Seluruh kegiatan kafe langsung terhenti seketika. Semua mata langsung tertuju pada dua wanita yang tampak memiliki prahara, beberapa orang bahkan kesulitan untuk sekedar menyerap udara, dalam hati khawatir jika napasnya terdengar dan bisa menarik atensi dua wanita di sana, takut terlibat pertengkaran fisik penuh siksa.
“Perempuan jalang!” seru Indri sambil menunjuk wajah Dara yang menoleh ke samping akibat tamparannya. Semua pelanggan yang mendengarnya pun mulai berspekulasi sesuai keyakinan masing-masing. “Apa kamu bilang?” desis Dara dengan gigi bergemeletuk. “Memang benar, kan? Sebutan apa yang lebih pantas untuk wanita yang berusaha menghancurkan rumah tangga orang?!” sentak Indri semakin membuat audiens tertarik memperhatikan drama dadakan itu. Dara mengusap pipinya yang terasa panas dan kebas. Matanya menatap nyalang pada perempuan berpenampilan kacau di depannya. “Indri ...,” tekannya yang masih rasional dengan tidak menampar balik perempuan itu sebab masih memikirkan nasib sang asisten jika sampai ada adegan saling tampar dan berdampak buruk pada pekerjaan sang asisten. “Aku keguguran!” aku Indri membuat Dara dan para pengunjung kafe terkesiap. “Lalu?” tanya Dara setelah sadar dari keterkejutannya. Padahal beberapa hari lalu, wanita di depannya ini masih memamerkan kehamilannya dengan terus mengusap perut setengah buncitnya di depan Dara. Tapi, apa hubungannya dengan Dara? Ia bahkan tak tahu-menahu tentang kejadian ini. “Apa yang kamu lakukan hingga mas William terus mengabaikanku?! belakangan ini dia berusaha menghubungimu! Padahal aku sedang hamil. Kamu kok tega, aku rela membagi mas William dengan kamu, tapi apa balasan kamu?! Kamu malah meninggalkan dia dan kemudian dengan mudahnya kamu kembali lalu menggodanya dengan tubuhmu itu! Dimana nuranimu, Dara! Tidak puaskah kamu menjadi simpanan pengusaha? sekarang kamu merusak rumah tangga temanmu sendiri?!” teriaknya dengan nada pilu. Semua orang langsung memandang Dara penuh penghakiman, apalagi menilik dari penampilan Dara yang trendi dengan wrap dress yang tampak menonjolkan lekuk tubuh, membuat orang-orang langsung semangat berspekulasi. “Ya ampun, cantik-cantik kok mau-mau saja jadi selingkuhan,” celetuk ibu-ibu berlipstik merah menyala. “Aduh! Ngeri, ya. Ini jamannya jaman edan, suami orang saja diembat, mana sebelumnya jadi simpanan pengusaha lagi, apa tidak takut karma?” sahut ibu-ibu yang duduk di meja lain. “Guys ini loh ada keributan antara istri sah dan selingkuhan, sekarang memang lagi nge-trend rebut suami orang, ya,” imbuh gadis muda sembari mengangkat ponselnya untuk mengabadikan kejadian itu, siapa tahu jika nanti viral akan kecipratan cuan. Mendengar kasak-kusuk pelanggan semakin membuat Dara naik pitam. “Apa maksud kamu dengan semua pernyataan itu, Indri!? Jangan memfitnahku!” desisnya meninggikan suara, membuat beberapa orang semakin memandangnya hina. “Memfitnah kamu bilang?! Aku bisa menunjukkan bukti-bukti kuat kalau kamu memang wanita simpanan dan sekarang mencoba mengusik rumah tanggaku!” teriaknya dengan nada mengancam. Dara tahu asal spekulasi tuduhan pertama, tapi untuk yang kedua ia jelas tak terima, pertemuan terakhirnya dengan William adalah saat mereka bercerai. Jangankan untuk menggoda, bertegur sapa saja ia tak sempat melakukannya. Ia bahkan tak mengetahui lagi kabar terbaru William jika tidak dari sosial media Indri, lalu bagaimana caranya ia menggoda sang mantan? “Mari kita membahasnya di luar, hal-hal seperti ini membutuhkan privasi tersendiri!” tegas Anjani berusaha menengahi. “Lalu? Ketika tidak ada orang yang melihat, dia