Setelah kejadian itu, berhari-hari Rahman tidak pulang. Justru surat cerai yang datang dari pengadilan.
"Tolong tanda tangani ini," ucap kurir pengantar surat pada Anita. Tangan Anita gemetar menerima amplop coklat yang dikirimkan Rahman. Pelan jemari tangan kirinya mulai menandatangani tanda bukti penerimaan paket. "Terima kasih. Saya permisi," ucap kurir buru-buru. Anita berdiri mematung menatap kepergian kurir berseragam orange tersebut. Hatinya yang sejak sebulan terakhir membeku kini benar-benar hancur. Rumah tangga yang dia bina selama 20 tahun karam dihantam ombak perselingkuhan. "Kamu tega Mas," lirih Anita meratapi kepergian Rahman. Lelaki yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga itu telah mengangkat tangannya. Ini ujung dari perjuangan Anita dan Mia. "Ada apa Bu?" tanya Mia yang baru saja pulang sekolah. Seragam putih biru melekat di tubuh ramping Mia. Gadis itu masih belum menyadari aura kesedihan yang Anita sembunyikan. Tanpa menjawab pertanyaan Mia, Anita berlalu pergi masuk ke dalam rumahnya. Tidak ada yang perlu dibahasa lagi. Semuanya sudah hancur detik itu juga. ****Rasanya baru kemarin Anita mencuci pakaian pelanggan tetapi kini cucian itu kembali menumpuk di kamar mandinya. "Biar Mia aja Bu. Ibu istirahat aja!" ucap Mia menawarkan dirinya. Sejak perceraian kedua orang tuanya, Mia memutusakan untuk membantu Ibu bekerja jadi buruh cuci. Uang yang didapat tidak seberapa tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah. Biaya sekolah Mia terpaksa menunggak 2 semester. Ekonomi mereka terpuruk karena Ibu sering sakit belum lagi hutang di warung yang semakin banyak. "Maafin Ibu, Mia."Kalimat itu terdengar sangat memilukan hati. Hari hari yang dilewati Anita terasa seperti bara api yang terus membakar tubuhnya. Anita layu, dia tidak memiliki semangat hidup lagi. Kantung hitam dibawah mata menjadi saksi bahwa selama seminggu terakhir ini Anita jarang tidur tepat waktu. Tubuhnya juga semakin kurus. "Ibu ngomong apa sih? Mia suka kok bantu Ibu. Ibu tenang ya, Mia janji akan jadi orang sukses supaya bisa bahagiain Ibu. Jadi Ibu gak perlu jadi buruh cuci lagi!" sahut Mia. Berbagai cara telah Mia tempuh termasuk meminta uang pada Ayahnya. Tetapi wanita ular itu selalu menghadang. 'Jangan pernah datang ke rumah saya lagi! Kamu sama Ibu kamu itu pantas hidup menderita!' Caci maki yang Mia dapatkan dari Siska lambat laun membuat diri Mia terluka. Rasa benci dan marah itu semakin membuncah. Apalagi saat Mia tahu Ibu sering datang ke rumah Ayahnya untuk meminta uang. Perceraian ternyata bukan solusi, Anita semakin stres. Sesekali dia melantur, berbicara sendirian lantas menyakiti dirinya dengan pisau dapur atau benda tajam lainnya. Menjadi seorang single parents dengan trauma yang belum sembuh membuat jiwa Anita terguncang. "Tangan Ibu masih sakit? Gak mau di bawa ke dokter aja?" tanya Mia teringat akan luka yang ada di sisi tangan kanan Anita. Luka yang sengaja Anita ukir sendiri. Tangan Anita yang sejak tadi sibuk membilas pakaian lantas terhenti. Masih dengan sorot mata yang kosong Anita menoleh pada Mia yang kebetulan jongkok tepat di samping kanannya."Apa? Luka ini? Ini tidak seberapa. Kamu