“Terima kasih, Pak,” ujar Dara sebelum taksi yang ditumpanginya menjauh.
Dara menatap jalanan kompleks yang sepi sebab waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ia jalan pintas dengan penuh kehati-hatian, sebab kluster mewah ini dijaga dengan keamanan ketat. “Berhenti di sana!” seru sebuah suara membuat tangan ringkih yang semula berniat membunyikan bel itu mengambang di udara. “Sudah saya bilang berkali-kali, kan?! Pengemis, penjual dan pemulung dilarang memasuki kawasan ini, tidak bisa baca aturan di depan?! Berani-beraninya mengotori kompleks ini dengan aura melaratmu!” sentak lelaki bertubuh tambun yang terasa asing bagi Dara. Ditodongkannya tongkat kebanggaan itu sembari menatap remeh penampilan Dara. Perempuan itu tersinggung saat menyadari penampilannya yang memang layak disebut pengemis daripada pewaris. “Saya bukan pengemis,” jelasnya sembari memencet bel dan membuat satpam itu cepat-cepat menariknya kasar. “Dasar orang miskin! Jangan berani mengganggu ketenangan penghuni kompleks ini! Cepat pergi dari sini!” “Saya ingin bertemu nyonya Sukma.” Dara menelan ludahnya susah payah saat menyebutkan nama yang mulai asing di bibirnya. Sesaat raut terkejut menghiasi wajah si satpam. “Saya tidak percaya! Bu Sukma memerintahkan saya untuk menolak tamu tanpa janji. Lagi pula, tidak mungkin juga Bu Sukma yang sibuk, sempat membuat janji dengan orang miskin sepertimu. Dan ya! Bagaimana kamu tahu detail nama penghuni kompleks ini? Kamu mau menguntit?” selidik si satpam membuat Dara terkejut. Tiga tahun ia menghilang, sekarang semuanya tampak berubah. Mendadak gamang itu kembali hadir, menciutkan nyali yang susah-payah ia gali. Kini egonya berbisik, menyuruhnya untuk berbalik. Tak peduli dengan keadaan dompetnya yang kian mencekik. Tapi jika ia pergi, tinggal dimana dia dengan selembar merah yang masih bersemayam di dompetnya? Ah! Tidak-tidak! Sudah sejauh ini ia melangkah, ia bertekad akan melakukan apa saja untuk bisa bertemu ‘dalang sebenarnya’. Saat satpam itu menarik Dara menjauhi titik tujuannya, praktis, otak encernya langsung terpikirkan cara ekstrem agar si penghuni itu keluar dari ‘kandangnya’. “Argh! Sial! Dasar jalang!” pekik sang satpam sembari memegangi lengannya yang dihiasi bekas gigitan. Dara mengambil tanaman hias untuk penyejuk mata. Kali ini, ia akan menggunakannya untuk tujuan lain. Menggunakan insting pengusahanya yang selalu dipenuhi siasat. Lengannya turut lurus, agar upayanya ini akurat. Prang! Tarikan kasar pada tubuh lemahnya menyambutnya kemudian. Dara meringis saat rusuknya bersilaturahmi dengan bentala. Dengan raut pias, satpam tersebut segera menyeretnya kasar. “Sial! Wanita bodoh! Dungu! Apa kau tahu tindakanmu itu bisa membuat saya dipecat, hah?!” tanyanya dengan urat-urat menonjol. Bersamaan dengan itu, penghuni rumah berbondong-bondong keluar setelah mendengar keributan di malam buta ini. Dibukanya pintu oleh pria paruh baya bersama istrinya. Di samping itu, terdapat juga wanita lansia yang duduk di kursi roda. Gurat kusut jelas terpampang nyata pada wajah mereka. “Ada apa ini?” tanya pria itu sembari mendekati gerbang. “Maaf, Pak. Saya akan pastikan penyusup ini berakhir di kantor polisi karena mengganggu kenyamanan Bapak dan sekeluarga,” ucap si satpam sembari meringkus tangan sang wanita. “O-om Hendra! Tolong Dara!” panggil wanita itu susah payah membuat sang empunya mematung sejenak. “T-tunggu!” seru pria itu membuat satpam itu segera