“Bodoh! Bisa-bisanya kalian terjebak?!” berang Archer dengan penuh amarah. Sorot matanya berubah tajam seperti ingin menghabisi siapapun yang ada di hadapannya. “Katakan, berapa plat nomor mobil itu?!”Setelah mendapat jawaban dari bodyguard-nya di seberang telepon, Archer segera memutus sambungan secara sepihak. Ia menyambar kunci mobil dari meja.“Tuan, ada apa?” tanya Vicky penasaran. Tidak pernah ia melihat Archer semarah itu sebelumnya.“Feli dibawa pergi oleh polisi gadungan. Aku akan menyusul. Kamu segera hubungi Jack untuk melacak ke mana mobil itu pergi. Terakhir mobil itu terlihat di sekitar Jakarta Barat. Detail alamatnya akan dikirimkan padamu.” Archer menuliskan plat nomor mobil pelaku pada secarik kertas dengan tangan gemetar. “Ini plat nomor mobilnya. Selain itu cek juga GPS yang sudah aku pasang di mobil yang ditumpangi istriku,” pungkas Archer, sebelum akhirnya ia bergegas pergi sambil berlari.Raut wajahnya terlihat tegang. Ia sama sekali tidak menggubris para karyaw
Feli terhenyak ketika merasakan sesuatu yang lembab di lehernya. Ia memberontak, mendorong bahu Eden, menarik rambut pria itu dengan kasar sambil berteriak, tapi Eden sama sekali tidak terganggu sedikit pun dan malah semakin buas memangsa Feli.Air mata Feli seketika mengalir dengan deras. Ia tidak sudi disentuh lelaki lain. Dirinya kini merasa kotor dan hina. Feli menangis sekencang-kencangnya ketika bibir Eden turun ke dada dan kembali naik ke leher. Sementara tangan pria itu meraba-raba pahanya.“Kamu biadab, Eden!” teriak Feli di tengah-tengah tangisannya. Pipinya telah dibasahi air mata. Tangannya tak berhenti memberontak meski sia-sia. “Kamu bersengsek! Aku membencimu! Seumur hidup aku akan membencimu! Aaargh...! Archer, tolong aku!” teriak Feli lagi sembari memanggil nama suaminya meski sangat mustahil Archer akan mendengar.Eden semakin buas, tenaga Feli yang lemah tak mampu melawan pria itu selain berteriak dan memukuli kepalanya.Hatinya benar-benar hancur ketika dadanya mul
Ucapan Eden selanjutnya membuat tubuh Feli bergetar ketakutan.“Aku akan melakukan apa yang kamu lakukan pada anakku di masa lalu,” desis Eden sembari tersenyum miring. “Bersiaplah untuk kehilangan anakmu lagi.”Kaki Feli tremor. Ingatan tentang betapa mengerikannya malam itu, malam ketika perutnya dihantam tongkat baseball, seketika memenuhi seisi kepala. Feli mulai keringat dingin, ia memeluk perutnya sendiri sambil bergumam dengan bibir bergetar, “Tidak… jangan ambil anakku lagi. Dia nggak bersalah. Semuanya salahku, ambil saja aku, jangan anakku….”Bunyi deru mesin mobil yang terdengar keras, membuat Feli tersadar bahwa Eden sudah masuk ke dalam mobilnya. Eden sendiri yang mengemudikan mobil itu.Perlahan mobil itu mendekat ke arahnya. Air mata Feli tak berhenti mengalir. Tubuhnya semakin bergetar hebat, rasa sakit akibat pukulan baseball kembali terasa, membuat lututnya terasa lemas dan lehernya nyaris tercekik.Feli tahu, saat ini dirinya harus berlari ke pinggir untuk menghinda
Feli menatap hampa pada pintu ruangan operasi yang tertutup. Tatapannya kosong. Lampu indikator di atas pintu itu masih menyala merah sejak satu jam yang lalu.Tak ada air mata, seolah semua air matanya telah terkuras habis untuk menangisi suaminya, yang kini sedang terbaring di ranjang operasi.Tak lama setelah kecelakaan itu terjadi, Vicky dan beberapa anak buah Archer, serta polisi tiba di tempat kejadian. Yang langsung membawa Feli, Archer dan Eden ke rumah sakit terdekat.Archer terluka di bagian kepala dan kaki. Begitupun dengan Eden. Kedua orang itu sama-sama sedang dilakukan tindakan.“Sayang, sudah ya. Kita ke UGD sekarang.” Leica mengelus lembut puncak kepala Feli.“Aku mau di sini aja, Ma,” gumam Feli dengan bibirnya yang kering dan pucat.“Tapi kamu juga harus diperiksa, Nak. Kita lihat bagaimana kondisi tubuh dan kehamilan kamu.” Lecia menghela napas berat, menatap sedih pada putrinya yang tampak kacau. Lebih dari tiga kali ia membujuk Feli agar mau dilakukan pemeriksaan
