Sang mertua melotot tak terima. “Jika ingin pergi, kau saja yang pergi dasar mandul pembawa sial! Kaulah yang menumpang di sini!” hardik sang mertua membuat Dara menggeleng tak setuju.
“Itu tidak mungkin! Rumah ini milikku apa hak kalian—” Dara berteriak lantang dan terpotong. “Meski kamu yang membangun rumah ini, tetap saja, tanah dan sertifikat rumah ini atas namaku. Dan kamu tidak ada hak!” sahut mama mertua dengan setitik senyum bangga. “Tak usah memperpanjang masalah, Ra. Kamu tinggal ikhlas, maka semuanya beres.” Indri, sang menantu baru mulai angkat bicara. “Lagipula, kita kan, berteman. Tidak akan sulit rasanya membagi suami pada temanmu.” Dara berdiri dengan pandangan mencemooh ke arah Indri. Andai saja ikhlas itu semudah membalikkan telapak tangan. “Indri benar. Tidak perlu berselisih lagi, intinya masalah ini selesai!” Mertua Dara memang kerap kali ikut campur dalam rumah tangganya. Namun, kali ini… Dara tidak akan membiarkan wanita tua itu kembali mencampuri ranahnya. “Tidak, Ma! Tidak ada penyelesaian yang lebih pantas bagi sebuah perselingkuhan, selain perceraian.” Dengan tangan mengepal di sisi tubuh, Dara memicingkan matanya ke setiap orang yang menentang, “Rumah ini ... Mari kita menjualnya dan membaginya dengan adil.” Setelah itu, Dara melangkah ke lemarinya untuk mengambil beberapa berkas penting. “Berhenti?! Apa-apaan kamu?! Jangan berani-berani mengambil rumahku!” Wanita paruh baya itu menghalangi Dara. “Minggir!” Persetan dengan sopan santun, Dara benar-benar tak sudi hasil jerih payahnya malah dinikmati oleh para pengkhianat ini. “Anak kurang ajar!” Dara meringis saat ibu mertuanya memukulnya kuat dengan gagang sapu, hingga kepalanya kembali berkunang-kunang. Melihat wanita paruh baya itu kembali mengangkat sapu di tangannya, Dara hanya bisa menuruti bujukan asistennya untuk pergi meski hatinya jelas bercokol. “Mbak, menginap di kos saya saja, ya?” Dara yang sudah duduk di jok belakang itu menggeleng pelan sembari memijit pelipisnya. “Saya tidur di butik saja, sepertinya masih muat untuk ditinggali.” Dara merasa tak enak dengan asistennya jika ia mengiyakan tawaran tersebut. Pasalnya, gadis yang beberapa tahun di bawahnya ini memiliki tanggungan tiga adik dan ibu yang sudah sakit-sakitan di indekos satu petaknya. Saat sampai, gadis bertubuh ringkih itu segera masuk setelah mengantar kepergian asistennya. Dara meringkuk kedinginan di lantai beralas karpet tipis, perempuan itu bahkan baru ingat belum mengisi perutnya seharian karena disibukkan dengan masalah rumah tangganya. Memikirkan masalah yang menimpanya bertubi-tubi, membuat gadis itu berakhir meratapi semua kesialan dalam hidupnya. Sampai tak sadar akan takhta rembulan yang sudah terlengserkan mentari. “Mbak, saya bawa sarapan, nih.” Dara yang baru saja menyatu dengan alam mimpi langsung terjaga. “Terima kasih, ya, dan tolong untuk hari ini handle semua urusan butik. Saya mau istirahat total.” Tangannya yang setengah gemetar itu mulai menyendok anugerah Tuhan yang datang lewat perantara asistennya. Dering ponsel membuatnya menggeram sembari mengumpati si penelepon. Setelah melihat nama si pemanggil, jiwa buasnya semakin bangkit. “Di mana kamu?!” Suara melengking itu membuatnya refleks menjauhkan ponsel. “Kenapa?” tanya Dara santai sebelum mendengar geraman dari seberang sana. “Pulang sekarang! Dan masak untuk kami!” Dara mendengus geli saat mendengarnya, ia penasaran setebal apa wajah ibu mertuanya, hingga dengan tak tahu malunya berani menyuruhnya pulang. “Kenapa saya