Home / CEO / Istri simpanan CEO / Malangnya nasib Mia

Share

Istri simpanan CEO
Istri simpanan CEO
Author: SKywin 04

Malangnya nasib Mia

Plak,

Benturan dan tamparan sahut menyahut terdengar dari balik pintu rumah keluarga Mia Claudia Raharja. Mia yang ketakutan bersembunyi dibawah kolong meja makan. Tampak jelas di depan matanya, kedua orang tua Mia yang asik bertengkar. Saling memaki, memukul dan membanting perabot dapur. 

"Jangan pergi Mas. Mia masih butuh kamu," bujuk Anita. Dia bersimpuh di kaki Rahman-suaminya. Memohon belas kasih Rahman. Dia rela harga dirinya direndahkan selagi rumah tangganya bisa dipertahankan. 

Rahang tegas Rahman tampak mengeras. Kepalan tangannya yang sejak tadi diam di samping tubuhnya kini melayang sempurna ke pipi kanan Anita. 

Terdengar suara yang cukup keras saat kepalan tangan Rahman bertubrukan dengan daging kenyal itu. 

Setelahnya lebam kemerah-merahan terlihat jelas di bagian pipi kanan Anita. Tetapi Rahman tetap melanjutkan aksi bejatnya. Berulang-ulang kali sampai darah mengalir dari sudut bibir Anita. 

"Berhenti memohon! Aku muak hidup bersamamu. Aku juga bosan! Lihat wajahmu yang penuh keriput itu! Menjijikan!" teriak Rahman memaki kekurangan fisik Anita. Jemari tangan Rahman masih terkepal, keringat turut membahasi keningnya. Tapi, dalam hati kecilnya Rahman merasakan kepuasan yang tiada tara. Menyiksa Anita ternyata hiburan yang menyenangkan. 

Linangan air mata Anita sama sekali tidak menggetarkan hati kecil Rahman. Wajah Anita yang sejak seminggu terakhir ini babak belur disertai darah segar yang mengalir dari ujung sudut bibirnya tak bisa mengehentikan aksi keji Rahman. Suaminya itu berubah layaknya monster berdarah dingin baik Anita maupun Mia tidak mampu mencegah kemalangan yang terjadi. 

"Jangan ganggu aku wanita murahan! Aku tidak ingin membunuhmu. Maka biarkan aku pergi bersama Siska!" bentak Rahman. Telapak tangannya kembali melayang. Giliran pipi kiri Anita yang kebas. Cetakan telapak tangan itu tampak jelas membuat Mia menutup rapat mulutnya. 

Di bawah kolong meja makan sekujur badan Mia bergetar hebat. Sosok Ayah yang selama ini melindungi Mia justru berani menyakiti Ibunya. Kekerasan fisik itu mampu membuat Mia trauma. 

"Apa salahku mas?" tanya Anita. 

Bukannya menjawab Rahman justru tertawa kencang.

"Hahahaha! Salah kamu ya karena kamu kurang cantik. Kamu sadar gak? Aku ini manajer mana mau aku punya istri yang keriput. Sekarang aku tidak tertarik sedikitpun kepadamu. Aku ingin kita cerai!" jawab Rahman. Senyuman masih mendominasi wajah Rahman. 

Tiba-tiba Anita berhenti menangis sedangkan Mia masih setia membungkam mulutnya sembari menahan suara tangisnya. 

"Aku kurang cantik? Aku tidak menarik? Kamu sadar gak! Aku kayak gini juga gara-gara kamu! Nafkah yang seharusnya kamu berikan padaku jutsru kamu berikan pada wanita ular itu!" balas Anita. Selama ini Anita tidak pernah protes saat tidak mendapatkan uang bulanan. Bukan hanya uang, nafkah batin pun Anita tidak mendapatkannya. Tapi, Anita tetap setia. Tidak ada sedikitpun niat untuk nenghianati Rahman. 

"Karena aku bosan. Untuk apa membiayai wanita yang tidak lagi bisa diperbaiki? Kamu itu tidak ada bedanya dengan barang rusak. Sulit untuk diperbaiki!" sahut Rahman. Tidak ada sedikitpun rasa penyesalan yang timbul di binar mata Rahman. Dia justru semakin beringas saat Anita berani melawannya. 

Tangan Rahman kembali terangkat tetapi tangan Anita sigap meraihnya. 

"Apa? Kamu mau nampar aku lagi? Tampar mas tampar! Sejak tadi aku diam, tapi kamu terus menindasku! Dasar tidak tahu diri! Aku yang menemanimu dari nol dan sekarang setelah kamu sukse kamu membuangku!" teriak Anita. Dia sengaja menampar wajahnya sendiri dengan menggunakan telapak tangan Rahman. 

Rahman yang tidak suka diperlakukan seperti itu oleh Anita buru-buru menarik tangannya dari genggaman tangan Anita. Saking kencangnya Rahman menarik tangannya tubuh Anita sampai jatuh ke atas permukaan lantai yang dingin. 

Rahman tak tinggal diam. Jiwa iblis yang ada di dalam hatinya kembali muncul. Kali ini lebih beringas dan kasar. Rahman menggunakan kedua kakinya.

Tendangan demi tendangan Rahman berikan tepat di bagian perut Anita. Seolah-olah perut ramping Anita itu sebuah bola. Rintihan kesakitan tak lagi Rahman hiraukan. 

