Sang mertua melotot tak terima. “Jika ingin pergi, kau saja yang pergi dasar mandul pembawa sial! Kaulah yang menumpang di sini!” hardik sang mertua membuat Dara menggeleng tak setuju.
“Itu tidak mungkin! Rumah ini milikku apa hak kalian—” Dara berteriak lantang dan terpotong. “Meski kamu yang membangun rumah ini, tetap saja, tanah dan sertifikat rumah ini atas namaku. Dan kamu tidak ada hak!” sahut mama mertua dengan setitik senyum bangga. “Tak usah memperpanjang masalah, Ra. Kamu tinggal ikhlas, maka semuanya beres.” Indri, sang menantu baru mulai angkat bicara. “Lagipula, kita kan, berteman. Tidak akan sulit rasanya membagi suami pada temanmu.” Dara berdiri dengan pandangan mencemooh ke arah Indri. Andai saja ikhlas itu semudah membalikkan telapak tangan. “Indri benar. Tidak perlu berselisih lagi, intinya masalah ini selesai!” Mertua Dara memang kerap kali ikut campur dalam rumah tangganya. Namun, kali ini… Dara tidak akan membiarkan wanita tua itu kembali mencampuri ranahnya. “Tidak, Ma! Tidak ada penyelesaian yang lebih pantas bagi sebuah perselingkuhan, selain perceraian.” Dengan tangan mengepal di sisi tubuh, Dara memicingkan matanya ke setiap orang yang menentang, “Rumah ini ... Mari kita menjualnya dan membaginya dengan adil.” Setelah itu, Dara melangkah ke lemarinya untuk mengambil beberapa berkas penting. “Berhenti?! Apa-apaan kamu?! Jangan berani-berani mengambil rumahku!” Wanita paruh baya itu menghalangi Dara. “Minggir!” Persetan dengan sopan santun, Dara benar-benar tak sudi hasil jerih payahnya malah dinikmati oleh para pengkhianat ini. “Anak kurang ajar!” Dara meringis saat ibu mertuanya memukulnya kuat dengan gagang sapu, hingga kepalanya kembali berkunang-kunang. Melihat wanita paruh baya itu kembali mengangkat sapu di tangannya, Dara hanya bisa menuruti bujukan asistennya untuk pergi meski hatinya jelas bercokol. “Mbak, menginap di kos saya saja, ya?” Dara yang sudah duduk di jok belakang itu menggeleng pelan sembari memijit pelipisnya. “Saya tidur di butik saja, sepertinya masih muat untuk ditinggali.” Dara merasa tak enak dengan asistennya jika ia mengiyakan tawaran tersebut. Pasalnya, gadis yang beberapa tahun di bawahnya ini memiliki tanggungan tiga adik dan ibu yang sudah sakit-sakitan di indekos satu petaknya. Saat sampai, gadis bertubuh ringkih itu segera masuk setelah mengantar kepergian asistennya. Dara meringkuk kedinginan di lantai beralas karpet tipis, perempuan itu bahkan baru ingat belum mengisi perutnya seharian karena disibukkan dengan masalah rumah tangganya. Memikirkan masalah yang menimpanya bertubi-tubi, membuat gadis itu berakhir meratapi semua kesialan dalam hidupnya. Sampai tak sadar akan takhta rembulan yang sudah terlengserkan mentari. “Mbak, saya bawa sarapan, nih.” Dara yang baru saja menyatu dengan alam mimpi langsung terjaga. “Terima kasih, ya, dan tolong untuk hari ini handle semua urusan butik. Saya mau istirahat total.” Tangannya yang setengah gemetar itu mulai menyendok anugerah Tuhan yang datang lewat perantara asistennya. Dering ponsel membuatnya menggeram sembari mengumpati si penelepon. Setelah melihat nama si pemanggil, jiwa buasnya semakin bangkit. “Di mana kamu?!” Suara melengking itu membuatnya refleks menjauhkan ponsel. “Kenapa?” tanya Dara santai sebelum mendengar geraman dari seberang sana. “Pulang sekarang! Dan masak untuk kami!” Dara mendengus geli saat mendengarnya, ia penasaran setebal apa wajah ibu mertuanya, hingga dengan tak tahu malunya berani menyuruhnya pulang. “Kenapa saya harus