bisa Menyakiti fisikku lagi tanpa belas kasih?” tuduh Indri menolak ajakan Anjani dan membuat beberapa orang membelalakkan mata. “Astaga! Sudah merebut suami orang, menyebabkan istri sah keguguran, tidak puas sampai di sana, ternyata pelacur itu juga melakukan kekerasan padanya!” seru ibu-ibu bergamis dan berjilbab lebar, bibirnya sudah meleyot ke sana-sini menyumpahi Dara. “Cepat lapor ke kak Seto! Biar si perebut suami orang ini segera ditangani, bahaya kalau ada psikopat keliaran, bisa-bisa kita jadi korbannya suatu saat nanti.” Sang konten kreator gadungan itu pun tak mau ketinggalan menyemarakkan suasana. Semakin yakin akan rezeki yang mulai dekat. Dara lupa, Indri adalah Indri, wanita manipulatif yang pandai bermain kata, hingga sebuah fakta pun bisa ia balikkan dengan mudah dan menghasilkan serentetan kalimat ambigu yang semakin menarik atensi. Padahal Dara ingat ia hanya pernah berusaha memukulnya saat memergoki mereka bermain api, dan berakhir William yang melindunginya. Tapi karena kelihaian lidahnya, orang-orang jadi memiliki pandangan tersendiri. “Aku akan memviralkan semua bobrok mu selama ini!” sentak Indri membuat Dara refleks mengangkat tangannya yang langsung ditahan Anjani. Sang bibi yang melihat keponakannya mulai dikuasai kesumat itu segera menelepon sopir untuk ‘membereskan’ kekacauan, tak peduli jika pada akhirnya harus ‘menyuapi’ satu persatu orang dengan uang untuk membeli hak bicara mereka. “Kita harus pergi sekarang!” tegas wanita itu sembari menyeret Dara yang masih dikuasai kemurkaan. Setelah keduanya sampai di mobil, Anjani langsung mengompres pipi Dara dengan es batu pemberian mantan asistennya yang ia suruh pergi karena si empunya mendapat panggilan dari atasan. “Pak Radi sudah mengurus semuanya, kejadian ini tidak akan sampai bocor ke mana pun,” jelas Anjani yang sama sekali tidak digubris keponakannya. Dokter spesialis anak itu hanya bisa menghela napas lelah, berharap keponakannya bisa memahami alasannya memisahkan sebelum ia membalas tamparan itu. Setelah sang sopir menyelesaikan ‘tugasnya’ mereka langsung bertolak pulang, Anjani harus memastikan emosi keponakan reda. Tapi sebuah telepon dari rumah sakit membuatnya tak berkutik. Ada pasien yang menunggunya. “Tante pergi saja, aku bisa menjaga diri,” ucap Dara setelah ikut mengantar sang bibi, yang tampak ragu akan keadaannya, ke sebuah rumah sakit swasta. Tatapannya yang acuh tak acuh membuat Anjani sedikit khawatir akan jalan yang akan Dara ambil. Namun, karena sudah terpepet oleh keadaan, ia hanya bisa pasrah turun dan berusaha membuang semua emosi negatif yang akan mempengaruhi kesehatan pasiennya dan memfokuskan diri. “Kita pulang sekarang!” perintahnya yang langsung diiyakan sang sopir. Keadaan mobil yang mencekam membuat si sopir berkali-kali menghela napas, bahkan pria tersebut hanya berani meliriknya diam-diam yang ketika Dara membalasnya langsung membuatnya menyengir kaku. Setelah sampai, Dara langsung membuka pintu mobil dan membantingnya, sang sopir sampai tersentak kaget akibat perlakuannya. Dara tak peduli, amarahnya masih menyala, belum padam dan ia juga tak berniat memadamkannya. Kali ini, ia biarkan api itu melahap habis korteks serebralnya, membuat rasionalitasnya hangus tak tersisa. Dara berlalu dengan mulut membisu, ia buka ruang kerja Laksmi yang sudah lama menjadi milik Sukma dengan kasar. Matanya menatap nyalang pada laci meja kerja. Dengan penuh tekad dibukanya sembari memilah-milah mana ‘barang’ yang ia cari. Tak peduli jika nanti Sukma mengonfrontasinya karena lancang mengobrak-abrik ranah