Delion memandang perempuan yang ia anggap adik itu dengan skeptis. “Sebenarnya apa maksudmu? Kamu tahu, aku adalah seorang PI terkenal, mangsaku bukan sembarang mangsa. Aku bahkan pernah menyelidiki pengusaha terkenal luar negeri, dan kamu?” Delion menunjuk Dara dengan sengit. “Kamu menyuruhku menyelidiki mantan suamimu? Prestiseku jelas akan jatuh!”Dara mendengus. “Jangan salah! Mereka semua orang-orang manipulatif. Jika keluarga William ada di lingkaran sama seperti kita, aku yakin mereka akan menjadi lawan yang tangguh.”Delion Sunarija menghela napas. “Dan? Kamu sudah sepenuhnya lepas dari mereka bukan? Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar perceraianmu dari istriku.”Dara tak mengelak tentu saja, lagi pula istri Delion masih memiliki hubungan kekerabatan lewat Laksmi Wardana. “Kata siapa aku sudah terlepas dari mereka, baru saja kemarin! Indri, mengancam mantan asistenku di tempat kerjanya, aku tak punya pilihan selain datang, dan apa kau tahu apa yang terjadi? Dia! Cecung
Dara merasakan jantungnya melompat-lompat ketika ditatap Hendra penuh selidik.“A-ah! Aku tidak sengaja berjumpa dengannya, kami awalnya beramah-tamah sebentar, setelah mendengar kabar jika oma jatuh, dia langsung menawar untuk mengantarkanku kemari,” alibi Dara membuat Hendra mengangguk dan tersenyum tipis, namun entah kenapa Dara tak lekas merasakan kedamaian di hati kecilnya.Delion mendekat, ia angsurkan tangan penuh guratan maskulin itu kepada Hendra. “Bagaimana kabarmu, Mas Hendra?” tanyanya dengan nada ramah, dalam hati mencebik pada Dara yang tak lihai menutupi kegugupannya.Hendra membalas jabatan tangan itu dengan senyum tak kalah ramah. Ia tarik tubuh Delion hingga keduanya berpelukan ala lelaki.“Baik! Lama tidak berjumpa, aku dengar kamu selalu disibukkan dengan pekerjaanmu, bukankah sebuah anugerah besar keponakanku ini bisa bertemu denganmu?” kata Hendra disertai candaan yang malah membuat Dara semakin gelisah.“Sebenarnya ada apa dengan oma?” tanya Dara menyuarakan ra
Dara memandangi jam tangannya. Sudah waktunya ia kembali ke kantor setelah menghabiskan waktu makan siangnya di rumah sakit untuk menemani Laksmi. “Oma aku pergi dulu, panggil perawat atau pembantu jika membutuhkan sesuatu, jangan memaksakan diri lagi, nanti aku usahakan pulang lebih awal dan menemani oma,” kata Dara sembari membereskan alat makan Laksmi Wardana. Sang nenek tampak mengangguk patuh. “Hati-hati,” katanya ketika melihat Dara menjauh setelah mengecup sayang pipinya. Dara mengemudikan black swan menuju PT. Juita Betari dengan santai. Ketika lampu merah menunjukkan otoritasnya, wanita itu selalu mengotak-atik ponselnya, berharap ada kabar dari Delion yang bisa melegakan dahaga dendamnya. Ketika tak ada nama Delion di pop up notifikasinya, Dara hanya bisa menelan kekecewaannya diam-diam. Setelah memarkirkan mobilnya di basemen kantor, Dara segera turun dan terburu ke kamar mandi untuk mengosongkan kandung kemihnya. Ketika tengah mencuci tangan, dua karyawati tiba-tiba ma
