Atmosfer butik benar-benar kacau, beberapa baju yang sudah rusak berceceran itu semakin menyemarakkan suasana genting di sana. Dara memegangi perutnya yang terasa mulas dihadapkan dengan situasi ini.
“Cium kaki saya, maka saya akan pertimbangkan untuk menjualnya atau tidak!” ulang sang mertua yang berhasil menyadarkan Dara bahwa kejadian ini bukan mimpi buruk semata. Para pelanggan sudah pulang karena butik ditutup mendadak agar informasi ini tak menyebar ke pihak luar dan mencemarkan nama baik butik. Kini, hanya tersisa Dara beserta karyawannya dan satu keluarga yang saat ini terus merongrongnya. Mertuanya mencebik, “Kamu tidak mau, Dara? Kalau begitu silakan angkat kaki dari sini–” “Saya mau! Saya akan lakukan apa pun!” sela Dara yang direspons dengan senyum puas satu keluarga itu. Dara melepaskan tangan asistennya yang mencoba menahannya. Matanya menyorot seluruh karyawannya dengan pilu. Hatinya dengan teguh meyakinkan bahwa inilah satu-satunya cara agar butik ini tak lepas dari genggamannya, meskipun akhirnya ia harus merelakan harga dirinya diinjak-injak. “Bantu saya melakukannya,” pinta Dara membuat sang asisten berkaca-kaca. Dengan sedikit meringis, Akhirnya Dara berhasil bersimpuh di hadapan sang mertua. Tangannya yang setengah berguncang itu memeluk kaki mertuanya yang berbalut gamis. Tanpa bisa dicegah, air mata di pelupuknya langsung terjun bebas. “Kamu hanya akan diam saja, Dara? Tidak mau meminta maaf atas semua kesalahanmu selama ini? Kamu tidak mau butik ini dijual, kan?” cibir ibu mertuanya membuat Dara mendongak sampai sang mertua bisa melihat wajah sembabnya. “S-saya mengaku salah. Tolong maafkan semua kesalahan saya selama ini–” “Kesalahan apa, Dara? Kamu harus sebutkan semuanya dengan jelas,” pancing wanita yang sedang dimintai ampunan itu. Melihat wajah putus asa sang menantu adalah kesenangan tersendiri baginya, mendorongnya untuk terus mempermainkan harga diri sang menantu. Dara mengepalkan tangannya atas pernyataan sang mertua yang semakin menghancurkan harga dirinya. “Ibu, tolong maafkan semua kesalahan saya, selama menjadi menantu saya membangkang,” mohonnya sambil memeluk kaki sang mertua. “Bu, permintaan maaf itu tidak cukup. Dia juga punya kesalahan pada saya,” sela Indri tampak tak mau ketinggalan menambah klimaks. Wanita hamil itu mengelus perutnya dengan iba. “Waktu itu ... Dara pernah mengatai saya merebut suaminya, padahal yang saya lakukan bertujuan meneruskan keturunan keluarga kita. Saya tidak rela dihina sebagai perebut suami orang,” katanya sembari mengusap sudut matanya yang sedikit basah. Dara menggeram marah. Seandainya sekarang ia tak dalam kondisi seperti ini, ia bersumpah akan menamparnya bolak-balik sampai mati. “Dara,” panggil sang mertua sembari menyentuh pipi menantunya. Sekarang keduanya sudah sejajar, dan ia bisa melihat dengan jelas wajah menantunya. “Kamu dengar itu? Indri bilang, dia mau kamu meminta maaf. Tidak usah muluk-muluk. Cukup akui saja kalau semua yang terjadi di pernikahanmu, itu adalah akibat atas kemandulanmu,” cetusnya membuat Dara tersentak. Demi Tuhan! Kalimat itu adalah yang paling menyakitkan baginya. Membenarkan perselingkuhan suaminya, kemudian meletakkan semua kesalahan padanya. Setelah berhasil mengendalikan gejolak amarahnya, Dara merangkak kemudian meraih kaki Indri. “Aku meminta maaf, Ndri. Atas semua hinaan itu, aku sadar kalau pernikahanku hancur bukan karena kamu, tapi karena aku ...,” Dara terisak hebat, “... Aku mandul,” lirihnya sembari menggigit