pribadinya, yang ia butuh kan sekarang adalah balas dendam! Sebuah selebaran berwarna hijau dengan tinta silver langsung ditangkap indra penglihatannya. Tak ingin menunggu lama, Dara segera menelepon orang ‘spesial’ yang sudah lama tak berjumpa dengannya itu. “Siapa ini?” tanya suara berat di seberang sana layaknya oase di tengah gurun amarah Dara. “Dara, Dara Nerta Wijayakusuma.” Perempuan itu sengaja menjelaskan statusnya. “Wah! Lama tidak berjumpa, apa kabar?” sahut suara tersebut dengan nada mengejek. Dara tak menjawab. “Delion Sunarija," bacanya pada nama yang tertera di kartu tersebut. “Kamu masih Delion yang sama, kan? Yang menyukai uang?” tanyanya setengah menyindir. Suara tawa karismatik terdengar kemudian. “Sebagai manusia yang diberi nafsu, aku tentu tidak menolak,” jawab Delion membuat Dara tersenyum misterius. “Tidak baik membicarakan hal serius lewat telepon, bagaimana dengan besok di restoran soulmate?Dara mematut penampilannya di depan cermin full body. Sebuah kemeja dengan puffy Sleeve berwarna baby blue yang dipadukan dengan wrap skirt berwarna hitam selutut sukses melekat indah di tubuh semampai itu, memperlihatkan betis jenjangnya. Setelah memastikan penampilannya paripurna, perempuan itu segera mengambil block heel 5 senti yang senada dengan warna roknya. Tidak lupa anting cuplik mutiara yang membuat penampilannya on point.“Wah! Ada yang mau menjalani hari pertama menjadi karyawan, nih!” celetuk Hendra saat melihat Dara turun menenteng heel serta tasnya.Anjani ikut terkekeh sembari mengamati penampilan Dara, wanita paruh baya itu menyingkirkan sedikit resah dan curiga atas sikap tenang Dara, pasalnya, bertahun-tahun mengenal sang keponakan, membuatnya tahu sifat menggebu-gebu Dara. Suatu kemustahilan jika Dara melupakan kejadian ‘itu’ begitu saja.Di ujung sana terdapat wanita berpakaian formal yang tampak mengisolasi dirinya dari keluarga Wijayakusuma lain.“Oma harap kali
Chapter 1. Suamiku Berselingkuh“Suami, mertua, dan ipar-ipar Mbak Dara tidak jemput?” tanya seorang gadis sembari mengemasi beberapa pakaian.Wanita yang dipanggil Mbak Dara menatap ke arah gadis itu. “Mereka sibuk ... mungkin?” jawab Dara tak yakin. Netranya menatap nanar bangsalnya yang siap ditinggal dengan perasaan hampa.Lalu lalang manusia berpakaian khas pegawai rumah sakit yang tengah merawat pasien itu, tampak tak terusik dengan keberadaan keduanya.“Namanya keluarga, mau sesibuk apa pun, minimal usahakan, lah! Suami Mbak juga, memangnya pernah jenguk sekali saja? Bahkan Mbak saja ke sini naik taksi sendirian! Suami seperti itu baiknya dibuang jauh-jauh, Mbak!” Sang gadis yang sudah hampir dua tahun bekerja di butik Dara sebagai asisten tahu betul betapa tidak pedulinya suami dan keluarga dari bosnya tersebut. Sang suami sering bertindak kasar dan marah-marah semenjak di PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Belum lagi omelan dan ocehan para ipar. Hanya butik satu-sat
Sang mertua melotot tak terima. “Jika ingin pergi, kau saja yang pergi dasar mandul pembawa sial! Kaulah yang menumpang di sini!” hardik sang mertua membuat Dara menggeleng tak setuju.“Itu tidak mungkin! Rumah ini milikku apa hak kalian—” Dara berteriak lantang dan terpotong. “Meski kamu yang membangun rumah ini, tetap saja, tanah dan sertifikat rumah ini atas namaku. Dan kamu tidak ada hak!” sahut mama mertua dengan setitik senyum bangga.“Tak usah memperpanjang masalah, Ra. Kamu tinggal ikhlas, maka semuanya beres.” Indri, sang menantu baru mulai angkat bicara. “Lagipula, kita kan, berteman. Tidak akan sulit rasanya membagi suami pada temanmu.”Dara berdiri dengan pandangan mencemooh ke arah Indri. Andai saja ikhlas itu semudah membalikkan telapak tangan.“Indri benar. Tidak perlu berselisih lagi, intinya masalah ini selesai!”Mertua Dara memang kerap kali ikut campur dalam rumah tangganya. Namun, kali ini… Dara tidak akan membiarkan wanita tua itu kembali mencampuri ranahnya.“T