“Feli… sudah melahirkan?” gumam Archer dengan tenggorokan tercekat.Gendarly mengangguk. “Karena mengalami pendarahan hebat, dia nggak bisa menjalani persalinan normal. Jadi tadi malam, pukul sepuluh lebih lima belas menit, bayi kalian lahir melalui operasi caesar, dia bayi prematur karena usia kandungan Feli baru tiga puluh dua minggu,” jelasnya dengan senyuman lembut. “Berat badan bayinya dua koma satu kilo dan tingginya empat puluh lima senti.”Archer tertegun. “Bayi… prematur?”“Iya.” Gendarly kembali mengangguk. “Tapi jangan khawatir, dokter akan terus memantau perkembangan bayi kalian. Berat badannya juga diharapkan akan semakin bertambah.”Entah apa yang harus Archer rasakan sekarang. Seharusnya ia senang dengan kabar kelahiran anak keduanya. Namun, rasa sedih dan khawatir yang menguasai hatinya, membuat kebahagiaan itu teredam.“Aku gagal lagi, Mom,” lirih Archer dengan tatapan sendu.Tampak kerutan di kening Gendarly. Ia bisa melihat bola mata putranya sedikit menggenang. “Ma
Tiga hari sudah Archer dirawat di rumah sakit. Selama tiga hari itu ia tidak pernah absen mengunjungi anaknya meski dari kejauhan.Sang ini, Archer sedang menonton televisi yang tak benar-benar ia tonton. Hatinya terasa hampa tanpa ada Feli di sisinya.Kesabaran Archer sudah habis. Cukup sudah tiga hari ia dibuat penasaran akan kondisi istrinya. Detik itu juga Archer menaruh remot ke atas rak, lalu mengambil botol infusan dari tiangnya, sebelum akhirnya turun ke lantai dengan hati-hati. Ia masih harus menggunakan kursi roda karena luka bekas operasi masih belum pulih.Archer keluar sendirian, menyusuri lorong dan menumpangi lift. Lalu ia menatap sebuah pintu ruang perawatan VIP, yang dijaga ketat oleh dua orang pria berbadan gempal. Mereka mengangguk hormat kepada Archer.Setelahnya, salah satu dari mereka membukakan pintu untuk Archer.Ruangan VIP itu kosong. Ia tidak menemukan ibu mertuanya di sana. Archer masuk lebih dalam lagi ke ruangan itu.Seketika ia tertegun kala melihat seor
‘Tapi kamu harus dengar ini; aku sangat mencintaimu dan merindukanmu, Fel. Terima kasih sudah berjuang melahirkan anak kita. Kamu benar-benar wanita hebat. Aku bangga padamu.’ Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga Feli hingga air matanya enggan berhenti mengalir.Wajah sendu suaminya yang sangat dia rindukan memenuhi benaknya, membuat dadanya kian sesak.Feli merasa amat merindukan pria itu, tapi di sisi lain ia merasa tak pantas untuk Archer. Ia kotor. Tubuhnya sudah disentuh pria lain. Kalau Archer tahu akan hal itu, Feli takut lelaki itu akan kecewa dan membencinya. Maka dari itu Feli memilih berjarak dengan Archer. “Sayang, makan du—” “Jangan sentuh!” seru Feli secara spontan, membuat Leica menjengit kaget. Feli merasa bersalah ketika sadar ibunya yang menyentuh lengannya barusan. “Maafin aku, Ma. Aku kira orang lain.” Leica tersenyum lembut dan mengangguk. “Nggak apa-apa, mama paham kok. Mau makan sekarang?” Feli menggeleng. “Tapi gizi kamu harus tercukupi, Sayang.
Jika malam-malam sebelumnya terasa dingin meski tubuhnya ditutupi selimut, maka malam ini terasa berbeda. Feli merasakan sebuah kehangatan yang memeluk tubuhnya. Sampai ia enggan untuk membuka mata. Ini seperti rasa hangat yang selama ini ia cari-cari.Namun, dengkuran halus seseorang yang terdengar sangat dekat, membuat Feli seketika merasa waspada dan terbangun dari tidurnya.Archer….Wajah suaminya yang tengah terlelap adalah pemandangan pertama yang Feli lihat. Sangat dekat.Feli menghela napas berat, ia pikir dirinya masih bermimpi. Setiap malam ia memang selalu bertemu Archer di dalam mimpinya. Tak terkecuali sekarang. Makanya Feli tidak begitu terkejut, lantas manatap wajah tampan suaminya lamat-lamat.Feli sangat menikmatinya. Sebab, hanya dalam mimpi ia bisa sedekat ini dengan Archer. Dalam mimpi Feli tak perlu khawatir Archer akan mengendus bau tubuh Eden yang menempel di tubuhnya.Namun, hanya beberapa menit saja Feli menikmati ‘mimpinya’. Sebelum akhirnya ia panik dan bert
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”