melepaskan tahanannya. “Kamu ... beneran Dara?” lirih Hendra sembari mengamati tubuh kurus yang menyentil simpatinya. Masih setengah syok. Pria itu langsung mendekap keponakannya untuk menumpahkan bendungan rindu. “Ma! Dara kembali, Dara pulang, Ma!” seru Hendra antusias membuat istrinya dengan cekatan mendorong kursi roda yang berisi wanita tua. Kedua wanita itu menatap Dara dengan suka cita. Tangis haru tak dapat ditahan jua. Belum sempat mereka saling mengungkap rindu yang terbalaskan temu, sebuah suara merusak suasana haru. “Kenapa pulang?” ucap wanita yang terakhir datang dengan piyama yang melekat di tubuhnya. “Sukma? Ayo kemari! Kamu tidak merindukan anakmu?!” seru lansia itu dengan antusias saat melihat anak semata wayangnya. “Anak?” ucap Sukma sinis, “Saya bahkan lupa pernah melahirkan seorang anak,” cetusnya membuat semua orang menahan napas. Hendra yang semula terharu itu ikut menimpali, “Apa maksudmu, Mbak Sukma? Dia adalah anak kandungmu sendiri–” “Orang yang sudah terang-terangan memberontak karena termakan cinta bodoh, saya tidak sudi mengakuinya sebagai bagian dari Wijayakusuma,” ucap Sukma sambil menyorot tajam putrinya. “Saya kemari bukan untuk kembali pada keluarga ini. Melainkan meminta pertanggungjawaban Anda atas perbuatan sabotase yang Anda lakukan pada bisnis saya. Membuat saya harus menelan pil pahit saat usaha saya menjadi korban eksploitasi ekonomi yang dilakukan suami saya sendiri, sekarang saya harus membayar ganti rugi pada klien,” jelas Dara membuat atmosfer haru itu berubah mencekam. Sukma tertawa mengejek. “Kenapa kamu menyalahkan saya atas kelalaianmu–” “Kenapa Anda ingkar akan janji, untuk tak mencampuri hidup saya lagi?” potong Dara membuat Sukma mendengus. “Tidak perlu saling menyalahkan! Kejadian di masa lalu murni karena kalian kurang komunikasi,” ucap wanita tertua keluarga Wijayakusuma menengahi. “Sekarang Dara sudah kembali, biarkan dia melanjutkan tugasnya sebagai pewaris satu-satunya Wijayakusuma–” “Ma! Apa-apaan ini?! Dia sendiri yang sudah memutuskan keluar dari Wijayakusuma dan memilih memperjuangkan cinta bodohnya!” seru Sukma tak setuju atas dekret ibunya. Sedang sepasang suami istri di sana, hanya harap-harap cemas menunggu keputusan akhir untuk keponakan tersayang mereka. “Jika kamu lupa, Sukma. Mamalah pemegang keputusan tertinggi di keluarga ini!” Sang lansia menjalankan tugasnya sebagai penengah “Sudahi keegoisan itu, Sukma! Semua orang pernah salah, kamu pun juga. Apa mama mengusirmu? Apa mama memutuskan hubungan denganmu? Tidak! Mama membiarkan kamu bebas, lalu saat kamu sadar, mana menerimamu dengan tangan terbuka. Membiarkanmu mengevaluasi sendiri semua keputusan yang sudah kamu ambil,” tutur lansia itu dengan kelembutan. Sadar jika seorang Sukma Wijayakusuma tinggi egonya. Sukma yang merasa terpojok segera pergi dengan amarah yang bergumul. “Tinggallah di sini, Dara,” kata lansia itu yang diangguki kedua paman dan bibinya. Tidak! Ini benar-benar di luar rencananya. Harusnya ia meminta sejumlah kompensasi pada ibunya. Setengahnya bisa untuk menunaikan kewajibannya pada klien. Sisanya, ia gunakan untuk memulai semuanya dari awal. Belum sempat lisan Dara menjawab, sang nenek kembali menyela, “Dara ... Oma tahu kamu tidak akan menolaknya, kamu pasti merasa bersalah meninggalkan kami dan ingin menebusnya. Lagi pula, tidak mungkin kamu kemari hanya untuk meminta uang, kemudian pergi lagi, kan?” tanya lansia itu dipenuhi siasat agar Dara