Chapter 1. Suamiku Berselingkuh
“Suami, mertua, dan ipar-ipar Mbak Dara tidak jemput?” tanya seorang gadis sembari mengemasi beberapa pakaian. Wanita yang dipanggil Mbak Dara menatap ke arah gadis itu. “Mereka sibuk ... mungkin?” jawab Dara tak yakin. Netranya menatap nanar bangsalnya yang siap ditinggal dengan perasaan hampa. Lalu lalang manusia berpakaian khas pegawai rumah sakit yang tengah merawat pasien itu, tampak tak terusik dengan keberadaan keduanya. “Namanya keluarga, mau sesibuk apa pun, minimal usahakan, lah! Suami Mbak juga, memangnya pernah jenguk sekali saja? Bahkan Mbak saja ke sini naik taksi sendirian! Suami seperti itu baiknya dibuang jauh-jauh, Mbak!” Sang gadis yang sudah hampir dua tahun bekerja di butik Dara sebagai asisten tahu betul betapa tidak pedulinya suami dan keluarga dari bosnya tersebut. Sang suami sering bertindak kasar dan marah-marah semenjak di PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Belum lagi omelan dan ocehan para ipar. Hanya butik satu-satunya penopang untuk mencari nafkah. Gadis itu merangkul Dara untuk berjalan pelan menyusuri koridor. Dan sekarang, butik itu terpaksa harus libur lantaran Dara pingsan asam lambungnya naik dan ia kelelahan parah sebab sering lembur. “Kamu jangan—” “Mbak masih ingin membela?” “Sudahlah, mari kita pulang.” Bibir pucat Dara memaksa senyum. Entah dapat dorongan dari mana, perempuan kurus kering itu memilih bertahan. Hanya bermodal keyakinan bisa membuat suaminya berubah. Dan menyelamatkan pernikahan hambar mereka yang sudah jalan dua tahun. Dengan motor matic, mereka berdua membelah jalan menuju rumah Dara. Di jok belakang, Dara diam-diam memikirkan omongan sang asisten. Ia sadar suaminya tampak abai, akan tetapi… secercah bagian di hatinya masih berharap ada sedikit sisa kepedulian dari sang suami untuknya. Tiba di sebuah kompleks perumahan, Dara turun dan langsung disambut dengan tatapan sinis para tetangganya selama 2 tahun belakangan. Dara memilih untuk tidak mengacuhkan mereka. Bersama sang asisten, mereka segera masuk rumah. Namun, kening keduanya mengerut saat melihat baju-baju yang berceceran di lantai. “Engh…. Oh—” Suara erangan dan teriakan pun menggema membangkitkan rasa penasaran keduanya. Terlebih, Dara yang wajahnya semakin memucat. Tanpa menunggu, Dara pun membuka pintu kamarnya segera. Cklek! “K-kalian—" Dara dikejutkan dengan wanita bertubuh polos di samping suaminya. Tubuh kurusnya tiba-tiba bergetar tanpa bisa dikontrol dan berakhir ambruk. Sambutan hangat yang ia harapkan, justru berubah menjadi sambutan yang memberikan rasa sakit di hati. “S-sayang??” Sedang dua orang yang menjadi tontonan itu, untuk semula kaget bercampur kesal, saat percintaan mereka harus berhenti di tengah jalan. Keduanya langsung panik hingga tanpa sadar memisahkan diri. Si pria langsung turun dan memakai celana untuk menyelamatkan sisa martabatnya. Sedang si wanita, hanya sempat menutupi tubuh binalnya dengan selimut. “Sayang, aku bisa jelaskan, kita bicara dulu!” Tangan William, sang suami, terulur. Dara mundur dengan ekspresi jijik untuk menghindar. Membayangkan tangan maskulin itu sudah digunakan untuk meraba-raba tubuh jalang itu membuatnya terisak. “Aku pikir kamu tidak bisa mengantarku ke rumah sakit karena kamu sibuk.” Mata Dara menatap ke arah baju-baju yang tercecer. “Ternyata kamu memang benar