harus memasak untuk kalian?” tanyanya membuat orang di seberang sana kebakaran jenggot. “Masih bertanya kenapa?! Jelas-jelas karena kamu menantu saya! Cepat pulang dan laksanakan tugasmu!” sentak paruh baya itu membuat Dara semakin tergerak untuk memancing amarahnya. “Memangnya menantu ibu hanya saya? Bukannya ibu punya menantu lain, ya?” Dara yakin telinga ibu mertuanya sudah mengeluarkan asap. “Dara! Kamu ini bodoh atau dungu?! Indri sedang hamil–” “Memangnya kenapa? Bukannya dulu waktu ibu sedang hamil tetap melakukan semua pekerjaan rumah, ya?” Dara ingat betul saat ibunya selalu mencecarnya saat ia telat memasak dan membanding-bandingkan dengan keadaan wanita itu yang tetap melakukan berbagai hal meski tengah mengandung. “Dara! Kurang aja–” Dara menyingkirkan benda pipih sejuta umat itu setelah menutup sambungan secara sepihak. Wanita itu memilih menikmati karunia Tuhan yang dititipkan lewat asistennya dengan penuh khidmat. “Mbak!” Sang asistennya datang dengan napas tersengal. “Ada adik iparnya Mbak. Dia datang bawa bala-bala dan buat kacau di depan,” desak gadis tersebut yang membuat Dara segera memberesi alat makannya dan keluar. “Mau apa kamu kemari?” Dara benar-benar muak dengan satu keluarga yang tak henti-hentinya merecokinya. “Mbak.” Gadis itu bergelayut manja di lengan kakak iparnya. “Padahal aku sudah bilang sama mereka kalau aku adik iparnya Mbak. Tapi, mereka tetap kasih tagihan,” dengusnya sembari menampilkan raut memelas. “Semua orang yang mengunjungi butik ini, mereka semua tetap dikenakan biaya tanpa terkecuali. Lagi pun, memangnya kamu tidak dengar tentang perceraian saya dengan kakakmu?” tanya Dara membuat beberapa gadis yang datang bersama adik iparnya berbisik-bisik. Dara cukup yakin semua keluarga bahkan seluruh tetangga sudah tahu mengingat ibu mertuanya yang tak bisa berlama-lama meninggalkan dunia pergosipan. “Tapi kan, Mbak masih kakak ipar aku, jadi Mbak masih punya kewajiban lah. Ngomong-ngomong, aku juga mau ke mall sama teman-teman, minta uang jajan, dong!” pinta gadis itu sembari menengadahkan tangannya. Bagus! Sebuah perpaduan sempurna untuk mendapat julukan ‘muka tembok’. “Kewajiban?” Dara terkekeh sinis, “Dari awal saya tidak punya kewajiban untuk menafkahi kalian, bahkan untuk suami saya sendiri. Jadi, kewajiban apa yang sedang coba kamu bicarakan?” Gadis yang menduduki bangku perkuliahan akhir itu gelagapan di tempatnya. Tak terima dipermalukan di depan teman-temannya “Terus gimana, dong?! Aku mau ke pesta ulang tahun nanti malam, dan Mbak dengan teganya usir aku?!” Air matanya sudah menggenangi pelupuk, sebelum akhirnya terjun bebas, membuat pelanggan yang bisa dihitung jari itu mulai menaruh atensi padanya. Dara memijit pelipisnya pelan. “Saya tidak berniat mengusir kamu, karena pada dasarnya butik ini adalah tempat untuk membeli dan berkonsultasi mengenai fashion bagi pelanggan dan calon pelanggan, kalau kamu tidak berniat menjadi salah satunya pergi saja!” tegasnya sembari kembali masuk ke dalam untuk kembali istirahat. Dokternya sudah menyarankan istirahat total dan berusaha mengurangi stres. Tapi, Dara tak yakin bisa melaksanakan saran itu, Tidak sebelum ia benar-benar lepas dari belenggu sekeluarga sialan ini. “Mbak tega menolak permintaanku?!” Dara tak menggubris sembari terus menjauh. “Jadi benar, rumor tentang Mbak Dara yang selama ini mengguna-guna abangku?!” Dara langsung mandek. Ia membalikkan tubuh ringkih itu sebelum kemudian melemparkan pandangan bingung. “Apa?! Benar, kan? Selama ini abangku