Aku menatap tajam Mas Tedy yang terlihat santai dan sama sekali tak merasa bersalah.
"Nggak akan, malu lah," balasnya lalu ia melangkah berlalu keluar meninggalkan rumah, entah mau kemana. Hingga sore menjelang magrib, Mas Tedy baru pulang. Di rumah warung sembako kecilku seharian sangat ramai pembeli, tetapi ia sama sekali tak ada niatan membantuku. Parahnya lagi Mas Tedy tak menyapaku sejak pulang sampai keesokan paginya. Aku pun tak ingin menyapanya terlebih dulu. Dia yang salah, kenapa harus aku yang mengalah terus. Pada saat makan siang Mas Tedy membuka tudung saja, terlihat ia menghela nafas setelah melihat menu. "Bu, kamu cuma masak ini? Tadi kan habis dari pasar, kenapa enggak beli daging?" tanya Mas Tedy dengan raut wajah yang kesal. Aku hanya menghela nafas dan menatapnya dengan malas. Memberi aku uang aja tidak, mau makan yang enak. "Hai, Mas, kamu sadar enggak udah tiga bulan kamu enggak kasih aku uang. Harusnya kamu bersyukur aku masih bisa mencukupi kebutuhan makanmu dan kedua anak kita," jawabku dengan menahan emosi. Biasanya jika ke pasar, aku menyetok banyak sayuran serta lauk seperti daging, tahu, dan tempe. Namun, kali ini aku hanya membeli sayuran, tahu, dan tempe. Kulihat Mas Tedy menutup kembali tudung saji, lalu masuk ke warung mengambil satu butir telur. Ia menggoreng telur lalu ia makan dengan menambahkan saos pedas, tak lupa dia juga membuat es kopi capuccino saset. "Enak banget Mas, makanmu. Padahal aku udah masak tumis kangkung sama goreng mendoan," decak lesalku. "Itu untukmu dan anak-anak, enggak level makanan seperti itu," ucap Mas Tedy. Dasar suami sombong, berpangku tangan bisanya. Mau makan enak tapi tak memberi nafkah kepada istrinya. Aku segera keluar karena ada pembeli yang datang, capek meladeni dia. Jika menuruti kemauannya untuk makanan enak, lama-lama uang akan habis untuk perputaran warung kecilku. Darimana lagi aku punya pemasukan kebutuhan anak-anak. Dari dalam warung aku mendengar Mas Tedy menerima telpon dan aku sudah pasang telinga lebar-lebar, apalagi ia loud speaker karena tangannya untuk makan. "Ted, masih ada enggak jagungnya yang kemarin? Kami enggak kebagian jagung, jagungnya udah habis di kasihkan ke tetangga semua. Kalau masih ada tak ambilnya lagi buat makan kita," ujar Mas Nobi, suaranya terdengar dari telepon. "Kalau habis ya sudah lah, Mas, di rumah juga udah habis. Di kebun Mbahnya juga udah habis kemaren aku bawa semua," jawab Mas Tedy Mas Tedy membalasnya dengan santai tetapi justru aku yang terbakar emosi mendengar penuturan kakak ipar yang tak tahu diri itu. "Kalau jagung di kebun kita gimana?" tanya Mas Nobi kembali. "Yang di kebun kita ya udah tua lah, Mas, bentar lagi panen mungkin tiga mingguan lagi," balas Mas Tedy. "Oke deh, kalau ada lagi kabarin aku ya, atau kalau ada sayuran labu, kacang atau apa. Biasanya kan mertua kamu panen banyak tuh, jangan lupa minta juga yang banyak dan kabarin aku nanti biar kuambil," ucap Mas Nobi diujung telepon. Kakak ipar yang keterlaluan, kurang ajar sekali dia. "Iya, gampang itu," jawab Mas Tedy. Apa? Mas Tedy bilang gampang? Memangnya itu kebun siapa? Kebun Bapakku. Lebih besar juga kebun milik keluarga Mas Tedy, dasar keluarga pelit. Aku masuk ke dalam dan menghampiri suamiku. "Mas Nobi bilang apa tadi? Dia minta jagung lagi karena enggak kebagian jagung. Itu kan salahnya sendiri, dia yang di kasih kenapa justru enggak merasakan aneh banget. Kamu sadar enggak sih, Mas, kamu tuh udah terlalu memanjakan Kakak-kakakmu membuat mereka memperlakukan kamu seenaknya tanpa mau mengerti kesulitan kita," ucapku dengan emosi. Aku menghembuskan nafas kasar karena ini bukan pertama kalinya menasehati suamiku yang lebih memprioritaskan kedua kakaknya daripada keluarganya sendiri, padahal dia anak bungsu. "Mas Nobi suruh kerja, jangan berpangku tangan terus, itu lahan kebun jatahnya