tidak usah khawatir," jawab Anita. Jemari tangan kirinya yang penuh busa detergen menunjuk sayatan-sayatan luka di tangan kanannya. Susah payah Mia menelan ludahnya sendiri. Bulu kuduknya berdiri takut-takut Ibu kembali menyayat luka itu dengan kuku-kuku panjangnya. "Ibu istirahat ya. Ibu juga belum makan. Cucian ini biar Mia aja yang ngerjain," ucap Mia kembali menawarkan dirinya. Kepala Ibu menggeleng pelan. Seolah robot yang mulai kehabisan energinya Ibu kembali melanjutkan perkejaan. "Tidak perlu. Nanti kamu akan bekerja jauh lebih keras daripada ini. Sekarang nikmati saja momen yang ada. Jadilah gadis remaja seperti yang lain. Buat Ibumu tersenyum walau hanya sekejap," jawab Anita sendu. Ada yang aneh. Kalimat Anita seolah salam perpisahan. Mia bingung harus berbuat apa selain mengangguk dan berlalu pergi menuju kamarnya. Ujian di depan mata, Mia tidak bisa terus diam. Namun biaya semester yang belum lunas mengganjal pikirannya. "Gimana ya? Apa aku ke rumah Ayah lagi? Gak ada pilihan lain juga!" gumam Mia. Hanya Rahman yang bisa membantu melunasi biaya semester yang menunggak. Anita? Rasanya tidak mungkin. Maka sore itu Mia putuskan untuk pergi ke rumah Rahman. "Bu, Mia izin keluar dulu. Gak lama kok, sebelum Magrib Mia udah pulang," pamit Mia. Ibu lagi-lagi hanya menganggukkan kepalanya. Tidak banyak yang Ibu bicarakan. Perceraian itu memukul mundur mental dan juga fisik Anita. Walau demikian Mia tidak ingin meninggalkan Anita. ****Pukul 5 sore saat matahari terbenam Mia sampai di rumah Rahman. "Permisi. Ayah?" teriak Mia. Siska yang kebetulan sedang bersantai di ruang tamu keluar karena mendengar suara anak tirinya. "Kamu lagi! Ada apa?" tanya Siska yang tidak suka dengan kehadiran Mia. "Di mana Ayahku?" sahut Mia. Jika tidak kepepet Mia tidak akan pernah mau datang menemui wanita ular ini. "Di sedang sibuk bekerja! Sudah sana pulang! Kalau kamu datang ke sini hanya untuk meminta uang, maka kamu datang pada orang yang salah!" jawab Siska ketus. Mia tahu itu, tetapi Mia juga memiliki hak yang sama dengan Siska. "Aku anaknya. Aku berhak atas uang yang dia miliki!" tegas Mia. Mendengar ucapan Mia, Siska tertawa terbahak-bahak. "Hahahaha! Dasar anak tidak tahu diri! Kamu itu tidak berharga di mata Ayahmu. Dia sudah membuang kamu dan Ibumu itu. Jadi pergi dari sini sebelum aku bertindak kasar!" tegas Siska. Sampai kapanpun Siska tidak sudi memberikan uang pada Mia. Uang itu miliknya hanya miliknya. "Terserah. Aku bilang aku perlu uang! Aku tidak takut ancamanmu!" balas Mia tak kalah galak. Siska yang merasa tertantang maju mendekati Mia. Tangan kanannya terangkat dan mengayun tepat mengenai pipi kanan Mia. Plak,Kebas. Itu yang Mia rasakan saat telapak tangan Siska mendarat mulus di pipi kanannya. Belum habis perasaan kaget Mia dan kebas di pipi kanannya kini giliran pipi kiri.Wajah Mia menoleh ke samping kanan. Kerasnya tamparan membuat para tetangga keluar. Giliran Mia membalas perbuatan Siska. Jemari tangan kanannya bergegas menarik rambut panjang Siska. "Awww!" rintih Siska kesakitan. "Kamu yang memulai duluan!" teriak Mia. Pertengkaran itu disaksikan tetangga lingkungan rumah Rahman. Mereka semua asik