Aku menarik kuat lengan Abian yang terulur, Alhamdulillah akhirnya dia muncul di permukaan.Abian menggulingkan tubuhnya di atas dermaga, di tangan kanannya ada ponsel milikku berhasil ia dapatkan.Abian terengah-engah."Abian! Kamu nggak apa-apa?" tanyaku yang masih di selimuti rasa khawatir.Abian tak menjawab, ia justru memejamkan matanya. Tak kupedulikan lagi ponsel milikku yang berhasil ia temukan di dasar laut.Menurutku yang dia lakukan ini sangat konyol, dia membahayakan nyawanya sendiri, demi untuk sebuah ponsel."Abian! Bangun!"Aku menggoyangkan tubuhnya, tapi dia diam tak bergeming.Ya ampun, Abian! Apa dia pingsan? Atau jangan-jangan dia meninggal kehabisan napas, karena cukup lama tadi dia di dalam air.Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa."Abian! Bangun Bi! Bangun!"Aku tekan-tekan perutnya, agar air yang masuk bisa keluar."Abian, bangun! Kamu harus bangun Bi, please!"Aku panik. Tanpa sadar air mataku merembes membasahi pipi."Abiiiii!" teriakku lan
"Dah ah aku mau pulang!" ketusku. Setelah tak berapa lama Riyan dan Yuda datang membawa satu stel baju ganti untuk Abian "Eh tunggu dulu dong! Kok pulang sih! Oh ya katanya mau ke Semarang, Ayo! Kapan?" tanyanya membuatku seketika menghentikan langkah dan menatap ke arahnya.Ini pasti Papa yang kasih tau Abi."Ke Semarang? Enggak! Nggak jadi.""Lho kenapa nggak jadi? Aku udah seneng banget padahal kalau aku dikenalin sama saudara-saudara kamu di sana. Minggu depan aku senggang kok. Gimana kalau Minggu depan kita kesana?""Ih Abian! Aku bilang enggak ya enggak! Ini pasti Papa kan yang bilang? Aku udah bilang nggak jadi ke sana!""Yah padahal aku udah seneng banget lho! Sekalian aku mau ke Solo, nengokin nenekku."Aku membuang napas kesal."Udah sana ganti baju kamu dulu, keburu masuk angin ntar kamu Bi!" pintaku. Sedari tadi bajunya Abian udah basah kuyup. "Aku ganti baju bentar, kamu jangan kemana-mana ya!""Hem!""Oke." Abian bergegas pergi untuk berganti baju.Aku sendiri menatap
"Abian! Kita mau kemana?""Ke KUA."Abian terus saja menarik lenganku hingga sampai ke mobil. Lalu dengan cepat ia melempar kunci motor sportnya pada Riyan. Dan dia sendiri langsung duduk di depan kemudi.Melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata."Kayaknya kamu kesambet setan dasar lautan Bi, main seret aja!" ketusku."Aku akan temui Pak Aditama, kalau kita akan segera menikah." Seketika netraku membelalak.Ternyata dia serius."Tapi Bi, aku nggak bisa. Kamu nggak bisa dong maksa aku gini!" sentakku."Kenapa? Gara-gara mikirin temen kamu itu?"Tiba-tiba Abian menepikan mobil, dan menatapku lekat.Aku terdiam."Aku yang akan bilang pada Amel.""Abian! Jangan gitu dong!" Aku keberatan."Terus kamu maunya kayak gimana?" tanya Abian terlihat putus asa.Abian kembali mengemudikan mobil setelah beberapa saat kami saling diam.Sampai mobil memasuki gerbang rumah, kami masih saling diam."Bi, jangan bilang apa-apa dulu sama Amel, nanti biar aku yang bilang sama dia."Abian diam tak
"Hallo Yas," ucap Amel di seberang sana. Suara Amel terdengar berbeda di telingaku. "Iya Mel, hallo, ada apa? Kok tumben telpon malam-malam gini?" tanyaku basa basi, padahal sebenarnya perasaanku sudah tak enak."Nggak perlu basa basi Yas! Gue cuma mau bilang kalau gue kecewa sama Lo! Teman yang kukira ngedukung gue, ternyata justru menusuk Gue dari belakang."Degh!Kata-kata Amel sungguh bagai belati tajam yang menusuk jantung ini.Aduh, ini pasti Abian sudah mengatakan sesuatu pada Amel.Duh, Abian, kenapa sih nggak ngerti banget, sudah berkali-kali aku katakan jangan bilang apapun dulu sama Amel, sebelum aku sendiri yang mengatakan padanya.Aku meremas jemariku. Mendadak jantungku berdegup tak karuan, merasa tidak enak sama Amel."Ehm, Mel, dengerin aku dulu Mel, ini nggak seperti yang kamu pikirkan, aku bisa jelasin semuanya–""Halah bulshit! Nggak perlu Lo jelasin apapun. Di depanku kamu mendukungku, tapi dibelakangku ternyata Lo sebaliknya. Benar-benar munafik! Aku nggak nyang