memasak untuk kalian?” tanyanya membuat orang di seberang sana kebakaran jenggot. “Masih bertanya kenapa?! Jelas-jelas karena kamu menantu saya! Cepat pulang dan laksanakan tugasmu!” sentak paruh baya itu membuat Dara semakin tergerak untuk memancing amarahnya. “Memangnya menantu ibu hanya saya? Bukannya ibu punya menantu lain, ya?” Dara yakin telinga ibu mertuanya sudah mengeluarkan asap. “Dara! Kamu ini bodoh atau dungu?! Indri sedang hamil–” “Memangnya kenapa? Bukannya dulu waktu ibu sedang hamil tetap melakukan semua pekerjaan rumah, ya?” Dara ingat betul saat ibunya selalu mencecarnya saat ia telat memasak dan membanding-bandingkan dengan keadaan wanita itu yang tetap melakukan berbagai hal meski tengah mengandung. “Dara! Kurang aja–” Dara menyingkirkan benda pipih sejuta umat itu setelah menutup sambungan secara sepihak. Wanita itu memilih menikmati karunia Tuhan yang dititipkan lewat asistennya dengan penuh khidmat. “Mbak!” Sang asistennya datang dengan napas tersengal. “Ada adik iparnya Mbak. Dia datang bawa bala-bala dan buat kacau di depan,” desak gadis tersebut yang membuat Dara segera memberesi alat makannya dan keluar. “Mau apa kamu kemari?” Dara benar-benar muak dengan satu keluarga yang tak henti-hentinya merecokinya. “Mbak.” Gadis itu bergelayut manja di lengan kakak iparnya. “Padahal aku sudah bilang sama mereka kalau aku adik iparnya Mbak. Tapi, mereka tetap kasih tagihan,” dengusnya sembari menampilkan raut memelas. “Semua orang yang mengunjungi butik ini, mereka semua tetap dikenakan biaya tanpa terkecuali. Lagi pun, memangnya kamu tidak dengar tentang perceraian saya dengan kakakmu?” tanya Dara membuat beberapa gadis yang datang bersama adik iparnya berbisik-bisik. Dara cukup yakin semua keluarga bahkan seluruh tetangga sudah tahu mengingat ibu mertuanya yang tak bisa berlama-lama meninggalkan dunia pergosipan. “Tapi kan, Mbak masih kakak ipar aku, jadi Mbak masih punya kewajiban lah. Ngomong-ngomong, aku juga mau ke mall sama teman-teman, minta uang jajan, dong!” pinta gadis itu sembari menengadahkan tangannya. Bagus! Sebuah perpaduan sempurna untuk mendapat julukan ‘muka tembok’. “Kewajiban?” Dara terkekeh sinis, “Dari awal saya tidak punya kewajiban untuk menafkahi kalian, bahkan untuk suami saya sendiri. Jadi, kewajiban apa yang sedang coba kamu bicarakan?” Gadis yang menduduki bangku perkuliahan akhir itu gelagapan di tempatnya. Tak terima dipermalukan di depan teman-temannya “Terus gimana, dong?! Aku mau ke pesta ulang tahun nanti malam, dan Mbak dengan teganya usir aku?!” Air matanya sudah menggenangi pelupuk, sebelum akhirnya terjun bebas, membuat pelanggan yang bisa dihitung jari itu mulai menaruh atensi padanya. Dara memijit pelipisnya pelan. “Saya tidak berniat mengusir kamu, karena pada dasarnya butik ini adalah tempat untuk membeli dan berkonsultasi mengenai fashion bagi pelanggan dan calon pelanggan, kalau kamu tidak berniat menjadi salah satunya pergi saja!” tegasnya sembari kembali masuk ke dalam untuk kembali istirahat. Dokternya sudah menyarankan istirahat total dan berusaha mengurangi stres. Tapi, Dara tak yakin bisa melaksanakan saran itu, Tidak sebelum ia benar-benar lepas dari belenggu sekeluarga sialan ini. “Mbak tega menolak permintaanku?!” Dara tak menggubris sembari terus menjauh. “Jadi benar, rumor tentang Mbak Dara yang selama ini mengguna-guna abangku?!” Dara langsung mandek. Ia membalikkan tubuh ringkih itu sebelum kemudian melemparkan pandangan bingung. “Apa?! Benar, kan? Selama ini abangku yang