Dara membersihkan mulutnya yang masih menyisakan cairan asam yang tertolak oleh lambungnya. Terhitung sudah tiga kali ia memuntahkan cairan asam itu. Tubuhnya ambruk di lantai berlapis karpet tanpa bisa dicegah.“Mbak? Mau ke rumah sakit lagi?” tanya perempuan yang tengah memberesi sarapan atasannya yang tinggal seperdua.Dara menggeleng pelan. “Tidak perlu, keadaan butik sekarang sangat sibuk. Saya harus turun tangan langsung mengingat peran saya sangat dibutuhkan,” tolak Dara sembari merapikan rambutnya yang entah sudah berapa hari tak tersentuh sisir.Sang asisten diam-diam menyetujui ucapan Dara. Mau bagaimana lagi? Butik yang tidak seberapa besar ini kekurangan sumber daya manusia, dan sayangnya hanya memiliki satu desainer yang tak lain dan tak bukan adalah sang pemiliknya sendiri.Apa lagi, pendapatan butik selama beberapa hari terakhir, khususnya saat Dara menjalani rawat inap, mengalami penurunan yang signifikan.“Tolong ambilkan desain-desain saya sekalian bawakan catatan pe
Atmosfer butik benar-benar kacau, beberapa baju yang sudah rusak berceceran itu semakin menyemarakkan suasana genting di sana. Dara memegangi perutnya yang terasa mulas dihadapkan dengan situasi ini.“Cium kaki saya, maka saya akan pertimbangkan untuk menjualnya atau tidak!” ulang sang mertua yang berhasil menyadarkan Dara bahwa kejadian ini bukan mimpi buruk semata.Para pelanggan sudah pulang karena butik ditutup mendadak agar informasi ini tak menyebar ke pihak luar dan mencemarkan nama baik butik. Kini, hanya tersisa Dara beserta karyawannya dan satu keluarga yang saat ini terus merongrongnya.Mertuanya mencebik, “Kamu tidak mau, Dara? Kalau begitu silakan angkat kaki dari sini–”“Saya mau! Saya akan lakukan apa pun!” sela Dara yang direspons dengan senyum puas satu keluarga itu.Dara melepaskan tangan asistennya yang mencoba menahannya. Matanya menyorot seluruh karyawannya dengan pilu. Hatinya dengan teguh meyakinkan bahwa inilah satu-satunya cara agar butik ini tak lepas dari g
“Terima kasih, Pak,” ujar Dara sebelum taksi yang ditumpanginya menjauh.Dara menatap jalanan kompleks yang sepi sebab waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ia jalan pintas dengan penuh kehati-hatian, sebab kluster mewah ini dijaga dengan keamanan ketat. “Berhenti di sana!” seru sebuah suara membuat tangan ringkih yang semula berniat membunyikan bel itu mengambang di udara.“Sudah saya bilang berkali-kali, kan?! Pengemis, penjual dan pemulung dilarang memasuki kawasan ini, tidak bisa baca aturan di depan?! Berani-beraninya mengotori kompleks ini dengan aura melaratmu!” sentak lelaki bertubuh tambun yang terasa asing bagi Dara. Ditodongkannya tongkat kebanggaan itu sembari menatap remeh penampilan Dara.Perempuan itu tersinggung saat menyadari penampilannya yang memang layak disebut pengemis daripada pewaris. “Saya bukan pengemis,” jelasnya sembari memencet bel dan membuat satpam itu cepat-cepat menariknya kasar.“Dasar orang miskin! Jangan berani mengganggu ketenangan pe