yang baik hati itu terkena guna-guna?” Dara tak perlu menerka-nerka siapa yang menjadi tersangka rumor murahan tersebut. Dara merasa harus segera mengendalikan muncung adik iparnya, sebelum para pengunjung butiknya yang tak seberapa itu, ikut terpengaruh dan berdampak pada nama butiknya. “Masih di sini? Mau pergi sendiri, atau saya seret?” ancam Dara meskipun tak yakin mampu menyeret dengan tubuh lemahnya. “Baik! Aku pergi, tapi lihat saja! Nanti ibu sama bang William akan kasih pelajaran buat Mbak, karena berani usir aku!” tekan gadis itu dengan tatapan penuh dendam dan bibir yang tersungging licik sebelum enyah.Dara membersihkan mulutnya yang masih menyisakan cairan asam yang tertolak oleh lambungnya. Terhitung sudah tiga kali ia memuntahkan cairan asam itu. Tubuhnya ambruk di lantai berlapis karpet tanpa bisa dicegah.“Mbak? Mau ke rumah sakit lagi?” tanya perempuan yang tengah memberesi sarapan atasannya yang tinggal seperdua.Dara menggeleng pelan. “Tidak perlu, keadaan butik sekarang sangat sibuk. Saya harus turun tangan langsung mengingat peran saya sangat dibutuhkan,” tolak Dara sembari merapikan rambutnya yang entah sudah berapa hari tak tersentuh sisir.Sang asisten diam-diam menyetujui ucapan Dara. Mau bagaimana lagi? Butik yang tidak seberapa besar ini kekurangan sumber daya manusia, dan sayangnya hanya memiliki satu desainer yang tak lain dan tak bukan adalah sang pemiliknya sendiri.Apa lagi, pendapatan butik selama beberapa hari terakhir, khususnya saat Dara menjalani rawat inap, mengalami penurunan yang signifikan.“Tolong ambilkan desain-desain saya sekalian bawakan catatan pe
Atmosfer butik benar-benar kacau, beberapa baju yang sudah rusak berceceran itu semakin menyemarakkan suasana genting di sana. Dara memegangi perutnya yang terasa mulas dihadapkan dengan situasi ini.“Cium kaki saya, maka saya akan pertimbangkan untuk menjualnya atau tidak!” ulang sang mertua yang berhasil menyadarkan Dara bahwa kejadian ini bukan mimpi buruk semata.Para pelanggan sudah pulang karena butik ditutup mendadak agar informasi ini tak menyebar ke pihak luar dan mencemarkan nama baik butik. Kini, hanya tersisa Dara beserta karyawannya dan satu keluarga yang saat ini terus merongrongnya.Mertuanya mencebik, “Kamu tidak mau, Dara? Kalau begitu silakan angkat kaki dari sini–”“Saya mau! Saya akan lakukan apa pun!” sela Dara yang direspons dengan senyum puas satu keluarga itu.Dara melepaskan tangan asistennya yang mencoba menahannya. Matanya menyorot seluruh karyawannya dengan pilu. Hatinya dengan teguh meyakinkan bahwa inilah satu-satunya cara agar butik ini tak lepas dari g
“Terima kasih, Pak,” ujar Dara sebelum taksi yang ditumpanginya menjauh.Dara menatap jalanan kompleks yang sepi sebab waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ia jalan pintas dengan penuh kehati-hatian, sebab kluster mewah ini dijaga dengan keamanan ketat. “Berhenti di sana!” seru sebuah suara membuat tangan ringkih yang semula berniat membunyikan bel itu mengambang di udara.“Sudah saya bilang berkali-kali, kan?! Pengemis, penjual dan pemulung dilarang memasuki kawasan ini, tidak bisa baca aturan di depan?! Berani-beraninya mengotori kompleks ini dengan aura melaratmu!” sentak lelaki bertubuh tambun yang terasa asing bagi Dara. Ditodongkannya tongkat kebanggaan itu sembari menatap remeh penampilan Dara.Perempuan itu tersinggung saat menyadari penampilannya yang memang layak disebut pengemis daripada pewaris. “Saya bukan pengemis,” jelasnya sembari memencet bel dan membuat satpam itu cepat-cepat menariknya kasar.“Dasar orang miskin! Jangan berani mengganggu ketenangan pe
