“Terima kasih, Pak,” ujar Dara sebelum taksi yang ditumpanginya menjauh.
Dara menatap jalanan kompleks yang sepi sebab waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ia jalan pintas dengan penuh kehati-hatian, sebab kluster mewah ini dijaga dengan keamanan ketat. “Berhenti di sana!” seru sebuah suara membuat tangan ringkih yang semula berniat membunyikan bel itu mengambang di udara. “Sudah saya bilang berkali-kali, kan?! Pengemis, penjual dan pemulung dilarang memasuki kawasan ini, tidak bisa baca aturan di depan?! Berani-beraninya mengotori kompleks ini dengan aura melaratmu!” sentak lelaki bertubuh tambun yang terasa asing bagi Dara. Ditodongkannya tongkat kebanggaan itu sembari menatap remeh penampilan Dara. Perempuan itu tersinggung saat menyadari penampilannya yang memang layak disebut pengemis daripada pewaris. “Saya bukan pengemis,” jelasnya sembari memencet bel dan membuat satpam itu cepat-cepat menariknya kasar. “Dasar orang miskin! Jangan berani mengganggu ketenangan penghuni kompleks ini! Cepat pergi dari sini!” “Saya ingin bertemu nyonya Sukma.” Dara menelan ludahnya susah payah saat menyebutkan nama yang mulai asing di bibirnya. Sesaat raut terkejut menghiasi wajah si satpam. “Saya tidak percaya! Bu Sukma memerintahkan saya untuk menolak tamu tanpa janji. Lagi pula, tidak mungkin juga Bu Sukma yang sibuk, sempat membuat janji dengan orang miskin sepertimu. Dan ya! Bagaimana kamu tahu detail nama penghuni kompleks ini? Kamu mau menguntit?” selidik si satpam membuat Dara terkejut. Tiga tahun ia menghilang, sekarang semuanya tampak berubah. Mendadak gamang itu kembali hadir, menciutkan nyali yang susah-payah ia gali. Kini egonya berbisik, menyuruhnya untuk berbalik. Tak peduli dengan keadaan dompetnya yang kian mencekik. Tapi jika ia pergi, tinggal dimana dia dengan selembar merah yang masih bersemayam di dompetnya? Ah! Tidak-tidak! Sudah sejauh ini ia melangkah, ia bertekad akan melakukan apa saja untuk bisa bertemu ‘dalang sebenarnya’. Saat satpam itu menarik Dara menjauhi titik tujuannya, praktis, otak encernya langsung terpikirkan cara ekstrem agar si penghuni itu keluar dari ‘kandangnya’. “Argh! Sial! Dasar jalang!” pekik sang satpam sembari memegangi lengannya yang dihiasi bekas gigitan. Dara mengambil tanaman hias untuk penyejuk mata. Kali ini, ia akan menggunakannya untuk tujuan lain. Menggunakan insting pengusahanya yang selalu dipenuhi siasat. Lengannya turut lurus, agar upayanya ini akurat. Prang! Tarikan kasar pada tubuh lemahnya menyambutnya kemudian. Dara meringis saat rusuknya bersilaturahmi dengan bentala. Dengan raut pias, satpam tersebut segera menyeretnya kasar. “Sial! Wanita bodoh! Dungu! Apa kau tahu tindakanmu itu bisa membuat saya dipecat, hah?!” tanyanya dengan urat-urat menonjol. Bersamaan dengan itu, penghuni rumah berbondong-bondong keluar setelah mendengar keributan di malam buta ini. Dibukanya pintu oleh pria paruh baya bersama istrinya. Di samping itu, terdapat juga wanita lansia yang duduk di kursi roda. Gurat kusut jelas terpampang nyata pada wajah mereka. “Ada apa ini?” tanya pria itu sembari mendekati gerbang. “Maaf, Pak. Saya akan pastikan penyusup ini berakhir di kantor polisi karena mengganggu kenyamanan Bapak dan sekeluarga,” ucap si satpam sembari meringkus tangan sang wanita. “O-om Hendra! Tolong Dara!” panggil wanita itu susah payah membuat sang empunya mematung sejenak. “T-tunggu!” seru pria itu membuat satpam itu segera melepaskan