bibirnya agar suara tangisan itu tak serta-merta lolos dari bibirnya. “Bagus! Sekarang kamu bisa pergi,” tukas Indri membuat Dara memandang ibu mertuanya penuh harap. “Tapi, butik ini ... tidak jadi di jual, kan?” tanya Dara dengan matanya yang sedikit berbinar. Sang mertua tampak mendengus jijik. “Percaya diri sekali kamu. Tadi, kan saya sudah bilang, akan mempertimbangkannya setelah melihat sikap kamu. Sayangnya saya tidak tersentuh akan permintaan maaf kamu–” Dara buru-buru kembali bersimpuh. “Tolong jangan! Saya benar-benar akan menuruti semua perintah ibu! Saya akan mencium kaki ibu dan kalian semua, saya tidak akan mengambil rumah–” Ibu mertuanya tampak menggosok telinganya yang terasa panas. “Saya akan berbaik hati memberikan isi butik ini padamu. William! Suruh orang-orang itu memberesi semua barang-barang ini sampai bersih tak tersisa!” perintahnya yang langsung disanggupi sang anak. Dara meraung-raung di dalam kungkungan sang asisten, ketika melihat satu persatu barangnya dikeluarkan para karyawan atas ancaman sang suami. Badannya yang lemas tak bertenaga itu menatap nanar saat papan mana butiknya diturunkan paksa oleh ayah mertuanya. Tangan kurusnya memegangi perut yang kembali terasa perih. Ini sakit. Dua kata itu seakan menyadarkannya bahwa apa yang terjadi ini benar-benar bukan mimpi semata. Dara mengusap sisa-sisa air matanya setelah para karyawannya kembali dengan raut murung. Ia sadar, di sini bukan hanya dirinya saja yang sedih. Apalagi sebagai pemimpin, ia bertanggung jawab atas kelangsungan hidup karyawannya. Dipandanginya satu persatu wajah yang selama beberapa tahun belakangan ini menemaninya. "Mbak, kita masih punya tanggungan sama klien," adu asistennya pada Dara. “Berapa jumlahnya?” tanyanya setelah merasa bisa menguasai gejolak emosi. Mencoba berdiri tegak, mau tak mau, Dara harus mengambil keputusan tegas karena ini menyangkut nasib karyawannya. “11, Mbak. 4 lainnya sudah jadi dan siap diambil, sedangkan sisanya baru berkonsultasi tapi sudah bayar DP,” jelas si asisten dengan lesu dan direspons dengan anggukan pasrah oleh atasannya. “Bagaimana kalau kita jual saja semua bahan kita, Mbak?” usul salah seorang karyawan. “Boleh saja, tapi itu tidak menjamin cepat laku. Sedangkan kita butuh uang cepat. Di rekening pribadi saya ada sedikit, masih bisa mengcover seperempat uang DP mereka. Sisanya akan saya usahakan,” ujarnya sembari memijit pelipis saat menyadari hanya ada tiga lembar ratusan di dompetnya untuk dirinya sendiri. Dara mengambil rekening pendapatan butik dari tumpukan berkas-berkas yang teronggok. Ia menghela napas saat melihat jumlahnya. Sangat pas-pasan jika digunakan untuk menggaji karyawannya. Pasalnya bulan lalu, butiknya melakukan promosi besar-besaran untuk memperluas pangsa pasar melalui pagelaran busana yang membutuhkan banyak persiapan dana. Belum lagi, bulan ini pendapatannya juga menurun. “Kalau ini dari rekening pendapatan kita. Saya rasa ini cukup untuk gaji bulan ini beserta pesangon kalian,” ucap Dara sembari memberikan rekening itu pada asistennya. “Terus, bagaimana nasib Mbak?” tanya asistennya dengan berkaca-kaca. Bertahun-tahun bekerja dengan Dara, ia tahu jika Dara tak memiliki keluarga di sini. Dara menutup dompetnya dan mencoba menampilkan senyum tegarnya. “Tidak perlu khawatirkan saya, kalian hanya perlu melaksanakan tugas terakhir itu, saya pastikan akan mengirimkan uang itu secepatnya. Seandainya kalian mau jual semua bahan ini, silakan. Saya akan pergi sekarang untuk menemui