Laksmi Wardana terlihat menikmati sup dengan dahi berkerut, tampak sedang menyusun berbagai tanya untuk cucunya. Sedang Hendra dan istrinya tampak terdiam canggung sederajat dengan atmosfer sekitar. Jangan tanya pada manusia satu yang sedang duduk tak jauh di seberang sana, Dara tak yakin ibunya juga sedang menyusun pertanyaan untuknya. Pasalnya, sekedar saling sapa saja seperti sebuah kemustahilan. Setelah usai, Sukma Wijayakusuma tampak langsung berdiri dan berniat pergi. “Mau ke mana, Sukma? Tidak ingin berbincang hangat dengan kami dulu?” tanya Laksmi pada putri semata wayangnya. “Tidak, Ma. Aku mau istirahat saja, banyak sekali musibah yang terjadi hari ini, membuat kepalaku pusing, aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun,” kelitnya tanpa melihat anaknya yang mungkin saja tersinggung. Dara tak tahu musibah apa saja yang menimpa ibunya hari ini, hanya ... ia terlampau yakin jika namanya masuk pada daftar musibah itu. “Bahkan dengan Dara?” tanya Laksmi sengaja menyebut na
Dara menghembuskan napasnya perlahan, matanya memandang tautan tangannya yang berkeringat dingin dengan berkaca-kaca. Meski tangisan sering dianalogikan sebagai ungkapan perasaan sedih, namun hatinya jelas tak membual, bongkahan batu yang semula mengimpit dadanya seakan dipukul godam, semua kekhawatirannya hirap bersama pecahan-pecahan batu itu, lega, setidaknya itulah yang ia rasakan setelah mendengar palu diketuk oleh sang hakim. Meskipun pada akhirnya akan ada tulisan “cerai hidup” yang akan menodai kartu kenegaraannya, Dara tetap bersyukur atas status barunya yang secara tidak langsung lepas dari belenggu siksa. Untung dari segala buntung, selama prosesi perceraian ini, tidak ada drama yang turut membumbui. Awalnya, Dara khawatir jika William akan mempersulitnya, syukurnya ada Sri Rahmi, mantan ibu mertuanya, yang terus menempeli putra pertamanya layaknya permen karet, wanita itu seakan-akan siap mencakarnya jika berani dekat-dekat dengan putra kesayangannya. “Om Hendra? Kok se
Dara tersentak. Diputarnya pear body shape itu sampai 180° hingga wajah Anjani Hanggasa yang tengah bersedekap langsung menembus retinanya. “Tante!” serunya sambil menghampiri si empunya. “Kamu tahu kejadian tadi?” tanya Hendra membuat Anjani mau tak mau menghentikan lakonnya sebagai istri tersakiti. “Hm, aku kan cuma ke toilet sebentar, balik-balik malah disuguhi drama, aku pikir sedang ada syuting sinetron azab,” celetuknya membuat sepasang paman dan keponakan itu menghela napas bosan. “Kalau begitu, kira-kira judul apa yang cocok untuk sinetron azab itu?” tanya Hendra yang mau-mau saja meladeni sang istri. “Azab sering menebar senyuman, ketika mati mulutnya peot!” seru Anjani yang direspons tawa geli sang suami. Seorang Anjani Hanggasa, dokter pediatri terkenal, sedang cemburu melihat suaminya tersenyum di depan para wanita! Dara bukannya tak tahu bagaimana mesranya dua orang itu, tapi tiap kali melihatnya, perempuan itu selalu memiliki seberkas iri yang menjamur. Cih! Willia