tahanannya. “Kamu ... beneran Dara?” lirih Hendra sembari mengamati tubuh kurus yang menyentil simpatinya. Masih setengah syok. Pria itu langsung mendekap keponakannya untuk menumpahkan bendungan rindu. “Ma! Dara kembali, Dara pulang, Ma!” seru Hendra antusias membuat istrinya dengan cekatan mendorong kursi roda yang berisi wanita tua. Kedua wanita itu menatap Dara dengan suka cita. Tangis haru tak dapat ditahan jua. Belum sempat mereka saling mengungkap rindu yang terbalaskan temu, sebuah suara merusak suasana haru. “Kenapa pulang?” ucap wanita yang terakhir datang dengan piyama yang melekat di tubuhnya. “Sukma? Ayo kemari! Kamu tidak merindukan anakmu?!” seru lansia itu dengan antusias saat melihat anak semata wayangnya. “Anak?” ucap Sukma sinis, “Saya bahkan lupa pernah melahirkan seorang anak,” cetusnya membuat semua orang menahan napas. Hendra yang semula terharu itu ikut menimpali, “Apa maksudmu, Mbak Sukma? Dia adalah anak kandungmu sendiri–” “Orang yang sudah terang-terangan memberontak karena termakan cinta bodoh, saya tidak sudi mengakuinya sebagai bagian dari Wijayakusuma,” ucap Sukma sambil menyorot tajam putrinya. “Saya kemari bukan untuk kembali pada keluarga ini. Melainkan meminta pertanggungjawaban Anda atas perbuatan sabotase yang Anda lakukan pada bisnis saya. Membuat saya harus menelan pil pahit saat usaha saya menjadi korban eksploitasi ekonomi yang dilakukan suami saya sendiri, sekarang saya harus membayar ganti rugi pada klien,” jelas Dara membuat atmosfer haru itu berubah mencekam. Sukma tertawa mengejek. “Kenapa kamu menyalahkan saya atas kelalaianmu–” “Kenapa Anda ingkar akan janji, untuk tak mencampuri hidup saya lagi?” potong Dara membuat Sukma mendengus. “Tidak perlu saling menyalahkan! Kejadian di masa lalu murni karena kalian kurang komunikasi,” ucap wanita tertua keluarga Wijayakusuma menengahi. “Sekarang Dara sudah kembali, biarkan dia melanjutkan tugasnya sebagai pewaris satu-satunya Wijayakusuma–” “Ma! Apa-apaan ini?! Dia sendiri yang sudah memutuskan keluar dari Wijayakusuma dan memilih memperjuangkan cinta bodohnya!” seru Sukma tak setuju atas dekret ibunya. Sedang sepasang suami istri di sana, hanya harap-harap cemas menunggu keputusan akhir untuk keponakan tersayang mereka. “Jika kamu lupa, Sukma. Mamalah pemegang keputusan tertinggi di keluarga ini!” Sang lansia menjalankan tugasnya sebagai penengah “Sudahi keegoisan itu, Sukma! Semua orang pernah salah, kamu pun juga. Apa mama mengusirmu? Apa mama memutuskan hubungan denganmu? Tidak! Mama membiarkan kamu bebas, lalu saat kamu sadar, mana menerimamu dengan tangan terbuka. Membiarkanmu mengevaluasi sendiri semua keputusan yang sudah kamu ambil,” tutur lansia itu dengan kelembutan. Sadar jika seorang Sukma Wijayakusuma tinggi egonya. Sukma yang merasa terpojok segera pergi dengan amarah yang bergumul. “Tinggallah di sini, Dara,” kata lansia itu yang diangguki kedua paman dan bibinya. Tidak! Ini benar-benar di luar rencananya. Harusnya ia meminta sejumlah kompensasi pada ibunya. Setengahnya bisa untuk menunaikan kewajibannya pada klien. Sisanya, ia gunakan untuk memulai semuanya dari awal. Belum sempat lisan Dara menjawab, sang nenek kembali menyela, “Dara ... Oma tahu kamu tidak akan menolaknya, kamu pasti merasa bersalah meninggalkan kami dan ingin menebusnya. Lagi pula, tidak mungkin kamu kemari hanya untuk meminta uang, kemudian pergi lagi, kan?” tanya lansia itu dipenuhi siasat agar Dara tak sanggup menolak. Deg! Bagus! Dara