Uhukk!!!Feli tersedak susu yang tengah ia teguk. Lavina terkaget-kaget, buru-buru dia berlari ke dekat kulkas untuk mengambil tisu dan menyerahkannya kepada Feli.Setelah batuknya mereda dan mengelap bibir, Feli lantas terbengong-bengong. “Ef-We… Be?”Kepala Lavina mengangguk-angguk membuat kucirnya bergoyang. “Kakak nggak tahu FWB? Itu lho, kepanjangannya itu Friend With Benefits… teman dekat yang saling memberi manfaat, teman baik, sobat karib. Semacam itulah. Tapi pertemanannya berbeda jenis kelamin. Alias laki-laki dan perempuan.”Lagi-lagi Feli ternganga mendengar celotehan Lavina yang kelewat polos itu. “Jadi menurutmu… FWB itu pertemanan yang positif, ya?”“Em… mungkin! Kan saling memberi manfaat, kan? Saling membantu gitu.”‘Ya Tuhan,’ batin Feli dalam hati sembari memijat pangkal hidung. Rasanya sayang sekali gadis sepolos Lavina menikah dengan Auriga. “Kenapa kamu tanya suamiku punya FWB atau nggak, apa... suamimu memilikinya?” tebak Feli, tanpa berniat ikut campur urusan r
Dengan hati-hati Feli meletakkan Ernest pada box bayi yang ada di samping ranjang. Dipandanginya anak itu cukup lama dengan penuh rasa bahagia.“Sudah tidur?”Suara pintu yang terbuka, disusul dengan suara bariton Archer barusan, membuat Feli mengalihkan tatapannya dari wajah Ernest ke arah ayah dari anak ini.Terlihat Archer baru keluar kamar mandi mengenakan handuk putih yang melilit pinggang, sembari mengeringkan rambut basah dengan handuk kecil.“Iya, baru aja tidur. Makanya jangan keras-keras ngomongnya,” ujar Feli, setengah berbisik.“Padahal tadi aku minta dia jangan dulu tidur.”“Anak kecil mana ngerti.” Feli merotas matanya malas, lalu menatap suaminya yang berlalu masuk ke walk in closet.Kemudian Feli naik ke ranjang dan bersandar pada headboard. Matanya sudah setengah mengantuk, tapi ia tidak mau tidur sebelum Archer datang. Pria itu menyuruhnya untuk tetap terjaga. Entah apa yang mau dia bicarakan dengannya.Iseng Feli mengecek ponsel. Hanya ada notifikasi dari aplikasi b
Tidur Archer terganggu oleh suara tangisan bayi yang cukup kencang. Ini benar-benar terasa asing baginya. Tangisan bayi dan harum minyak telon membuat Archer merasa ada di tempat baru.Tangannya meraba-raba kasur di sebelah, tapi hanya ruang kosong yang ia dapati. Seketika Archer membuka matanya yang terasa lengket, lalu berkata serak, “Sunshine, kamu di mana?”Feli sudah tidak ada di sebelah, padahal Archer ingat tadi wanita itu tidur dalam dekapannya.Dengan mata terkantuk-kantuk dan perasaan panik, Archer bangkit duduk untuk mengambil Ernest dari dalam ranjang bayi.Archer terkejut saat tidak menemukan Ernest di sana.“Kamu cari siapa?”“Huh?” Mata Archer mengerjap, dia memutar tubuh menghadap sofa, tempat suara Feli berasal. “Astaga… kenapa aku bisa linglung begini,” gerutunya sembari mengusap wajah dengan kasar. Kemudian mendekati Feli yang tengah memberi ASI pada putra mereka, di sofa tersebut.“Kenapa dia menangis, hem?”“Ya, biasa. Namanya juga bayi.” Feli menatap Archer yang
Feli membuka-buka berkas yang Dania bawa dari butik, di tangannya. Dia berusaha fokus, tapi konsentrasinya lagi-lagi pecah karena pemandangan di luar sana jauh lebih menarik perhatiannya.Pandangan Feli beralih ke arah taman. Dari balik dinding kaca yang menghubungkan ruangan ini dengan taman di samping rumah, Feli bisa melihat seorang pria bertelanjang dada tengah berjemur dengan bayi yang menempel di dadanya, duduk setengah berbaring di atas sunbed.Itu pemandangan yang bahkan jauh lebih indah ketimbang taman yang ditumbuhi pepohonan dan bunga matahari itu sendiri.Feli tersenyum samar, memperhatikan Archer yang sesekali mengecup puncak kepala Ernest dan sesekali memainkan jari telunjuknya di pipi anak itu.Dua iguana Feli yang sudah tumbuh makin besar, tentu saja sudah diamankan di taman belakang, sebelum wajah Archer jadi pucat pasi jika melihat mereka.“Bu Feli, jadi bagaimana rencana Ibu? Ibu mau menerima tawaran Pak Rian untuk meeting daring?”Suara Dania membuat Feli terkejut
Feli baru selesai memandikan Kimberly dan Ernest bergantian saat Archer masuk ke kamar dengan tubuh bermandikan peluh.“Sayang, kamu olahraga? Bukannya kakimu belum sembuh total?” tanya Feli sembari mengancingkan baju Ernest.“Ya mau gimana lagi? Cuma ini satu-satunya cara bikin ‘dia’ tidur karena ulah kamu tadi,” gerutu Archer, “aku sudah berhenti bermain solo sejak lama.”Feli meringis. “Cuma disentuh sedikit doang.”“Tapi bagiku nggak ada kata ‘doang’, Sunshine.” Archer mendekati istri dan anaknya. “Mau sedikit atau banyak, sebentar atau lama, kamu sangat berpengaruh buat aku.”Feli menyembunyikan senyumnya seraya menunduk menatap Ernest yang sudah harum dan rapi.“Hmmm…. Anak Papi harum sekali,” puji Archer seraya menjulurkan satu tangan, hendak menyentuh Ernest, tapi Feli menepisnya.“Ish! Jangan disentuh, kamu belum mandi dan cuci tangan.”“Tapi tanganku nggak kotor, Sunshine.”“Siapa yang bisa memastikan kalau tangan kamu yang habis megang alat fitness itu nggak ada kumannya?”