sibuk, ya, sibuk melucuti pakaian perempuan lain,” lanjutnya begitu mengenaskan. Perutnya yang semula membaik, tiba-tiba terasa diaduk-aduk saat melihat suaminya yang berpeluh dengan setengah telanjang. “Apa salahnya? Indri juga menantu di sini!” Suara seorang wanita terdengar. Dara menoleh ke belakang, mertuanya berjalan dengan kepala sedikit mendongak ke atas. Gamis tabrak warna langsung menyapa retinanya. “Menantu? Ibu, bagaimana bisa?” tanyanya dengan suara lirih hampir tercekat. Wanita paruh baya itu melengos saat menyaksikan menantu yang menurutnya banyak drama. “Tentu bisa! Apa yang bisa saya harapkan dari wanita mandul sepertimu?! Hamil tidak, malah sakit-sakitan! Saya tidak butuh menantu penyakitan seperti kamu!” Hati Dara serasa diremas kuat-kuat mendengar hinaan dari ibu mertuanya. Ia kecewa, sebab dari perkataan sang mertua, terselip bahwa pernikahan kedua William sudah mendapatkan restunya. “Kalau Ibu mau saya hamil, saya bisa usahakan, Bu. Saya dan Mas William bisa melakukan program.” Sambil membiarkan air mata mengucur dari matanya, Dara mengutarakan rasa kecewa. “Promil, katamu?! Bahkan gara-gara menikahi kamu, William di-PHK!” Sang Mertua menyentak, jari telunjuknya mengacung lantang ke arah Dara. “Sudahlah, jangan kebanyakan drama! Terima saja. Masih untung kamu nggak dicerai, hanya dimadu!” Dada Dara sudah begitu sesak, seolah ada batu besar yang mengganjal. Bahkan usai William di-PHK, Dara tidak meninggalkannya. Ia justru bekerja bagai sapi perah. Pagi melayani klien yang seperti raja, malamnya melayani suami yang seperti dewa. Belum lagi mertua dan ipar-iparnya yang kerap menambah prahara. Selama dua tahun sang suami menganggur, selama itu pula lah Dara yang membiayai keluarga suaminya. Sekarang, pandangan Dara berpindah ke arah wanita yang dengan santainya berdiri sambil merapikan selimut yang membelit badan. “Kita teman, Ndri. Kenapa ... kenapa kamu tega—” “Dara ... Dara, harusnya kamu bersyukur. Aku hanya membantu kalian mendapat momongan.” Wanita itu berdecih disertai tatapan sinis. “Benar kata Mama, masih untung aku tidak meminta suami kita menceraikan kamu yang mandul!” “Kamu—” Kata-kata Indri menancap tepat di dada Dara hingga membuatnya kesulitan bernapas. Indri yang dianggap sahabatnya malah menusuk dari belakang. Belum lagi, William yang semula ingin menjelaskan, kini justru tampak acuh tak acuh, menimbulkan lara tiada tara baginya. Kekesalan, kekecewaan yang bertumpuk di dadanya, membuat wanita itu kalap. “Brengsek kalian!” teriak Dara. Dengan satu tangannya, sebuah tas jinjing melayang ke arah sahabatnya yang berkhianat. Tubuh William bergerak ke depan, dan melindungi sang jalang. Gembolan tas yang berisi baju kotor selama Dara dirawatinap itu berakhir menimpa punggung telanjang William. “Apa-apaan kamu, Dara!” murka William menatapnya, tetapi satu lengannya memeluk protektif Indri. “Indri sedang hamil anakku!” Lagi, Dara mencelos mendengar kabar mengejutkan itu. Hari ini, Dara jadi tahu jika perselingkuhan itu telah lama terjalin. Selama ini, dialah yang terlalu bodoh mengartikan sikap tak acuh sang suami. “Baik! Jika begitu….” katanya mengandung kepasrahan. “Mari bercerai dan kalian semua keluar dari rumah ini!”Sang mertua melotot tak terima. “Jika ingin pergi, kau saja yang pergi dasar mandul pembawa sial! Kaulah yang menumpang di sini!” hardik sang mertua membuat Dara menggeleng tak setuju.