merasa tercekik saat melihat wajah penuh harap Omanya. “I-iya Oma,” jawab Dara pasrah. Tak punya keberanian menolak setelah semua pemberontakannya. Sial! Apa ia punya pilihan lain? Setelah ini, akan jadi bagaimana kehidupannya? Ah! Tapi ada satu hal yang menarik. Jika ia kembali memiliki kuasa, ia bisa melakukan ... balas dendam.Laksmi Wardana terlihat menikmati sup dengan dahi berkerut, seperti sedang menyusun berbagai tanya untuknya. Sedang Hendra dan istrinya tampak ikut canggung sederajat dengan atmosfer sekitar. Jangan tanya pada manusia satu yang sedang duduk tak jauh di seberang sana, Dara tak yakin ibunya juga sedang menyusun pertanyaan untuknya. Pasalnya, sekedar saling sapa saja seperti sebuah kemustahilan.Setelah usai, Sukma Wijayakusuma tampak langsung berdiri dan berniat pergi.“Mau ke mana, Sukma? Tidak ingin berbincang hangat dengan kami dulu?” tanya Laksmi pada putri semata wayangnya.“Tidak, Ma. Aku mau istirahat saja, banyak sekali musibah yang terjadi hari ini, membuat kepalaku pusing, aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun,” kelitnya tanpa melihat anaknya yang mungkin saja tersinggung. Dara tak tahu musibah apa saja yang menimpa ibunya hari ini, hanya ... ia terlampau yakin jika namanya masuk pada daftar musibah itu.“Bahkan dengan Dara?” tanya Laksmi sengaja menyebut nama cucunya.“T
Dara menghembuskan napasnya perlahan, matanya memandang tautan tangannya yang berkeringat dingin dengan berkaca-kaca. Meski tangisan sering dianalogikan sebagai ungkapan perasaan sedih, namun hatinya jelas tak membual, bongkahan batu yang semua mengimpit dadanya seakan dipukul godam, semua kekhawatirannya hirap bersama pecahan-pecahan batu itu, lega, setidaknya itulah yang ia rasakan setelah mendengar palu diketuk oleh sang hakim.Meskipun pada akhirnya akan ada tulisan “cerai hidup” yang akan menodai kartu kenegaraannya, Dara tetap bersyukur atas status barunya yang secara tidak langsung lepas dari belenggu siksa. Untung dari segala buntung, selama prosesi perceraian ini, tidak ada drama yang membumbui. Awalnya Dara khawatir jika William akan mempersulitnya, untungnya ada Sri Rahmi, mantan ibu mertuanya, yang terus menempeli putra pertamanya layaknya permen karet, wanita itu seakan-akan siap mencakarnya jika berani dekat-dekat dengan putra kesayangannya.“Om Hendra? Kok sendirian? Ta
Dara tersentak. Diputarnya pear body shape itu sampai 180° hingga wajah Anjani Hanggasa yang tengah bersedekap langsung menembus retinanya. “Tante!” serunya sambil menghampiri si empunya.“Kamu tahu kejadian tadi?” tanya Hendra membuat Anjani mau tak mau menghentikan lakonnya sebagai istri tersakiti.“Hm, aku kan cuma ke toilet sebentar, balik-balik malah disuguhi drama, aku pikir sedang ada syuting sinetron azab,” celetuknya membuat sepasang paman dan keponakan itu menghela napas bosan.“Kalau begitu, kira-kira judul apa yang cocok untuk sinetron azab itu?” tanya Hendra yang mau-mau saja meladeni sang istri.“Azab sering menebar senyuman, ketika mati mulutnya peot!” seru Anjani yang direspons tawa geli sang suami. Seorang Anjani Hanggasa, dokter pediatri terkenal, sedang cemburu melihat suaminya tersenyum di depan para wanita!Dara bukannya tak tahu bagaimana mesranya dua orang itu, tapi tiap kali melihatnya, perempuan itu selalu memiliki seberkas iri yang menjamur. Cih! William mana