menonton tanpa ada yang mau melerai. Saat rintihan Siska semakin kencang dengan kulit kepala yang perih dari arah belakang tubuh Mia Rahman datang. Dia baru saja pulang dari kantor saat melihat keramaian Rahman buru-buru keluar dari mobilnya. Tanpa bertanya lebih dulu Rahman langsung memukul kepala Mia. "Apa yang kamu lakukan? Apa kamu tidak punya malu? Di mana sopan santun yang saya ajarkan?" teriak Rahman penuh amarah. Jemari tangan kanan Mia terlepas digantikan tatapan nanar yang tertuju pada Rahman. "Dia yang salah! Dia yang lebih dulu menampar wajahku!" teriak Mia membela dirinya sendiri. Percuma Rahman justru balik menampar Mia.Plak,"Dasar anak tidak tahu diri! Pergi kamu dari sini! Jangan pernah kembali kedalam hidupku! Kamu bukan lagi anakku!" balas Rahman. Bgaikan tersambar petir di siang bolong detik itu juga Mia mengakui jika tidak pernah ada kata cinta di hati Ayahnya. Kebencian tertanam sangat dalam sampai-sampai Mia bersumpah di depan wajah Rahman dan Siska. "Aku akan membalas perbuatan kalian!" tekad Mia. Bukannya pulang membawa uang Mia justru pulang membawa amarah. ****Langkah kakinya menyusuri jalan sempit di lingkungan rumah Mia. Dari jarak 10 meter Mia melihat keramaian di depan rumahnya. Buru-buru Mia berlari, takut terjadi sesuatu dan disaat Mia berhasil menyibak keramaian.Tubuh Mia luruh, jatuh tersungkur. Air matanya terus jatuh membasahi tanah yang kering. Kantung besar yang membungkus tubuh Ibunya tampak jelas, Mia kehilangan Ibu yang dia sayangi. Ibu pergi tanpa pamit dan dia pergi dengan cara yang tragis. "Ibu..."Ternyata waktu tidak bisa mengobati rasa sakit yang Mia alami. Dia tumbuh semakin besar dan cantik. Tapi, hatinya kosong."Hey," ucap Niko-pacar kelima Mia. "Apa?" tanya Mia tidak bersemangat. "Kamu yang kenapa? Kok di chat gak dibales ditelepon juga gak diangkat? Kamu marah sama aku?" tanya Niko. Kepala Mia mengangguk, "Kita putus!" ucapnya lantas bangkit dan pergi begitu saja. Tanpa penjelasan apapun Mia meninggalkan Niko. Rasanya sudah cukup. Mia tidak membutuhkan Niko lagi. Informasi yang dia butuhkan sudah terkumpul. Tinggal menjalankan aksi maka rencana balas dendamnya bisa segera dimulai. Setelah Ibu meninggal, Mia memutusakan untuk membalas semua kejahatan yang pernah dilakukan Siska dan Rahman. Setiap harinya, Mia terus mencari Informasi mengenai Rahman dan Siska. Ternyata Rahman meregang nyawa saat dia dipecat dari kantor. Ekonominya merosot membuat dia depresi sedangkan Siska memilih untuk menikah lagi. "Dasar wanita ular!" gerutu Mia saat mengetahui informasi terbaru
Bukan main, Rafka benar-benar menepati janjinya. Berkata perjuangan Mia yang hampir setiap hari tak henti menanyakan keseriusan Rafka akhirnya malam ini Rafka akan melamar Mia. Malam yang indah di pinggir pantai. Cafe yang biasanya ramai sengaja dikosongkan. Tamu VIP memborong semua kursi yang ada. Malam ini khusus untuk Mia dan Rafka. "Ini cafe kenapa kosong?" tanya Mia yang memang tidak tahu menahu rencana Rafka. "Sengaja aku reservasi khusus buat kita berdua. Gimana? Kamu suka gak sama dekor tempatnya? Ini aku sendiri loh yang desain," jawab Rafka. Lampu-lampu kelap-kelip menghiasai setiap sudut ruang yang ada di cafe itu. Taman outdoor disulap jadi panggung tempat band berserta vokalisnya manggung. Lagu-lagu romantis dinyanyikan. "Gak sayang? Pasti mahal, kan?" tanya Mia. Berkali-kali Mia menoleh ke sisi kanan dan kiri, Cafe ini berubah total. Pemandangan pantai di malam hari dengan KerLiP lampu mercusuar tampak jelas di depan mata Mia. "Buat kamu semahal apapun akan aku be