Dara merapikan rambut bergelombang sebahunya yang terkocar-kacir saat berolahraga pagi di taman rumah sakit Wijayakusuma yang asri. Setelah melakukan pendinginan, wanita ber-hoodie navy yang dipadukan dengan legging sport hitam selutut itu masuk ke lift, untuk mendatangi neneknya yang berada di kamar Naratama.“Kata Tante Anjani, Oma mau ubi bakar madu, aku sudah memberi tahu sopir, biar aku yang beli, di tempat langganan Oma,” celetuk Dara sebelum meneguk jus jeruknya. Ia mengotak-atik ponselnya guna menghubungi sang sopir.Wajah wanita senja itu langsung berbinar. “Kalau begitu cepat pergi! Sebelum habis!” serunya membuat sang cucu mengecimus sesaat.Dara berpamitan dengan Laksmi, tak lupa mengecup pipinya sebelum pergi mendatangi sopir yang saat ini sudah siap dengan kereta besinya. Membutuhkan waktu setengah jam untuk bisa sampai di tempat yang mereka tuju. Meskipun jam masih menunjukkan pukul delapan, antrean di tempat penjual ubi bakar itu sudah dipadati ratusan calon pembeli. D
“Kenapa belakangan ini kamu tidak mengunjungi ku?” tanya wanita awal 40-an dengan nada merajuk.Sang lawan bicara kontan memeluk si wanita “Di rumahku sibuk, menantuku baru keguguran, tidak enak kalau aku keluar di saat berduka,” jawab sang pria sembari meraba-raba lekukan yang menggoyahkan iman itu.“Aku kesepian,” aku sang wanita dengan mata terpejam, menikmati sensasi yang tercipta dari tangan lihai pria di depannya. Sensasi yang tak pernah ia dapatkan dengan laki-laki mana pun.Pria paruh baya itu tersenyum menyaksikan ekspresi sang wanita yang berhasil membangkitkan gairahnya. Gairah yang sebenarnya selalu ia dapat dari istrinya, tapi pria itu memilih melampiaskan ke wanita lain.“Sekarang sudah tidak, kan?” tanya suara maskulin itu membuat sang wanita semakin mendesah.“Emhh ... sekarang sudah ada kamu yang menemani, Ohh ... kamu menginap di sini, kan?” tanya si wanita sembari menatap kekasihnya. Namun, sebuah raut bersalah tergambar jelas di raut sang kekasih. “K-kenapa?” tanya
Dara memutar tubuhnya yang sudah terbungkus dress hitam polos dengan decakan kagum. Model gaunnya yang asymmetrical neckline memperlihatkan setengah pundaknya yang seksi dan kokoh berkat pilates yang rutin ia jalani. Perempuan itu sengaja memakai anting dengan aksen ramai agar fokus orang-orang langsung ke wajahnya.Berbalikan dengan antingnya yang ramai, Dara memilih kalung sederhana berbandul batu ruby yang warnanya merah menyala selaras dengan warna merah dibibirnya. Wanita itu juga sengaja memakai kitten heel 5 senti berwarna merah serta clutch bag senada. Bolehkan Dara kagum pada dirinya yang tampak lebih dewasa ini?“Kita berangkat sekarang?” tanya Hendra yang sudah berpakaian rapi.Dara mengambil ponselnya. “Lalu mama?” tanyanya mengingat Sukma sudah pasti juga hadir.Hendra berjalan lebih dulu. “Mbak Sukma sudah berangkat dari tadi, dia kan pimpinan perusahaan, beda sama kita yang bisa datang akhir,” katanya sembari memeluk sang istri yang berpakaian ala ibu rumah tangga.“Ya
Dara menatap sang mantan sama halnya melihat hantu. “K-kamu kenapa di sini?!” tanyanya dengan gusar.William tampak membuang napas kasar. “Bukankah aku yang harus bertanya? Kenapa kamu ada di sini? Tujuanku kemari jelas, aku bekerja sebagai office boy sekaligus merangkap sebagai pelayan khusus untuk malam ini,” jelas pria 31 tahun itu malah semakin membuat Dara gelisah.Dara berjalan menjauh. Niatnya kemari adalah untuk membersihkan bajunya. “Kamu tidak perlu mengurusi kehidupanku, Wiliam. Kamu tahu, kan? Kita sudah bercerai,” kata Dara sembari celingak-celinguk, berharap tak ada seorang pun yang memergoki mereka. Dara takut prestisenya sebagai pewaris Wijayakusuma hancur karena bersepi-sepi dengan office boy yang tak lain adalah mantan suaminya. Apalagi, di sini ada banyak kolega sekaligus rival perusahaan Wijayakusuma yang bisa saja memanfaatkannya. Sudah cukup Sukma menjauhinya, jangan sampai ibunya itu juga mengusirnya.“Dara ...,” ucap William sembari menahan langkah sang istri
