Semilir angin dan deburan ombak menyamarkan debaran jantung dan gejolak hati dua insan yang sedang berdiri di tepi pantai.Mahesa merutuki dirinya sendiri, yang tadi dia lakukam benar-benar memalukan, bisa-bisanya melamar wanita dengan cara yang sama sekali tidak romantis."Maafkan aku, ini sangat tidak romantis." Kata Mahesa seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.Damaira menggeleng dan tersenyum tipis.Wanita itu menghadap ke arah Mahesa. Memegang kedua tangan pria itu, tangan itu terasa begitu dingin.Damaira telah memutuskan jawaban yang ingin dia sampaikan pada Mahesa. Netra coklatnya memandang lekat netra Mahesa. Jantungnya sungguh tak kuasa menahan gejolak dalam jiwa."Mas, aku hanya wanita yang penuh kekurangan dan keterbatasan. Aku juga pernah mengalami sakit dalam mahligai pernikahan. Aku sangat senang kamu mengajakku untuk menikah, senang sekali. Tolong bimbing aku agar menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak-anak kita."Mahesa membulatkan mata sempurna, dia masih
Damaira dan Mahesa masih menikmati pantai dengan berjalan menyusurinya.Mahesa memasukkan tangannya ke dalam kantong celananya."Astaga, kenapa aku bisa lupa." Gumam Mahesa setengah merutuki dirinya sendiri."Ra!""Ya, Mas?"Mahesa menghentikan langkah, menghadap ke arah Damaira yang juga ikut berhenti.Pria itu tampak salah tingkah dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Sebenarnya ada sesuatu yang terlupakan." Damaira memasang wajah bingung. Mahesa mengambil sebuah kotak kecil berlapis beludru berwarna merah.Damaira menutup mulutnya."Apalagi ini, Mas?"Mahesa membuka kotak itu, ada cincin emas putih dengan manik berlian berwarna biru, berada di dalamnya. "Ra, maaf tadi aku spontan, dan benar-benar lupa akan hal yang sudah ku persiapkan." Damaira tersenyum dan menggeleng.Bisa-bisanya seorang Mahesa yang perfeksionis sampai lupa memberikan sesuatu yang sangat penting saat melamar seorang wanita."Tidak apa-apa, Mas." Balas Damaira lalu tersenyum."Berikan tanganmu."Damaira d
Mahesa mengajak Ira pulang. Ternyata di sana ada Nindi yang juga bari saja datangCeline duduk di sofa ruang tengah, mendapatkan pertanyaan dari ayahnya membuat gadis kecil itu semakin murung, dia hanya mampu menatap wajah ayahnya.Dia memang tidak terlalu paham apa yang dikatakan oleh tiga orang dewasa yang tadi bersamanya. Tapi, dia bisa menangkap bahwa dia tak akan bisa bersama dengan Ezra dan Damaira sebagai keluarga. Padahal Celine begitu mendamba memiliki ibu seperti Damaira.Negan pun ikut duduk di sebelah Celine, entah mengapa hatinya berdenyut nyeri.“Sepertinya Ezra dan Keysha tidak ikut, Mas. Mereka pasti sudah heboh Dan turun mengantar Celine ke rumah.” Sahut Dina, gadis itu turut mendudukan tubuhnya di sofa.Negan mengerutkan keningnya, sebab anaknya awal tadi pergi bersama dengan dua anak kecil itu. Tapi benar juga yang dikatakan adiknya.Negan mengira Celine sedih karena pulang tak bersama dengan Ezra dan Keysha.“Jadi kamu murung karena itu?” tanya Negan.Celine menggel
Ajeng menatap datar pada Mahesa. "Bu?""Kamu masih bertanya?""Iya, jelas aku bertanya karena aku tidak tahu, jadi tolong katakan, Bu. Apa yang membuat ibu tiba-tiba membahas tentang perawan atau janda. Sedangkan aku sendiri adalah seorang duda."Tak menjawab pertanyaan Mahesa, Ajeng malah berjalan menuju ke ruang tamu, berniat ingin menemui Damaira dan anaknya.Begitu Ajeng keluar, Damaira langsung berdiri untuk menyapa sang pemilik rumah, Ezra pun melakukan hal yang sama.Namun, Damaira dapat melihat jelas raut wajah Ajeng yang berbeda dari terakhir mereka bertegur sapa. Ibu kandung Mahesa itu bersikap tak ramah pada Damaira."Selamat siang, Bu Ajeng. Apa kabar?"Ajeng hanya berdehem lalu menyuruh Damaira untuk duduk, tanpa menjawab pertanyaan dari calon menantunya.Anjeng memandang tak suka pada Damaira. Namun, pandangannya segera teralihkan pada sosok mungil di samping Damaira.Wanita sepuh itu memanggil Ezra untuk duduk di sampingnya. Sebelum mendekat kepada Ajeng, Ezra memanda
