10. kerusuhan Indri

Dara mengamati dokumen kenegaraan di tangannya. Gelisah, setelah kejadian kemarin, Dara semakin merasa bersalah saat melihat namanya yang tertulis jelas di bawah nama Sukma Wijayakusuma.

Anjani menyeruput tehnya sembari memperhatikan ekspresi keponakannya. “Kamu tidak siap-siap? Kita akan pergi ke mall sekarang, kebetulan tante sedang tidak memiliki jadwal praktik, tapi pamanmu itu agaknya tidak bisa mengantar, dia sedang ada urusan bisnis,” beritahunya sembari mengamati penampilan keponakan yang masih ala-ala rumahan dengan mata panda yang menarik atensi.

“Kalau menunggu pamanmu, tante tidak yakin kita jadi shopping, biar sopir yang mengantar, kamu siap-siap sekarang!” tegas Anjani membuat Dara mau tak mau bersiap-siap dan kembali saat Anjani menghabiskan secangkir tehnya.

Sebuah wrap dress berwarna merah dengan motif flora melekat indah di tubuh 171 senti itu, ditambah sepasang boots hitam yang berhasil membuat Anjani berdecak kagum akan keindahan sang keponakan yang sudah disia-siakan cecunguk itu.

“Cantik sekali! Pantas, kemarin mantan suamimu sampai berliur mulutnya,” canda Anjani membuat Dara membuang napas jengah. Ia sedang tak tertarik mendengar segala pembahasan menyangkut Wiliam, kepalanya masih dipenuhi akan Sukma dan pengakuannya beberapa hari lalu. Lagi pula, belakangan ini, Indri juga tak terlihat mengunggah berbagai kegiatannya.

Setelah mobil yang mereka tumpangi berhenti di salah satu pusat perbelanjaan yang terkenal mewah, mereka berdua segera turun. Belum sempat Dara mengambil napas, Anjani sudah menariknya memasuki bangunan megah itu. Bak kerbau dicucuk hidungnya, ia hanya bisa menuruti dengan pasrah.

“Pamanmu sudah titipkan kartu ATM-nya, yuk kita kuras bersama!” ajak dokter anak itu membuat Dara pun mengikuti saja saat dituntun ke salah satu store dari brand pakaian terkenal.

“Kita mau beli apa, Tan?” tanya Dara sembari memperhatikan beberapa baju bergaya elegan yang membuat tangannya gatal untuk mengobservasi satu-persatu pakaian untuk kemudian akan ia jadikan sebagai inspirasi. Ah! Ia jadi teringat butik malangnya.

“Baju untuk kamu, besok kamu sudah mulai ke kantor, tidak ada salahnya beli beberapa baju untuk menunjang outfit-mu, mengingat sepertinya kali ini kamu begitu berdedikasi akan pekerjaan barumu,” jawab Anjani yang terasa seperti nasihat bagi Dara. Ya, kali ini memang Dara berniat menjalani pekerjaannya dengan sepenuh hati, selain ia tak ingin lagi terlibat cinta tanpa restu lagi, dia juga teringin membuktikan kepada Sukma akan kemampuannya. Dara ikut meneliti berapa baju yang menarik atensinya.

“Beberapa hari lalu,” celetuk Anjani sembari memeriksa jahitan yang sebenarnya tidak perlu diragukan lagi kualitasnya. “Tante dengar dari bibi, katanya dia mendengar keributan dari kamar Mbak Sukma.”

Deg!

Dara tersentak saat mendengarnya, ia menatap Anjani yang seperti tak terganggu dan tetap fokus pada kegiatan meneliti kualitas itu.

“Bibi juga bilang, kamu seharian tidak keluar kamar,” imbuh Anjani berhasil membuat Dara tidak berkutik.

“Hanya masalah kecil,” jelas Dara tak berniat membagi resahnya.

Anjani mengangguk mafhum. “Setiap mendengar kata perselisihan dan pertengkaran, orang-orang pasti akan memaknainya sebagai suatu hal negatif. Padahal, sebuah pertengkaran atau perselisihan itu juga memberikan kesempatan untuk saling memahami, karena saat bertengkar acap kali orang akan mengungkapkan apa yang dirasakan seseorang yang selama ini dipendamnya. Perselisihan yang dikelola dengan baik akan membuat kualitas hubungan semakin baik,” tutur Anjani setelah mengambil beberapa blouse.