“Itu tidak mungkin! Rumah ini milikku apa hak kalian—” Dara berteriak lantang dan terpotong. “Meski kamu yang membangun rumah ini, tetap saja, tanah dan sertifikat rumah ini atas namaku. Dan kamu tidak ada hak!” sahut mama mertua dengan setitik senyum bangga.“Tak usah memperpanjang masalah, Ra. Kamu tinggal ikhlas, maka semuanya beres.” Indri, sang menantu baru mulai angkat bicara. “Lagipula, kita kan, berteman. Tidak akan sulit rasanya membagi suami pada temanmu.”Dara berdiri dengan pandangan mencemooh ke arah Indri. Andai saja ikhlas itu semudah membalikkan telapak tangan.“Indri benar. Tidak perlu berselisih lagi, intinya masalah ini selesai!”Mertua Dara memang kerap kali ikut campur dalam rumah tangganya. Namun, kali ini… Dara tidak akan membiarkan wanita tua itu kembali mencampuri ranahnya.“T
Dara membersihkan mulutnya yang masih menyisakan cairan asam yang tertolak oleh lambungnya. Terhitung sudah tiga kali ia memuntahkan cairan asam itu. Tubuhnya ambruk di lantai berlapis karpet tanpa bisa dicegah.“Mbak? Mau ke rumah sakit lagi?” tanya perempuan yang tengah memberesi sarapan atasannya yang tinggal seperdua.Dara menggeleng pelan. “Tidak perlu, keadaan butik sekarang sangat sibuk. Saya harus turun tangan langsung mengingat peran saya sangat dibutuhkan,” tolak Dara sembari merapikan rambutnya yang entah sudah berapa hari tak tersentuh sisir.Sang asisten diam-diam menyetujui ucapan Dara. Mau bagaimana lagi? Butik yang tidak seberapa besar ini kekurangan sumber daya manusia, dan sayangnya hanya memiliki satu desainer yang tak lain dan tak bukan adalah sang pemiliknya sendiri.Apa lagi, pendapatan butik selama beberapa hari terakhir, khususnya saat Dara menjalani rawat inap, mengalami penurunan yang signifikan.“Tolong ambilkan desain-desain saya sekalian bawakan catatan pe
Atmosfer butik benar-benar kacau, beberapa baju yang sudah rusak berceceran itu semakin menyemarakkan suasana genting di sana. Dara memegangi perutnya yang terasa mulas dihadapkan dengan situasi ini.“Cium kaki saya, maka saya akan pertimbangkan untuk menjualnya atau tidak!” ulang sang mertua yang berhasil menyadarkan Dara bahwa kejadian ini bukan mimpi buruk semata.Para pelanggan sudah pulang karena butik ditutup mendadak agar informasi ini tak menyebar ke pihak luar dan mencemarkan nama baik butik. Kini, hanya tersisa Dara beserta karyawannya dan satu keluarga yang saat ini terus merongrongnya.Mertuanya mencebik, “Kamu tidak mau, Dara? Kalau begitu silakan angkat kaki dari sini–”“Saya mau! Saya akan lakukan apa pun!” sela Dara yang direspons dengan senyum puas satu keluarga itu.Dara melepaskan tangan asistennya yang mencoba menahannya. Matanya menyorot seluruh karyawannya dengan pilu. Hatinya dengan teguh meyakinkan bahwa inilah satu-satunya cara agar butik ini tak lepas dari g
“Terima kasih, Pak,” ujar Dara sebelum taksi yang ditumpanginya menjauh.Dara menatap jalanan kompleks yang sepi sebab waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam. Ia jalan pintas dengan penuh kehati-hatian, sebab kluster mewah ini dijaga dengan keamanan ketat. “Berhenti di sana!” seru sebuah suara membuat tangan ringkih yang semula berniat membunyikan bel itu mengambang di udara.“Sudah saya bilang berkali-kali, kan?! Pengemis, penjual dan pemulung dilarang memasuki kawasan ini, tidak bisa baca aturan di depan?! Berani-beraninya mengotori kompleks ini dengan aura melaratmu!” sentak lelaki bertubuh tambun yang terasa asing bagi Dara. Ditodongkannya tongkat kebanggaan itu sembari menatap remeh penampilan Dara.Perempuan itu tersinggung saat menyadari penampilannya yang memang layak disebut pengemis daripada pewaris. “Saya bukan pengemis,” jelasnya sembari memencet bel dan membuat satpam itu cepat-cepat menariknya kasar.“Dasar orang miskin! Jangan berani mengganggu ketenangan pe
