Feli terhenyak ketika merasakan sesuatu yang lembab di lehernya. Ia memberontak, mendorong bahu Eden, menarik rambut pria itu dengan kasar sambil berteriak, tapi Eden sama sekali tidak terganggu sedikit pun dan malah semakin buas memangsa Feli.Air mata Feli seketika mengalir dengan deras. Ia tidak sudi disentuh lelaki lain. Dirinya kini merasa kotor dan hina. Feli menangis sekencang-kencangnya ketika bibir Eden turun ke dada dan kembali naik ke leher. Sementara tangan pria itu meraba-raba pahanya.“Kamu biadab, Eden!” teriak Feli di tengah-tengah tangisannya. Pipinya telah dibasahi air mata. Tangannya tak berhenti memberontak meski sia-sia. “Kamu bersengsek! Aku membencimu! Seumur hidup aku akan membencimu! Aaargh...! Archer, tolong aku!” teriak Feli lagi sembari memanggil nama suaminya meski sangat mustahil Archer akan mendengar.Eden semakin buas, tenaga Feli yang lemah tak mampu melawan pria itu selain berteriak dan memukuli kepalanya.Hatinya benar-benar hancur ketika dadanya mul
Ucapan Eden selanjutnya membuat tubuh Feli bergetar ketakutan.“Aku akan melakukan apa yang kamu lakukan pada anakku di masa lalu,” desis Eden sembari tersenyum miring. “Bersiaplah untuk kehilangan anakmu lagi.”Kaki Feli tremor. Ingatan tentang betapa mengerikannya malam itu, malam ketika perutnya dihantam tongkat baseball, seketika memenuhi seisi kepala. Feli mulai keringat dingin, ia memeluk perutnya sendiri sambil bergumam dengan bibir bergetar, “Tidak… jangan ambil anakku lagi. Dia nggak bersalah. Semuanya salahku, ambil saja aku, jangan anakku….”Bunyi deru mesin mobil yang terdengar keras, membuat Feli tersadar bahwa Eden sudah masuk ke dalam mobilnya. Eden sendiri yang mengemudikan mobil itu.Perlahan mobil itu mendekat ke arahnya. Air mata Feli tak berhenti mengalir. Tubuhnya semakin bergetar hebat, rasa sakit akibat pukulan baseball kembali terasa, membuat lututnya terasa lemas dan lehernya nyaris tercekik.Feli tahu, saat ini dirinya harus berlari ke pinggir untuk menghinda
Feli menatap hampa pada pintu ruangan operasi yang tertutup. Tatapannya kosong. Lampu indikator di atas pintu itu masih menyala merah sejak satu jam yang lalu.Tak ada air mata, seolah semua air matanya telah terkuras habis untuk menangisi suaminya, yang kini sedang terbaring di ranjang operasi.Tak lama setelah kecelakaan itu terjadi, Vicky dan beberapa anak buah Archer, serta polisi tiba di tempat kejadian. Yang langsung membawa Feli, Archer dan Eden ke rumah sakit terdekat.Archer terluka di bagian kepala dan kaki. Begitupun dengan Eden. Kedua orang itu sama-sama sedang dilakukan tindakan.“Sayang, sudah ya. Kita ke UGD sekarang.” Leica mengelus lembut puncak kepala Feli.“Aku mau di sini aja, Ma,” gumam Feli dengan bibirnya yang kering dan pucat.“Tapi kamu juga harus diperiksa, Nak. Kita lihat bagaimana kondisi tubuh dan kehamilan kamu.” Lecia menghela napas berat, menatap sedih pada putrinya yang tampak kacau. Lebih dari tiga kali ia membujuk Feli agar mau dilakukan pemeriksaan
“Feli… sudah melahirkan?” gumam Archer dengan tenggorokan tercekat.Gendarly mengangguk. “Karena mengalami pendarahan hebat, dia nggak bisa menjalani persalinan normal. Jadi tadi malam, pukul sepuluh lebih lima belas menit, bayi kalian lahir melalui operasi caesar, dia bayi prematur karena usia kandungan Feli baru tiga puluh dua minggu,” jelasnya dengan senyuman lembut. “Berat badan bayinya dua koma satu kilo dan tingginya empat puluh lima senti.”Archer tertegun. “Bayi… prematur?”“Iya.” Gendarly kembali mengangguk. “Tapi jangan khawatir, dokter akan terus memantau perkembangan bayi kalian. Berat badannya juga diharapkan akan semakin bertambah.”Entah apa yang harus Archer rasakan sekarang. Seharusnya ia senang dengan kabar kelahiran anak keduanya. Namun, rasa sedih dan khawatir yang menguasai hatinya, membuat kebahagiaan itu teredam.“Aku gagal lagi, Mom,” lirih Archer dengan tatapan sendu.Tampak kerutan di kening Gendarly. Ia bisa melihat bola mata putranya sedikit menggenang. “Ma