kenalan, jaga diri baik-baik dan semoga kalian semua sukses,” pamitnya sembari memeluk satu persatu karyawannya sebagai salam perpisahan. Setelah menghentikan taksi, tubuh ringkihnya yang hampir tersapu angin itu dibantu karyawannya yang tersedu-sedu untuk memasuki taksi. “Mau ke mana, Mbak?” tanya sang sopir sebelum akhirnya mendapat secarik kertas dari penumpangnya. “Wah! Ini, kan, salah satu kompleks perumahan elite yang terkenal, berarti Mbaknya orang berada, ya?” kata sang sopir setelah membacanya. Dara hanya tersenyum miris mendengarnya.“Terima kasih, Pak,” ujar Dara sebelum taksi yang ditumpanginya menjauh.Dara menatap jalanan kompleks yang sepi sebab waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ia jalan pintas dengan penuh kehati-hatian, sebab kluster mewah ini dijaga dengan keamanan ketat. “Berhenti di sana!” seru sebuah suara membuat tangan ringkih yang semula berniat membunyikan bel itu mengambang di udara.“Sudah saya bilang berkali-kali, kan?! Pengemis, penjual dan pemulung dilarang memasuki kawasan ini, tidak bisa baca aturan di depan?! Berani-beraninya mengotori kompleks ini dengan aura melaratmu!” sentak lelaki bertubuh tambun yang terasa asing bagi Dara. Ditodongkannya tongkat kebanggaan itu sembari menatap remeh penampilan Dara.Perempuan itu tersinggung saat menyadari penampilannya yang memang layak disebut pengemis daripada pewaris. “Saya bukan pengemis,” jelasnya sembari memencet bel dan membuat satpam itu cepat-cepat menariknya kasar.“Dasar orang miskin! Jangan berani mengganggu ketenangan pe
Laksmi Wardana terlihat menikmati sup dengan dahi berkerut, tampak sedang menyusun berbagai tanya untuk cucunya. Sedang Hendra dan istrinya tampak terdiam canggung sederajat dengan atmosfer sekitar. Jangan tanya pada manusia satu yang sedang duduk tak jauh di seberang sana, Dara tak yakin ibunya juga sedang menyusun pertanyaan untuknya. Pasalnya, sekedar saling sapa saja seperti sebuah kemustahilan. Setelah usai, Sukma Wijayakusuma tampak langsung berdiri dan berniat pergi. “Mau ke mana, Sukma? Tidak ingin berbincang hangat dengan kami dulu?” tanya Laksmi pada putri semata wayangnya. “Tidak, Ma. Aku mau istirahat saja, banyak sekali musibah yang terjadi hari ini, membuat kepalaku pusing, aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun,” kelitnya tanpa melihat anaknya yang mungkin saja tersinggung. Dara tak tahu musibah apa saja yang menimpa ibunya hari ini, hanya ... ia terlampau yakin jika namanya masuk pada daftar musibah itu. “Bahkan dengan Dara?” tanya Laksmi sengaja menyebut na
Dara menghembuskan napasnya perlahan, matanya memandang tautan tangannya yang berkeringat dingin dengan berkaca-kaca. Meski tangisan sering dianalogikan sebagai ungkapan perasaan sedih, namun hatinya jelas tak membual, bongkahan batu yang semula mengimpit dadanya seakan dipukul godam, semua kekhawatirannya hirap bersama pecahan-pecahan batu itu, lega, setidaknya itulah yang ia rasakan setelah mendengar palu diketuk oleh sang hakim. Meskipun pada akhirnya akan ada tulisan “cerai hidup” yang akan menodai kartu kenegaraannya, Dara tetap bersyukur atas status barunya yang secara tidak langsung lepas dari belenggu siksa. Untung dari segala buntung, selama prosesi perceraian ini, tidak ada drama yang turut membumbui. Awalnya, Dara khawatir jika William akan mempersulitnya, syukurnya ada Sri Rahmi, mantan ibu mertuanya, yang terus menempeli putra pertamanya layaknya permen karet, wanita itu seakan-akan siap mencakarnya jika berani dekat-dekat dengan putra kesayangannya. “Om Hendra? Kok se
