"Aku suamimu, Sunshine. Nggak apa-apa kalau ingin mencium kamu, ‘kan?”Feli menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Namun kemudian ia mengangguk dan mendekatkan wajahnya seperti semula. “Maaf….” Pria itu tersenyum lalu mendaratkan bibirnya di dahi sang istri, cukup lama. Lalu menatap manik hazel itu dengan senyuman jahil. “Ngomong-ngomong tanganku pegal ini. Aku takut darahnya nggak mengalir dengan sempurna.” “Huh?” Mata Feli mengerjap. Sadar bahwa semalaman kepalanya menindih lengan Archer, mata Feli seketika membelalak dan refleks mengangkat kepalanya dari lengan pria itu. “Kenapa nggak bilang dari tadi kalau tangan kamu pegal?!” “Nggak mau bangunin kamu.” Perlahan Archer menarik lengan kanannya lalu memijat-mijatnya pelan. “Aku mau ke toilet dulu, ya.” “Huh? Ini… tangan kamu kenapa?” Feli terkejut kala melihat buku-buku jari dan telapak tangan kanan Archer dililit perban. “Waktu kamu kemarin ke sini b
“Sunshine, apa yang kamu lakukan?!” Seruan Archer dari ambang pintu, menyadarkan Feli dan ia baru sadar kukunya berdarah setelah mencakar leher dan dadanya. Sekarang ia merasakan perih pada lukanya itu.“Bukankah sudah kubilang padamu agar jangan menyakiti dirimu sendiri?!” seru Archer lagi sembari menggeram kesal karena ia tidak bisa berlari untuk merengkuh istrinya. “A-aku… aku takut, Archer. Tubuhku rasanya kotor seperti dikerubungi banyak kuman,” keluh Feli. Archer menghela napas panjang. Ia menekan tombol untuk memanggil perawat setelah ia tiba di samping ranjang. Diraihnya tangan Feli, lantas dibersihkannya darah dari sana menggunakan tisu basah. Archer tidak banyak berkata-kata, sampai tak lama kemudian perawat datang lalu mengobati luka di leher dan dada Feli. Leica dan Nicko yang baru kembali pun nampak terkejut melihat kondisi putri mereka. Archer memberi penjelasan kepada mereka berdua bahwa Feli meluka
‘Lebih baik cari ahli untuk menangani trauma istrimu, Archer. Jangan dibiarkan berlarut-larut seperti itu. Khawatir akan berdampak buruk bagi Feli.’Archer menghela napas panjang seraya memperhatikan Feli dan Kimberly yang tengah bercengkerama di atas ranjang. Itu adalah kalimat yang diucapkan ibunya saat mereka masih di rumah sakit, satu minggu yang lalu.Ya, saat ini mereka sudah keluar dari rumah sakit. Karena belum bisa meninggalkan kota Bogor sebelum Ernest keluar dari NICU, maka dari itu mereka menginap di hotel sampai Ernest dinyatakan bisa bergabung dengan mereka.Sampai saat ini Feli masih sering ketahuan menggosok leher dan dadanya meski tidak di depan Archer langsung. Feli belum terbiasa ketemu banyak orang. Itu membuat Archer semakin yakin mencari psikolog untuk menangani istrinya.“Mami, apa dulu juga aku keluarnya dari perut Mami?!”Seruan Kimberly membuat Archer tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum melihat dua wanita kesayangannya itu.“Nggak, Nak. Kamu lahir melalui
“Mami, kita jemput adik bayi hari ini?!”“Iya, Nak.”“Terus kita langsung pulang ke rumah kita di Jakarta?”“Memangnya rumah kita ada di mana lain selain di Jakarta?” Feli terkekeh.“Eh iya, lupa.” Kimberly ikut-ikutan terkikik. “Maksud aku, habis dari rumah sakit kita langsung pulang ke rumah kita, Mi?”“Yes.”“Yeay! Aku senaaang sekali!”Archer mengulum senyum mendengar celotehan riang Kimberly dari dalam kamar mandi, yang tengah mandi dibantu Feli.Tangan Archer cekatan memasukkan barang elektronik miliknya ke dalam ransel; laptop, tablet dan perlengkapan lainnya, yang ia gunakan untuk memantau pekerjaan selama berada di Bogor.Hatinya membuncah bahagia, karena hari ini adalah hari terakhir Ernest dirawat di ruang NICU. Hanya butuh waktu dua puluh dua hari—yang menurut Archer bagai setahun, Ernest sudah dibolehkan pulang. Perkembangannya cukup pesat. Berat badan anak itu sudah mencapai 2,8 kilogram.Archer menaruh ranselnya di sofa. Semua barang yang terdiri dari satu koper besar u