Laksmi Wardana terlihat menikmati sup dengan dahi berkerut, tampak sedang menyusun berbagai tanya untuk cucunya. Sedang Hendra dan istrinya tampak terdiam canggung sederajat dengan atmosfer sekitar. Jangan tanya pada manusia satu yang sedang duduk tak jauh di seberang sana, Dara tak yakin ibunya juga sedang menyusun pertanyaan untuknya. Pasalnya, sekedar saling sapa saja seperti sebuah kemustahilan. Setelah usai, Sukma Wijayakusuma tampak langsung berdiri dan berniat pergi. “Mau ke mana, Sukma? Tidak ingin berbincang hangat dengan kami dulu?” tanya Laksmi pada putri semata wayangnya. “Tidak, Ma. Aku mau istirahat saja, banyak sekali musibah yang terjadi hari ini, membuat kepalaku pusing, aku tidak ingin berbicara dengan siapa pun,” kelitnya tanpa melihat anaknya yang mungkin saja tersinggung. Dara tak tahu musibah apa saja yang menimpa ibunya hari ini, hanya ... ia terlampau yakin jika namanya masuk pada daftar musibah itu. “Bahkan dengan Dara?” tanya Laksmi sengaja menyebut na
Dara menghembuskan napasnya perlahan, matanya memandang tautan tangannya yang berkeringat dingin dengan berkaca-kaca. Meski tangisan sering dianalogikan sebagai ungkapan perasaan sedih, namun hatinya jelas tak membual, bongkahan batu yang semula mengimpit dadanya seakan dipukul godam, semua kekhawatirannya hirap bersama pecahan-pecahan batu itu, lega, setidaknya itulah yang ia rasakan setelah mendengar palu diketuk oleh sang hakim. Meskipun pada akhirnya akan ada tulisan “cerai hidup” yang akan menodai kartu kenegaraannya, Dara tetap bersyukur atas status barunya yang secara tidak langsung lepas dari belenggu siksa. Untung dari segala buntung, selama prosesi perceraian ini, tidak ada drama yang turut membumbui. Awalnya, Dara khawatir jika William akan mempersulitnya, syukurnya ada Sri Rahmi, mantan ibu mertuanya, yang terus menempeli putra pertamanya layaknya permen karet, wanita itu seakan-akan siap mencakarnya jika berani dekat-dekat dengan putra kesayangannya. “Om Hendra? Kok se
Dara tersentak. Diputarnya pear body shape itu sampai 180° hingga wajah Anjani Hanggasa yang tengah bersedekap langsung menembus retinanya. “Tante!” serunya sambil menghampiri si empunya.“Kamu tahu kejadian tadi?” tanya Hendra membuat Anjani mau tak mau menghentikan lakonnya sebagai istri tersakiti.“Hm, aku kan cuma ke toilet sebentar, balik-balik malah disuguhi drama, aku pikir sedang ada syuting sinetron azab,” celetuknya membuat sepasang paman dan keponakan itu menghela napas bosan.“Kalau begitu, kira-kira judul apa yang cocok untuk sinetron azab itu?” tanya Hendra yang mau-mau saja meladeni sang istri.“Azab sering menebar senyuman, ketika mati mulutnya peot!” seru Anjani yang direspons tawa geli sang suami. Seorang Anjani Hanggasa, dokter pediatri terkenal, sedang cemburu melihat suaminya tersenyum di depan para wanita!Dara bukannya tak tahu bagaimana mesranya dua orang itu, tapi tiap kali melihatnya, perempuan itu selalu memiliki seberkas iri yang menjamur. Cih! William mana