Dara tersentak. Diputarnya pear body shape itu sampai 180° hingga wajah Anjani Hanggasa yang tengah bersedekap langsung menembus retinanya. “Tante!” serunya sambil menghampiri si empunya. “Kamu tahu kejadian tadi?” tanya Hendra membuat Anjani mau tak mau menghentikan lakonnya sebagai istri tersakiti. “Hm, aku kan cuma ke toilet sebentar, balik-balik malah disuguhi drama, aku pikir sedang ada syuting sinetron azab,” celetuknya membuat sepasang paman dan keponakan itu menghela napas bosan. “Kalau begitu, kira-kira judul apa yang cocok untuk sinetron azab itu?” tanya Hendra yang mau-mau saja meladeni sang istri. “Azab sering menebar senyuman, ketika mati mulutnya peot!” seru Anjani yang direspons tawa geli sang suami. Seorang Anjani Hanggasa, dokter pediatri terkenal, sedang cemburu melihat suaminya tersenyum di depan para wanita! Dara bukannya tak tahu bagaimana mesranya dua orang itu, tapi tiap kali melihatnya, perempuan itu selalu memiliki seberkas iri yang menjamur. Cih! Willia
‘Berangkat ke kantor. cepat pulang, ya, Ayah. Adik tunggu,’ Dara mendengus sinis saat melihat unggahan Indri yang menampilkan William tengah mencium perut ratanya dengan kemeja slim fit biru serta celana bahan hitamnya. Jadi William sudah mendapat pekerjaan? Dan itu sesudah mereka bercerai? Apalagi dilihat dari penampilan William, sepertinya lelaki itu mendapat posisi yang cukup bagus. Dara jadi memikirkan omongan Rahmi tentang dirinya yang membawa sial. Apa benar dirinya memang pembawa sial? Kenapa William tampak sukses setelah mereka berpisah? Dan lihatlah senyum pria itu. Dara bahkan tak pernah diberikan senyuman selebar ini ketika mereka masih berstatus suami istri. “Bagaimana, Ra?” tanya Laksmi Wardana membuat Dara cepat-cepat menyimpan ponselnya dan mengalihkan atensi ke laptop yang sejak tadi menyala. Dara terkejut. “Aku ... diterima?” tanyanya tak yakin setelah membaca email dari PT. Juita betari, yang merupakan perusahaan besar milik keluarga Wijayakusuma. “Bagus! Oma sud
Dara mengamati dokumen kenegaraan di tangannya. Gelisah, setelah kejadian kemarin, perempuan itu semakin merasa bersalah saat melihat namanya yang tertulis jelas di bawah nama Sukma Wijayakusuma. Anjani menyeruput tehnya sembari memperhatikan ekspresi keponakannya. “Kamu tidak siap-siap? Kita akan pergi ke mall sekarang, kebetulan tante sedang tidak memiliki jadwal praktik, tapi pamanmu itu agaknya tidak bisa mengantar, dia sedang ada urusan bisnis,” beritahunya sembari mengamati penampilan keponakan yang masih ala-ala rumahan dengan mata panda yang menarik atensi. “Kalau menunggu pamanmu, tante tidak yakin kita jadi shopping, biar sopir yang mengantar, kamu siap-siap sekarang!” tegas Anjani membuat Dara mau tak mau bersiap-siap dan kembali saat Anjani menghabiskan secangkir tehnya. Sebuah wrap dress berwarna merah dengan motif flora melekat indah di tubuh 171 senti itu, ditambah sepasang boots hitam yang berhasil membuat Anjani berdecak kagum akan keindahan sang keponakan yang suda