“Bangun, Sunshine. Kita sudah sampai.” Suara bisikan yang diringi sentuhan lembut di pipi, membuat Feli seketika terbangun dari tidurnya. Wajah Archer yang tengah menatapnya dengan lekat menjadi pemandangan pertama yang Feli lihat. “Kita sudah sampai?” tanya Feli dengan suara serak. “Hm-hm.” Mata Feli mengerjap, melihat ke luar jendela. Akhirnya ia bisa melihat rumah mereka kembali setelah hampir satu bulan meninggalkannya. Seakan teringat sesuatu, Feli terkejut lalu menunduk, menatap ke pangkuannya. Ia lupa kalau dari tadi sedang menggendong Ernest, bisa-bisanya dia ketiduran. Namun, Feli tertegun karena ternyata Ernest sudah ada di pangkuan Archer, masih terlelap. Sementara Kimberly sedang bersandar pada bahu Archer di dekat pintu. Dewi sudah terlihat turun dari mobil yang lain, di samping mereka, sedang berusaha menurunkan barang-barang bersama satpam. “Aku turun duluan, ya,” ucap Feli sebelum turun dari mobil. Ia bermaksud untuk membantu menggendong Ernest supaya Archer le
“Kalau mau istirahat, istirahat saja di kamar. Nggak usah pedulikan mereka,” ujar Archer lembut sembari menyelipkan rambut Feli ke belakang telinga, yang duduk di sampingnya.“Nggak, lah. Momen seperti ini jarang banget terjadi.” Feli menatap manik mata Archer, tangannya memeluk lengan pria itu seakan enggan jauh darinya. “Kapan lagi coba dua keluarga berkumpul seperti ini, hem?” Archer tersenyum dan mengangguk. “Ya sudah, tapi kalau kamu merasa lelah, istirahat saja. Ya?” “Mm-hm.” Feli tidak menolak ketika Archer menarik kepalanya agar rebah di bahu bidangnya. “Ngomong-ngomong di mana Ernest?” “Tuh! Sama Mama.” Feli menoleh ke belakang, ibunya dan mertuanya sedang mengobrol di ruang keluarga sembari mengasuh Ernest yang baru saja bangun dua puluh menit lalu. Sepertinya mereka sengaja membawa Ernest ke sana, demi menghindari suara berisik Noah yang sedang karaoke. Dua keluarga itu baru selesai makan malam bersama, tapi bukannya pulang, Noah malah memamerkan suaranya yang merdu me
Uhukk!!!Feli tersedak susu yang tengah ia teguk. Lavina terkaget-kaget, buru-buru dia berlari ke dekat kulkas untuk mengambil tisu dan menyerahkannya kepada Feli.Setelah batuknya mereda dan mengelap bibir, Feli lantas terbengong-bengong. “Ef-We… Be?”Kepala Lavina mengangguk-angguk membuat kucirnya bergoyang. “Kakak nggak tahu FWB? Itu lho, kepanjangannya itu Friend With Benefits… teman dekat yang saling memberi manfaat, teman baik, sobat karib. Semacam itulah. Tapi pertemanannya berbeda jenis kelamin. Alias laki-laki dan perempuan.”Lagi-lagi Feli ternganga mendengar celotehan Lavina yang kelewat polos itu. “Jadi menurutmu… FWB itu pertemanan yang positif, ya?”“Em… mungkin! Kan saling memberi manfaat, kan? Saling membantu gitu.”‘Ya Tuhan,’ batin Feli dalam hati sembari memijat pangkal hidung. Rasanya sayang sekali gadis sepolos Lavina menikah dengan Auriga. “Kenapa kamu tanya suamiku punya FWB atau nggak, apa... suamimu memilikinya?” tebak Feli, tanpa berniat ikut campur urusan r
Dengan hati-hati Feli meletakkan Ernest pada box bayi yang ada di samping ranjang. Dipandanginya anak itu cukup lama dengan penuh rasa bahagia.“Sudah tidur?”Suara pintu yang terbuka, disusul dengan suara bariton Archer barusan, membuat Feli mengalihkan tatapannya dari wajah Ernest ke arah ayah dari anak ini.Terlihat Archer baru keluar kamar mandi mengenakan handuk putih yang melilit pinggang, sembari mengeringkan rambut basah dengan handuk kecil.“Iya, baru aja tidur. Makanya jangan keras-keras ngomongnya,” ujar Feli, setengah berbisik.“Padahal tadi aku minta dia jangan dulu tidur.”“Anak kecil mana ngerti.” Feli merotas matanya malas, lalu menatap suaminya yang berlalu masuk ke walk in closet.Kemudian Feli naik ke ranjang dan bersandar pada headboard. Matanya sudah setengah mengantuk, tapi ia tidak mau tidur sebelum Archer datang. Pria itu menyuruhnya untuk tetap terjaga. Entah apa yang mau dia bicarakan dengannya.Iseng Feli mengecek ponsel. Hanya ada notifikasi dari aplikasi b