tak sanggup menolak. Deg! Bagus! Dara merasa tercekik saat melihat wajah penuh harap Omanya. “I-iya Oma,” jawab Dara pasrah. Tak punya keberanian menolak setelah semua pemberontakannya. Sial! Apa ia punya pilihan lain? Setelah ini, akan jadi bagaimana kehidupannya? Ah! Tapi ada satu hal yang menarik. Jika ia kembali memiliki kuasa, ia bisa melakukan ... balas dendam.Laksmi Wardana terlihat menikmati sup dengan dahi berkerut, tampak sedang menyusun berbagai tanya untuk cucunya. Sedang Hendra dan istrinya tampak terdiam canggung sederajat dengan atmosfer sekitar. Jangan tanya pada manusia satu yang sedang duduk tak jauh di seberang sana, Dara tak yakin ibunya juga sedang menyusun pertanyaan untuknya. Pasalnya, sekedar saling sapa saja seperti sebuah kemustahilan. Setelah usai, Sukma Wijayakusuma tampak langsung berdiri dan berniat pergi. “Mau ke mana, Sukma? Tidak ingin berbincang hangat dengan kami dulu?” tanya Laksmi pada putri semata wayangnya. “Tidak, Ma. Aku mau istirahat saja, banyak sekali musibah yang terjadi hari ini, membuat kepalaku pusing, aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun,” kelitnya tanpa melihat anaknya yang mungkin saja tersinggung. Dara tak tahu musibah apa saja yang menimpa ibunya hari ini, hanya ... ia terlampau yakin jika namanya masuk pada daftar musibah itu. “Bahkan dengan Dara?” tanya Laksmi sengaja menyebut na
Dara menghembuskan napasnya perlahan, matanya memandang tautan tangannya yang berkeringat dingin dengan berkaca-kaca. Meski tangisan sering dianalogikan sebagai ungkapan perasaan sedih, namun hatinya jelas tak membual, bongkahan batu yang semula mengimpit dadanya seakan dipukul godam, semua kekhawatirannya hirap bersama pecahan-pecahan batu itu, lega, setidaknya itulah yang ia rasakan setelah mendengar palu diketuk oleh sang hakim. Meskipun pada akhirnya akan ada tulisan “cerai hidup” yang akan menodai kartu kenegaraannya, Dara tetap bersyukur atas status barunya yang secara tidak langsung lepas dari belenggu siksa. Untung dari segala buntung, selama prosesi perceraian ini, tidak ada drama yang turut membumbui. Awalnya, Dara khawatir jika William akan mempersulitnya, syukurnya ada Sri Rahmi, mantan ibu mertuanya, yang terus menempeli putra pertamanya layaknya permen karet, wanita itu seakan-akan siap mencakarnya jika berani dekat-dekat dengan putra kesayangannya. “Om Hendra? Kok se
Dara tersentak. Diputarnya pear body shape itu sampai 180° hingga wajah Anjani Hanggasa yang tengah bersedekap langsung menembus retinanya. “Tante!” serunya sambil menghampiri si empunya. “Kamu tahu kejadian tadi?” tanya Hendra membuat Anjani mau tak mau menghentikan lakonnya sebagai istri tersakiti. “Hm, aku kan cuma ke toilet sebentar, balik-balik malah disuguhi drama, aku pikir sedang ada syuting sinetron azab,” celetuknya membuat sepasang paman dan keponakan itu menghela napas bosan. “Kalau begitu, kira-kira judul apa yang cocok untuk sinetron azab itu?” tanya Hendra yang mau-mau saja meladeni sang istri. “Azab sering menebar senyuman, ketika mati mulutnya peot!” seru Anjani yang direspons tawa geli sang suami. Seorang Anjani Hanggasa, dokter pediatri terkenal, sedang cemburu melihat suaminya tersenyum di depan para wanita! Dara bukannya tak tahu bagaimana mesranya dua orang itu, tapi tiap kali melihatnya, perempuan itu selalu memiliki seberkas iri yang menjamur. Cih! Willia