‘Berangkat ke kantor. cepat pulang, ya, Ayah. Adik tunggu,’Dara mendengus saat melihat unggahan Indri yang menampilkan William yang tengah mencium perut rata Indri dengan kemeja slim fit biru serta celana bahan hitamnya. Jadi William sudah mendapat pekerjaan? Dan itu sesudah mereka bercerai? Dara jadi memikirkan omongan Rahmi tentang dirinya yang membawa sial. Apa benar dirinya memang pembawa sial? Kenapa William tampak sukses setelah mereka berpisah?“Bagaimana, Ra?” tanya Laksmi Wardana membuat Dara cepat-cepat menyimpan ponselnya dan mengalihkan atensi ke laptop yang sejak tadi menyala.Dara terkejut. “Aku ... diterima?” tanya Dara tak yakin setelah membaca email dari PT. Juita betari, yang merupakan perusahaan besar milik keluarga Wijayakusuma. Entah harus senang atau sedih, yang jelas perasaan Dara masih niskala.“Bagus! Oma sudah menduga kamu akan diterima!” seru Laksmi dengan nada puas.“Karena perusahaan itu milik Wijayakusuma?” tanya Dara skeptis akan kemampuannya sendiri. S
Dara menghembuskan napasnya saat melihat penampilannya saat ini. Tak ada lagi tubuh semampai tegap, karena sekarang ia mengandalkan tongkat untuk berdiri. Lekuk tubuhnya jangan tanya lagi, pear body shape kebanggaannya itu semakin terlihat lekuknya karena makanan yang Dara konsumsi dipastikan gizinya langsung oleh sang nenek sekaligus ibunya.Jadilah sekarang, ia hanya bisa mendesah pasrah saat koleksi dress miliknya terasa sempit, karena pinggul dan area dadanya bertambah besar volumenya. Dara akhirnya memilih kemeja serta celana bahan untuk outfitnya ke kantor.‘Hari ini kamu mulai bekerja? Pak Hendra yang memberi tahu saya.’Dara membaca pesan yang Sagara kirimkan sembari menuju ruang makan.‘Iya, Pak. Kursi manager sekarang pasti sudah berdebu karena ditinggal terlalu lama.’Jawabnya setengah mengawur, karena entah bagaimana cara pandang Sagara terhadapnya, tapi yang jelas, sekarang Dara tak bisa lagi memandang Sagara layaknya orang biasa. Pria yang kapan hari telah lancang m
Wanita yang baru saja ditampar mertuanya itu terkekeh sinis sembari memegangi pipinya yang terasa kebas.“Ulangi perkataanmu!” perintah Rahmi begitu sang menantu mengangkat kepala yang sebelumnya sempat tertoleh ke samping akibat tamparannya.“Kenapa? Ibu tidak terima akan keputusanku? Ibu merasa kalau rumah ini milik ibu? Sudah lupa daratan ternyata, sampai mengklaim kepemilikan rumah yang dibangun si mandul itu. Sekarang Ibu mau mengakui ini semua milik Ibu?” tanya Indri semakin membuat khodam Rahmi meraung-raung untuk keluar dan mencakar-cakar wajah menantunya itu.“Kurang ajar!” hardik Rahmi sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.Plak!Sekali lagi, wajah Indri tertoleh ke samping setelah tamparan keras itu. Namun, wajahnya tak menunjukkan kesakitan apa pun.Rahmi menunjuk wajah menantunya dengan penuh penghinaan. “Kamu pikir kamu siapa, hah?! Status kamu di sini hanyalah menantu yang gagal memberikan keturunan, kamu tidak malu berkata seperti itu padaku selaku yang lebih