baik hati itu terkena guna-guna?” Dara tak perlu menerka-nerka siapa yang menjadi tersangka rumor murahan tersebut. Dara merasa harus segera mengendalikan muncung adik iparnya, sebelum para pengunjung butiknya yang tak seberapa itu, ikut terpengaruh dan berdampak pada nama butiknya. “Masih di sini? Mau pergi sendiri, atau saya seret?” ancam Dara meskipun tak yakin mampu menyeret dengan tubuh lemahnya. “Baik! Aku pergi, tapi lihat saja! Nanti ibu sama bang William akan kasih pelajaran buat Mbak, karena berani usir aku!” tekan gadis itu dengan tatapan penuh dendam dan bibir yang tersungging licik sebelum enyah.Dara membersihkan mulutnya yang masih menyisakan cairan asam yang tertolak oleh lambungnya. Terhitung sudah tiga kali ia memuntahkan cairan asam itu. Tubuhnya ambruk di lantai berlapis karpet tanpa bisa dicegah.“Mbak? Mau ke rumah sakit lagi?” tanya perempuan yang tengah memberesi sarapan atasannya yang tinggal seperdua.Dara menggeleng pelan. “Tidak perlu, keadaan butik sekarang sangat sibuk. Saya harus turun tangan langsung mengingat peran saya sangat dibutuhkan,” tolak Dara sembari merapikan rambutnya yang entah sudah berapa hari tak tersentuh sisir.Sang asisten diam-diam menyetujui ucapan Dara. Mau bagaimana lagi? Butik yang tidak seberapa besar ini kekurangan sumber daya manusia, dan sayangnya hanya memiliki satu desainer yang tak lain dan tak bukan adalah sang pemiliknya sendiri.Apa lagi, pendapatan butik selama beberapa hari terakhir, khususnya saat Dara menjalani rawat inap, mengalami penurunan yang signifikan.“Tolong ambilkan desain-desain saya sekalian bawakan catatan pe
Atmosfer butik benar-benar kacau, beberapa baju yang sudah rusak berceceran itu semakin menyemarakkan suasana genting di sana. Dara memegangi perutnya yang terasa mulas dihadapkan dengan situasi ini.“Cium kaki saya, maka saya akan pertimbangkan untuk menjualnya atau tidak!” ulang sang mertua yang berhasil menyadarkan Dara bahwa kejadian ini bukan mimpi buruk semata.Para pelanggan sudah pulang karena butik ditutup mendadak agar informasi ini tak menyebar ke pihak luar dan mencemarkan nama baik butik. Kini, hanya tersisa Dara beserta karyawannya dan satu keluarga yang saat ini terus merongrongnya.Mertuanya mencebik, “Kamu tidak mau, Dara? Kalau begitu silakan angkat kaki dari sini–”“Saya mau! Saya akan lakukan apa pun!” sela Dara yang direspons dengan senyum puas satu keluarga itu.Dara melepaskan tangan asistennya yang mencoba menahannya. Matanya menyorot seluruh karyawannya dengan pilu. Hatinya dengan teguh meyakinkan bahwa inilah satu-satunya cara agar butik ini tak lepas dari g
“Terima kasih, Pak,” ujar Dara sebelum taksi yang ditumpanginya menjauh.Dara menatap jalanan kompleks yang sepi sebab waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ia jalan pintas dengan penuh kehati-hatian, sebab kluster mewah ini dijaga dengan keamanan ketat. “Berhenti di sana!” seru sebuah suara membuat tangan ringkih yang semula berniat membunyikan bel itu mengambang di udara.“Sudah saya bilang berkali-kali, kan?! Pengemis, penjual dan pemulung dilarang memasuki kawasan ini, tidak bisa baca aturan di depan?! Berani-beraninya mengotori kompleks ini dengan aura melaratmu!” sentak lelaki bertubuh tambun yang terasa asing bagi Dara. Ditodongkannya tongkat kebanggaan itu sembari menatap remeh penampilan Dara.Perempuan itu tersinggung saat menyadari penampilannya yang memang layak disebut pengemis daripada pewaris. “Saya bukan pengemis,” jelasnya sembari memencet bel dan membuat satpam itu cepat-cepat menariknya kasar.“Dasar orang miskin! Jangan berani mengganggu ketenangan pe