‘Berangkat ke kantor. cepat pulang, ya, Ayah. Adik tunggu,’ Dara mendengus sinis saat melihat unggahan Indri yang menampilkan William tengah mencium perut ratanya dengan kemeja slim fit biru serta celana bahan hitamnya. Jadi William sudah mendapat pekerjaan? Dan itu sesudah mereka bercerai? Apalagi dilihat dari penampilan William, sepertinya lelaki itu mendapat posisi yang cukup bagus. Dara jadi memikirkan omongan Rahmi tentang dirinya yang membawa sial. Apa benar dirinya memang pembawa sial? Kenapa William tampak sukses setelah mereka berpisah? Dan lihatlah senyum pria itu. Dara bahkan tak pernah diberikan senyuman selebar ini ketika mereka masih berstatus suami istri. “Bagaimana, Ra?” tanya Laksmi Wardana membuat Dara cepat-cepat menyimpan ponselnya dan mengalihkan atensi ke laptop yang sejak tadi menyala. Dara terkejut. “Aku ... diterima?” tanyanya tak yakin setelah membaca email dari PT. Juita betari, yang merupakan perusahaan besar milik keluarga Wijayakusuma. “Bagus! Oma sud
Dara mengamati dokumen kenegaraan di tangannya. Gelisah, setelah kejadian kemarin, perempuan itu semakin merasa bersalah saat melihat namanya yang tertulis jelas di bawah nama Sukma Wijayakusuma. Anjani menyeruput tehnya sembari memperhatikan ekspresi keponakannya. “Kamu tidak siap-siap? Kita akan pergi ke mall sekarang, kebetulan tante sedang tidak memiliki jadwal praktik, tapi pamanmu itu agaknya tidak bisa mengantar, dia sedang ada urusan bisnis,” beritahunya sembari mengamati penampilan keponakan yang masih ala-ala rumahan dengan mata panda yang menarik atensi. “Kalau menunggu pamanmu, tante tidak yakin kita jadi shopping, biar sopir yang mengantar, kamu siap-siap sekarang!” tegas Anjani membuat Dara mau tak mau bersiap-siap dan kembali saat Anjani menghabiskan secangkir tehnya. Sebuah wrap dress berwarna merah dengan motif flora melekat indah di tubuh 171 senti itu, ditambah sepasang boots hitam yang berhasil membuat Anjani berdecak kagum akan keindahan sang keponakan yang suda
Suasana Padang rumput yang semula teduh itu berubah menjadi panas ketika dua pasang manusia berbeda gender itu saling merasakan manisnya bibir masing-masing. Dara menutup netranya begitu Sagara memegangi wajahnya dengan lembut seolah-olah pria itu takut menyakitinya.Begitu keduanya kehabisan oksigen, mereka memutuskan untuk saling melepaskan diri dari belenggu manis itu. Dara mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Ketika Sagara kembali mendekat, praktis perempuan itu semakin membuka diri. Sesuatu yang lembut dan manis langsung menyapa bibir bulatnya. Pikiran Dara seketika hanya berisi gairah untuk terus mengeksplor rasa menyenangkan ini. Dara lupa akan tujuan utamanya, Dara lupa siapa dirinya selaku orang yang semula terancam. Dara lupa siapa Sagara, selaku orang yang mengancam posisinya. Di pikirannya, hanya ada naluri wanitanya yang minta dicintai.Namun, sekelebat bayangan William dan keluarganya yang tengah tersenyum mengejek ke arahnya seolah-olah menertawakan Dara karena sud
‘Jangan lupa bayaran untukku,’ ‘Kamu sudah memberi tahuku sebanyak tujuh kali, Delion. Berhenti merecokku, tak akan kukirimkan jika kamu terus mengirimkan pesan-pesan ini.’ ‘Iya, ini yang terakhir kalinya. Lagi pun, hari ini kamu ada kencan dengan Sagara, kan? Aku tak akan mengganggumu lagi. Nikmatilah ke can manismu Nona.’ “Dasar gila,” “Kamu mau ke mana, Dara? Akhir-akhir ini, Oma lihat setiap libur, kamu selalu keluar. Kamu ... ada pacar di luar sana kah?” “Bukan pacar, Ma. Aku memang sedang ada urusan penting di luar,” “Kalau kamu punya pacar, bawalah kemari. Siapa orangnya, dan di mana rumahnya? Biar kami bisa saling mengenal.” “Memangnya Mama belum mengenalnya? Bukankah sebelum Dara, mama malah lebih mengenal pacar Dara?” “Maksudnya siapa, Ndra?” “Siapa lagi? Memangnya Dara dekat dengan pria lain selain Sagara?” “Oh, jadi benar-benar dia,” “Nah itu dia!” “Kamu kemari untuk meminta izin mengencani perempuan Wijayakusuma. Apakah aku salah?” “Benar, saya i