Dara menata sang kolega dengan napas tertahan. Bahkan lipstik merah maroon itu tak berhasil menyembunyikan raut gugupnya. Jantungnya seperti pindah ke perut, rasa-rasanya ada yang menahan kakinya hingga perempuan itu tak kuasa bergerak barang se-inci. Pria 36 tahun itu memandangi raut Dara. “Sepertinya kamu ada urusan penting, ya?” tanyanya sembari memasukkan ponselnya ke saku celana. Sagara menundukkan kepalanya sekejap. “Maaf mengganggu, saya tidak berniat menguping pembicaraan kalian.” Setelahnya, pria tegap itu berlalu menciptakan jarak antara dirinya dengan wanita semampai yang beberapa menit lalu berkenalan dengannya.“Dara!” panggil William dengan langkah tertatih-tatih.Melihat tubuh sang mantan mulai mendekat, Dara praktis berjalan cepat menghindar. Ia sudah kacau, tak berniat lagi berada di pesta mewah jahanam ini. Maka kembalinya ia di tempat acara adalah mencari sang paman untuk berpamitan.Sedang celingak-celinguk mencari wajah ramah sang paman, tiba-tiba ada seseorang
Perempuan yang sedang menggandeng suaminya itu tersenyum amat lebar seakan-akan sedang bertemu dengan pujaan hati. “Sudah lama tidak berjumpa, sejak kapan, ya? Lima bulan lalu, atau enam bulan lalu?” tanya wanita itu sembari mengelus-elus perut agak buncitnya sambil mendekati Dara, tak peduli sang empunya terlihat menatapnya dingin.Dara memundurkan langkahnya begitu sang mantan ipar berusaha menggapainya. Ia teringat akan nasihat Delion Sunarija yang menyuruhnya untuk menjauhi semua orang di keluarga mantan suaminya itu. Jadi, Dara pun berniat berbalik dan menjauh. Namun, sebuah celetukan dari mantan iparnya membuat Dara langsung mandek.“Owh! Maaf-maaf, aku lupa kalau sedang hamil dan tidak sedang mengejek. Mbak Dara sih, pakai muncul segala, kan aku jadi rindu dan lupa diri, tidak sadar kalau kehadiranku membuat Mbak Dara sedih, karena mengingat keadaan Mbak Dara," kata wanita yang tengah mengandung bayi dosen itu dengan raut iba.Dara tahu, cecunguk kecil ini pasti ingin membuat
Dara mematut diri di depan cermin. Hari ini adalah jadwalnya melepas gips yang sudah melekat di kakinya selama berbulan-bulan lamanya. Dan Dara sangat menanti kesempatan ini dengan penuh suka cita.Perempuan itu sengaja memakai kemeja berlengan panjang berwarna baby blue yang dipadukan dengan celana longgar selutut berwarna hitam. Ini akan memudahkan dokter untuk proses melepaskan gipsnya. Untuk sentuhan terakhir, Dara memilih selop longgar yang ia gunakan untuk kakinya yang tak cedera, satunya lagi ia akan membawanya mengingat nanti ia kan mulai berjalan seperti biasanya lagi.“Berangkat sekarang?” tanya Laksmi yang tengah duduk di kursi roda elektriknya sembari membaca majalah harian.Dara menganggukkan kepalanya. “Iya, Ma. Aku sudah membuat janji dengan dokter ortopediku,” katanya sambil mencangklong tas selempangnya.Laksmi Wardana menampilkan raut tak rela. “Sayang sekali oma tidak bisa mengantar, coba saja kalau oma bisa berjalan. Sekarang, kalau oma memaksakan ikut, nanti m