Baru 24 jam Mia sah menjadi istri kedua Rafka, tapi siang ini Mia justru didatangi Siska. Tanpa rasa takut Mia menyambut kedatangan Siska dikantor suaminya. Tidak ada yang tahu jika di dalam ruangan Rafka kedua wanita itu sedang bertengkar hebat. Belum sempat tangan Siska melayang, tangan Mia lebih dulu terayun. Suara tamparan itu terdengar menggema di ruang kerja Rafka. "Perih?" tanya Mia pada Siska-Istri pertama Rafka. Siska datang membawa amarahnya, tetapi Mia yang lebih dulu melawan. Tak tinggal diam Mia kembali melayangkan tamparan kedua. Tamparannya kali ini mampu membuat kaki Siska lemas. Sampai Siska tersungkur ke lantai. "Ups, berdarah? Wah, tamparanku ternyata sangat kencang ya!" lanjut Mia. Senyuman simpul terukir di bibir ranumnya, deretan gigi putih turut tampak. Mia bahkan sempat meniup telapak tangannya yang panas. Siska diam membisu dengan tatapan nanar. Dia jelas kaget karena lawannya kini berani melawan. "Kenapa? Kamu takut?" ejek Mia tanpa rasa takut.Tiba-ti
Buntut dari pertengkaran hebat antara Mia dan Siska ialah rumah sakit. Mia dilarikan ke UGD dengan kondisi tak sadarkan diri. Tangan Rafka setia menggenggam tangan Mia yang dingin sedangkan Siska hanya mampu membuntuti dari belakang sembari bersumpah serapah.Siapa yang tidak akan cemburu jika melihat suami yang dicintai justru lebih perhatian pada istri keduanya. Tapi, inilah yang diinginkan Mia. Menyiksa Siska baik secara mental maupun fisik. "Maaf Pak. Tolong tunggu di luar!" cegah suster. Genggaman tangan Rafka di jemari tangan Mia sontak terlepas. Kaki Rafka rasanya lemas setelah melihat kondisi kepala Mia yang berlumuran darah. Rafka jadi ingat siapa dalang dari kemalangan yang dialami Mia. Di dorong emosi yang meluap-luap, tubuh Rafka berbalik. Menatap tajam ke arah Siska yang santai duduk di kursi ruang tunggu UGD. "Siska!" teriak Rafka tidak lagi mempedulikan kondisi di sekitarnya. Tidak ada jawaban. Siska diam, menatap lurus ke arah pintu ruang UGD. Hatinya juga saki
Malam pukul 8, Mia akhirnya sadar. Pandangan pertama yang ia lihat adalah Rafka. Suaminya itu tertidur lelap di kursi dekat ranjang sambil terus menggenggam erat jemari tangan kanannya. Hati Mia bergetar melihat ketulusan yang diberikan Rafka. Belum pernah Mia mendapatkan kasih sayang yang sebesar ini walaupun untuk saat ini getaran hati itu tidak bermakna apa-apa.Kepala Mia yang dibungkus perban masih terasa sakit. Secara perlahan Mia menggerakkan badannya lalu bersuara berharap Rafka bangun dan bersedia memberikan segelas air putih yang ada di atas nakas. Pergerakan Mia yang konstan lambat laun membuahkan hasil. Tidur Rafka yang nyenyak terganggu dan saat badan Rafka kembali tegak, ia menyadari bahwa istrinya telah sadar. "Sayang," ucap Rafka penuh cinta. Rafka lantas bangkit lalu mendekap erat tubuh Mia yang lemah. Tangan lemas Mia membalas dekapan Rafka seakan ia bersyukur memiliki Rafka dalam hidupnya. Padahal itu hanya kebohongan belaka supaya Rafka tidak curiga. "Sayang,