Laksmi Wardana terlihat menikmati sup dengan dahi berkerut, seperti sedang menyusun berbagai tanya untuknya. Sedang Hendra dan istrinya tampak ikut canggung sederajat dengan atmosfer sekitar. Jangan tanya pada manusia satu yang sedang duduk tak jauh di seberang sana, Dara tak yakin ibunya juga sedang menyusun pertanyaan untuknya. Pasalnya, sekedar saling sapa saja seperti sebuah kemustahilan.Setelah usai, Sukma Wijayakusuma tampak langsung berdiri dan berniat pergi.“Mau ke mana, Sukma? Tidak ingin berbincang hangat dengan kami dulu?” tanya Laksmi pada putri semata wayangnya.“Tidak, Ma. Aku mau istirahat saja, banyak sekali musibah yang terjadi hari ini, membuat kepalaku pusing, aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun,” kelitnya tanpa melihat anaknya yang mungkin saja tersinggung. Dara tak tahu musibah apa saja yang menimpa ibunya hari ini, hanya ... ia terlampau yakin jika namanya masuk pada daftar musibah itu.“Bahkan dengan Dara?” tanya Laksmi sengaja menyebut nama cucunya.“T
Dara menghembuskan napasnya perlahan, matanya memandang tautan tangannya yang berkeringat dingin dengan berkaca-kaca. Meski tangisan sering dianalogikan sebagai ungkapan perasaan sedih, namun hatinya jelas tak membual, bongkahan batu yang semua mengimpit dadanya seakan dipukul godam, semua kekhawatirannya hirap bersama pecahan-pecahan batu itu, lega, setidaknya itulah yang ia rasakan setelah mendengar palu diketuk oleh sang hakim.Meskipun pada akhirnya akan ada tulisan “cerai hidup” yang akan menodai kartu kenegaraannya, Dara tetap bersyukur atas status barunya yang secara tidak langsung lepas dari belenggu siksa. Untung dari segala buntung, selama prosesi perceraian ini, tidak ada drama yang membumbui. Awalnya Dara khawatir jika William akan mempersulitnya, untungnya ada Sri Rahmi, mantan ibu mertuanya, yang terus menempeli putra pertamanya layaknya permen karet, wanita itu seakan-akan siap mencakarnya jika berani dekat-dekat dengan putra kesayangannya.“Om Hendra? Kok sendirian? Ta
Dara mematut penampilannya di depan cermin full body. Sebuah kemeja dengan puffy Sleeve berwarna baby blue yang dipadukan dengan wrap skirt berwarna hitam selutut sukses melekat indah di tubuh semampai itu, memperlihatkan betis jenjangnya. Setelah memastikan penampilannya paripurna, perempuan itu segera mengambil block heel 5 senti yang senada dengan warna roknya. Tidak lupa anting cuplik mutiara yang membuat penampilannya on point.“Wah! Ada yang mau menjalani hari pertama menjadi karyawan, nih!” celetuk Hendra saat melihat Dara turun menenteng heel serta tasnya.Anjani ikut terkekeh sembari mengamati penampilan Dara, wanita paruh baya itu menyingkirkan sedikit resah dan curiga atas sikap tenang Dara, pasalnya, bertahun-tahun mengenal sang keponakan, membuatnya tahu sifat menggebu-gebu Dara. Suatu kemustahilan jika Dara melupakan kejadian ‘itu’ begitu saja.Di ujung sana terdapat wanita berpakaian formal yang tampak mengisolasi dirinya dari keluarga Wijayakusuma lain.“Oma harap kali
Seluruh kegiatan kafe langsung terhenti seketika. Semua mata langsung tertuju pada dua wanita yang tampak memiliki prahara, beberapa orang bahkan kesulitan untuk sekedar menyerap udara, dalam hati khawatir jika napasnya terdengar dan bisa menarik atensi dua wanita di sana, takut terlibat pertengkaran fisik penuh siksa.“Perempuan jalang!” seru Indri sambil menunjuk wajah Dara yang menoleh ke samping akibat tamparannya. Semua pelanggan yang mendengarnya pun mulai berspekulasi sesuai keyakinan masing-masing.“Apa kamu bilang?” desis Dara dengan gigi bergemeletuk.“Memang benar, kan? Sebutan apa yang lebih pantas untuk wanita yang berusaha menghancurkan rumah tangga orang?!” sentak Indri semakin membuat audiens tertarik memperhatikan drama dadakan itu.Dara mengusap pipinya yang terasa panas dan kebas. Matanya menatap nyalang pada perempuan berpenampilan kacau di depannya. “Indri ...,” tekannya yang masih rasional dengan tidak menampar balik perempuan itu sebab masih memikirkan nasib san
