Plak,
Benturan dan tamparan sahut menyahut terdengar dari balik pintu rumah keluarga Mia Claudia Raharja. Mia yang ketakutan bersembunyi dibawah kolong meja makan. Tampak jelas di depan matanya, kedua orang tua Mia yang asik bertengkar. Saling memaki, memukul dan membanting perabot dapur. "Jangan pergi Mas. Mia masih butuh kamu," bujuk Anita. Dia bersimpuh di kaki Rahman-suaminya. Memohon belas kasih Rahman. Dia rela harga dirinya direndahkan selagi rumah tangganya bisa dipertahankan. Rahang tegas Rahman tampak mengeras. Kepalan tangannya yang sejak tadi diam di samping tubuhnya kini melayang sempurna ke pipi kanan Anita. Terdengar suara yang cukup keras saat kepalan tangan Rahman bertubrukan dengan daging kenyal itu. Setelahnya lebam kemerah-merahan terlihat jelas di bagian pipi kanan Anita. Tetapi Rahman tetap melanjutkan aksi bejatnya. Berulang-ulang kali sampai darah mengalir dari sudut bibir Anita. "Berhenti memohon! Aku muak hidup bersamamu. Aku juga bosan! Lihat wajahmu yang penuh keriput itu! Menjijikan!" teriak Rahman memaki kekurangan fisik Anita. Jemari tangan Rahman masih terkepal, keringat turut membahasi keningnya. Tapi, dalam hati kecilnya Rahman merasakan kepuasan yang tiada tara. Menyiksa Anita ternyata hiburan yang menyenangkan. Linangan air mata Anita sama sekali tidak menggetarkan hati kecil Rahman. Wajah Anita yang sejak seminggu terakhir ini babak belur disertai darah segar yang mengalir dari ujung sudut bibirnya tak bisa mengehentikan aksi keji Rahman. Suaminya itu berubah layaknya monster berdarah dingin baik Anita maupun Mia tidak mampu mencegah kemalangan yang terjadi. "Jangan ganggu aku wanita murahan! Aku tidak ingin membunuhmu. Maka biarkan aku pergi bersama Siska!" bentak Rahman. Telapak tangannya kembali melayang. Giliran pipi kiri Anita yang kebas. Cetakan telapak tangan itu tampak jelas membuat Mia menutup rapat mulutnya. Di bawah kolong meja makan sekujur badan Mia bergetar hebat. Sosok Ayah yang selama ini melindungi Mia justru berani menyakiti Ibunya. Kekerasan fisik itu mampu membuat Mia trauma. "Apa salahku mas?" tanya Anita. Bukannya menjawab Rahman justru tertawa kencang."Hahahaha! Salah kamu ya karena kamu kurang cantik. Kamu sadar gak? Aku ini manajer mana mau aku punya istri yang keriput. Sekarang aku tidak tertarik sedikitpun kepadamu. Aku ingin kita cerai!" jawab Rahman. Senyuman masih mendominasi wajah Rahman. Tiba-tiba Anita berhenti menangis sedangkan Mia masih setia membungkam mulutnya sembari menahan suara tangisnya. "Aku kurang cantik? Aku tidak menarik? Kamu sadar gak! Aku kayak gini juga gara-gara kamu! Nafkah yang seharusnya kamu berikan padaku jutsru kamu berikan pada wanita ular itu!" balas Anita. Selama ini Anita tidak pernah protes saat tidak mendapatkan uang bulanan. Bukan hanya uang, nafkah batin pun Anita tidak mendapatkannya. Tapi, Anita tetap setia. Tidak ada sedikitpun niat untuk nenghianati Rahman. "Karena aku bosan. Untuk apa membiayai wanita yang tidak lagi bisa diperbaiki? Kamu itu tidak ada bedanya dengan barang rusak. Sulit untuk diperbaiki!" sahut Rahman. Tidak ada sedikitpun rasa penyesalan yang timbul di binar mata Rahman. Dia justru semakin beringas saat Anita berani melawannya. Tangan Rahman kembali terangkat