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Itu artinya, para budak korporat sudah diperbolehkan melepaskan diri dari penatnya kerajaan, dan mengisi perut mereka dengan maka siang. "Hari ini, Bu Dara ingin makan siang dengan menu apa?” tanya perempuan yang berprofesi sebagai sekretaris manager marketing PT Juita Betari itu dengan nada sungkan.Dara yang sedang memijat pangkal hidungnya untuk meredakan pusing yang menyerang, perlahan bangkit dari kursi kebesarannya. “Ayo, ke kantin saja,” ajaknya sembari melambaikan tangan dan berjalan mendahului sang sekretaris. “Akhir-akhir ini Bu Dara terlihat sangat sumringah, apakah saya salah menebak?” terka wanita berpakaian formal itu sembari mengikuti langkah atasannya.Dara kontan menghentikan langkahnya dan berbalik. “Benarkah?” tanyanya sambil memegangi wajahnya sendiri sebelum kemudian mengedikkan bahunya acuh tak acuh dan kembali berjalan. “Namanya juga hidup, akan ada masa senang dan sedihnya. Masa saya harus murung terus? Yang paling
“Kamu tak mau berbicara pada kita?” “Ampun!” Bugh! “Akan kupotong tanganmu jika tak beri tahu kami di mana letaknya barangnya,” “S-saya benar-benar tidak tahu. Saya bersumpah,” “Siapa di sana?!” “Sial,” “Pak!” “Nona Dara? Ada yang bisa dibantu?” “Ah ....” “Cincin saya jatuh di taman, saya sangat sedih, karena itu adalah hadiah dari ibu saya,” “Di bagian mana Nona menjatuhkannya?” “S-saya lupa, tapi saya tadi berputar-putar di seluruh taman, saya tidak bisa menduga-duga di bagian mana cincin saya jatuh,” “Baiklah, akan saya lihat,” “Tidak-tidak!” “Maaf?” “Maksud saya, kamu tidak bisa ke sana sendirian. Saya sangat berharap jika cincin itu ketemu sesegera mungkin. Jadi, kamu harus membawa temanmu. Paling tidak ....” “Lima orang! Bawa rekan paling tidak lima orang, dan dalam waktu lima menit, kembali saja meskipun belum ketemu. Ini sudah malam, akan saya cari tahu caranya besok, atau mungkin saya akan memilih mengikhlaskannya,” “Hati-hati, Pak,” “Dara? Kamu kenapa ke s
Dara berjalan dengan lesu memasuki rumahnya yang sunyi meskipun langit belum terlalu gelap. Hari ini ia harus rela lembur habis-habisan karena divisi yang dipimpinnya sedang menjalankan proyek baru. Begitu kakinya menapaki lantai marmer kediaman Wijayakusuma, sedikit kelegaan akhirnya merasuki relung hatinya. Jika sudah seperti ini, maka tak akan ada hal lain yang ia lakukan selain tidur hingga esok pagi. Duar! Suara ledakan yang lumayan keras langsung membentur gendang telinga janda kembang yang semula berjalan lesu itu. Mata yang awalnya terkantuk-kantuk itu langsung melek seketika sembari celingak-celinguk mencari sumber suara. “Ahh!” Teriakan histeris dari arah dapur langsung mengambil alih rasa penasaran Dara. Perempuan itu segera menuju ke sumber suara dan mendapati pria paruh baya tengah memakai helm dan mantel sedang berperang dengan ledakan-ledakan yang diciptakan karena kombinasi wajan, minyak panas dan daging baru keluar kulkas. Dara segera mendatangi pamannya yang tam