Dara mengamati dokumen kenegaraan di tangannya. Gelisah, setelah kejadian kemarin, Dara semakin merasa bersalah saat melihat namanya yang tertulis jelas di bawah nama Sukma Wijayakusuma.Anjani menyeruput tehnya sembari memperhatikan ekspresi keponakannya. “Kamu tidak siap-siap? Kita akan pergi ke mall sekarang, kebetulan tante sedang tidak memiliki jadwal praktik, tapi pamanmu itu agaknya tidak bisa mengantar, dia sedang ada urusan bisnis,” beritahunya sembari mengamati penampilan keponakan yang masih ala-ala rumahan dengan mata panda yang menarik atensi.“Kalau menunggu pamanmu, tante tidak yakin kita jadi shopping, biar sopir yang mengantar, kamu siap-siap sekarang!” tegas Anjani membuat Dara mau tak mau bersiap-siap dan kembali saat Anjani menghabiskan secangkir tehnya.Sebuah wrap dress berwarna merah dengan motif flora melekat indah di tubuh 171 senti itu, ditambah sepasang boots hitam yang berhasil membuat Anjani berdecak kagum akan keindahan sang keponakan yang sudah disia-sia
‘Berangkat ke kantor. cepat pulang, ya, Ayah. Adik tunggu,’Dara mendengus saat melihat unggahan Indri yang menampilkan William yang tengah mencium perut rata Indri dengan kemeja slim fit biru serta celana bahan hitamnya. Jadi William sudah mendapat pekerjaan? Dan itu sesudah mereka bercerai? Dara jadi memikirkan omongan Rahmi tentang dirinya yang membawa sial. Apa benar dirinya memang pembawa sial? Kenapa William tampak sukses setelah mereka berpisah?“Bagaimana, Ra?” tanya Laksmi Wardana membuat Dara cepat-cepat menyimpan ponselnya dan mengalihkan atensi ke laptop yang sejak tadi menyala.Dara terkejut. “Aku ... diterima?” tanya Dara tak yakin setelah membaca email dari PT. Juita betari, yang merupakan perusahaan besar milik keluarga Wijayakusuma. Entah harus senang atau sedih, yang jelas perasaan Dara masih niskala.“Bagus! Oma sudah menduga kamu akan diterima!” seru Laksmi dengan nada puas.“Karena perusahaan itu milik Wijayakusuma?” tanya Dara skeptis akan kemampuannya sendiri. S
Dara tersentak. Diputarnya pear body shape itu sampai 180° hingga wajah Anjani Hanggasa yang tengah bersedekap langsung menembus retinanya. “Tante!” serunya sambil menghampiri si empunya.“Kamu tahu kejadian tadi?” tanya Hendra membuat Anjani mau tak mau menghentikan lakonnya sebagai istri tersakiti.“Hm, aku kan cuma ke toilet sebentar, balik-balik malah disuguhi drama, aku pikir sedang ada syuting sinetron azab,” celetuknya membuat sepasang paman dan keponakan itu menghela napas bosan.“Kalau begitu, kira-kira judul apa yang cocok untuk sinetron azab itu?” tanya Hendra yang mau-mau saja meladeni sang istri.“Azab sering menebar senyuman, ketika mati mulutnya peot!” seru Anjani yang direspons tawa geli sang suami. Seorang Anjani Hanggasa, dokter pediatri terkenal, sedang cemburu melihat suaminya tersenyum di depan para wanita!Dara bukannya tak tahu bagaimana mesranya dua orang itu, tapi tiap kali melihatnya, perempuan itu selalu memiliki seberkas iri yang menjamur. Cih! William mana