tetapi tangan Anita sigap meraihnya. "Apa? Kamu mau nampar aku lagi? Tampar mas tampar! Sejak tadi aku diam, tapi kamu terus menindasku! Dasar tidak tahu diri! Aku yang menemanimu dari nol dan sekarang setelah kamu sukse kamu membuangku!" teriak Anita. Dia sengaja menampar wajahnya sendiri dengan menggunakan telapak tangan Rahman. Rahman yang tidak suka diperlakukan seperti itu oleh Anita buru-buru menarik tangannya dari genggaman tangan Anita. Saking kencangnya Rahman menarik tangannya tubuh Anita sampai jatuh ke atas permukaan lantai yang dingin. Rahman tak tinggal diam. Jiwa iblis yang ada di dalam hatinya kembali muncul. Kali ini lebih beringas dan kasar. Rahman menggunakan kedua kakinya.Tendangan demi tendangan Rahman berikan tepat di bagian perut Anita. Seolah-olah perut ramping Anita itu sebuah bola. Rintihan kesakitan tak lagi Rahman hiraukan. "Sudah kubilang jangan berani membantah!" teriak Rahman. Mata Mia terbelalak melihat kondisi Anita yang mengenaskan. Pada akhirnya Mia tetap terluka. Sehebat apapun Anita menyembunyikan kesakitannya, Mia tetap akan mengetahuinya. Saat hendak menendang Anita lagi, dering ponsel Rahman lebih dulu menginterupsi. Kaki Rahman berhenti tepat di depan perut Anita. "Halo, ada apa sayang? Aku masih di rumah tunggu ya," ucap Rahman lembut. "Oh kamu mau ke sini? Jemput aku? Oke deh. Aku tunggu ya! Jangan lama-lama ya!" merdu sekali suara Rahman saat berbicara di telepon beda saat dia berbicara dengan Anita. "Telepon dari perempuan ular itu lagi, mas?" tanya Anita yang justru dibalas tendangan kaki Rahman. "Jangan sebut dia wanita ular! Dia itu pacarku dan sebentar lagi dia akan menjadi istriku. Itu artinya dia akan menjadi Ibu sambung Mia!" jelas Rahman. Habis manis sepah dibuang kenyataan itu yang harus Anita terima. Tidak ada lagi perlawanan. Anita memilih diam. Air matanya kering menyisakan pandangan kosong. Nyawanya seakan telah pergi meninggalkan raga, Anita kehilangan segala-galanya. "Ibu sambung? Ibu kandungnya masih ada di sini! Mia tidak membutuhkan Ibu sambung!" jawab Anita tanpa menunjukan ekspresi apapun. Ini akhir dari semua rasa sakit yang selama ini Anita rasakan. Fisiknya terluka mentalnya mulai terguncang. Hati Anita yang selama ini dipenuhi nama Rahman kini menganga kosong. "Ibu kandung yang tidak berguna seperti kamu untuk apa di pertahankan?" tanya Rahman. Baginya Anita sudah mati dan Mia butuh sosok Ibu yang baru. Sosok yang bisa menyayangi Mia juga merawat Mia melebihi Anita. "Jangan sentuh anakku! Kamu bisa menyakitiku tapi tidak dengan mengambil anakku! Wanita ular itu hanya tertarik pada uangmu tidak pada Mia!" tegas Anita. Sorot matanya tajam bagaikan silet yang siap menguliti daging yang membungkus tulang. Tetapi Rahman sama sekali tidak merasa takut. Wanita lemah di hadapannya ini bisa dia kendali. Rahman bebas melakukan apapun termasuk membunuhnya. Maka tanpa keraguan Rahman kembali menendang perut Anita lantas menarik rambutnya. Dibawah kolong meja wajah Mia semakin pucat. Badannya penuh dengan keringat. Mulutnya tertutup rapat. Kedua telapak tangannya membekap kencang mulutnya. "Lepasin!" teriak Anita. Kulit kepala Anita terasa perih. Dia mulai merintih kesakitan dan meminta belas kasih Rahman tetapi...Rahman justru