Mbak Tasih, suruh nanami Mbak Tasih dan Mas Nobi sendiri," sambungku. "Mereka enggak bisa bertani, Bu, lagian mereka mau modal dari mana? Buat makan aja susah," balas Mas Tedy. Setelah meletakkan piring di wastafel Mas Tedy kembali keluar dan duduk di kursi ruang tamu. "Orang serumah ada lima sedangkan mereka tak ada satu pun yang bekerja. Di kasih lahan dari Bapak aja enggak digarap, coba kalau digarap pasti dapat hasil. Emang kamu sendiri juga punya modal, modal kamu kan juga ambil hutang dan bayarnya setelah panen. Di dunia ini tuh enggak ada yang namanya enggak bisa, Mas, kalau kita mau berusaha." Aku mengikutinya ke ruang tamu. Tak mau dibiarkan terus-terusan seperti ini. "Sudah lah, Bu, enggak usah bahas masalah ini terus. Aku melakukan ini karena membalas jasa Mbak Tasih, dulu waktu aku di Jakarta Mbak Tasihlah yang merawatku," jawabnya. Mas Tedy menganggakat sebelah tangannya tanda meminta untuk tak perlu meneruskan percakapan iji. Dulu mas Tedy setelah lulus sekolah SMP ikut merantau Mbak Tasih ke Jakarta dan bekerja di sana. Mas Nobi bekerja di sebuah pabrik pembuatan rak, dialah yang memasukkan Mas Tedy ke perusahaan pabrik rak tersebut. Mas Nobi dan Mbak Tasih mengontrak di Jakarta dan Mas Tedy ikut. Setelah Mas Tedy menikah denganku, ia memilih keluar dari pekerjaannya dan menggarap lahan kebun dan sawah milik bapaknya. Sudah tiga tahun Mas Nobi di PHK dan dia hanya di rumah tanpa berusaha untuk bekerja. Uang pesangon yang katanya tiga puluh juta pun mereka habiskan sia-sia, tanpa mau menggunakan untuk modal usaha. Bapak mertuaku sudah membagikan lahan-lahannya untuk di garap ketiga anaknya. Namun, punya Mbak Tasih, Mas Tedylah yang digarap dengan bagian sepertiga karena mereka tak mau menggarap semuanya dengan alasan tak bisa bertani. Di saat hati ini masih terasa dongkol, tiba-tiba datang Kakak kedua Mas Tedy bersama Ibunya. "Ted, Arslen nangis terus dari kemarin minta di belikan sepeda, sedangkan Masmu enggak punya uang, Mamak juga enggak. Kamu bisa kan pinjami uang untuk Masmu dulu," ujar Mak Sarmi, ibu mertuaku. Aku hanya diam saja menunggu jawaban Mas Tedy. "Aku juga enggak punya uang, Mak. Kalian tahu sendiri kan panenan masih tiga Minggu lagi. Nanti kalau udah panen aku pinjami deh," balas Mas Teddy. "Tapi, Ted, masalahnya permintaan Arslen harus sekarang. Dia ingin merebut punya temannya terus, kasihanlah Arslen." Kini Mas Tarji, suami Mbak Tasih yang meminta. Anak bungsunya satu tahun lebih tua dari Kayla, putriku. "Mau gimana lagi, Mas, aku juga enggak punya duit," balas Mas Tedy. Mamak mertua kini beralih menatapku dan berucap, "Lia, kamu pasti punya simpanan 'kan. Kamu bisa dong pinjami dulu." Apa? Aku lagi? Mas Tarji lima tahun yang lalu aja minjam kalungku buat sunatan Puji anak pertamanya, sampai sekarang belum juga di balikin padahal kalung mas kawinku pemberian dari Mas Teddy. Dan di catatan nota harga kalung itu senilai delapan juta tiga ratus. Dia berjanji akan mengembalikan setelah dapat uang amplop, tetapi ternyata sampai sekarang uang itu belum juga balik. "Aku enggak punya, Mak," balasku. "Kenapa sih, kalian pada bilang enggak punya. Padahal hidup kalian serba kecukupan. Kamu enggak lihat apa Tarji harus berjalan dengan satu kaki. Dia enggak bisa bekerja selincah Tedy. Kamu jadi orang jangan pelit, Lia," bentak Mamak mertuaku. "Memang kenyataan, Mak, aku enggak punya uang. Aku bisa mencukupi kebutuhan kami karena aku mau berusaha," balasku. "Kalau kamu enggak mau pinjami duit, ya udah mamak pinjam kalungnya Kayla," ucap Mamak Mertuaku seenaknya. Mamak mertua menatap kalung yang di pakai putriku. Aku membulatkan mata ketika Mamak mulai melangkah menghampiri Kayla."Gak bisa, Mak. Kenapa sih harus hari ini juga Arslen dibelikan sepeda, kalau hari ini gak bisa suatu hari nanti kan juga bisa kebeli sepeda. Lagian Kayla juga gak punya sepeda