Laksmi Wardana terlihat menikmati sup dengan dahi berkerut, seperti sedang menyusun berbagai tanya untuknya. Sedang Hendra dan istrinya tampak ikut canggung sederajat dengan atmosfer sekitar. Jangan tanya pada manusia satu yang sedang duduk tak jauh di seberang sana, Dara tak yakin ibunya juga sedang menyusun pertanyaan untuknya. Pasalnya, sekedar saling sapa saja seperti sebuah kemustahilan.Setelah usai, Sukma Wijayakusuma tampak langsung berdiri dan berniat pergi.“Mau ke mana, Sukma? Tidak ingin berbincang hangat dengan kami dulu?” tanya Laksmi pada putri semata wayangnya.“Tidak, Ma. Aku mau istirahat saja, banyak sekali musibah yang terjadi hari ini, membuat kepalaku pusing, aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun,” kelitnya tanpa melihat anaknya yang mungkin saja tersinggung. Dara tak tahu musibah apa saja yang menimpa ibunya hari ini, hanya ... ia terlampau yakin jika namanya masuk pada daftar musibah itu.“Bahkan dengan Dara?” tanya Laksmi sengaja menyebut nama cucunya.“T
Dara menghembuskan napasnya perlahan, matanya memandang tautan tangannya yang berkeringat dingin dengan berkaca-kaca. Meski tangisan sering dianalogikan sebagai ungkapan perasaan sedih, namun hatinya jelas tak membual, bongkahan batu yang semua mengimpit dadanya seakan dipukul godam, semua kekhawatirannya hirap bersama pecahan-pecahan batu itu, lega, setidaknya itulah yang ia rasakan setelah mendengar palu diketuk oleh sang hakim.Meskipun pada akhirnya akan ada tulisan “cerai hidup” yang akan menodai kartu kenegaraannya, Dara tetap bersyukur atas status barunya yang secara tidak langsung lepas dari belenggu siksa. Untung dari segala buntung, selama prosesi perceraian ini, tidak ada drama yang membumbui. Awalnya Dara khawatir jika William akan mempersulitnya, untungnya ada Sri Rahmi, mantan ibu mertuanya, yang terus menempeli putra pertamanya layaknya permen karet, wanita itu seakan-akan siap mencakarnya jika berani dekat-dekat dengan putra kesayangannya.“Om Hendra? Kok sendirian? Ta
Dara tersentak. Diputarnya pear body shape itu sampai 180° hingga wajah Anjani Hanggasa yang tengah bersedekap langsung menembus retinanya. “Tante!” serunya sambil menghampiri si empunya.“Kamu tahu kejadian tadi?” tanya Hendra membuat Anjani mau tak mau menghentikan lakonnya sebagai istri tersakiti.“Hm, aku kan cuma ke toilet sebentar, balik-balik malah disuguhi drama, aku pikir sedang ada syuting sinetron azab,” celetuknya membuat sepasang paman dan keponakan itu menghela napas bosan.“Kalau begitu, kira-kira judul apa yang cocok untuk sinetron azab itu?” tanya Hendra yang mau-mau saja meladeni sang istri.“Azab sering menebar senyuman, ketika mati mulutnya peot!” seru Anjani yang direspons tawa geli sang suami. Seorang Anjani Hanggasa, dokter pediatri terkenal, sedang cemburu melihat suaminya tersenyum di depan para wanita!Dara bukannya tak tahu bagaimana mesranya dua orang itu, tapi tiap kali melihatnya, perempuan itu selalu memiliki seberkas iri yang menjamur. Cih! William mana