Seluruh kegiatan kafe langsung terhenti seketika. Semua mata langsung tertuju pada dua wanita yang tampak memiliki prahara, beberapa orang bahkan kesulitan untuk sekedar menyerap udara, dalam hati khawatir jika napasnya terdengar dan bisa menarik atensi dua wanita di sana, takut terlibat pertengkaran fisik penuh siksa.“Perempuan jalang!” seru Indri sambil menunjuk wajah Dara yang menoleh ke samping akibat tamparannya. Semua pelanggan yang mendengarnya pun mulai berspekulasi sesuai keyakinan masing-masing.“Apa kamu bilang?” desis Dara dengan gigi bergemeletuk.“Memang benar, kan? Sebutan apa yang lebih pantas untuk wanita yang berusaha menghancurkan rumah tangga orang?!” sentak Indri semakin membuat audiens tertarik memperhatikan drama dadakan itu.Dara mengusap pipinya yang terasa panas dan kebas. Matanya menatap nyalang pada perempuan berpenampilan kacau di depannya. “Indri ...,” tekannya yang masih rasional dengan tidak menampar balik perempuan itu sebab masih memikirkan nasib san
Dara mematut penampilannya di depan cermin full body. Sebuah kemeja dengan puffy Sleeve berwarna baby blue yang dipadukan dengan wrap skirt berwarna hitam selutut sukses melekat indah di tubuh semampai itu, memperlihatkan betis jenjangnya. Setelah memastikan penampilannya paripurna, perempuan itu segera mengambil block heel 5 senti yang senada dengan warna roknya. Tidak lupa anting cuplik mutiara yang membuat penampilannya on point.“Wah! Ada yang mau menjalani hari pertama menjadi karyawan, nih!” celetuk Hendra saat melihat Dara turun menenteng heel serta tasnya.Anjani ikut terkekeh sembari mengamati penampilan Dara, wanita paruh baya itu menyingkirkan sedikit resah dan curiga atas sikap tenang Dara, pasalnya, bertahun-tahun mengenal sang keponakan, membuatnya tahu sifat menggebu-gebu Dara. Suatu kemustahilan jika Dara melupakan kejadian ‘itu’ begitu saja.Di ujung sana terdapat wanita berpakaian formal yang tampak mengisolasi dirinya dari keluarga Wijayakusuma lain.“Oma harap kali
Suasana Padang rumput yang semula teduh itu berubah menjadi panas ketika dua pasang manusia berbeda gender itu saling merasakan manisnya bibir masing-masing. Dara menutup netranya begitu Sagara memegangi wajahnya dengan lembut seolah-olah pria itu takut menyakitinya.Begitu keduanya kehabisan oksigen, mereka memutuskan untuk saling melepaskan diri dari belenggu manis itu. Dara mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Ketika Sagara kembali mendekat, praktis perempuan itu semakin membuka diri. Sesuatu yang lembut dan manis langsung menyapa bibir bulatnya. Pikiran Dara seketika hanya berisi gairah untuk terus mengeksplor rasa menyenangkan ini. Dara lupa akan tujuan utamanya, Dara lupa siapa dirinya selaku orang yang semula terancam. Dara lupa siapa Sagara, selaku orang yang mengancam posisinya. Di pikirannya, hanya ada naluri wanitanya yang minta dicintai.Namun, sekelebat bayangan William dan keluarganya yang tengah tersenyum mengejek ke arahnya seolah-olah menertawakan Dara karena sud
‘Jangan lupa bayaran untukku,’ ‘Kamu sudah memberi tahuku sebanyak tujuh kali, Delion. Berhenti merecokku, tak akan kukirimkan jika kamu terus mengirimkan pesan-pesan ini.’ ‘Iya, ini yang terakhir kalinya. Lagi pun, hari ini kamu ada kencan dengan Sagara, kan? Aku tak akan mengganggumu lagi. Nikmatilah ke can manismu Nona.’ “Dasar gila,” “Kamu mau ke mana, Dara? Akhir-akhir ini, Oma lihat setiap libur, kamu selalu keluar. Kamu ... ada pacar di luar sana kah?” “Bukan pacar, Ma. Aku memang sedang ada urusan penting di luar,” “Kalau kamu punya pacar, bawalah kemari. Siapa orangnya, dan di mana rumahnya? Biar kami bisa saling mengenal.” “Memangnya Mama belum mengenalnya? Bukankah sebelum Dara, mama malah lebih mengenal pacar Dara?” “Maksudnya siapa, Ndra?” “Siapa lagi? Memangnya Dara dekat dengan pria lain selain Sagara?” “Oh, jadi benar-benar dia,” “Nah itu dia!” “Kamu kemari untuk meminta izin mengencani perempuan Wijayakusuma. Apakah aku salah?” “Benar, saya i
