Tiga hari sudah Archer dirawat di rumah sakit. Selama tiga hari itu ia tidak pernah absen mengunjungi anaknya meski dari kejauhan.Sang ini, Archer sedang menonton televisi yang tak benar-benar ia tonton. Hatinya terasa hampa tanpa ada Feli di sisinya.Kesabaran Archer sudah habis. Cukup sudah tiga hari ia dibuat penasaran akan kondisi istrinya. Detik itu juga Archer menaruh remot ke atas rak, lalu mengambil botol infusan dari tiangnya, sebelum akhirnya turun ke lantai dengan hati-hati. Ia masih harus menggunakan kursi roda karena luka bekas operasi masih belum pulih.Archer keluar sendirian, menyusuri lorong dan menumpangi lift. Lalu ia menatap sebuah pintu ruang perawatan VIP, yang dijaga ketat oleh dua orang pria berbadan gempal. Mereka mengangguk hormat kepada Archer.Setelahnya, salah satu dari mereka membukakan pintu untuk Archer.Ruangan VIP itu kosong. Ia tidak menemukan ibu mertuanya di sana. Archer masuk lebih dalam lagi ke ruangan itu.Seketika ia tertegun kala melihat seor
‘Tapi kamu harus dengar ini; aku sangat mencintaimu dan merindukanmu, Fel. Terima kasih sudah berjuang melahirkan anak kita. Kamu benar-benar wanita hebat. Aku bangga padamu.’ Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga Feli hingga air matanya enggan berhenti mengalir.Wajah sendu suaminya yang sangat dia rindukan memenuhi benaknya, membuat dadanya kian sesak.Feli merasa amat merindukan pria itu, tapi di sisi lain ia merasa tak pantas untuk Archer. Ia kotor. Tubuhnya sudah disentuh pria lain. Kalau Archer tahu akan hal itu, Feli takut lelaki itu akan kecewa dan membencinya. Maka dari itu Feli memilih berjarak dengan Archer. “Sayang, makan du—” “Jangan sentuh!” seru Feli secara spontan, membuat Leica menjengit kaget. Feli merasa bersalah ketika sadar ibunya yang menyentuh lengannya barusan. “Maafin aku, Ma. Aku kira orang lain.” Leica tersenyum lembut dan mengangguk. “Nggak apa-apa, mama paham kok. Mau makan sekarang?” Feli menggeleng. “Tapi gizi kamu harus tercukupi, Sayang.
Jika malam-malam sebelumnya terasa dingin meski tubuhnya ditutupi selimut, maka malam ini terasa berbeda. Feli merasakan sebuah kehangatan yang memeluk tubuhnya. Sampai ia enggan untuk membuka mata. Ini seperti rasa hangat yang selama ini ia cari-cari.Namun, dengkuran halus seseorang yang terdengar sangat dekat, membuat Feli seketika merasa waspada dan terbangun dari tidurnya.Archer….Wajah suaminya yang tengah terlelap adalah pemandangan pertama yang Feli lihat. Sangat dekat.Feli menghela napas berat, ia pikir dirinya masih bermimpi. Setiap malam ia memang selalu bertemu Archer di dalam mimpinya. Tak terkecuali sekarang. Makanya Feli tidak begitu terkejut, lantas manatap wajah tampan suaminya lamat-lamat.Feli sangat menikmatinya. Sebab, hanya dalam mimpi ia bisa sedekat ini dengan Archer. Dalam mimpi Feli tak perlu khawatir Archer akan mengendus bau tubuh Eden yang menempel di tubuhnya.Namun, hanya beberapa menit saja Feli menikmati ‘mimpinya’. Sebelum akhirnya ia panik dan bert
Pagi itu Leica kembali ke ruang perawatan putrinya—setelah semalam Archer meminta bantuannya agar diberi waktu berdua saja dengan Feli.Begitu tiba di dalam ruangan, Leica terperangah melihat pemandangan di hadapannya. Ia berkedip pelan. Rasanya sulit dipercaya Archer bisa menaklukan Feli secepat ini.“Grandma, mana Mami? Aku mau ngobrol sama Mami dan Papi.” Rengekan Kimberly di seberang telepon membuat Leica tersadar dari keterpakuannya.“Sayang, nanti saja ngobrol sama Mami dan Papinya, ya?”“Kenaapaaa?” rengek Kimberly, manja.Leica tersenyum kecil dan kembali berjalan mendekati pintu. “Mami sama Papi kamu masih tidur, Nak,” katanya sembari melirik Feli dan Archer yang masih terlelap di ranjang yang sama. Posisi mereka yang tengah berpelukan mengingatkan Leica pada masa lalunya bersama suaminya.“Ini ‘kan udah jam sembilan, Grandma. Kenapa mereka masih tidur