‘Berangkat ke kantor. cepat pulang, ya, Ayah. Adik tunggu,’Dara mendengus saat melihat unggahan Indri yang menampilkan William yang tengah mencium perut rata Indri dengan kemeja slim fit biru serta celana bahan hitamnya. Jadi William sudah mendapat pekerjaan? Dan itu sesudah mereka bercerai? Dara jadi memikirkan omongan Rahmi tentang dirinya yang membawa sial. Apa benar dirinya memang pembawa sial? Kenapa William tampak sukses setelah mereka berpisah?“Bagaimana, Ra?” tanya Laksmi Wardana membuat Dara cepat-cepat menyimpan ponselnya dan mengalihkan atensi ke laptop yang sejak tadi menyala.Dara terkejut. “Aku ... diterima?” tanya Dara tak yakin setelah membaca email dari PT. Juita betari, yang merupakan perusahaan besar milik keluarga Wijayakusuma. Entah harus senang atau sedih, yang jelas perasaan Dara masih niskala.“Bagus! Oma sudah menduga kamu akan diterima!” seru Laksmi dengan nada puas.“Karena perusahaan itu milik Wijayakusuma?” tanya Dara skeptis akan kemampuannya sendiri. S
Dara mengamati dokumen kenegaraan di tangannya. Gelisah, setelah kejadian kemarin, Dara semakin merasa bersalah saat melihat namanya yang tertulis jelas di bawah nama Sukma Wijayakusuma.Anjani menyeruput tehnya sembari memperhatikan ekspresi keponakannya. “Kamu tidak siap-siap? Kita akan pergi ke mall sekarang, kebetulan tante sedang tidak memiliki jadwal praktik, tapi pamanmu itu agaknya tidak bisa mengantar, dia sedang ada urusan bisnis,” beritahunya sembari mengamati penampilan keponakan yang masih ala-ala rumahan dengan mata panda yang menarik atensi.“Kalau menunggu pamanmu, tante tidak yakin kita jadi shopping, biar sopir yang mengantar, kamu siap-siap sekarang!” tegas Anjani membuat Dara mau tak mau bersiap-siap dan kembali saat Anjani menghabiskan secangkir tehnya.Sebuah wrap dress berwarna merah dengan motif flora melekat indah di tubuh 171 senti itu, ditambah sepasang boots hitam yang berhasil membuat Anjani berdecak kagum akan keindahan sang keponakan yang sudah disia-sia
Seluruh kegiatan kafe langsung terhenti seketika. Semua mata langsung tertuju pada dua wanita yang tampak memiliki prahara, beberapa orang bahkan kesulitan untuk sekedar menyerap udara, dalam hati khawatir jika napasnya terdengar dan bisa menarik atensi dua wanita di sana, takut terlibat pertengkaran fisik penuh siksa.“Perempuan jalang!” seru Indri sambil menunjuk wajah Dara yang menoleh ke samping akibat tamparannya. Semua pelanggan yang mendengarnya pun mulai berspekulasi sesuai keyakinan masing-masing.“Apa kamu bilang?” desis Dara dengan gigi bergemeletuk.“Memang benar, kan? Sebutan apa yang lebih pantas untuk wanita yang berusaha menghancurkan rumah tangga orang?!” sentak Indri semakin membuat audiens tertarik memperhatikan drama dadakan itu.Dara mengusap pipinya yang terasa panas dan kebas. Matanya menatap nyalang pada perempuan berpenampilan kacau di depannya. “Indri ...,” tekannya yang masih rasional dengan tidak menampar balik perempuan itu sebab masih memikirkan nasib san
Dara mematut penampilannya di depan cermin full body. Sebuah kemeja dengan puffy Sleeve berwarna baby blue yang dipadukan dengan wrap skirt berwarna hitam selutut sukses melekat indah di tubuh semampai itu, memperlihatkan betis jenjangnya. Setelah memastikan penampilannya paripurna, perempuan itu segera mengambil block heel 5 senti yang senada dengan warna roknya. Tidak lupa anting cuplik mutiara yang membuat penampilannya on point.“Wah! Ada yang mau menjalani hari pertama menjadi karyawan, nih!” celetuk Hendra saat melihat Dara turun menenteng heel serta tasnya.Anjani ikut terkekeh sembari mengamati penampilan Dara, wanita paruh baya itu menyingkirkan sedikit resah dan curiga atas sikap tenang Dara, pasalnya, bertahun-tahun mengenal sang keponakan, membuatnya tahu sifat menggebu-gebu Dara. Suatu kemustahilan jika Dara melupakan kejadian ‘itu’ begitu saja.Di ujung sana terdapat wanita berpakaian formal yang tampak mengisolasi dirinya dari keluarga Wijayakusuma lain.“Oma harap kali