Pernikahan Mia dan Rafka masih menghitung hari, namun gosip mulai menyebar. Itu terjadi karena Siska terus datang ke kantor. Tujuan Siska datang ke kantor hanya satu yaitu mempermalukan Mia. "Di dalam ada sekertaris Pak Rafka?" tanya Siska pada siapa saja yang ia temui di depan pintu ruang kerja Rafka. "Iya ada Bu. Itu kan tugasnya Bu Mia," jawab office girl yang kebetulan sedang membersihkan area di depan ruang kerja Rafka. "Tugas dia merangkap jadi pelakor juga?" sahut Siska sengaja memancing rasa penasaran Office girl di depannya. Raut wajah office girl itu tampak kebingungan. Seolah ia sedang menimang mana yang benar dan salah."Jika tidak percaya silahkan saja cari buktinya. Seorang sekretaris seharusnya tidak sedekat itu dengan bos nya, bukan?" lagi-lagi Siska sengaja memantik api gosip. Office girl itu balas tersenyum bingung. Merasa bosan dan tidak puas hati, Siska akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan Rafka. Pemandangan yang tidak senonoh terpampang jelas se
Rafka memenuhi janjinya. Kali ini Rafka pulang membawa kejutan besar. Menantu baru untuk Mama. "Ma," ucap Rafka pelan. Senyumnya mengembang tatkala pintu rumah terbuka. Mama dan Papa yang sedang asik menonton televisi nampak terganggu. Keduanya lantas menoleh dan..."Siapa dia? Cantik banget. Sekertaris kamu? Atau calon anak angkatmu? Kok ngadopsinya udah gede? Ini mah jadi istri kamu juga cocok!" celetuk Mama asal bicara. Mulutnya yang tidak dibekali rem itu langsung memuntahkan semua isi pikirannya. Papa sendiri hanya menatap penuh selidik. Tidak! Papa yakin wanita yang dibawa Rafka bukan calon cucunya. Sebagai seorang pria Papa tahu betul apa yang dipikirkan Rafka. "Dia emang mantu kita!" cicit Papa setelah beberapa menit fokus mengamati gerak-gerik Rafka dan istri barunya itu. Dengan kualitas akting yang mumpuni Mia berpura-pura tersipu. Dua pipinya merah merona ditambah pandangan mata yang tertuju ke lantai. Rafka setia menggenggam erat jemari tangan kanan Mia. Menandakan ji
Semua orang yang ada di rumah orang tua Rafka tercengang. Mereka diam sambil menatap tajam wajah Siska yang baru saja berdatangan dengan beberapa keranjang belanjaan bermerek branded. Siska berkali-kali menghela napasnya. Keranjang berisikan tas, sepatu dan barang mewah lainnya tergeletak begitu saja. Ia maju mendekati Mia dan...Plak,Tanpa aba-aba tangan kanan Siska terayun dan mendarat mulus di pipi kanan Mia. Semua orang yang ada di sana jelas kaget dan bingung dengan situasi yang tengah terjadi. Tapi bagi Papa semua ini hanyalah resiko yang harus diterima Rafka. "Itu setimpal!" decak Siska. Aura kemarahan dalam dirinya semakin menjadi-jadi tat kala mendengar informasi bahwa Rafka berani membawa Mia ke hadapan Mama dan Papa. Rafka yang kaget sontak maju lalu buru-buru berdiri di tengah-tengah Siska dan Mia. Membatasi gerakan tubuh Siska. "Menjauh!" ucap Rafka singkat. Kedua tangannya terbuka lebar hendak melindungi Mia. Dan benar gerak tubuh Siska jadi terbatas. Ingin kembali