"Aku suamimu, Sunshine. Nggak apa-apa kalau ingin mencium kamu, ‘kan?”Feli menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Namun kemudian ia mengangguk dan mendekatkan wajahnya seperti semula. “Maaf….” Pria itu tersenyum lalu mendaratkan bibirnya di dahi sang istri, cukup lama. Lalu menatap manik hazel itu dengan senyuman jahil. “Ngomong-ngomong tanganku pegal ini. Aku takut darahnya nggak mengalir dengan sempurna.” “Huh?” Mata Feli mengerjap. Sadar bahwa semalaman kepalanya menindih lengan Archer, mata Feli seketika membelalak dan refleks mengangkat kepalanya dari lengan pria itu. “Kenapa nggak bilang dari tadi kalau tangan kamu pegal?!” “Nggak mau bangunin kamu.” Perlahan Archer menarik lengan kanannya lalu memijat-mijatnya pelan. “Aku mau ke toilet dulu, ya.” “Huh? Ini… tangan kamu kenapa?” Feli terkejut kala melihat buku-buku jari dan telapak tangan kanan Archer dililit perban. “Waktu kamu kemarin ke sini b
“Sunshine, apa yang kamu lakukan?!” Seruan Archer dari ambang pintu, menyadarkan Feli dan ia baru sadar kukunya berdarah setelah mencakar leher dan dadanya. Sekarang ia merasakan perih pada lukanya itu.“Bukankah sudah kubilang padamu agar jangan menyakiti dirimu sendiri?!” seru Archer lagi sembari menggeram kesal karena ia tidak bisa berlari untuk merengkuh istrinya. “A-aku… aku takut, Archer. Tubuhku rasanya kotor seperti dikerubungi banyak kuman,” keluh Feli. Archer menghela napas panjang. Ia menekan tombol untuk memanggil perawat setelah ia tiba di samping ranjang. Diraihnya tangan Feli, lantas dibersihkannya darah dari sana menggunakan tisu basah. Archer tidak banyak berkata-kata, sampai tak lama kemudian perawat datang lalu mengobati luka di leher dan dada Feli. Leica dan Nicko yang baru kembali pun nampak terkejut melihat kondisi putri mereka. Archer memberi penjelasan kepada mereka berdua bahwa Feli meluka
‘Lebih baik cari ahli untuk menangani trauma istrimu, Archer. Jangan dibiarkan berlarut-larut seperti itu. Khawatir akan berdampak buruk bagi Feli.’Archer menghela napas panjang seraya memperhatikan Feli dan Kimberly yang tengah bercengkerama di atas ranjang. Itu adalah kalimat yang diucapkan ibunya saat mereka masih di rumah sakit, satu minggu yang lalu.Ya, saat ini mereka sudah keluar dari rumah sakit. Karena belum bisa meninggalkan kota Bogor sebelum Ernest keluar dari NICU, maka dari itu mereka menginap di hotel sampai Ernest dinyatakan bisa bergabung dengan mereka.Sampai saat ini Feli masih sering ketahuan menggosok leher dan dadanya meski tidak di depan Archer langsung. Feli belum terbiasa ketemu banyak orang. Itu membuat Archer semakin yakin mencari psikolog untuk menangani istrinya.“Mami, apa dulu juga aku keluarnya dari perut Mami?!”Seruan Kimberly membuat Archer tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum melihat dua wanita kesayangannya itu.“Nggak, Nak. Kamu lahir melalui
“Mami, kita jemput adik bayi hari ini?!”“Iya, Nak.”“Terus kita langsung pulang ke rumah kita di Jakarta?”“Memangnya rumah kita ada di mana lain selain di Jakarta?” Feli terkekeh.“Eh iya, lupa.” Kimberly ikut-ikutan terkikik. “Maksud aku, habis dari rumah sakit kita langsung pulang ke rumah kita, Mi?”“Yes.”“Yeay! Aku senaaang sekali!”Archer mengulum senyum mendengar celotehan riang Kimberly dari dalam kamar mandi, yang tengah mandi dibantu Feli.Tangan Archer cekatan memasukkan barang elektronik miliknya ke dalam ransel; laptop, tablet dan perlengkapan lainnya, yang ia gunakan untuk memantau pekerjaan selama berada di Bogor.Hatinya membuncah bahagia, karena hari ini adalah hari terakhir Ernest dirawat di ruang NICU. Hanya butuh waktu dua puluh dua hari—yang menurut Archer bagai setahun, Ernest sudah dibolehkan pulang. Perkembangannya cukup pesat. Berat badan anak itu sudah mencapai 2,8 kilogram.Archer menaruh ranselnya di sofa. Semua barang yang terdiri dari satu koper besar u