Dara memandang wajahnya di pantulan cermin dengan raut bengong. Saat matanya tertuju pada satu titik, Dara dara langsung memaki dalam hati mengingat kejadian kemarin. Di sana, di pipinya yang halus itu Sagara mengecupnya. Catat baik-baik! Mengecupnya! Dara bahkan masih ingat akan sensasi lembut dan kenya—“Arggh!” Perempuan itu mengerang sambil menarik kasar rambutnya sendiri.Misunderstanding atau kesalahpahaman. Itulah yang menjadi penyebab terjadinya tragedi memalukan sepanjang hidup Dara. Perempuan itu berniat baik dengan memberitahu kacau yang perlu diperbaiki di wajah Sagara. Sayang berjuta sayang, pria 36 tahun itu malah menangkapnya dengan maksud lain. Akibatnya, terjadilah adegan itu yang membuat Dara bengong sepanjang hari itu, berbeda dengan Sagara yang malah tampak ceria sebelum pamit undur diri. Menyesal, Dara menyesal tak menggunakan bibir jahanamnya untuk memberi tahu. Kenapa giliran tak diminta bibirnya ini selalu saja mencerocos sana-sini?Lama Dara berpikir, tib
Begitu mendengar pemberitahuan Dara, Delion langsung berdiri dari duduknya dan menuju ke dapur dimana sang istri sedang disibukkan dengan berbagai jenis kue yang memanjakan lidah. “Mama! Ayo kita pulang!” ajak Delion sambil menarik tangan istrinya menjauh dari godaan duniawi itu. “T-tapi ini belum selesai,” tolak sang istri dengan mulut penuh kue. Tangannya menunjuk beberapa kue yang siap dilahap. “Aku akan membuatkan untukmu dengan sepenuh cinta kalau perlu!” jawab Delion sembari menggendong istrinya ala bridal style untuk meninggalkan kediaman Wijayakusuma hingga melupakan sang anak. “Papa,” cicit anak enam tahun itu membuat dua orang yang seperti dimabuk asmara itu langsung teringat. Dara langsung bernapas lega setelah satu keluarga itu meninggalkan kediaman Wijayakusuma. Bersamaan dengan itu muncullah wujud baru yang tengah duduk di ruang tamu ditemani ART yang sedang membersihkan kekacauan tamu sebelumnya. “Saya mengganggu istirahat kamu, Dara?” tanya Sagara sem
Apakah Dara senang mendapati hubungan dirinya dengan sang ibu membaik? Jawabnya tentu! Tapi di sisi lain, Dara masih juga merasa bersalah akan luka yang ia ciptakan. Benar-benar semudah itu Sukma memaafkannya? Tiga tahun ia menghilang tanpa memedulikan keluarga Wijayakusuma dan memulai hidup baru. Selama itu pula sukan pasti terluka, tapi akhirnya hanya membutuhkan beberapa bulan saja untuk membuat sang ibu luluh. Mungkin karma yang tuhan berikan bukan dalam bentuk sebuah peristiwa buruk atau nasib sial. Namun, sebuah perasaan sampai kapan pun akan melekat kuat di ingatan Dara. “Non Dara?” panggil suara feminin setelah mengetuk pintu. Dara segera berdiri dengan bantuan kruknya sebelum membuka pintu kamarnya. “Ada tamu yang sedang menunggu Nona,” ucap seorang pembantu muda yang kapan hari ia peralat di rumah sakit. Dara mengernyit heran saat mendengar kata tamu. Apakah Sagara? Tapi kata sang empunya, Sagara sedang memiliki perjalanan bisnis ke luar negeri, tapi akan lebih ane
Dara menatap tulisan yang menghiasi kertas di tangannya itu dengan tangan bergetar hebat, wajahnya yang semula antusias langsung berubah pucat pasi ditambah gemeletuk gigi yang ikut menambah harmonisasi dengan suasana sepi di sekitarnya.Perempuan itu pikir ... ia baru saja menemukan informasi akan keluarga Adikara yang sekiranya bisa membantu sang informan, dia pikir ... ia baru saja mendapatkan harta karun begitu melihat amplop yang diberi cap oleh salah satu dari banyaknya klinik milik keluarga Adikara. Namun, ini jelas di luar ekspektasinya. Ia mendapati nama Sukma Wijayakusuma di sana. Sebagai ... seorang pasien.Sedang di sisi lain, seorang wanita paruh baya mematung di tempatnya begitu mendapati sang anak yang tetiba saja ada di ruang kerjanya. Sukma Wijayakusuma mengamati perubahan ekspresi Dara yang tampak syok.Wanita paruh baya itu mendekati sang putri semata wayang. “Dara ... kenapa kamu di sini?” tanyanya dengan nada lembut.Sedang si empunya nama yang di tanya, mal