mendorong tubuh Anita sampai terkapar di atas lantai. "Itu balasan karena kamu berani melawan! Aku tidak peduli dengan apa yang kamu katakan. Lagipula jika Mia bersamamu maka dia akan hidup miskin. Aku tidak ingin putriku menderita! Aku bekerja keras untuknya jadi tidak akan aku biarkan dia menderita!" ucap Rahman. "BOHONG! KAMU BEKERJA UNTUK WANITA ULAR ITU! JANGAN LIBATKAN MIA!" Anita berteriak histeris membuat Mia keluar dari tempat persembunyiannya dan bergegas lari menuju tubuh Anita. Kaki ahman yang sudah siap untuk menendang perut Anita lagi terhenti dan melayang tepat diatas perut Anita. Sedangkan Mia memangku kepala Anita diatas pahanya lantas memeluk erat tubuh tak berdaya itu. "Jangan sakiti Ibu. Ayah yang jahat! Ayah yang lebih memilih wanita ular itu dibandingkan Ibu. Aku benci Ayah!" ucap Mia tersedu-sedu. Disaat hati kecil Rahman mulai bergetar panggilan penuh cinta itu terdengar jelas dari arah pintu depan. "Sayang, kamu di mana? Kok rumah kamu berantakan gini? Istri kamu yang gak becus ini pergi ninggalin kamu?" teriak Siska tanpa permisi. Tanpa rasa malu Siska masuk dan menampakkan dirinya di depan Anita juga Mia. "Oh ternyata kamu di sini? Kasian banget wajah istri kamu yang keriput itu. Yaudah yuk jalan. Aku gak mau lama-lama di sini!" sambung Siska sesaat setelah melihat jelas kondisi Anita. Rasa bahagia membuncah dalam hati Siska saat melihat wanita baik-baik seperti Anita diperlakukan secara keji oleh suaminya sendiri. Kejadian buruk yang dulu pernah menimpa dirinya kini turut dirasakan Anita. Anita yang awalnya terkapar lemah perlahan-lahan bangkit lalu berjalan cepat menyusul Rahman dan Siska yang hendak pergi. Tanpa ampun Anita mencekal erat lengan kiri Siska membalikkan tubuhnya cepat dan...Plak,"Dasar pelakor!"Setelah kejadian itu, berhari-hari Rahman tidak pulang. Justru surat cerai yang datang dari pengadilan. "Tolong tanda tangani ini," ucap kurir pengantar surat pada Anita. Tangan Anita gemetar menerima amplop coklat yang dikirimkan Rahman. Pelan jemari tangan kirinya mulai menandatangani tanda bukti penerimaan paket. "Terima kasih. Saya permisi," ucap kurir buru-buru. Anita berdiri mematung menatap kepergian kurir berseragam orange tersebut. Hatinya yang sejak sebulan terakhir membeku kini benar-benar hancur. Rumah tangga yang dia bina selama 20 tahun karam dihantam ombak perselingkuhan. "Kamu tega Mas," lirih Anita meratapi kepergian Rahman. Lelaki yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga itu telah mengangkat tangannya. Ini ujung dari perjuangan Anita dan Mia. "Ada apa Bu?" tanya Mia yang baru saja pulang sekolah. Seragam putih biru melekat di tubuh ramping Mia. Gadis itu masih belum menyadari aura kesedihan yang Anita sembunyikan. Tanpa menjawab pertanyaan Mia, Anit