‘Berangkat ke kantor. cepat pulang, ya, Ayah. Adik tunggu,’ Dara mendengus sinis saat melihat unggahan Indri yang menampilkan William tengah mencium perut ratanya dengan kemeja slim fit biru serta celana bahan hitamnya. Jadi William sudah mendapat pekerjaan? Dan itu sesudah mereka bercerai? Apalagi dilihat dari penampilan William, sepertinya lelaki itu mendapat posisi yang cukup bagus. Dara jadi memikirkan omongan Rahmi tentang dirinya yang membawa sial. Apa benar dirinya memang pembawa sial? Kenapa William tampak sukses setelah mereka berpisah? Dan lihatlah senyum pria itu. Dara bahkan tak pernah diberikan senyuman selebar ini ketika mereka masih berstatus suami istri. “Bagaimana, Ra?” tanya Laksmi Wardana membuat Dara cepat-cepat menyimpan ponselnya dan mengalihkan atensi ke laptop yang sejak tadi menyala. Dara terkejut. “Aku ... diterima?” tanyanya tak yakin setelah membaca email dari PT. Juita betari, yang merupakan perusahaan besar milik keluarga Wijayakusuma. “Bagus! Oma sud
Dara mengamati dokumen kenegaraan di tangannya. Gelisah, setelah kejadian kemarin, perempuan itu semakin merasa bersalah saat melihat namanya yang tertulis jelas di bawah nama Sukma Wijayakusuma. Anjani menyeruput tehnya sembari memperhatikan ekspresi keponakannya. “Kamu tidak siap-siap? Kita akan pergi ke mall sekarang, kebetulan tante sedang tidak memiliki jadwal praktik, tapi pamanmu itu agaknya tidak bisa mengantar, dia sedang ada urusan bisnis,” beritahunya sembari mengamati penampilan keponakan yang masih ala-ala rumahan dengan mata panda yang menarik atensi. “Kalau menunggu pamanmu, tante tidak yakin kita jadi shopping, biar sopir yang mengantar, kamu siap-siap sekarang!” tegas Anjani membuat Dara mau tak mau bersiap-siap dan kembali saat Anjani menghabiskan secangkir tehnya. Sebuah wrap dress berwarna merah dengan motif flora melekat indah di tubuh 171 senti itu, ditambah sepasang boots hitam yang berhasil membuat Anjani berdecak kagum akan keindahan sang keponakan yang suda
Seluruh kegiatan kafe langsung terhenti seketika. Semua mata langsung tertuju pada dua wanita yang tampak memiliki prahara, beberapa orang bahkan kesulitan untuk sekedar menyerap udara, dalam hati khawatir jika napasnya terdengar dan bisa menarik atensi dua wanita di sana, takut terlibat pertengkaran fisik penuh siksa.“Perempuan jalang!” seru Indri sambil menunjuk wajah Dara yang menoleh ke samping akibat tamparannya. Semua pelanggan yang mendengarnya pun mulai berspekulasi sesuai keyakinan masing-masing.“Apa kamu bilang?” desis Dara dengan gigi bergemeletuk.“Memang benar, kan? Sebutan apa yang lebih pantas untuk wanita yang berusaha menghancurkan rumah tangga orang?!” sentak Indri semakin membuat audiens tertarik memperhatikan drama dadakan itu.Dara mengusap pipinya yang terasa panas dan kebas. Matanya menatap nyalang pada perempuan berpenampilan kacau di depannya. “Indri ...,” tekannya yang masih rasional dengan tidak menampar balik perempuan itu sebab masih memikirkan nasib san
Dara mematut penampilannya di depan cermin full body. Sebuah kemeja dengan puffy Sleeve berwarna baby blue yang dipadukan dengan wrap skirt berwarna hitam selutut sukses melekat indah di tubuh semampai itu, memperlihatkan betis jenjangnya. Setelah memastikan penampilannya paripurna, perempuan itu segera mengambil block heel 5 senti yang senada dengan warna roknya. Tidak lupa anting cuplik mutiara yang membuat penampilannya on point.“Wah! Ada yang mau menjalani hari pertama menjadi karyawan, nih!” celetuk Hendra saat melihat Dara turun menenteng heel serta tasnya.Anjani ikut terkekeh sembari mengamati penampilan Dara, wanita paruh baya itu menyingkirkan sedikit resah dan curiga atas sikap tenang Dara, pasalnya, bertahun-tahun mengenal sang keponakan, membuatnya tahu sifat menggebu-gebu Dara. Suatu kemustahilan jika Dara melupakan kejadian ‘itu’ begitu saja.Di ujung sana terdapat wanita berpakaian formal yang tampak mengisolasi dirinya dari keluarga Wijayakusuma lain.“Oma harap kali