‘Dara, kalau kamu tidak mau bertemu, Aku akan menyebarkan masa lalu kita hingga pacar pengusahamu itu malu.’ Dara men-scroll pesan-pesan dari William yang berisi ancaman-ancaman untuknya. ‘Aku akan memviralkan hubunganmu dengan pria tua itu, dan kamu akan dicap sebagai wanita nakal.’ Dara semakin mengernyitkan dahi ketika membaca pesan itu. ‘Semu orang akan menghinamu, dan kamu bisa saja kehilangan pekerjaanmu.’ Beginilah respons William saat berpikir Dara menjadi peliharaan para pengusaha. Agresif, kasar, dan brutal serta merepotkan. Dara tak bisa membayangkan kekacauan apalagi yang akan William atau keluarganya buat, jika mereka mengetahui dirinya punya hubungan darah dengan keluarga Wijayakusuma. Mungkin Dara harus bersembunyi? Tapi sampai kapan? William juga sudah gila, kenapa dia jadi sangat agresif seperti ini? Apakah dampak hutang itu sampai begini parahnya? Lagi pula, kenapa juga William yang repot-repot membayar hutang suami adiknya? Kalau seperti ini, pada akh
Dara diancam mantan suaminya. Satu kalimat itu berhasil mengacaukan pekerjaannya. Meskipun Dara sudah berusaha fokus akan pekerjaannya, bayang-bayang karangan bunga beserta wajah brengsek William menari-nari di benaknya, membuat konsentrasi dan keprofesionalan Dara dalam bekerja buyar seketika.Sampai sekarang, waktu yang seharusnya digunakan untuk makan siang ini, Dara tetap tak bisa mengolah rasa gelisahnya akibat ulah William.Bunyi pintu yang diketuk membuat Dara tersadar dari pikirannya yang melanglang buana.“Bu, ini makan siangnya. Saya pastikan sesuai request Bu Dara, gerd friendly,” ucap sekretaris Dara sambil membawa nampan di tangannya.Dara segera memberesi mejanya yang dipenuhi berkas berserakan. “Terima kasih, ya,” ucapnya mengangkat pandangan hingga bertemu tatap dengan anak buahnya. Namun, netranya mendapati sesuatu yang menarik minatnya. “Itu apa?” tanya Dara menunjuk pada cangkir yang mengepulkan asap. Dara ingat ia memesan jus alpukat untuk pendamping makan sian
Sepasang ibu dan anak menuruni tangga kediaman Wijayakusuma dan berjalan menuju mobil dengan tujuan ke kantor. Sang ibu mempersilakan anaknya yang berjalan tuan tongkat itu untuk masuk lebih dulu.Setelah keduanya masuk, sang sopir segera menutup pintu dan mengambil kendali mobil.“Boleh mama memberi saran?” tawar Sukma sembari memakai sabuk pengamannya.Dara yang berniat mengimitasi gerakan ibunya itu mendongakkan kepalanya. “Ya? Saran untuk apa, Ma?” tanyanya kembali fokus.Sang ibu menunjuk putrinya. “Kamu, untuk hari ini dan mungkin sampai beberapa hari ke depan, jangan sampai keluar dari kantor kecuali saat jam pulang, mama sudah memperketat penjagaan dari luar, hari ini kamu ada jadwal di luar kantor?” tanyanya sebelum menyandarkan bahunya pada kursi mobil.Si anak menggeleng sebagai respons. “Tidak ada, kalau begitu aku akan mengusahakan seperti saran Mama,” ucap Dara bersamaan mobil yang berhenti karena lampu merah.Sukma mendesah frustrasi. “Mantan suamimu itu ... terbi
Akhirnya Dara bisa bernapas lega ketika kakinya yang mulai bisa berjalan itu menapaki pekarangan rumah keluarga Wijayakusuma. Di belakangnya, ada Sukma Wijayakusuma yang sama leganya karena perjalanan pulang kali ini lancar meskipun keduanya sempat waswas jika William akan mencegat mereka. Lagi pula, agak tidak mungkin juga William tahu alamat rumah Wijayakusuma. Dara berjalan menuju kamarnya dan segera mencari ponsel bututnya yang ia simpan di laci kamarnya. Itu adalah ponsel yang ia gunakan ketika masih menjadi istri seorang kunyuk sialan. Sekarang, Dara mengeluarkannya kembali untuk melihat apa yang sudah mantan suaminya usahakan untuk menghubunginya. Begitu Dara membuka blokir terhadap nomor mantan suaminya, ia langsung diberondong dengan berbagai notifikasi dari William. Di sana, ada beratus-ratus pesan hingga panggilan tak terjawab dari William, terhitung sejak Mereka bercerai setengah tahun lalu. Dara tak bisa tak melongo melihat berbagai pesan berisi ajakan untuk bertemu it