Ternyata waktu tidak bisa mengobati rasa sakit yang Mia alami. Dia tumbuh semakin besar dan cantik. Tapi, hatinya kosong."Hey," ucap Niko-pacar kelima Mia. "Apa?" tanya Mia tidak bersemangat. "Kamu yang kenapa? Kok di chat gak dibales ditelepon juga gak diangkat? Kamu marah sama aku?" tanya Niko. Kepala Mia mengangguk, "Kita putus!" ucapnya lantas bangkit dan pergi begitu saja. Tanpa penjelasan apapun Mia meninggalkan Niko. Rasanya sudah cukup. Mia tidak membutuhkan Niko lagi. Informasi yang dia butuhkan sudah terkumpul. Tinggal menjalankan aksi maka rencana balas dendamnya bisa segera dimulai. Setelah Ibu meninggal, Mia memutusakan untuk membalas semua kejahatan yang pernah dilakukan Siska dan Rahman. Setiap harinya, Mia terus mencari Informasi mengenai Rahman dan Siska. Ternyata Rahman meregang nyawa saat dia dipecat dari kantor. Ekonominya merosot membuat dia depresi sedangkan Siska memilih untuk menikah lagi. "Dasar wanita ular!" gerutu Mia saat mengetahui informasi terbaru
Bukan main, Rafka benar-benar menepati janjinya. Berkata perjuangan Mia yang hampir setiap hari tak henti menanyakan keseriusan Rafka akhirnya malam ini Rafka akan melamar Mia. Malam yang indah di pinggir pantai. Cafe yang biasanya ramai sengaja dikosongkan. Tamu VIP memborong semua kursi yang ada. Malam ini khusus untuk Mia dan Rafka. "Ini cafe kenapa kosong?" tanya Mia yang memang tidak tahu menahu rencana Rafka. "Sengaja aku reservasi khusus buat kita berdua. Gimana? Kamu suka gak sama dekor tempatnya? Ini aku sendiri loh yang desain," jawab Rafka. Lampu-lampu kelap-kelip menghiasai setiap sudut ruang yang ada di cafe itu. Taman outdoor disulap jadi panggung tempat band berserta vokalisnya manggung. Lagu-lagu romantis dinyanyikan. "Gak sayang? Pasti mahal, kan?" tanya Mia. Berkali-kali Mia menoleh ke sisi kanan dan kiri, Cafe ini berubah total. Pemandangan pantai di malam hari dengan KerLiP lampu mercusuar tampak jelas di depan mata Mia. "Buat kamu semahal apapun akan aku be
Baru 24 jam Mia sah menjadi istri kedua Rafka, tapi siang ini Mia justru didatangi Siska. Tanpa rasa takut Mia menyambut kedatangan Siska dikantor suaminya. Tidak ada yang tahu jika di dalam ruangan Rafka kedua wanita itu sedang bertengkar hebat. Belum sempat tangan Siska melayang, tangan Mia lebih dulu terayun. Suara tamparan itu terdengar menggema di ruang kerja Rafka. "Perih?" tanya Mia pada Siska-Istri pertama Rafka. Siska datang membawa amarahnya, tetapi Mia yang lebih dulu melawan. Tak tinggal diam Mia kembali melayangkan tamparan kedua. Tamparannya kali ini mampu membuat kaki Siska lemas. Sampai Siska tersungkur ke lantai. "Ups, berdarah? Wah, tamparanku ternyata sangat kencang ya!" lanjut Mia. Senyuman simpul terukir di bibir ranumnya, deretan gigi putih turut tampak. Mia bahkan sempat meniup telapak tangannya yang panas. Siska diam membisu dengan tatapan nanar. Dia jelas kaget karena lawannya kini berani melawan. "Kenapa? Kamu takut?" ejek Mia tanpa rasa takut.Tiba-ti
Buntut dari pertengkaran hebat antara Mia dan Siska ialah rumah sakit. Mia dilarikan ke UGD dengan kondisi tak sadarkan diri. Tangan Rafka setia menggenggam tangan Mia yang dingin sedangkan Siska hanya mampu membuntuti dari belakang sembari bersumpah serapah.Siapa yang tidak akan cemburu jika melihat suami yang dicintai justru lebih perhatian pada istri keduanya. Tapi, inilah yang diinginkan Mia. Menyiksa Siska baik secara mental maupun fisik. "Maaf Pak. Tolong tunggu di luar!" cegah suster. Genggaman tangan Rafka di jemari tangan Mia sontak terlepas. Kaki Rafka rasanya lemas setelah melihat kondisi kepala Mia yang berlumuran darah. Rafka jadi ingat siapa dalang dari kemalangan yang dialami Mia. Di dorong emosi yang meluap-luap, tubuh Rafka berbalik. Menatap tajam ke arah Siska yang santai duduk di kursi ruang tunggu UGD. "Siska!" teriak Rafka tidak lagi mempedulikan kondisi di sekitarnya. Tidak ada jawaban. Siska diam, menatap lurus ke arah pintu ruang UGD. Hatinya juga saki