Delion memandang perempuan yang ia anggap adik itu dengan skeptis. “Sebenarnya apa maksudmu? Kamu tahu, aku adalah seorang PI terkenal, mangsaku bukan sembarang mangsa. Aku bahkan pernah menyelidiki pengusaha terkenal luar negeri, dan kamu?” Delion menunjuk Dara dengan sengit. “Kamu menyuruhku menyelidiki mantan suamimu? Prestiseku jelas akan jatuh!”Dara mendengus. “Jangan salah! Mereka semua orang-orang manipulatif. Jika keluarga William ada di lingkaran sama seperti kita, aku yakin mereka akan menjadi lawan yang tangguh.”Delion Sunarija menghela napas. “Dan? Kamu sudah sepenuhnya lepas dari mereka bukan? Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar perceraianmu dari istriku.”Dara tak mengelak tentu saja, lagi pula istri Delion masih memiliki hubungan kekerabatan lewat Laksmi Wardana. “Kata siapa aku sudah terlepas dari mereka, baru saja kemarin! Indri, mengancam mantan asistenku di tempat kerjanya, aku tak punya pilihan selain datang, dan apa kau tahu apa yang terjadi? Dia! Cecung
"K-kok pak Sagara ...,""Mereka sering bertemu?""A-ah, nyonya Sera memang sangat dekat dengan keluarga Adikara, apalagi dengan nyonya Rissa. Nyonya Sera adalah sahabat kecil pak Sagara,""Maksudmu ... sahabat yang akhirnya menjadi sepasang kekasih?""Mari, sepertinya pak Sagara sudah menunggu,""Hai, Dara,""Wow! Ternyata ini kegiatan akhir pekanmu, Sagara? Kamu mengajak kekasihmu untuk berkencan di rumah, di saat tak ada anggota keluarga di sini?""Sera ...,""Tak masalah, Pak. Saya paham akan maksud nyonya Sera, lagi pula semua orang pun pasti tahu hanya dengan sekali lihat, kita tak sedekat itu,""Tampaknya atmosfer di antara kalian terasa sangat buruk, kalau begitu saya pamit undur diri dulu,""Ada perlu apa kamu ke mari, Dara?""Saya ingin mengembalikan barang yang kapan hari pak Sagara pinjamkan kepada saya,""Silakan duduk," "Padahal sebenarnya kamu tak perlu mengembalikannya,""Tolong jangan berbicara demikian, Pak. Barang 'ini' bukan milik saya, mau saya menyimpannya di lema
"Apa yang sebenernya terjadi pada kamu, Sagara?""Kamu gila? Kamu mengharapkan seorang wanita yang sudah menikah?""Dan setelah itu berani-beraninya kamu mengatakan kalimat cinta menjijikkan itu kepadaku, kamu menganggapku sekedar pelarian?""Kamu benar-benar bajingan yang tak tahu diri, kamu brengsek!""Nona Dara?""Ya? Masuk saja, Mbak!""Taruh saja di sana, Mbak. Terima kasih sudah mencucikan baju saya,""Eh, tunggu!""Ya, Nona Dara? Ada yang bisa saya bantu?""Ini baju siapa?""Loh? Bukan baju Non Dara? Saya ingat ini di keranjang untuk baju kotor yang berasal dari kamar Non Dara,""I-iya itu baju saya," "Silakan teruskan pekerjaan kamu,""Sial, aku sudah berjanji akan mengembalikannya," "Kenapa Sagara jahat sekali? Dia memberikan baju belasan mantannya yang udah ditolak kepadaku? Hanya karena keadaanku saat itu benar-benar mengenaskan, bukan berarti dia bisa merendahkanku dengan cara seperti itu,""Ini hari libur, kamu mau keluar lagi?""Maaf, Ma,""Bukan begitu maksud mama, Dara