"Sudah kubilang jangan berani membantah!" teriak Rahman. 

Mata Mia terbelalak melihat kondisi Anita yang mengenaskan. Pada akhirnya Mia tetap terluka. Sehebat apapun Anita menyembunyikan kesakitannya, Mia tetap akan mengetahuinya. 

Saat hendak menendang Anita lagi, dering ponsel Rahman lebih dulu menginterupsi. Kaki Rahman berhenti tepat di depan perut Anita. 

"Halo, ada apa sayang? Aku masih di rumah tunggu ya," ucap Rahman lembut. 

"Oh kamu mau ke sini? Jemput aku? Oke deh. Aku tunggu ya! Jangan lama-lama ya!" merdu sekali suara Rahman saat berbicara di telepon beda saat dia berbicara dengan Anita. 

"Telepon dari perempuan ular itu lagi, mas?" tanya Anita yang justru dibalas tendangan kaki Rahman. 

"Jangan sebut dia wanita ular! Dia itu pacarku dan sebentar lagi dia akan menjadi istriku. Itu artinya dia akan menjadi Ibu sambung Mia!" jelas Rahman. 

Habis manis sepah dibuang kenyataan itu yang harus Anita terima. 

Tidak ada lagi perlawanan. Anita memilih diam. Air matanya kering menyisakan pandangan kosong. Nyawanya seakan telah pergi meninggalkan raga, Anita kehilangan segala-galanya. 

"Ibu sambung? Ibu kandungnya masih ada di sini! Mia tidak membutuhkan Ibu sambung!" jawab Anita tanpa menunjukan ekspresi apapun. 

Ini akhir dari semua rasa sakit yang selama ini Anita rasakan. Fisiknya terluka mentalnya mulai terguncang. Hati Anita yang selama ini dipenuhi nama Rahman kini menganga kosong. 

"Ibu kandung yang tidak berguna seperti kamu untuk apa di pertahankan?" tanya Rahman. Baginya Anita sudah mati dan Mia butuh sosok Ibu yang baru. Sosok yang bisa menyayangi Mia juga merawat Mia melebihi Anita. 

"Jangan sentuh anakku! Kamu bisa menyakitiku tapi tidak dengan mengambil anakku! Wanita ular itu hanya tertarik pada uangmu tidak pada Mia!" tegas Anita. Sorot matanya tajam bagaikan silet yang siap menguliti daging yang membungkus tulang. 

Tetapi Rahman sama sekali tidak merasa takut. Wanita lemah di hadapannya ini bisa dia kendali. Rahman bebas melakukan apapun termasuk membunuhnya. 

Maka tanpa keraguan Rahman kembali menendang perut Anita lantas menarik rambutnya. 

Dibawah kolong meja wajah Mia semakin pucat. Badannya penuh dengan keringat. Mulutnya tertutup rapat. Kedua telapak tangannya membekap kencang mulutnya. 

"Lepasin!" teriak Anita. Kulit kepala Anita terasa perih. Dia mulai merintih kesakitan dan meminta belas kasih Rahman tetapi...

Rahman justru mendorong tubuh Anita sampai terkapar di atas lantai. 

"Itu balasan karena kamu berani melawan! Aku tidak peduli dengan apa yang kamu katakan. Lagipula jika Mia bersamamu maka dia akan hidup miskin. Aku tidak ingin putriku menderita! Aku bekerja keras untuknya jadi tidak akan aku biarkan dia menderita!" ucap Rahman. 

"BOHONG! KAMU BEKERJA UNTUK WANITA ULAR ITU! JANGAN LIBATKAN MIA!" Anita berteriak histeris membuat Mia keluar dari tempat persembunyiannya dan bergegas lari menuju tubuh Anita. 

Kaki ahman yang sudah siap untuk menendang perut Anita lagi terhenti dan melayang tepat diatas perut Anita. Sedangkan Mia memangku kepala Anita diatas pahanya lantas memeluk erat tubuh tak berdaya itu. 

"Jangan sakiti Ibu. Ayah yang jahat! Ayah yang lebih memilih wanita ular itu dibandingkan Ibu. Aku benci Ayah!" ucap Mia tersedu-sedu. 

Disaat hati kecil Rahman mulai bergetar panggilan penuh cinta itu terdengar jelas dari arah pintu depan. 

"Sayang, kamu di mana? Kok rumah kamu berantakan gini? Istri kamu yang gak becus ini pergi ninggalin kamu?" teriak Siska tanpa permisi. Tanpa rasa malu Siska masuk dan menampakkan dirinya di depan Anita juga Mia. 

"Oh ternyata kamu di sini? Kasian banget wajah istri kamu yang keriput itu. Yaudah yuk jalan. Aku gak mau lama-lama di sini!" sambung Siska sesaat setelah melihat jelas kondisi Anita. 

Rasa bahagia membuncah dalam hati Siska saat melihat wanita baik-baik seperti Anita diperlakukan secara keji oleh suaminya sendiri. Kejadian buruk yang dulu pernah menimpa dirinya kini turut dirasakan Anita. 

Anita yang awalnya terkapar lemah perlahan-lahan bangkit lalu berjalan cepat menyusul Rahman dan Siska yang hendak pergi. Tanpa ampun Anita mencekal erat lengan kiri Siska membalikkan tubuhnya cepat dan...

Plak,

"Dasar pelakor!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status