Chapter 1. Suamiku Berselingkuh“Suami, mertua, dan ipar-ipar Mbak Dara tidak jemput?” tanya seorang gadis sembari mengemasi beberapa pakaian.Wanita yang dipanggil Mbak Dara menatap ke arah gadis itu. “Mereka sibuk ... mungkin?” jawab Dara tak yakin. Netranya menatap nanar bangsalnya yang siap ditinggal dengan perasaan hampa.Lalu lalang manusia berpakaian khas pegawai rumah sakit yang tengah merawat pasien itu, tampak tak terusik dengan keberadaan keduanya.“Namanya keluarga, mau sesibuk apa pun, minimal usahakan, lah! Suami Mbak juga, memangnya pernah jenguk sekali saja? Bahkan Mbak saja ke sini naik taksi sendirian! Suami seperti itu baiknya dibuang jauh-jauh, Mbak!” Sang gadis yang sudah hampir dua tahun bekerja di butik Dara sebagai asisten tahu betul betapa tidak pedulinya suami dan keluarga dari bosnya tersebut. Sang suami sering bertindak kasar dan marah-marah semenjak di PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Belum lagi omelan dan ocehan para ipar. Hanya butik satu-sat
Dara mematut penampilannya di depan cermin full body. Sebuah kemeja dengan puffy Sleeve berwarna baby blue yang dipadukan dengan wrap skirt berwarna hitam selutut sukses melekat indah di tubuh semampai itu, memperlihatkan betis jenjangnya. Setelah memastikan penampilannya paripurna, perempuan itu segera mengambil block heel 5 senti yang senada dengan warna roknya. Tidak lupa anting cuplik mutiara yang membuat penampilannya on point.“Wah! Ada yang mau menjalani hari pertama menjadi karyawan, nih!” celetuk Hendra saat melihat Dara turun menenteng heel serta tasnya.Anjani ikut terkekeh sembari mengamati penampilan Dara, wanita paruh baya itu menyingkirkan sedikit resah dan curiga atas sikap tenang Dara, pasalnya, bertahun-tahun mengenal sang keponakan, membuatnya tahu sifat menggebu-gebu Dara. Suatu kemustahilan jika Dara melupakan kejadian ‘itu’ begitu saja.Di ujung sana terdapat wanita berpakaian formal yang tampak mengisolasi dirinya dari keluarga Wijayakusuma lain.“Oma harap kali
Seluruh kegiatan kafe langsung terhenti seketika. Semua mata langsung tertuju pada dua wanita yang tampak memiliki prahara, beberapa orang bahkan kesulitan untuk sekedar menyerap udara, dalam hati khawatir jika napasnya terdengar dan bisa menarik atensi dua wanita di sana, takut terlibat pertengkaran fisik penuh siksa.“Perempuan jalang!” seru Indri sambil menunjuk wajah Dara yang menoleh ke samping akibat tamparannya. Semua pelanggan yang mendengarnya pun mulai berspekulasi sesuai keyakinan masing-masing.“Apa kamu bilang?” desis Dara dengan gigi bergemeletuk.“Memang benar, kan? Sebutan apa yang lebih pantas untuk wanita yang berusaha menghancurkan rumah tangga orang?!” sentak Indri semakin membuat audiens tertarik memperhatikan drama dadakan itu.Dara mengusap pipinya yang terasa panas dan kebas. Matanya menatap nyalang pada perempuan berpenampilan kacau di depannya. “Indri ...,” tekannya yang masih rasional dengan tidak menampar balik perempuan itu sebab masih memikirkan nasib san