Tiga hari sudah Archer dirawat di rumah sakit. Selama tiga hari itu ia tidak pernah absen mengunjungi anaknya meski dari kejauhan.Sang ini, Archer sedang menonton televisi yang tak benar-benar ia tonton. Hatinya terasa hampa tanpa ada Feli di sisinya.Kesabaran Archer sudah habis. Cukup sudah tiga hari ia dibuat penasaran akan kondisi istrinya. Detik itu juga Archer menaruh remot ke atas rak, lalu mengambil botol infusan dari tiangnya, sebelum akhirnya turun ke lantai dengan hati-hati. Ia masih harus menggunakan kursi roda karena luka bekas operasi masih belum pulih.Archer keluar sendirian, menyusuri lorong dan menumpangi lift. Lalu ia menatap sebuah pintu ruang perawatan VIP, yang dijaga ketat oleh dua orang pria berbadan gempal. Mereka mengangguk hormat kepada Archer.Setelahnya, salah satu dari mereka membukakan pintu untuk Archer.Ruangan VIP itu kosong. Ia tidak menemukan ibu mertuanya di sana. Archer masuk lebih dalam lagi ke ruangan itu.Seketika ia tertegun kala melihat seor
‘Tapi kamu harus dengar ini; aku sangat mencintaimu dan merindukanmu, Fel. Terima kasih sudah berjuang melahirkan anak kita. Kamu benar-benar wanita hebat. Aku bangga padamu.’ Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga Feli hingga air matanya enggan berhenti mengalir.Wajah sendu suaminya yang sangat dia rindukan memenuhi benaknya, membuat dadanya kian sesak.Feli merasa amat merindukan pria itu, tapi di sisi lain ia merasa tak pantas untuk Archer. Ia kotor. Tubuhnya sudah disentuh pria lain. Kalau Archer tahu akan hal itu, Feli takut lelaki itu akan kecewa dan membencinya. Maka dari itu Feli memilih berjarak dengan Archer. “Sayang, makan du—” “Jangan sentuh!” seru Feli secara spontan, membuat Leica menjengit kaget. Feli merasa bersalah ketika sadar ibunya yang menyentuh lengannya barusan. “Maafin aku, Ma. Aku kira orang lain.” Leica tersenyum lembut dan mengangguk. “Nggak apa-apa, mama paham kok. Mau makan sekarang?” Feli menggeleng. “Tapi gizi kamu harus tercukupi, Sayang.
Jika malam-malam sebelumnya terasa dingin meski tubuhnya ditutupi selimut, maka malam ini terasa berbeda. Feli merasakan sebuah kehangatan yang memeluk tubuhnya. Sampai ia enggan untuk membuka mata. Ini seperti rasa hangat yang selama ini ia cari-cari.Namun, dengkuran halus seseorang yang terdengar sangat dekat, membuat Feli seketika merasa waspada dan terbangun dari tidurnya.Archer….Wajah suaminya yang tengah terlelap adalah pemandangan pertama yang Feli lihat. Sangat dekat.Feli menghela napas berat, ia pikir dirinya masih bermimpi. Setiap malam ia memang selalu bertemu Archer di dalam mimpinya. Tak terkecuali sekarang. Makanya Feli tidak begitu terkejut, lantas manatap wajah tampan suaminya lamat-lamat.Feli sangat menikmatinya. Sebab, hanya dalam mimpi ia bisa sedekat ini dengan Archer. Dalam mimpi Feli tak perlu khawatir Archer akan mengendus bau tubuh Eden yang menempel di tubuhnya.Namun, hanya beberapa menit saja Feli menikmati ‘mimpinya’. Sebelum akhirnya ia panik dan bert
Pagi itu Leica kembali ke ruang perawatan putrinya—setelah semalam Archer meminta bantuannya agar diberi waktu berdua saja dengan Feli.Begitu tiba di dalam ruangan, Leica terperangah melihat pemandangan di hadapannya. Ia berkedip pelan. Rasanya sulit dipercaya Archer bisa menaklukan Feli secepat ini.“Grandma, mana Mami? Aku mau ngobrol sama Mami dan Papi.” Rengekan Kimberly di seberang telepon membuat Leica tersadar dari keterpakuannya.“Sayang, nanti saja ngobrol sama Mami dan Papinya, ya?”“Kenaapaaa?” rengek Kimberly, manja.Leica tersenyum kecil dan kembali berjalan mendekati pintu. “Mami sama Papi kamu masih tidur, Nak,” katanya sembari melirik Feli dan Archer yang masih terlelap di ranjang yang sama. Posisi mereka yang tengah berpelukan mengingatkan Leica pada masa lalunya bersama suaminya.“Ini ‘kan udah jam sembilan, Grandma. Kenapa mereka masih tidur