Feli baru selesai memandikan Kimberly dan Ernest bergantian saat Archer masuk ke kamar dengan tubuh bermandikan peluh.“Sayang, kamu olahraga? Bukannya kakimu belum sembuh total?” tanya Feli sembari mengancingkan baju Ernest.“Ya mau gimana lagi? Cuma ini satu-satunya cara bikin ‘dia’ tidur karena ulah kamu tadi,” gerutu Archer, “aku sudah berhenti bermain solo sejak lama.”Feli meringis. “Cuma disentuh sedikit doang.”“Tapi bagiku nggak ada kata ‘doang’, Sunshine.” Archer mendekati istri dan anaknya. “Mau sedikit atau banyak, sebentar atau lama, kamu sangat berpengaruh buat aku.”Feli menyembunyikan senyumnya seraya menunduk menatap Ernest yang sudah harum dan rapi.“Hmmm…. Anak Papi harum sekali,” puji Archer seraya menjulurkan satu tangan, hendak menyentuh Ernest, tapi Feli menepisnya.“Ish! Jangan disentuh, kamu belum mandi dan cuci tangan.”“Tapi tanganku nggak kotor, Sunshine.”“Siapa yang bisa memastikan kalau tangan kamu yang habis megang alat fitness itu nggak ada kumannya?”
Sesuai janji Archer sebelumnya, hari ini ia memanggil seorang wanita yang berusia tiga tahun lebih tua dari Feli, ke rumahnya. Namanya Eva. Dia psikolog yang direkomendasikan sang ibu.Feli terlihat biasa-biasa saja ketika berhadapan dengan wanita asing. Tidak seperti saat dia bertemu lelaki lain. Namun saat Feli akan berkonsultasi berdua saja dengan Eva, dia menahan lengan Archer yang akan pergi meninggalkan mereka.“Kenapa, hem?” Archer mengusap puncak kepala Feli dan duduk kembali di sampingnya.“Mau ke mana?” tanya Feli setengah berbisik, ada sedikit keraguan dalam sorot matanya yang sendu dan meneduhkan itu.“Sunshine, aku nggak akan pergi ke mana-mana,” jawab Archer lembut. “Aku cuma ingin memberi kamu waktu berdua dengan Bu Eva.”Feli menggeleng pelan. “Bisa temani aku?” tanyanya, kemudian menatap wanita yang memakai baju batik coklat—yang duduk di hadapannya. “Nggak apa-apa, Bu, kalau suami saya ikut bergabung dalam sesi konsultasinya?”Eva tersenyum ramah. “Kalau sekiranya it
“Dari siapa?” tanya Feli penasaran ketika raut muka Archer mendadak terlihat jengkel.Archer melirik Feli sejenak dengan lirikan masam. “Dari orang nggak penting.”“Siapa, sih?”Akhirnya Feli bangkit dan mengambil bingkisan tersebut dari tangan Archer, demi menuntaskan rasa penasarannya. Mata Feli seketika membulat dan bergumam, “Rafi?”“Kamu masih berkomunikasi dengan dia?” Mata Archer memicing curiga.Tak tanggung-tanggung, Feli mengangguk jujur di depan suaminya, yang membuat raut muka Archer terlihat semakin masam.“Seberapa sering?” selidik Archer.“Nggak sering-sering banget,” jawab Feli sembari menaruh kembali bingkisan itu di meja. “Dia suka nanyain kabar Kimmy, mana mungkin nggak aku jawab? Niat baik orang lain harus disambut dengan baik juga, ‘kan?”“Kimmy anakku, bukan anak dia yang harus selalu dia tanyai kabarnya!”Feli menghela napas panjang dan berdiri di hadapan Archer, kedua telapak tangannya menangkup rahang pria itu yang ditumbuhi rambut halus yang baru saja tumbuh
Setelah Ernest kembali terlelap, Feli memutuskan untuk membuka paket yang masih teronggok di atas meja. Archer sedang tidak ada. Akibat percakapannya tadi, pria itu kini berakhir di ruang olahraga.Padahal kakinya belum sembuh total, tapi Archer sedikit pun tidak mengeluh.Setelah membuka kertas pembungkus terluar, kini Feli menggunting bubble wrap hingga tersisa box kardus berbentuk persegi. Ia membuka kardus tersebut, lalu terkejut begitu melihat isinya.Ada sepuluh eksemplar buku cerita anak, full warna dengan judul yang berbeda, berbahasa inggris dan jilidnya tebal. Lalu ada paper bag putih berisi bedong bayi berbentuk teddy bear, bahannya seperti selimut, lembut dan hangat.Saat Feli akan membuka buku cerita itu satu persatu, sebuah amplop tiba-tiba terjatuh ke kakinya. Ia memungutnya dan membukanya. Rupanya amplop itu berisi kartu ucapan dari Rafi.‘Selamat atas kelahiran anak keduamu, Fel. Aku ikut bahagia mendengarnya. Tapi aku nggak pandai memilih hadiah, aku diberitahu oleh