Malam pukul 8, Mia akhirnya sadar. Pandangan pertama yang ia lihat adalah Rafka. Suaminya itu tertidur lelap di kursi dekat ranjang sambil terus menggenggam erat jemari tangan kanannya. Hati Mia bergetar melihat ketulusan yang diberikan Rafka. Belum pernah Mia mendapatkan kasih sayang yang sebesar ini walaupun untuk saat ini getaran hati itu tidak bermakna apa-apa.Kepala Mia yang dibungkus perban masih terasa sakit. Secara perlahan Mia menggerakkan badannya lalu bersuara berharap Rafka bangun dan bersedia memberikan segelas air putih yang ada di atas nakas. Pergerakan Mia yang konstan lambat laun membuahkan hasil. Tidur Rafka yang nyenyak terganggu dan saat badan Rafka kembali tegak, ia menyadari bahwa istrinya telah sadar. "Sayang," ucap Rafka penuh cinta. Rafka lantas bangkit lalu mendekap erat tubuh Mia yang lemah. Tangan lemas Mia membalas dekapan Rafka seakan ia bersyukur memiliki Rafka dalam hidupnya. Padahal itu hanya kebohongan belaka supaya Rafka tidak curiga. "Sayang,
Pernikahan Mia dan Rafka masih menghitung hari, namun gosip mulai menyebar. Itu terjadi karena Siska terus datang ke kantor. Tujuan Siska datang ke kantor hanya satu yaitu mempermalukan Mia. "Di dalam ada sekertaris Pak Rafka?" tanya Siska pada siapa saja yang ia temui di depan pintu ruang kerja Rafka. "Iya ada Bu. Itu kan tugasnya Bu Mia," jawab office girl yang kebetulan sedang membersihkan area di depan ruang kerja Rafka. "Tugas dia merangkap jadi pelakor juga?" sahut Siska sengaja memancing rasa penasaran Office girl di depannya. Raut wajah office girl itu tampak kebingungan. Seolah ia sedang menimang mana yang benar dan salah."Jika tidak percaya silahkan saja cari buktinya. Seorang sekretaris seharusnya tidak sedekat itu dengan bos nya, bukan?" lagi-lagi Siska sengaja memantik api gosip. Office girl itu balas tersenyum bingung. Merasa bosan dan tidak puas hati, Siska akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan Rafka. Pemandangan yang tidak senonoh terpampang jelas se
Rafka memenuhi janjinya. Kali ini Rafka pulang membawa kejutan besar. Menantu baru untuk Mama. "Ma," ucap Rafka pelan. Senyumnya mengembang tatkala pintu rumah terbuka. Mama dan Papa yang sedang asik menonton televisi nampak terganggu. Keduanya lantas menoleh dan..."Siapa dia? Cantik banget. Sekertaris kamu? Atau calon anak angkatmu? Kok ngadopsinya udah gede? Ini mah jadi istri kamu juga cocok!" celetuk Mama asal bicara. Mulutnya yang tidak dibekali rem itu langsung memuntahkan semua isi pikirannya. Papa sendiri hanya menatap penuh selidik. Tidak! Papa yakin wanita yang dibawa Rafka bukan calon cucunya. Sebagai seorang pria Papa tahu betul apa yang dipikirkan Rafka. "Dia emang mantu kita!" cicit Papa setelah beberapa menit fokus mengamati gerak-gerik Rafka dan istri barunya itu. Dengan kualitas akting yang mumpuni Mia berpura-pura tersipu. Dua pipinya merah merona ditambah pandangan mata yang tertuju ke lantai. Rafka setia menggenggam erat jemari tangan kanan Mia. Menandakan ji