Dara mengamati dokumen kenegaraan di tangannya. Gelisah, setelah kejadian kemarin, Dara semakin merasa bersalah saat melihat namanya yang tertulis jelas di bawah nama Sukma Wijayakusuma.Anjani menyeruput tehnya sembari memperhatikan ekspresi keponakannya. “Kamu tidak siap-siap? Kita akan pergi ke mall sekarang, kebetulan tante sedang tidak memiliki jadwal praktik, tapi pamanmu itu agaknya tidak bisa mengantar, dia sedang ada urusan bisnis,” beritahunya sembari mengamati penampilan keponakan yang masih ala-ala rumahan dengan mata panda yang menarik atensi.“Kalau menunggu pamanmu, tante tidak yakin kita jadi shopping, biar sopir yang mengantar, kamu siap-siap sekarang!” tegas Anjani membuat Dara mau tak mau bersiap-siap dan kembali saat Anjani menghabiskan secangkir tehnya.Sebuah wrap dress berwarna merah dengan motif flora melekat indah di tubuh 171 senti itu, ditambah sepasang boots hitam yang berhasil membuat Anjani berdecak kagum akan keindahan sang keponakan yang sudah disia-sia
‘Berangkat ke kantor. cepat pulang, ya, Ayah. Adik tunggu,’Dara mendengus saat melihat unggahan Indri yang menampilkan William yang tengah mencium perut rata Indri dengan kemeja slim fit biru serta celana bahan hitamnya. Jadi William sudah mendapat pekerjaan? Dan itu sesudah mereka bercerai? Dara jadi memikirkan omongan Rahmi tentang dirinya yang membawa sial. Apa benar dirinya memang pembawa sial? Kenapa William tampak sukses setelah mereka berpisah?“Bagaimana, Ra?” tanya Laksmi Wardana membuat Dara cepat-cepat menyimpan ponselnya dan mengalihkan atensi ke laptop yang sejak tadi menyala.Dara terkejut. “Aku ... diterima?” tanya Dara tak yakin setelah membaca email dari PT. Juita betari, yang merupakan perusahaan besar milik keluarga Wijayakusuma. Entah harus senang atau sedih, yang jelas perasaan Dara masih niskala.“Bagus! Oma sudah menduga kamu akan diterima!” seru Laksmi dengan nada puas.“Karena perusahaan itu milik Wijayakusuma?” tanya Dara skeptis akan kemampuannya sendiri. S
Dara tersentak. Diputarnya pear body shape itu sampai 180° hingga wajah Anjani Hanggasa yang tengah bersedekap langsung menembus retinanya. “Tante!” serunya sambil menghampiri si empunya.“Kamu tahu kejadian tadi?” tanya Hendra membuat Anjani mau tak mau menghentikan lakonnya sebagai istri tersakiti.“Hm, aku kan cuma ke toilet sebentar, balik-balik malah disuguhi drama, aku pikir sedang ada syuting sinetron azab,” celetuknya membuat sepasang paman dan keponakan itu menghela napas bosan.“Kalau begitu, kira-kira judul apa yang cocok untuk sinetron azab itu?” tanya Hendra yang mau-mau saja meladeni sang istri.“Azab sering menebar senyuman, ketika mati mulutnya peot!” seru Anjani yang direspons tawa geli sang suami. Seorang Anjani Hanggasa, dokter pediatri terkenal, sedang cemburu melihat suaminya tersenyum di depan para wanita!Dara bukannya tak tahu bagaimana mesranya dua orang itu, tapi tiap kali melihatnya, perempuan itu selalu memiliki seberkas iri yang menjamur. Cih! William mana
Dara menghembuskan napasnya perlahan, matanya memandang tautan tangannya yang berkeringat dingin dengan berkaca-kaca. Meski tangisan sering dianalogikan sebagai ungkapan perasaan sedih, namun hatinya jelas tak membual, bongkahan batu yang semua mengimpit dadanya seakan dipukul godam, semua kekhawatirannya hirap bersama pecahan-pecahan batu itu, lega, setidaknya itulah yang ia rasakan setelah mendengar palu diketuk oleh sang hakim.Meskipun pada akhirnya akan ada tulisan “cerai hidup” yang akan menodai kartu kenegaraannya, Dara tetap bersyukur atas status barunya yang secara tidak langsung lepas dari belenggu siksa. Untung dari segala buntung, selama prosesi perceraian ini, tidak ada drama yang membumbui. Awalnya Dara khawatir jika William akan mempersulitnya, untungnya ada Sri Rahmi, mantan ibu mertuanya, yang terus menempeli putra pertamanya layaknya permen karet, wanita itu seakan-akan siap mencakarnya jika berani dekat-dekat dengan putra kesayangannya.“Om Hendra? Kok sendirian? Ta