Dara berbalik begitu mendengar suara sang nenek. Benar saja, ia langsung dihadapkan dengan wujud Laksmi Wardana yang tengah membaca buku di living room. Janda kembang itu berjalan mendekatinya.“Yah,” desahnya begitu duduk setelah berusaha keras. “Jujur itu memang relate. Tapi, bukan berarti aku menyetujui cara ekstrem Oma sampai berjalan sendiri tanpa didampingi orang,” sambung perempuan 29 tahun itu sembari merenggangkan kakinya. “Kamu tampak sangat bersemangat untuk sembuh, ya?” tanya Laksmi sambil memandangi sang cucu yang bahkan sampai berkeringat karena berusaha berjalan, padahal, rumah ini sejuk ber-AC . “Mau bagaimana lagi? Ada banyak tanggung jawab yang sekarang menungguku, jabatanku tidak boleh kosong terlalu lama, apalagi saat perusahaan sedang sibuk-sibuknya seperti ini. Meskipun memang bisa, tapi bagiku, bekerja dari rumah itu jelas memiliki kesan berbeda,” jawab Dara dengan tangan mengambil camilan dari meja di depannya. Itu adalah ubi bakar kesukaan Laksmi, entah
Dara menatap pantulan tubuhnya di cermin. Kaki jenjang yang dulunya menjadi kebanggaannya itu sedang berusaha tegap berdiri dibantu dua kruk di kedua sisi tubuhnya. Untuk pertama kalinya, akhirnya Dara bisa terbebas dari nyeri lutut yang disebabkan karena terlalu lama beraktivitas menggunakan kursi roda. Meskipun sekarang ia harus berusaha lebih keras karena jalannya yang tertatih-tatih, tapi Dara tetap menikmatinya sebagai progres menuju kesembuhan.Bunyi notifikasi ponselnya membuat kegiatan menganalisis penampilan itu buyar seketika, mengambil ponselnya yang tergeletak mengenaskan, Dara akhirnya mendapati nama sang gebetan yang tertera di layar elektronik itu.Apakah bisa dianggap demikian? Pasalnya mereka berdua berinteraksi sama halnya seperti dua klien yang sedang dalam hubungan kerja.‘Minggu depan, saya akan mengusahakan ke rumahmu, maaf karena kedepannya saya akan sibuk,’Hanya itu, tak ada ucapan manis seperti selamat pagi, malam, atau siang sekalian apalagi 'kamu suda
Dara meneliti latar belakang Sagara yang kapan hari Delion berikan padanya. Sayangnya ia belum sempat membaca keseluruhannya, hingga sekarang, ia beranikan diri kembali membukanya untuk melihat hal yang mungkin saja pernah ia lewatkan atau informasi apa pun yang bersifat membantu dirinya dari keadaan ini. Benar saja kata Delion, Sagara bisa saja mendapatkan predikat pengusaha yang terkenal ramah, tapi itu jelas tak menghilangkan jati dirinya sebagai pengusaha sukses yang penuh siasat. Di dalam rekap latar belakang Sagara, tak ia temukan satu pun informasi yang menunjukkan jika Sagara pernah jatuh karena menaiki motor saat sedang balapan liar seperti yang sang empunya ceritakan kapan hari di rumah sakit. Dua kemungkinannya yaitu, Sagara memang benar-benar pernah jatuh seperti katanya, adapun alasan Delion tak menemukan rahasia itu karena Sagara sangat pandai melebihi private investigator terkenal seperti Delion. Yang kedua, jika data dari Delion ini memang benar akurat, maka Sag