Sekumpulan perempuan berpakaian rapi khas pegawai kantoran sedang duduk melingkar di meja pantry. Di sana, terkumpul banyak orang-orang dari berbagai macam divisi, salah satunya divisi marketing yang mendominasi kursi.“Bu Dara,” panggil wanita yang menjabat sebagai content specialist.Si empunya yang sejak tadi diam menyimak obrolan itu menolehkan kepalanya.“Perempuan yang kemarin membuat kerusuhan sudah saya laporkan kepada pemilik kafenya. Syukurnya pemilik kafe langsung memecatnya dengan tidak hormat,” ucap sang karyawan membuat Dara bernapas lega.Akhirnya, Indri mulai menjauh dari radarnya, dan kemungkinan besarnya, perusahaan sekitar kantor Juita Betari pun enggan merekrutnya sebagai karyawan. “Syukurlah, semoga tak ada lagi korban selanjutnya,” respons Dara terdengar diplomatis.Sekarang wanita itu sedang berada di tengah-tengah para karyawan dari berbagai divisi. Biasanya, di saat berkumpul -kumpul begini para karyawan akan menggosipkan sang atasan. Namun, sepertinya
Sagara menatap wanita yang sedang menutupi wajahnya dengan dua telapak tangan sambil sesekali isak terdengar, dengan tatapan iba. Tangannya menepuk-nepuk kepala yang tidak terkena siraman air kotor itu dengan gerakan pelan.“Maaf,” bisik Dara mati-matian berusaha menutupi tangisnya yang terlanjur pecah itu.Sudah setengah tahun berlalu, seharunya Dara tak perlu terpengaruh akan hinaan-hinaan Indri. Namun, yang namanya hati tak ada yang tahu. Selama ini Dara selalu bersikap tegar dan berusaha berdiri kokoh.Nyatanya, dia tetap punya titik lemah tersendiri, dan kalimat yang dilayangkan Indri tadi jelas menyentil luka terdalamnya. Mandul ... sejak dulu Dara selalu sensitif akan satu kata itu. Tiap mendengarnya, Dara selalu merasa ditertawakan semua orang.“It’s okay, kamu boleh menangis,” ucap Sagara sembari meletakkan paper bag bawaannya.Dara mengatur napasnya sebelum menggeleng pelan. “Tidak, saya tidak bisa menghancurkan waktu makan siang kita.” “Kalau begitu kamu bersihkan di
“Kamu pikir, dengan kamu sukses seperti ini bisa menginjak-injak harga diriku?” tanya Indri sembari mendekati Dara tanpa peduli kaki berbalut sepatunya itu menginjak-injaknya pecahan keramik di sepanjang jalannya. Para karyawan memandanginya dengan tatapan horor seakan-akan melihat hantu siang bolong. “Maksudnya apa ya?” tanya Dara tak mengerti. Kenapa Indri terlihat sangat tersinggung? Apakah ada satu kata dari ucapannya yang menyinggung? Tapi Dara mengarahkan kalimatnya untuk office girl yang hampir jatuh. Indri tertawa sumbang. “Kamu pasti suka kan? Sekarang bisa hina-hina aku sepuasnya? Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu dari tadi menatapku dengan tatapan merendahkan?” ucap gundik itu membuat Dara semakin tak paham saja. Lebih lagi, di sini ada banyak karyawan yang kebanyakan dari mereka, mempunyai hobi bergosip. Dara tak bisa berlagak layaknya ia mengenal Indri. Namun sekarang, Indri malah memancing tatapan tanya orang-orang gara-gara ucapannya yang seakan-akan mengen