“Halo?” “Mama masih di kantor?”“Hm, sebentar lagi mama mau pulang, Dara. Kamu di mana?”“Aku juga masih di kantor,”“Terus? Ada perlu apa sama mama?”“Sepertinya ... nanti aku tidak bisa bergabung bersama kalian dalam acara memasak,”“Kenapa memangnya? Kamu tidak suka bereksperimen bersama kami?”“Ah! Bukan begitu, Ma. Masalahnya aku baru ingat kalau hari ini ada sebuah janji,”“Janji? Bersama klien?”“T-tidak, sebenarnya ini hanya janji makan siang saja, akan tetapi, temanku ini seorang publik figur yang jarang pulang ke tanah air. Jadi, aku merasa harus meluangkan waktuku untuk bertemu dan bertukar kabar dengannya,”“Teman kamu sekarang banyak sekali, ya? Mama saja tidak pernah berkumpul dengan teman-teman Mama gara-gara sibuk. Tapi tidak apa-apa. Asalkan kami baik-baik mama tentu akan mengizinkan. Nanti mama akan jelaskan pada tante Rissa,”“Terima kasih, Ma!”“Hm, mama sempat berpikir kamu akan bertemu Sagara, loh,”“Maksudnya?”“Tadi Sagara juga izin tidak ikut eks
"Delion! Jangan melihatnya! Apakah kamu tidak berdosa menikmati milik wanita lain di saat kamu sendiri punya istri?" "Cih! Kamu berharap aku tertarik dengan milik bidadari vintage itu? Istriku lebih baik dari segala aspek," "Aku bahkan tak berani menggunakannya untuk berfantasi." "Kupikir ... semua pria akan birahi salahkan disuguhi ketelanjangan," "Umumnya memang begitu, tapi bukan berarti tidak ada beberapa pria yang menolaknya. Lagi pula, jangan meragukan keprofesionalanku. Sebelum ini, aku bahkan pernah bersembunyi di bawah kolong ranjang pasangan yang sedang memadu kasih," "Dasar gila!" "Ya, memang segila itu dunia investgasi." "Ngomong-ngomong, Dara. Akan kamu gunakan untuk apa bukti ini?" "Bukan untuk apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan sendiri bagaiman gilanya Sri Rahmi," "Lihat? Mereka semakin liar sja," "Pernahkah ... kakak berfantasi kepada pria lain, kecuali aku dan suami kakak? Ohh! Emhh!" "Pernah ... banyak sekali pria-pria muda yang menjadi objek fantasiku
“Delion?”“Hm,”“A-apa aku salah lihat?“Tidak, memang itulah kenyataannya, Dara.”“As-hmmph!”“Hmphmph! Lepas!”“Kamu gila! Apa yang kamu lakukan, Sialan!”“Mulutmu!” “ Bisakah kamu mengendalikan muncungmu itu? Bagaimana kalau kita ketahuan!”“Hei, cecunguk! Apa kamu lupa kalau mobil kita kedap suara dan tidak tembus pandang?”“O-oh, maaf,”“Sial! Kamu merusak moodku!”“Lah? Kenapa malah menyalahkanku? Dari awal, kan memang suasana hatimu sudah buruk. Ingat! Kamu sendiri yang sudah memaksa untuk ikut,”“Memangnya salah kalau aku mau ikut?”“Tidak salah! Yang slah adalah Sagara karena membuatmu patah hati—”“Jangan menyebut namanya!”“Nah, kan! Penyebab utama moodmu rusak karena hubungan kalian. Aih! Gara-gara kamu galau malah mengajak ribut satu dunia,”“Sudahlah! Kita fokus saja menyelidiki Sri Rahmi!”“Loh? Ke mana dia?”“Cih! Gara-gara bertengkar, kita malah kehilangan jejaknya!”“Mungkin—”Brak!“Astaga!”“Delion! Itu—”“Syutt! Kita tak perlu mencari-cari m
Dara terburu-buru menuruni tangga dengan wajah polosnya. Begitu membaca pesan dari Delion Sunarija, Dara mempercepat tempo langkahnya. Sebuah setelan serba hitam yang dipakainya berhasil membuat Sukma Wijayakusuma mengernyit melihat keanehan outfitnya.“Kamu mau ke mana, Dara?” tanya ibu satu anak itu sembari mengamati anaknya dengan alis berkerut. Ini sudah malam hari, kira-kira ke mana anaknya akan pergi?Dara terdiam sejenak sebelum berbalik menghadap ibunya. “Aku ada kepentingan dengan teman, Ma."Sukma menyangga wajahnya dengan tangan. Ia pandangi sang putri yang tengah meremas ujung pakaian itu dengan pandangan tertarik. “Teman? Apakah itu Sagara?” “Tidak mungkin!” Dara terlonjak ketika mendengar suara menyentak yang berasal dari belakangnya. Ketika menoleh ia mendapati wajah sang paman yang terpampang nyata.“Om kenapa, sih?! Datang-datang main menyelonong saja!" sewot Dara dengan wajah garangnya. Perempuan itu memilih duduk di dekat ibunya sembari mengecek ponselnya.Hendra