Setelah melakukan beberapa kali sesi konsultasi dengan Eva, Feli akhirnya sudah bisa menjalani aktifitasnya di luar rumah dan berbaur dengan banyak orang.Ia juga sudah beraktifias kembali di butik meski hanya datang sesekali untuk mengecek pekerjaan atau meeting dengan seluruh staf dan kliennya.Namun, tetap saja, setelah pertemuan dengan orang lain itu berakhir, Feli akan merasa lelah sendiri dan keringat dingin keluar dari pelipis dan dahinya.Archer selalu sigap menemani dan menomorsatukan Feli di atas urusannya. Dia selalu ikut setiap kali Feli ada kegiatan di luar, lalu menyiapkan bahu dan dadanya sebagai sandaran setiap kali Feli merasa lelah dan takut.Sampai akhirnya hari persidangan Eden pun tiba. Archer dan Feli akan datang ke pengadilan untuk memberikan keterangannya sebagai korban dan saksi, hari ini.“Sunshine, are you oke?” bisik Archer seraya memeluk istrinya dari belakang. Ditatapnya manik hazel yang berbulu lentik itu melalui cermin di hadapan mereka. “Masih ada wakt
Proses persidangan untuk Eden pun akhirnya selesai dilaksanakan. Sidang kali ini adalah untuk proses pembuktian dengan mendatangkan beberapa saksi termasuk Archer dan Feli. Juga berbagai barang bukti yang diperlihatkan selama persidangan.Feli memperhatikan suaminya yang tampak tidak sabar menanti sidang keputusan yang kemungkinan dilakukan beberapa minggu ke depan. Mungkin Archer ingin segera melihat wajah Eden yang terpuruk ketika hakim memberi putusan hukuman yang akan didapatkannya.Ketika Eden keluar dari ruang persidangan pun, Archer menghunuskan tatapan tajamnya kepada pria yang kedua tangannya diborgol itu.Feli tidak banyak berkata-kata, ia hanya mengusap bahu Archer supaya suaminya itu tetap tenang dan bisa mengendalikan emosinya.Ketika Feli sedang memperhatikan raut muka Archer, tanpa sengaja ia melihat sosok wanita yang memakai masker. Wanita itu juga sempat memberikan keterangannya di kursi pemeriksaan tadi. Dia Andita. Pandangannya sempat bersitatap dengan Feli, sebelum
Archer terlihat marah, yang membuat Feli berusaha mundur tapi punggungnya mentok ke mobil dan tak bisa menghindar. Mata Feli mengerjap. Bukan hanya merasa bersalah, tapi ia juga sedikit takut melihat ekspresi suaminya itu.“A-ada apa?” tanya Feli basa basi ketika Archer sudah berdiri di hadapannya.Archer tidak menjawab. Mata elangnya hanya menatap Feli tanpa berkedip, itu membuat Feli jadi salah tingkah.“Kamu marah? Tapi… kenapa?”“Kamu nggak sadar?” tukas Archer dengan rahang mengetat.Dengan wajah tanpa dosa, Feli menggeleng pelan.“Astaga…!” Archer mengusap wajahnya dengan kasar, lalu membuang napas. “Kamu ingat? Tadi kamu meminta izin padaku cuma sebentar. Sebentar! Tapi apa buktinya? Sampai sepuluh menit kamu nggak juga kembali. Aku keluar cari kamu, ada orang yang bilang padaku kalau tadi kamu ngobrol sama Andita, tapi aku lihat kamu dan Andita sama-sam
Feli beringsut mendekati Archer, lalu memeluk lengannya dan merebahkan kepala di bahu bidangnya itu. Ia sempat menahan napas ketika Archer mengecup puncak kepalanya. “Kenapa di dunia ini harus ada pelakor, ya?”“Hm?” Alis Archer terangkat. “Pelakor?”“Iya.” Feli mengangguk. “Kalau nggak ada perebut suami atau istri orang, mungkin angka perceraian di dunia akan menurun sebanyak dua puluh sampai empat puluh persen.”Archer menghela napas panjang, ia sedikit tersindir karena sempat menjadi pelaku perselingkuhan di masa lalu.“Menurutku… perselingkuhan ada karena baik istri maupun suami sama-sama nggak mau terbuka dan komunikasi dengan baik.”Feli mendongak, menumpukan dagu di bahu Archer dengan mata memicing. “Mengomunikasikan apa? Bicara kalau udah nggak cinta sama istri atau suami, lalu jujur sudah tertarik dengan wanita atau pria lain di luar sana. Begitu?”“Ya itu salah