Sepanjang hari aku tidak fokus bekerja di kantor. Pikiranku kembali tertuju pada Amel.Aku harus ketemu Amel. Ya, aku harus jelaskan semuanya, kalau aku, tidak seperti yang dia pikirkan.Saat jam makan siang nanti, aku putuskan untuk datang ke tempat kerja Amel.Kembali aku menatap layar laptopku.Baru saja aku ingin fokus bekerja, tiba-tiba saja sering ponsel, tanda panggilan masuk, mengagetkanku.Nomer baru tak di kenal, memanggil.Siapa ya yang menelpon?Walau dengan perasaan ragu, aku beranikan diri untuk menggulir tombol hijau di layar."Hallo, Assalamualaikum, Tyas kamu lagi sibuk ya Nak?" tanya suara seorang perempuan dari seberang sana. Aku mengenal suara ini."Ta–Tante Suryani?""Lho kok Tante!""Eh, ehm, i–iya maksud Tyas, Mama. Kok tahu nomer Tyas?""Ya tau dong! Tinggal minta sama Abi.""Oh iya ya."Aku menggaruk pelan pelipisku yang tak gatal. Tentu saja itu sangat mudah, tinggal minta sama Abian."Ehm ada apa Ma, tumben telpon Tyas, ada apa Ma?""Nggak ada apa-apa, cuma
Aku mengikuti langkah Abian dengan perasaan berkecamuk di dalam dada.Begitu sampai di restoran, terlihat Tante Suryani sudah duduk dengan anggun menunggu.Abaya berwarna hitam dengan hijab lebar warna senada. Kaca mata dengan list emas bertengger di wajahnya, menambah cantik penampilan wanita yang sudah berumur tak lagi muda, tapi masih terlihat begitu anggun dan cantik."Akhirnya Kalian sampai, pasti di jalan macet ya?" tanyanya dengan senyum merekah di bibir."Iya Ma, maaf ya sudah menunggu lama." Aku meraih punggung tangannya dan menciumnya takzim. Tante Suryani pun langsung memelukku hangat, mencium kedua pipiku. Aku yang sudah lama kehilangan sosok Mama, diperlakukan sedemikian hangat tentu saja membuat hatiku senang."Nggak apa-apa. Makasih lho, walaupun kamu sibuk, tapi masih menyempatkan untuk datang makan siang sama-sama. Yuk duduk yuk!"Aku dan Abian pun duduk. Restoran dengan dekorasi bernuansa jawa, duduk lesehan dengan meja yang tak begitu tinggi. Ornamen kayu jati, men
"Ehm, jadi kalian sudah siap nih? Kalau gitu Mama akan langsung hubungi–""Ma! Nanti kami pikirkan waktu yang tepat ya Ma, Tyas nggak mau terburu-buru," cegatku.Tante Suryani terdiam beberapa saat, netranya menelisik menatapku."Oh, ya sudah kalau begitu. Cuma saran Mama, kalau memang sudah saling cocok lebih baik di segerakan. Nggak baik juga terlalu mengulur waktu, takut jadi fitnah nanti," ucap Tante Suryani kemudian dengan gurat kecewa d wajahnya. "I–iya Ma."Sekali lagi aku melirik Abian, dia tersenyum jahil padaku. Dia pasti senang merasa punya pembela.Lalu bagaimana dengan aku? Aku harus ketemu Amel. Nggak mungkin aku menikah dengan Abian, sedangkan ada sahabatku yang terluka, sedih dan menderita karena cintanya harus kandas."Permisi! Silakan, Pak Bu!" Tiba-tiba seorang pramusaji datang membawa nampan berisi makanan kami."Oh ya, terimakasih ya Mbak!" ucap Tante Suryani ramah."Sudah lengkap semua ya Ibu, Pak, pesanannya?" Sang pramisaji mengecek semua makanan yang ada di m
"Mel! Cukup! Aku nggak kayak gitu!""Lalu kayak gimana?! Memang itu kenyataannya!" ucapnya sengit. Benar-benar seperti bukan Amel.Aku menggeleng tak percaya."Aku nggak nyangka pemikiran Lo seperti itu sama gue Mel! Gue kecewa sama Lo!"Aku memilih untuk berbalik badan dan pergi dari tempat ini. Percuma aku datang dengan niat baik untuk meluruskan semua ini, ternyata Amel sudah berubah. Aku sudah tak mengenalinya lagi.Sakit sekali hati ini ya Allah.Aku berjalan cepat keluar gedung agensi dengan menahan tangis. Netra ini sudah memanas, begitu aku memasuki mobil, tumpah sudah air mataku. Aku tak mampu lagi menahan desakan air mata ini.Aku tekan-tekan dada ini, rasanya sesak sekali."Ibu nggak apa-apa?" tanya Riyan sambil melirikku dari kaca spion mobil."Saya nggak apa-apa. Kita langsung pulang sekarang ya."Riyan yang duduk di depan kemudi mengangguk dan perlahan mobil mulai bergerak keluar pelataran gedung.Aku menyeka air mataku. Masih terngiang ucapan Amel yang sangat menyakitka