan menganggap bahwa semua lelaki itu sama saja, padahal nggak. Masih banyak lelaki yang baik dan setia, kok. Contohnya aku.”“Dih!” cibir Feli seraya mencubit paha Archer dengan cubitan kecil, membuat pria itu meringis sakit. “GR banget, Pak. Nggak ada tuh orang baik nganggap dirinya baik.”“Ada. Aku orangnya.”“Bukan cuma aku, nih semut di kaki kamu aja mual dengernya, Yang,” kelakar Feli, yang membuat Archer tergelak.Keduanya
15 tahun kemudian.Seorang gadis bermata hazel melangkah dengan anggun menyusuri lorong apartemen. Bibir merah chery-nya tersenyum merekah. Senyuman yang mampu meruntuhkan iman lelaki manapun yang menatapnya.Matanya berbinar-binar, tampak sebening kristal. Rambut berwarna coklat gelap di bagian atas dan pirang di ujungnya itu tergerai sepunggung.Dia Kimberly.Anak yang dulu cengeng dan manja kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik jelita. Juga didukung dengan postur tubuhnya yang semampai.Di usianya yang ke 21 tahun, Kimberly sudah menyelesaikan program sarjana. Sekarang dia bekerja menjadi sekretaris sang ayah.Oh, tentu saja itu atas permintaan ayahnya sendiri. Archer tidak mengizinkan Kimberly bekerja di tempat lain. Pria berusia 45 tahun itu sangat protektif. Dengan Kimberly bekerja bersamanya dan terlihat di depan mata, Archer merasa lebih tenang karena bisa memantau putrinya setiap saat.“Semoga dia suka kuenya,” gumam Kimberly seraya memandangi kue tart dengan
“Aneh kamu. Cewek lain pengen cantik, kamu malah pengen jadi jelek.”“Aku cuma butuh cinta sejati yang benar-benar tulus cinta sama aku, By. Bukan cinta karena alasan cantik atau duit doang,” keluh Kimberly seraya melirik Deby—sahabatnya yang duduk di sampingnya. "Kalau alasan laki-laki milih perempuan karena cantik, dia akan langsung pergi setelah menemukan yang jauh lebih cantik.""Berarti laki-laki itu emang bukan jodoh kamu, Kim. Kalau jodoh, mau kamu kayak nenek sihir sekalipun, kalian akan tetap bersama dan di matanya kamu yang paling cantik."Pandangan Kimberly beralih lagi ke cermin di hadapannya. Ia tidak buta, wajahnya memang cantik dan pengakuan itu diperkuat oleh pujian dari orang-orang di sekitarnya. Yang terkadang membuat Kimberly muak karena mereka terlalu berlebihan memuji.Memiliki wajah cantik ternyata menjadi malapetaka bagi Kimberly, setidaknya itulah yang Kimberly pikirkan saat ini. Sehingga, setelah dua malam mengurung diri di kamar usai memergoki Marco, Kimberly
“Sayang, apa kita izinin aja Kimmy, ya? Dia udah tiga hari lho nggak keluar kamar dan nggak makan dengan betul.”Feli duduk di lengan sofa, tepat di samping Archer. Dia merangkul bahu sang suami dan memberinya pijatan lembut.Mendengarnya, Archer hanya menghela napas panjang. Kemudian diraihnya tangan sang istri dan ditariknya agar pindah duduk ke atas paha. Feli menurut, ia duduk menyamping seraya memeluk leher Archer.“Gimana menurutmu?” susul Feli kemudian. “Kita kasih izin aja. Ya?”“Tapi aku nggak bisa, Sunshine. Ngebiarin dia ke luar kota sendiri aja aku sampai nggak bisa tidur berhari-hari. Apa lagi ini ke luar negeri. Spanyol pula. Bisa-bisa aku gila terus-menerus mikirin anak itu,” gerutu Archer dengan tatapan resah.Sebagai seorang ayah yang sudah memiliki pengalaman hidup dan tahu bagaimana mengerikannya dunia di luar sana, membuatnya selalu ingin melindungi Kimberly dan memastikan putrinya itu selalu aman dan nyaman.“Iya, aku juga tahu itu,” sahut Feli lembut. “Awalnya ak
Madrid menjadi destinasi pertama yang Kimberly kunjungi setelah menempuh perjalanan udara selama 16 jam.Ini bukan pertama kalinya dia pergi ke luar negeri. Minimal satu tahun dua kali keluarganya pergi berlibur ke negara-negara favorit.Namun, liburan kali ini Kimberly merasakan sensasi berbeda. Dari mulai naik pesawat komersil sendiri, makan di restoran pun sendirian dan pergi ke tempat wisata di Madrid mengandalkan map digital serta informasi dari Nancy.Sejauh ini Kimberly merasa baik-baik saja dan sangat antusias. Dia tidak tersesat. Komunikasi dengan warga lokal pun lancar-lancar saja. Tidak lupa dia memberi kabar kepada orang tuanya. Telat sedikit saja ayahnya sudah uring-uringan.Di lehernya menggantung kamera DSLR. Walaupun kamera ponselnya sudah canggih, tapi rasanya kurang afdol kalau liburan tidak menggunakan kamera DSLR, pikir Kimberly.Cuaca sudah mulai dingin di Madrid. Dia mengenakan setelan musim dingin dengan coat warna hitam dan boot selutut.“Kimmy?!”Seruan seoran
“Nona, ada yang bisa kami bantu?”Kimberly terkejut ketika dua lelaki berwajah khas Eropa itu menghampirinya. Mungkin mereka harus memastikan kalau Kimberly bukan orang yang berniat jahat kepada pembalap mereka.“Ti-tidak! Saya… saya hanya sedang lewat,” tukas Kimberly menggunakan bahasa Inggris. Ia menatap pembalap yang tak beranjak sedikit pun dari tempatnya, yang juga tengah menatap Kimberly.Ia lalu berseru sok akrab sembari melambaikan tangan pada lelaki itu, “Halo! Kamu dari Indonesia, ya? Nggak nyangka banget ada pembalap dari Indonesia di sini. Kamu keren banget tadi! Good job! Tetap semangat, ya!”Kimberly SKSD sambil terkekeh kering, padahal dia sama sekali tidak tahu bagaimana performa lelaki itu saat di sirkuit tadi. Jangankan performa, yang mana dan nomor berapa motornya saja Kimberly tidak tahu.Yah… kadang basa-basi itu memang penting. Sebagai sesama orang Indonesia yang bertemu di negara orang, apa salahnya saling sapa?Pria itu mengangkat satu alisnya, lalu membalas l