Dara menghembuskan napasnya perlahan, matanya memandang tautan tangannya yang berkeringat dingin dengan berkaca-kaca. Meski tangisan sering dianalogikan sebagai ungkapan perasaan sedih, namun hatinya jelas tak membual, bongkahan batu yang semua mengimpit dadanya seakan dipukul godam, semua kekhawatirannya hirap bersama pecahan-pecahan batu itu, lega, setidaknya itulah yang ia rasakan setelah mendengar palu diketuk oleh sang hakim.Meskipun pada akhirnya akan ada tulisan “cerai hidup” yang akan menodai kartu kenegaraannya, Dara tetap bersyukur atas status barunya yang secara tidak langsung lepas dari belenggu siksa. Untung dari segala buntung, selama prosesi perceraian ini, tidak ada drama yang membumbui. Awalnya Dara khawatir jika William akan mempersulitnya, untungnya ada Sri Rahmi, mantan ibu mertuanya, yang terus menempeli putra pertamanya layaknya permen karet, wanita itu seakan-akan siap mencakarnya jika berani dekat-dekat dengan putra kesayangannya.“Om Hendra? Kok sendirian? Ta
Laksmi Wardana terlihat menikmati sup dengan dahi berkerut, seperti sedang menyusun berbagai tanya untuknya. Sedang Hendra dan istrinya tampak ikut canggung sederajat dengan atmosfer sekitar. Jangan tanya pada manusia satu yang sedang duduk tak jauh di seberang sana, Dara tak yakin ibunya juga sedang menyusun pertanyaan untuknya. Pasalnya, sekedar saling sapa saja seperti sebuah kemustahilan.Setelah usai, Sukma Wijayakusuma tampak langsung berdiri dan berniat pergi.“Mau ke mana, Sukma? Tidak ingin berbincang hangat dengan kami dulu?” tanya Laksmi pada putri semata wayangnya.“Tidak, Ma. Aku mau istirahat saja, banyak sekali musibah yang terjadi hari ini, membuat kepalaku pusing, aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun,” kelitnya tanpa melihat anaknya yang mungkin saja tersinggung. Dara tak tahu musibah apa saja yang menimpa ibunya hari ini, hanya ... ia terlampau yakin jika namanya masuk pada daftar musibah itu.“Bahkan dengan Dara?” tanya Laksmi sengaja menyebut nama cucunya.“T
“Terima kasih, Pak,” ujar Dara sebelum taksi yang ditumpanginya menjauh.Dara menatap jalanan kompleks yang sepi sebab waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ia jalan pintas dengan penuh kehati-hatian, sebab kluster mewah ini dijaga dengan keamanan ketat. “Berhenti di sana!” seru sebuah suara membuat tangan ringkih yang semula berniat membunyikan bel itu mengambang di udara.“Sudah saya bilang berkali-kali, kan?! Pengemis, penjual dan pemulung dilarang memasuki kawasan ini, tidak bisa baca aturan di depan?! Berani-beraninya mengotori kompleks ini dengan aura melaratmu!” sentak lelaki bertubuh tambun yang terasa asing bagi Dara. Ditodongkannya tongkat kebanggaan itu sembari menatap remeh penampilan Dara.Perempuan itu tersinggung saat menyadari penampilannya yang memang layak disebut pengemis daripada pewaris. “Saya bukan pengemis,” jelasnya sembari memencet bel dan membuat satpam itu cepat-cepat menariknya kasar.“Dasar orang miskin! Jangan berani mengganggu ketenangan pe
Atmosfer butik benar-benar kacau, beberapa baju yang sudah rusak berceceran itu semakin menyemarakkan suasana genting di sana. Dara memegangi perutnya yang terasa mulas dihadapkan dengan situasi ini.“Cium kaki saya, maka saya akan pertimbangkan untuk menjualnya atau tidak!” ulang sang mertua yang berhasil menyadarkan Dara bahwa kejadian ini bukan mimpi buruk semata.Para pelanggan sudah pulang karena butik ditutup mendadak agar informasi ini tak menyebar ke pihak luar dan mencemarkan nama baik butik. Kini, hanya tersisa Dara beserta karyawannya dan satu keluarga yang saat ini terus merongrongnya.Mertuanya mencebik, “Kamu tidak mau, Dara? Kalau begitu silakan angkat kaki dari sini–”“Saya mau! Saya akan lakukan apa pun!” sela Dara yang direspons dengan senyum puas satu keluarga itu.Dara melepaskan tangan asistennya yang mencoba menahannya. Matanya menyorot seluruh karyawannya dengan pilu. Hatinya dengan teguh meyakinkan bahwa inilah satu-satunya cara agar butik ini tak lepas dari g