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Itu artinya, para budak korporat sudah diperbolehkan melepaskan diri dari penatnya kerajaan, dan mengisi perut mereka dengan maka siang. "Hari ini, Bu Dara ingin makan siang dengan menu apa?” tanya perempuan yang berprofesi sebagai sekretaris manager marketing PT Juita Betari itu dengan nada sungkan.Dara yang sedang memijat pangkal hidungnya untuk meredakan pusing yang menyerang, perlahan bangkit dari kursi kebesarannya. “Ayo, ke kantin saja,” ajaknya sembari melambaikan tangan dan berjalan mendahului sang sekretaris. “Akhir-akhir ini Bu Dara terlihat sangat sumringah, apakah saya salah menebak?” terka wanita berpakaian formal itu sembari mengikuti langkah atasannya.Dara kontan menghentikan langkahnya dan berbalik. “Benarkah?” tanyanya sambil memegangi wajahnya sendiri sebelum kemudian mengedikkan bahunya acuh tak acuh dan kembali berjalan. “Namanya juga hidup, akan ada masa senang dan sedihnya. Masa saya harus murung terus? Yang paling
“Kamu tak mau berbicara pada kita?” “Ampun!” Bugh! “Akan kupotong tanganmu jika tak beri tahu kami di mana letaknya barangnya,” “S-saya benar-benar tidak tahu. Saya bersumpah,” “Siapa di sana?!” “Sial,” “Pak!” “Nona Dara? Ada yang bisa dibantu?” “Ah ....” “Cincin saya jatuh di taman, saya sangat sedih, karena itu adalah hadiah dari ibu saya,” “Di bagian mana Nona menjatuhkannya?” “S-saya lupa, tapi saya tadi berputar-putar di seluruh taman, saya tidak bisa menduga-duga di bagian mana cincin saya jatuh,” “Baiklah, akan saya lihat,” “Tidak-tidak!” “Maaf?” “Maksud saya, kamu tidak bisa ke sana sendirian. Saya sangat berharap jika cincin itu ketemu sesegera mungkin. Jadi, kamu harus membawa temanmu. Paling tidak ....” “Lima orang! Bawa rekan paling tidak lima orang, dan dalam waktu lima menit, kembali saja meskipun belum ketemu. Ini sudah malam, akan saya cari tahu caranya besok, atau mungkin saya akan memilih mengikhlaskannya,” “Hati-hati, Pak,” “Dara? Kamu kenapa ke s
Dara berjalan dengan lesu memasuki rumahnya yang sunyi meskipun langit belum terlalu gelap. Hari ini ia harus rela lembur habis-habisan karena divisi yang dipimpinnya sedang menjalankan proyek baru. Begitu kakinya menapaki lantai marmer kediaman Wijayakusuma, sedikit kelegaan akhirnya merasuki relung hatinya. Jika sudah seperti ini, maka tak akan ada hal lain yang ia lakukan selain tidur hingga esok pagi. Duar! Suara ledakan yang lumayan keras langsung membentur gendang telinga janda kembang yang semula berjalan lesu itu. Mata yang awalnya terkantuk-kantuk itu langsung melek seketika sembari celingak-celinguk mencari sumber suara. “Ahh!” Teriakan histeris dari arah dapur langsung mengambil alih rasa penasaran Dara. Perempuan itu segera menuju ke sumber suara dan mendapati pria paruh baya tengah memakai helm dan mantel sedang berperang dengan ledakan-ledakan yang diciptakan karena kombinasi wajan, minyak panas dan daging baru keluar kulkas. Dara segera mendatangi pamannya yang tam