‘Berangkat ke kantor. cepat pulang, ya, Ayah. Adik tunggu,’Dara mendengus saat melihat unggahan Indri yang menampilkan William yang tengah mencium perut rata Indri dengan kemeja slim fit biru serta celana bahan hitamnya. Jadi William sudah mendapat pekerjaan? Dan itu sesudah mereka bercerai? Dara jadi memikirkan omongan Rahmi tentang dirinya yang membawa sial. Apa benar dirinya memang pembawa sial? Kenapa William tampak sukses setelah mereka berpisah?“Bagaimana, Ra?” tanya Laksmi Wardana membuat Dara cepat-cepat menyimpan ponselnya dan mengalihkan atensi ke laptop yang sejak tadi menyala.Dara terkejut. “Aku ... diterima?” tanya Dara tak yakin setelah membaca email dari PT. Juita betari, yang merupakan perusahaan besar milik keluarga Wijayakusuma. Entah harus senang atau sedih, yang jelas perasaan Dara masih niskala.“Bagus! Oma sudah menduga kamu akan diterima!” seru Laksmi dengan nada puas.“Karena perusahaan itu milik Wijayakusuma?” tanya Dara skeptis akan kemampuannya sendiri. S
Dara mengamati dokumen kenegaraan di tangannya. Gelisah, setelah kejadian kemarin, Dara semakin merasa bersalah saat melihat namanya yang tertulis jelas di bawah nama Sukma Wijayakusuma.Anjani menyeruput tehnya sembari memperhatikan ekspresi keponakannya. “Kamu tidak siap-siap? Kita akan pergi ke mall sekarang, kebetulan tante sedang tidak memiliki jadwal praktik, tapi pamanmu itu agaknya tidak bisa mengantar, dia sedang ada urusan bisnis,” beritahunya sembari mengamati penampilan keponakan yang masih ala-ala rumahan dengan mata panda yang menarik atensi.“Kalau menunggu pamanmu, tante tidak yakin kita jadi shopping, biar sopir yang mengantar, kamu siap-siap sekarang!” tegas Anjani membuat Dara mau tak mau bersiap-siap dan kembali saat Anjani menghabiskan secangkir tehnya.Sebuah wrap dress berwarna merah dengan motif flora melekat indah di tubuh 171 senti itu, ditambah sepasang boots hitam yang berhasil membuat Anjani berdecak kagum akan keindahan sang keponakan yang sudah disia-sia
Dara mematut penampilannya di depan cermin full body. Sebuah kemeja dengan puffy Sleeve berwarna baby blue yang dipadukan dengan wrap skirt berwarna hitam selutut sukses melekat indah di tubuh semampai itu, memperlihatkan betis jenjangnya. Setelah memastikan penampilannya paripurna, perempuan itu segera mengambil block heel 5 senti yang senada dengan warna roknya. Tidak lupa anting cuplik mutiara yang membuat penampilannya on point.“Wah! Ada yang mau menjalani hari pertama menjadi karyawan, nih!” celetuk Hendra saat melihat Dara turun menenteng heel serta tasnya.Anjani ikut terkekeh sembari mengamati penampilan Dara, wanita paruh baya itu menyingkirkan sedikit resah dan curiga atas sikap tenang Dara, pasalnya, bertahun-tahun mengenal sang keponakan, membuatnya tahu sifat menggebu-gebu Dara. Suatu kemustahilan jika Dara melupakan kejadian ‘itu’ begitu saja.Di ujung sana terdapat wanita berpakaian formal yang tampak mengisolasi dirinya dari keluarga Wijayakusuma lain.“Oma harap kali
Seluruh kegiatan kafe langsung terhenti seketika. Semua mata langsung tertuju pada dua wanita yang tampak memiliki prahara, beberapa orang bahkan kesulitan untuk sekedar menyerap udara, dalam hati khawatir jika napasnya terdengar dan bisa menarik atensi dua wanita di sana, takut terlibat pertengkaran fisik penuh siksa.“Perempuan jalang!” seru Indri sambil menunjuk wajah Dara yang menoleh ke samping akibat tamparannya. Semua pelanggan yang mendengarnya pun mulai berspekulasi sesuai keyakinan masing-masing.“Apa kamu bilang?” desis Dara dengan gigi bergemeletuk.“Memang benar, kan? Sebutan apa yang lebih pantas untuk wanita yang berusaha menghancurkan rumah tangga orang?!” sentak Indri semakin membuat audiens tertarik memperhatikan drama dadakan itu.Dara mengusap pipinya yang terasa panas dan kebas. Matanya menatap nyalang pada perempuan berpenampilan kacau di depannya. “Indri ...,” tekannya yang masih rasional dengan tidak menampar balik perempuan itu sebab masih memikirkan nasib san