Dara terdiam, ia sembunyikan rasa haru akan perhatian Anjani. Ia lupa, sekarang ia dikelilingi para manusia yang dituntut solutif dalam setiap hal, dan bagian yang paling Dara sukai adalah ketika mereka berbicara tanpa nada menghakimi. Keluarga Wijayakusuma diajarkan untuk mengedepankan solusi di atas gengsi, pengecualian untuk masalahnya dengan Sukma.

Berbanding terbalik dengan saat ia berada di keluarga William yang selalu mengedepankan gengsi di atas solusi, sampai akhirnya dirinyalah yang menjadi pihak yang disalahkan tanpa diskusi.

“Kamu sudah selesai memilih? Jika sudah ayo ke store perhiasan, beberapa hari lalu tante sudah memesan beberapa perhiasan khusus yang menyesuaikan dengan bentuk tubuhmu.” Anjani mengubah topik pembicaraan setelah menasihati. Ditariknya sang keponakan menuju store perhiasan yang dimaksud, tetapi dering nyaring dari benda pipih milik Dara menginterupsi niat mereka.

“Siapa? Tidak kamu angkat?” tanya paruh baya itu sembari mengamati wajah Dara yang terlihat menyatukan alis.

“Asistenku? Kenapa dia menelepon?” gumam Dara saat melihat nama si pemanggil. Ya, asistennya itu. Terakhir kali Dara menghubunginya saat ia sudah mendapatkan uang untuk mengganti DP klien, dan itu sudah satu bulan lalu. Apa yang membuat perempuan itu menghubunginya? Dering telepon itu berhenti sebelum Dara sempat mengangkat. Setelah dering itu kembali, tanpa basa-basi, Dara langsung menjawab, kawatir jika ternyata si empunya sedang dalam bahaya.

“Hal—”

“Mbak!” panggil perempuan di seberang sana dengan panik. “Tolong datang ke sini, Mbak! Di kafe Kasih Ibu!” seru sang mantan asisten membuat Dara langsung waspada. Apalagi, ia mendengar nama tempat kerja baru sang mantan asisten.

“Kamu kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Dara berusaha tak ikut panik.

“Mbak Indri! Dia datang ke tempat kerja saya, buat kerusuhan di sini, Minggu lalu dia datang kemari sebagai pelanggan dan mengenali saya sebagai mantan asistennya Mbak.” Terdengar suara asistennya yang terisak-isak. “Sekarang tiba-tiba dia datang kesini lagi sambil marah-marah, mengancam tidak mau pergi sebelum Mbak ke sini, saya takut dipecat,” lirih sang asisten yang membuat Dara langsung membayangkan keadaan adik-adik serta ibu sang asisten yang sedang sakit-sakitan.

“Saya akan ke sana, Tolong share lokasinya!” tegas Dara sebelum pergi.

“Dara! Kamu mau ke mana?” tanya Anjani berhasil menyadarkan Dara akan keberadaan bibinya.

Dara mengusap wajahnya. “Indri buat kacau di tempat kerja mantan asistenku, Tan. Aku harus ke sana sekarang.”

“Ya sudah, ayo!” cetus Anjani sembari menarik sang keponakan.

Dara yang sudah terlanjur panik hanya mengangguk dan terburu-buru berjalan mencari keberadaan mobilnya.

“Tenang Dara,” ucap Anjani setelah memakai sabuk pengaman. Ada seberkas khawatir mengingat keponakannya ini terkadang bersikap impulsif.

Menghabiskan waktu 45 menit perjalanan, Dara akhirnya turun setelah mobilnya terparkir rapi di samping bangunan bertuliskan “Kasih Ibu”.

Saat memasuki tempat penjaja kuliner itu Dara langsung disuguhi lalu lalang pelanggan yang sudah mengisi sembilan puluh persen meja, ada lega yang menghinggapi hatinya mengetahui pekerjaan sang mantan asisten. Tapi, ini jelas bukan waktunya untuk bersuka cita.

Setelah berkali-kali menyusuri ruangan, matanya berhenti di salah satu meja tempat Indri duduk, benarkah itu Indri? Kenapa wajahnya tampak berbeda? Rambutnya seperti tak disisir berminggu-minggu, wajahnya kuyu, ada lingkaran hitam di bawah mata yang dibiarkan. Dara yakin para pelanggan juga banyak yang menaruh atensi pada perempuan itu.

Setelah Indri menyadari kedatangannya, perempuan itu langsung berlari mendekati Dara dengan wajah sengit.

Plak!