"Ya Tuhan,” bisik Dara begitu mengangkat gaun yangs Sagara berikan. Overall, itu memang tidak terlalu ketat dan warnanya pun hitam sehingga memberikan kesa mewah. Namun, panjang gaunnya sangat tidak cocok untuk tubuh Dara yang tinggi semampai. Setelah beberapa menit berperang dengan dress itu, akhirnya Dara bisa menatap figur dirinya di cermin. Meskipun di luar terlihat biasa saja, Dara sebagai si pemakainya jelas yang paling merasakan bagaimana tak nyamanya gaun ini.Perempuan itu mengambil ponselnya dari clutch dan segera mencari nama kontak Delion. Namun urung, sebelum Dara memencet tombol panggilan, tiba-tiba keraguan melanda hatinya. Kapan hari Delion sudah menasihatinya untuk kembali mengejar Sagara, tapi Dara jelas tak tahu bagaimana caranya mengungkapkan pikiran dan keinginannya pada pria itu. Apakah harus dikatakan hari ini? Bagaimana kalau nanti Sagara merasa tak nyaman? Tapi jika tidak dilakukan sekarang, kapan lagi? belum tentu Dara bisa bertemu dengan pengusaha beken it
“Kamu terlihat lesu, Dara. Sakit?” “Tidak, aku hanya malas datang ke pesta yang sangat ramai, nanti di sana pasti ada banyak teman-teman Mama yang tanya ini-itu,” “Memangnya kenapa? Itu, kan bagus untuk branding kamu Dara. Jadi nanti sekalian kamu dekat dengan mereka, sekalian juga perluas koneksi,” “Mama selalu memandang sesuatu dari segi keprofesionalan, ya? Aku jadi semakin insecure,” “Insecure kenapa?” “Mama tidak pernah merasa terbebani? Status Mama kan pewaris tunggal, otomatis ekspektasi orang-orang akan membuat Mama semakin tertekan bukan?” “Kalu dulu, jelas iya. Apalagi waktu awal-awal menjabat dan menghadapi ombak di dunia enterpreneurship. Dulu semua orang membanding-bandingkan kinerja mama dengan prestasi kakekmu, itu jelas sangat membuat mama tertekan.” “Dara,” “Kamu tidak perlu memaksakan diri dengan menjadi nomor satu seperti mama. Kamu lihat? Mama saja yang skill dan minatnya di dunia enterpreneurship saja kewalahan, apalagi kamu yang malah minatnya di du
“Penjarakan Sri Rahmi!” seru seorang wanita sembari membawa wajan dan memukul-mukulnya dengan keras hingga terdengar suara bising yang menganggu. Para wanita di belakangnya ikut menyemarakkan suasana dengan sorakan tenor mereka. “Kami tidak Sudi sekampung dengan penipu dan pencuri!” teriak yang lainnya dengan suara menggelegar, membuat tetangga Kana kiri Sri Rahmi langsung keluar untuk melihat sumber kebisingan. “Ya! Selain itu, anak-anaknya juga suka berbuat onar dan mencemarkan nama baik kita semua,” tambah seorang wanita yang disetujui warga-warga lain. Seorang wanita yang baru saja bergabung itu langsung menyela, “Jangan begitu, dong! Sebelum itu suruh dia lunasi semua uang yang dia tilap!” Keadaan di depan rumah Sri Rahmi tampak sangat kacau buntut kasus dugaan penggelapan uang arisan yang meresahkan warga. Persatuan ibu-ibu sekompleks itu langsung mengumpulkan massa dan bergabung untuk memberikan pelajaran bagi sang ratu gosip yang belakangan ini mengurung diri. Entah kar