Laksmi Wardana terlihat menikmati sup dengan dahi berkerut, seperti sedang menyusun berbagai tanya untuknya. Sedang Hendra dan istrinya tampak ikut canggung sederajat dengan atmosfer sekitar. Jangan tanya pada manusia satu yang sedang duduk tak jauh di seberang sana, Dara tak yakin ibunya juga sedang menyusun pertanyaan untuknya. Pasalnya, sekedar saling sapa saja seperti sebuah kemustahilan.Setelah usai, Sukma Wijayakusuma tampak langsung berdiri dan berniat pergi.“Mau ke mana, Sukma? Tidak ingin berbincang hangat dengan kami dulu?” tanya Laksmi pada putri semata wayangnya.“Tidak, Ma. Aku mau istirahat saja, banyak sekali musibah yang terjadi hari ini, membuat kepalaku pusing, aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun,” kelitnya tanpa melihat anaknya yang mungkin saja tersinggung. Dara tak tahu musibah apa saja yang menimpa ibunya hari ini, hanya ... ia terlampau yakin jika namanya masuk pada daftar musibah itu.“Bahkan dengan Dara?” tanya Laksmi sengaja menyebut nama cucunya.“T
“Terima kasih, Pak,” ujar Dara sebelum taksi yang ditumpanginya menjauh.Dara menatap jalanan kompleks yang sepi sebab waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ia jalan pintas dengan penuh kehati-hatian, sebab kluster mewah ini dijaga dengan keamanan ketat. “Berhenti di sana!” seru sebuah suara membuat tangan ringkih yang semula berniat membunyikan bel itu mengambang di udara.“Sudah saya bilang berkali-kali, kan?! Pengemis, penjual dan pemulung dilarang memasuki kawasan ini, tidak bisa baca aturan di depan?! Berani-beraninya mengotori kompleks ini dengan aura melaratmu!” sentak lelaki bertubuh tambun yang terasa asing bagi Dara. Ditodongkannya tongkat kebanggaan itu sembari menatap remeh penampilan Dara.Perempuan itu tersinggung saat menyadari penampilannya yang memang layak disebut pengemis daripada pewaris. “Saya bukan pengemis,” jelasnya sembari memencet bel dan membuat satpam itu cepat-cepat menariknya kasar.“Dasar orang miskin! Jangan berani mengganggu ketenangan pe
Atmosfer butik benar-benar kacau, beberapa baju yang sudah rusak berceceran itu semakin menyemarakkan suasana genting di sana. Dara memegangi perutnya yang terasa mulas dihadapkan dengan situasi ini.“Cium kaki saya, maka saya akan pertimbangkan untuk menjualnya atau tidak!” ulang sang mertua yang berhasil menyadarkan Dara bahwa kejadian ini bukan mimpi buruk semata.Para pelanggan sudah pulang karena butik ditutup mendadak agar informasi ini tak menyebar ke pihak luar dan mencemarkan nama baik butik. Kini, hanya tersisa Dara beserta karyawannya dan satu keluarga yang saat ini terus merongrongnya.Mertuanya mencebik, “Kamu tidak mau, Dara? Kalau begitu silakan angkat kaki dari sini–”“Saya mau! Saya akan lakukan apa pun!” sela Dara yang direspons dengan senyum puas satu keluarga itu.Dara melepaskan tangan asistennya yang mencoba menahannya. Matanya menyorot seluruh karyawannya dengan pilu. Hatinya dengan teguh meyakinkan bahwa inilah satu-satunya cara agar butik ini tak lepas dari g