Sesuai janji Archer sebelumnya, hari ini ia memanggil seorang wanita yang berusia tiga tahun lebih tua dari Feli, ke rumahnya. Namanya Eva. Dia psikolog yang direkomendasikan sang ibu.Feli terlihat biasa-biasa saja ketika berhadapan dengan wanita asing. Tidak seperti saat dia bertemu lelaki lain. Namun saat Feli akan berkonsultasi berdua saja dengan Eva, dia menahan lengan Archer yang akan pergi meninggalkan mereka.“Kenapa, hem?” Archer mengusap puncak kepala Feli dan duduk kembali di sampingnya.“Mau ke mana?” tanya Feli setengah berbisik, ada sedikit keraguan dalam sorot matanya yang sendu dan meneduhkan itu.“Sunshine, aku nggak akan pergi ke mana-mana,” jawab Archer lembut. “Aku cuma ingin memberi kamu waktu berdua dengan Bu Eva.”Feli menggeleng pelan. “Bisa temani aku?” tanyanya, kemudian menatap wanita yang memakai baju batik coklat—yang duduk di hadapannya. “Nggak apa-apa, Bu, kalau suami saya ikut bergabung dalam sesi konsultasinya?”Eva tersenyum ramah. “Kalau sekiranya it
“Dari siapa?” tanya Feli penasaran ketika raut muka Archer mendadak terlihat jengkel.Archer melirik Feli sejenak dengan lirikan masam. “Dari orang nggak penting.”“Siapa, sih?”Akhirnya Feli bangkit dan mengambil bingkisan tersebut dari tangan Archer, demi menuntaskan rasa penasarannya. Mata Feli seketika membulat dan bergumam, “Rafi?”“Kamu masih berkomunikasi dengan dia?” Mata Archer memicing curiga.Tak tanggung-tanggung, Feli mengangguk jujur di depan suaminya, yang membuat raut muka Archer terlihat semakin masam.“Seberapa sering?” selidik Archer.“Nggak sering-sering banget,” jawab Feli sembari menaruh kembali bingkisan itu di meja. “Dia suka nanyain kabar Kimmy, mana mungkin nggak aku jawab? Niat baik orang lain harus disambut dengan baik juga, ‘kan?”“Kimmy anakku, bukan anak dia yang harus selalu dia tanyai kabarnya!”Feli menghela napas panjang dan berdiri di hadapan Archer, kedua telapak tangannya menangkup rahang pria itu yang ditumbuhi rambut halus yang baru saja tumbuh
Setelah Ernest kembali terlelap, Feli memutuskan untuk membuka paket yang masih teronggok di atas meja. Archer sedang tidak ada. Akibat percakapannya tadi, pria itu kini berakhir di ruang olahraga.Padahal kakinya belum sembuh total, tapi Archer sedikit pun tidak mengeluh.Setelah membuka kertas pembungkus terluar, kini Feli menggunting bubble wrap hingga tersisa box kardus berbentuk persegi. Ia membuka kardus tersebut, lalu terkejut begitu melihat isinya.Ada sepuluh eksemplar buku cerita anak, full warna dengan judul yang berbeda, berbahasa inggris dan jilidnya tebal. Lalu ada paper bag putih berisi bedong bayi berbentuk teddy bear, bahannya seperti selimut, lembut dan hangat.Saat Feli akan membuka buku cerita itu satu persatu, sebuah amplop tiba-tiba terjatuh ke kakinya. Ia memungutnya dan membukanya. Rupanya amplop itu berisi kartu ucapan dari Rafi.‘Selamat atas kelahiran anak keduamu, Fel. Aku ikut bahagia mendengarnya. Tapi aku nggak pandai memilih hadiah, aku diberitahu oleh