Keysha menangis melihat Damaira dan Ezra pergi dari rumahnya. Namun, gadis kecil itu tak bisa berbuat apa-apa, selain memandangi kepergian calon ibu dan adiknya yang entah akan benar-benar menjadi ibu dan adiknya atau tidak, karena sang nenek yang menentang hubungan ayahnya dan Damaira.Rasanya Keysha ingin berlari mengejar keduanya, tapi tangannya dipegang erat oleh Ajeng."Mommy!""Biarkan mereka pergi, Keysha," kata Ajeng."Oma, jahat. Lepas. Oma jahat. Aku sayang sama Mommy Ira. Aku sayang sama Ezra.""Diamlah, Key. Lihatlah, mereka bahkan tak menoleh padamu sama sekali," kata Ajeng meninggikan suara."Mommy! Ezra! Jangan pergi!"“Daddy, jangan biarkan mereka pergi. Daddy!” Keysha memohon pada ayahnya dengan berurai air mata.Mahesa menyamakan tinggi dengan anaknya. “Sabar ya, Sayang.” Mahesa membelai lembut puncak kepala anaknya.Damaira menggenggam erat tangan Ezra. Lalu tersenyum pada anak kecil itu.Ezra dengan patuh menuruti perintah Damaira untuk tidak menoleh walau Keysha
Setelah kejadian di rumah Mahesa, Damaira sama sekali tak menggubris panggilan ataupun pesan dari pria itu. Damaira mencoba menata hatinya menerima kenyataan atas penolakan Ajeng.Damaira membuka gorden kamarnya, kemudian turun dari lantai dua dengan wajah yang lebih baik ketimbang dua hari belakangan.“Hari ini berangkat kerja?” tanya Isa yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.“Rencananya,” jawab Damaira, kemudian meminum air putih yang baru saja dia ambil.“Baguslah, aku bosan melihatmu di rumah terus.”Damaira hanya melirik seraya menghabiskan minumannya."Aku juga bosan melihatmu setiap hari! Seperti pengangguran di rumah terus, untung saja kamu banyak uang." balas Damaira.Kembar itu terkekeh bersama.“Tapi aku harus bagaimana dengan permintaan Ezra, ya?” tanya Damaira."Lakukan saja sesuai kata hatimu," jawab Isa asal.“Memangnya kamu akan mengizinkan jika kami kembali ke Jerman?”“Kalau aku terserah kalian, tapi apa kalian tega meninggalkan ayah begitu saja?” Damaira kesal mende
Damaira dan Mahesa saling memandang.Ezra menatap Mahesa, tapi pandangannya segera teralihkan ketika seorang pria berjalan memasuki kamarnya dengan menggunakan kruk di kedua tanganya."Papa!"Damaira dan Mahesa menoleh ke arah Negan."Anak Papa sakit?""Iya, Pa."Ezra mengulurkan tangan, seperti minta digendong oleh Negan. Ada kesedihan di hati Negan, disaat seperti ini tubuhnya bahkan tak bisa menggendong anaknya.'Aku ingin sekali menggendongmu, Ez,' rintuh Negan dalam hati."Di mana pakaian Ezra?" tanya Mahesa pada Damaira.Damaira segera melangkah menuju ke lemari dan mengambil satu stel pakaian milik Ezra.Mahesa segera mengambil baskom yang tadi digunakan untuk mengompres Ezra."Apa di dapur ada air panas?""Ada, di termos aku baru saja membuatnya," jawab Isa.Pria itu berjalan cepat, menuruni tangga, menuju dapur. Mencari air panas kemudian menambahkan dengan air dingin.Melihat kondisi kamar yang tak memungkinkan untuk mereka bercengkrama, Isa akan memindahkan Ezra."Aku akan p
Mahesa mengangkat wajah Damaira dengan tangannya, dipandangi wajah ayu wanita itu penuh kasih sayang. Namun, Damaira tak berani menatap sang lawan."Ra! Tatap aku. Aku serius!" ujar Mahesa.Perlahan Damaira membalas tatapan mata Mahesa."Aku akan meminta restu lebih dulu pada Isa, aku akan meminta maaf padanya, aku tahu dia sangat marah padaku, kalau perlu ibuku–""Sssttt!"Damaira menghentikan ucapan Mahesa dengan meletakkan jari telunjuk di bibir pria itu.Mahesa menarik tangan Damaira dan meletakkan di pipinya, lalu kembali memandang wajah paras cantik wanita yang ada di hadapannya.Kemudian Mahesa meletakkan tangan Damaira di atas dada bidangnya dengan jantung yang berdetak tak karuan."Kamu bisa merasakan detak jantungku, Ra. Aku sangat gugup mengatakan ini. Aku akan mengatakan ini sekali lagi, aku mencintaimu, mari kita menikah!"Damaira menarik tangannya dari dada Mahesa, lalu menyatakan tangannya dengan tangan pria itu.Dengan malu-mal