Dara mengamati dokumen kenegaraan di tangannya. Gelisah, setelah kejadian kemarin, Dara semakin merasa bersalah saat melihat namanya yang tertulis jelas di bawah nama Sukma Wijayakusuma.Anjani menyeruput tehnya sembari memperhatikan ekspresi keponakannya. “Kamu tidak siap-siap? Kita akan pergi ke mall sekarang, kebetulan tante sedang tidak memiliki jadwal praktik, tapi pamanmu itu agaknya tidak bisa mengantar, dia sedang ada urusan bisnis,” beritahunya sembari mengamati penampilan keponakan yang masih ala-ala rumahan dengan mata panda yang menarik atensi.“Kalau menunggu pamanmu, tante tidak yakin kita jadi shopping, biar sopir yang mengantar, kamu siap-siap sekarang!” tegas Anjani membuat Dara mau tak mau bersiap-siap dan kembali saat Anjani menghabiskan secangkir tehnya.Sebuah wrap dress berwarna merah dengan motif flora melekat indah di tubuh 171 senti itu, ditambah sepasang boots hitam yang berhasil membuat Anjani berdecak kagum akan keindahan sang keponakan yang sudah disia-sia
‘Berangkat ke kantor. cepat pulang, ya, Ayah. Adik tunggu,’Dara mendengus saat melihat unggahan Indri yang menampilkan William yang tengah mencium perut rata Indri dengan kemeja slim fit biru serta celana bahan hitamnya. Jadi William sudah mendapat pekerjaan? Dan itu sesudah mereka bercerai? Dara jadi memikirkan omongan Rahmi tentang dirinya yang membawa sial. Apa benar dirinya memang pembawa sial? Kenapa William tampak sukses setelah mereka berpisah?“Bagaimana, Ra?” tanya Laksmi Wardana membuat Dara cepat-cepat menyimpan ponselnya dan mengalihkan atensi ke laptop yang sejak tadi menyala.Dara terkejut. “Aku ... diterima?” tanya Dara tak yakin setelah membaca email dari PT. Juita betari, yang merupakan perusahaan besar milik keluarga Wijayakusuma. Entah harus senang atau sedih, yang jelas perasaan Dara masih niskala.“Bagus! Oma sudah menduga kamu akan diterima!” seru Laksmi dengan nada puas.“Karena perusahaan itu milik Wijayakusuma?” tanya Dara skeptis akan kemampuannya sendiri. S
Dara tersentak. Diputarnya pear body shape itu sampai 180° hingga wajah Anjani Hanggasa yang tengah bersedekap langsung menembus retinanya. “Tante!” serunya sambil menghampiri si empunya.“Kamu tahu kejadian tadi?” tanya Hendra membuat Anjani mau tak mau menghentikan lakonnya sebagai istri tersakiti.“Hm, aku kan cuma ke toilet sebentar, balik-balik malah disuguhi drama, aku pikir sedang ada syuting sinetron azab,” celetuknya membuat sepasang paman dan keponakan itu menghela napas bosan.“Kalau begitu, kira-kira judul apa yang cocok untuk sinetron azab itu?” tanya Hendra yang mau-mau saja meladeni sang istri.“Azab sering menebar senyuman, ketika mati mulutnya peot!” seru Anjani yang direspons tawa geli sang suami. Seorang Anjani Hanggasa, dokter pediatri terkenal, sedang cemburu melihat suaminya tersenyum di depan para wanita!Dara bukannya tak tahu bagaimana mesranya dua orang itu, tapi tiap kali melihatnya, perempuan itu selalu memiliki seberkas iri yang menjamur. Cih! William mana