Untuk sesaat Dara dibuat bergeming akan kabar yang dibawa ayah satu anak itu sebelum kemudian menyalak, “Delion! Kamu jangan bercanda, ya!” Terdengar decak sebal dari pria di seberang sana. “Look! Kalau kamu tidak mempercayai fakta ini, maka lihatlah sendiri semua bukti-bukti yang kukirimkan, biar kutahu mulutmu yang ceriwis itu masih berani mempertanyakan kredibilitas kerjaku atau tidak!" suruh Delion dengan nada sewotnya. Bagaimana bisa orang pemarah sperti Delion ini bisa menjadi private investigator? Dara yakin Delion pasti membuat para kliennya kabur gara-gara sikapnya yang menyebalkan ini. Kadang Delion akan kelewatan bercanda tak tahu tempat, tapi di sisi lain Delion juga sering serius di waktu-waktu bercanda. “Kenapa malah kamu yang marah? Hei! Aku hanya memperingatkan dirimu yang kelewat sering bercanda itu," kata Dara dengan penuh penekanan. Berurusan dengan Delion itu sama saja seperti menggenggam udara. Sampai kapan pun Dara tak pernah bisa tahu isi hati Delion yang rum
Menyebalkan! Meskipun Dara berhasil membuat Namira Sana Soeroso, sang model catwalk, geram dan menjauh darinya dengan hati dongkol, itu tak serta-merta membuat Dara senang. Mungkin Namira akan menyenggolnya di media sosial seperti yang biasa perempuan itu lakukan pada orang-orang yang menyinggungnya. Apakah Dara takut? Jawabannya antara iya dan tidak. Karena ucapan Sagara kapan hari tentang sikap aneh Namira dalam memilih musuh, Dara jadi percaya diri Namira tak akan berani menyentuhnya. Namun, tak ada yang tahu pasti bagaimana masa depan berjalan. Bisa saja Namira akan melakukannya karena Dara terlampau menggores harga dirinya. “Kamu kenapa, Dara?” tanya Sukma begitu melihat wajah putri semata wayangnya yang kusut sejak menuruni mobil. Dara yang sedang berjalan itu menghentikan langkah. “Iya, Ma?” tanya Dara tak mendengar pertanyaan sang ibu. Sukma menatap putrinya penuh penilaian. “Kamu terlihat cemberut sejak pulang, apa yang terjadi? Apakah ada hal buruk yang menimpamu hari in
Namira mengulurkan tangannya pada Dara. Hal seperti itu biasannya identik dengan sambutan ramah. Namun, dari sorot matanya, tak ada setitik pun ekspresi ramah. Malah, ada ekspresi sengak ditambah sekelumit ekspresi menghina yang perempuan semampai itu layangkan kepada Dara.Karena ingin menghargai sikap Namira, Dara pun berdiri untuk menyambut perlakuan Namira terlepas niat sebenarnya sang model papan atas yang belum ia ketahui.Dara tersenyum ramah dan menyambut angsuran tangan itu. "Kita berjumpa lagi. Senang bertemu denganmu,” katanya berniat kembali duduk. Namun, cengkeraman erat dari Namira membuat Dara mengernyit bingung akan perlakuan yang semula ramah dan sekarang berubah layaknya monster.Dara berusaha mencari maksud Namira dengan menatap netra tajamnya. janda kembang itu sedikit mendongak karena perbedaan tinggi mereka yang signifikan, meskipun Dara sendiri memiliki tinggi 171 senti, tapi itu tak ada bandingannya dengan Namira Sana Soeroso yang tingginya mencapai 180 senti d
Dara berjalan keluar kantor bersama para karyawan lain mengingat ini adalah waktu penghujung bekerja. Raut lelah para karyawan menjadi satu-satunya yang menemani Dara dalam kesendiriannya. Saat Dara akan menaiki mobil yang sudah dipersilakan sopirnya, tiba-tiba benda pipih di sakunya bergetar. Dara membukanya, itu adalah panggilan telepon dari ibunya. Segeralah wanita itu menerimanya. “Kenapa, Ma?" tanya Dara sebagai pembuka obrolan sembari masuk ke mobil dan segera memakai. sabuk pengamannya. Terdengar kasak-kusuk dari seberang sana, menunjukkan jika Sukma Wijayakusuma masih berada di kantor pusat dengan berkas-berkas membosankan itu. Tak lama kemudian suara tersebut mulai hening. "Ada undangan dari salah satu kolega bisnis kita. Mama lupa memberi tahu. Kamu sudah di rumah?" tanya wanita paruh baya dengan suara lelahnya. "Belum, Ma. Aku baru saja keluar kantor ini mobilnya baru keluar dari area kantor," jawab Dara sambil melihat pemandangan mobil-mobil yang berjejer macet. "Bag