Untuk sesaat Dara dibuat bergeming akan kabar yang dibawa ayah satu anak itu sebelum kemudian menyalak, “Delion! Kamu jangan bercanda, ya!” Terdengar decak sebal dari pria di seberang sana. “Look! Kalau kamu tidak mempercayai fakta ini, maka lihatlah sendiri semua bukti-bukti yang kukirimkan, biar kutahu mulutmu yang ceriwis itu masih berani mempertanyakan kredibilitas kerjaku atau tidak!" suruh Delion dengan nada sewotnya. Bagaimana bisa orang pemarah sperti Delion ini bisa menjadi private investigator? Dara yakin Delion pasti membuat para kliennya kabur gara-gara sikapnya yang menyebalkan ini. Kadang Delion akan kelewatan bercanda tak tahu tempat, tapi di sisi lain Delion juga sering serius di waktu-waktu bercanda. “Kenapa malah kamu yang marah? Hei! Aku hanya memperingatkan dirimu yang kelewat sering bercanda itu," kata Dara dengan penuh penekanan. Berurusan dengan Delion itu sama saja seperti menggenggam udara. Sampai kapan pun Dara tak pernah bisa tahu isi hati Delion yang rum
Menyebalkan! Meskipun Dara berhasil membuat Namira Sana Soeroso, sang model catwalk, geram dan menjauh darinya dengan hati dongkol, itu tak serta-merta membuat Dara senang. Mungkin Namira akan menyenggolnya di media sosial seperti yang biasa perempuan itu lakukan pada orang-orang yang menyinggungnya. Apakah Dara takut? Jawabannya antara iya dan tidak. Karena ucapan Sagara kapan hari tentang sikap aneh Namira dalam memilih musuh, Dara jadi percaya diri Namira tak akan berani menyentuhnya. Namun, tak ada yang tahu pasti bagaimana masa depan berjalan. Bisa saja Namira akan melakukannya karena Dara terlampau menggores harga dirinya. “Kamu kenapa, Dara?” tanya Sukma begitu melihat wajah putri semata wayangnya yang kusut sejak menuruni mobil. Dara yang sedang berjalan itu menghentikan langkah. “Iya, Ma?” tanya Dara tak mendengar pertanyaan sang ibu. Sukma menatap putrinya penuh penilaian. “Kamu terlihat cemberut sejak pulang, apa yang terjadi? Apakah ada hal buruk yang menimpamu hari in
Namira mengulurkan tangannya pada Dara. Hal seperti itu biasannya identik dengan sambutan ramah. Namun, dari sorot matanya, tak ada setitik pun ekspresi ramah. Malah, ada ekspresi sengak ditambah sekelumit ekspresi menghina yang perempuan semampai itu layangkan kepada Dara.Karena ingin menghargai sikap Namira, Dara pun berdiri untuk menyambut perlakuan Namira terlepas niat sebenarnya sang model papan atas yang belum ia ketahui.Dara tersenyum ramah dan menyambut angsuran tangan itu. "Kita berjumpa lagi. Senang bertemu denganmu,” katanya berniat kembali duduk. Namun, cengkeraman erat dari Namira membuat Dara mengernyit bingung akan perlakuan yang semula ramah dan sekarang berubah layaknya monster.Dara berusaha mencari maksud Namira dengan menatap netra tajamnya. janda kembang itu sedikit mendongak karena perbedaan tinggi mereka yang signifikan, meskipun Dara sendiri memiliki tinggi 171 senti, tapi itu tak ada bandingannya dengan Namira Sana Soeroso yang tingginya mencapai 180 senti d
Dara berjalan keluar kantor bersama para karyawan lain mengingat ini adalah waktu penghujung bekerja. Raut lelah para karyawan menjadi satu-satunya yang menemani Dara dalam kesendiriannya. Saat Dara akan menaiki mobil yang sudah dipersilakan sopirnya, tiba-tiba benda pipih di sakunya bergetar. Dara membukanya, itu adalah panggilan telepon dari ibunya. Segeralah wanita itu menerimanya. “Kenapa, Ma?" tanya Dara sebagai pembuka obrolan sembari masuk ke mobil dan segera memakai. sabuk pengamannya. Terdengar kasak-kusuk dari seberang sana, menunjukkan jika Sukma Wijayakusuma masih berada di kantor pusat dengan berkas-berkas membosankan itu. Tak lama kemudian suara tersebut mulai hening. "Ada undangan dari salah satu kolega bisnis kita. Mama lupa memberi tahu. Kamu sudah di rumah?" tanya wanita paruh baya dengan suara lelahnya. "Belum, Ma. Aku baru saja keluar kantor ini mobilnya baru keluar dari area kantor," jawab Dara sambil melihat pemandangan mobil-mobil yang berjejer macet. "Bag