Dara menghembuskan napasnya perlahan, matanya memandang tautan tangannya yang berkeringat dingin dengan berkaca-kaca. Meski tangisan sering dianalogikan sebagai ungkapan perasaan sedih, namun hatinya jelas tak membual, bongkahan batu yang semua mengimpit dadanya seakan dipukul godam, semua kekhawatirannya hirap bersama pecahan-pecahan batu itu, lega, setidaknya itulah yang ia rasakan setelah mendengar palu diketuk oleh sang hakim.Meskipun pada akhirnya akan ada tulisan “cerai hidup” yang akan menodai kartu kenegaraannya, Dara tetap bersyukur atas status barunya yang secara tidak langsung lepas dari belenggu siksa. Untung dari segala buntung, selama prosesi perceraian ini, tidak ada drama yang membumbui. Awalnya Dara khawatir jika William akan mempersulitnya, untungnya ada Sri Rahmi, mantan ibu mertuanya, yang terus menempeli putra pertamanya layaknya permen karet, wanita itu seakan-akan siap mencakarnya jika berani dekat-dekat dengan putra kesayangannya.“Om Hendra? Kok sendirian? Ta
Laksmi Wardana terlihat menikmati sup dengan dahi berkerut, seperti sedang menyusun berbagai tanya untuknya. Sedang Hendra dan istrinya tampak ikut canggung sederajat dengan atmosfer sekitar. Jangan tanya pada manusia satu yang sedang duduk tak jauh di seberang sana, Dara tak yakin ibunya juga sedang menyusun pertanyaan untuknya. Pasalnya, sekedar saling sapa saja seperti sebuah kemustahilan.Setelah usai, Sukma Wijayakusuma tampak langsung berdiri dan berniat pergi.“Mau ke mana, Sukma? Tidak ingin berbincang hangat dengan kami dulu?” tanya Laksmi pada putri semata wayangnya.“Tidak, Ma. Aku mau istirahat saja, banyak sekali musibah yang terjadi hari ini, membuat kepalaku pusing, aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun,” kelitnya tanpa melihat anaknya yang mungkin saja tersinggung. Dara tak tahu musibah apa saja yang menimpa ibunya hari ini, hanya ... ia terlampau yakin jika namanya masuk pada daftar musibah itu.“Bahkan dengan Dara?” tanya Laksmi sengaja menyebut nama cucunya.“T
“Terima kasih, Pak,” ujar Dara sebelum taksi yang ditumpanginya menjauh.Dara menatap jalanan kompleks yang sepi sebab waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ia jalan pintas dengan penuh kehati-hatian, sebab kluster mewah ini dijaga dengan keamanan ketat. “Berhenti di sana!” seru sebuah suara membuat tangan ringkih yang semula berniat membunyikan bel itu mengambang di udara.“Sudah saya bilang berkali-kali, kan?! Pengemis, penjual dan pemulung dilarang memasuki kawasan ini, tidak bisa baca aturan di depan?! Berani-beraninya mengotori kompleks ini dengan aura melaratmu!” sentak lelaki bertubuh tambun yang terasa asing bagi Dara. Ditodongkannya tongkat kebanggaan itu sembari menatap remeh penampilan Dara.Perempuan itu tersinggung saat menyadari penampilannya yang memang layak disebut pengemis daripada pewaris. “Saya bukan pengemis,” jelasnya sembari memencet bel dan membuat satpam itu cepat-cepat menariknya kasar.“Dasar orang miskin! Jangan berani mengganggu ketenangan pe
Atmosfer butik benar-benar kacau, beberapa baju yang sudah rusak berceceran itu semakin menyemarakkan suasana genting di sana. Dara memegangi perutnya yang terasa mulas dihadapkan dengan situasi ini.“Cium kaki saya, maka saya akan pertimbangkan untuk menjualnya atau tidak!” ulang sang mertua yang berhasil menyadarkan Dara bahwa kejadian ini bukan mimpi buruk semata.Para pelanggan sudah pulang karena butik ditutup mendadak agar informasi ini tak menyebar ke pihak luar dan mencemarkan nama baik butik. Kini, hanya tersisa Dara beserta karyawannya dan satu keluarga yang saat ini terus merongrongnya.Mertuanya mencebik, “Kamu tidak mau, Dara? Kalau begitu silakan angkat kaki dari sini–”“Saya mau! Saya akan lakukan apa pun!” sela Dara yang direspons dengan senyum puas satu keluarga itu.Dara melepaskan tangan asistennya yang mencoba menahannya. Matanya menyorot seluruh karyawannya dengan pilu. Hatinya dengan teguh meyakinkan bahwa inilah satu-satunya cara agar butik ini tak lepas dari g