tuh," balasku. Aku menahan geram, Mak Sarmi menghentikan langkahnya. Aku tak ingin kejadian yang kualami akan dialami putriku juga. "Anakmu tuh tahu apa, tahunya cuma nonton tv dan masak-masakan. Beda sama Arslen yang pergaulannya luas dan mudah membaur dengan orang lain. Lagian kalung itu dibeli pakai uang anakku, jadi kamu gak berhak melarangnya. Orang yang kamu makan dan beli itu hasil berkebun Tedy dan kebun yang di garap Tedy itu punyaku," balas Mak Sarmi dengan ketus. "Tedy, lepaskan kalungnya Kayla ya biar di jual Sutri sekarang. Kasihan tuh Arslen masih nangis terus, Mas-mu tuh gak bisa bekerja kayak kamu jadi kamu yang sehat wajib membantu," ujar Mak Sarmi. Ia berkata dengan halus kepada Mas Tedy sembari kembali duduk di sebelah Mas Tarji Mas Teddy menatap ke arahku, aku menggelengkan kepala tan
Setelah kepergian mas Tedy aku berganti mengeluarkan sepeda motor yang akan aku bawa ke pasar. Aku menata Bronjong dan tas sangkek yang akan aku bawa ke pasar juga. Aku segera membangunkan Kayla untuk mengajaknya mandi dan berangkat sekolah. Shaka juga sudah selesai mandi, dia sudah bisa menyiapkan semua kebutuhannya sendiri. Tepat jam tujuh kurang sepuluh menit kami sudah bersiap untuk berangkat. Kayla duduk di depan dan Shaka duduk di atas bronjong. Aku melihat Mbak Sutri berangkat bersama Arslen, mbak Sutri nampak memakai baju baru dan Arslen membawa mobilan di tangannya. "Kayla, ayo buruan nanti telat," sapa mbak Sutri menyapa kami. Aku hanya mengangguk sembari menatapnya. Baru saja kemarin mas Tarji bilang tidak punya uang tetapi kenapa hari ini Mbak Sutri nampak memakai baju baru dan Arslen punya mainan baru. Kenapa aku bisa tahu, ya karena rumah kami bersebelahan hanya terhalang rumah Mak Sarmi saja sedangkan mbak Sutri sering datang ke rumahku. Kemarin mas Tarji
"Kamu kenapa nggak mampir ke kebun di tungguin lontong sayurnya malah nggak ada mampir. Cepat ambilin lontongnya," balas Mas Tedy. Oalah berarti cuma masalah lontong sayur aku kira ada masalah serius yang terjadi saat dia berada di kebun. "Nggak ada, Mas, aku nggak beli karena uangnya udah habis buat belanja, kalau pesen sesuatu harusnya kamu peka. Ngasih duit aja enggak kok," ujarku dengan santai. Aku berlalu masuk untuk mengajak Kayla berganti baju. Bruak!!! Aku mendengar suara benda yang di banting, Mas Tedy entah membanting apa aku tak tahu. "Bu, kamu jadi istri kok pelit banget. Sama suami sendiri perhitungannya sampai segitu, dasar istri medit!!" ucap Mas Tedy dengan pedas. Ia menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. "Lah, dia yang medit malah nuduh aku yang medit. Dasar suami dzholim tapi merasa terdzolimi," batinku dalam hati. **** Hari ini hari Minggu, aku ikut membantu mas Tedy untuk menggiling jagung. Dari jam setengah empat pagi aku sudah sibuk memas
Setelah pulang dari rumah Mak Sarmi aku langsung mandi, hatiku terasa sangat sakit saat suami yang ku percaya bisa melindungiku justru menyakiti dan memporak porandakan hatiku. Mereka pikir aku ini budak apa yang bisa di perlakukan semena-mena dan di minta bekerja tanpa diberi upah. Aku mencoba menenangkan diri di kamar mandi, membiarkan air mengalir membasahi tubuhku, seolah-olah bisa menghapus rasa sakit dan kekecewaan yang mengganjal di hatiku. Tapi air mata tak bisa terbendung. Aku terisak, teringat akan semua kepercayaan yang kuberikan pada Mas Tedy dan bagaimana rasanya sebagai istri yang tak pernah di hargai. Setelah selesai mandi, aku duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah cermin. Bayangan diriku yang kusut dan lelah terasa begitu menyedihkan. Bagaimana bisa suamiku sendiri, selalu membela keluarganya meski mereka bersalah di banding aku istrinya. Tak mau berlarut-larut dalam kesedihan, aku memutuskan ke dapur setelah selesai berganti baju. Aku memasak ala kadar
Seketika kedua insan manusia itu terlihat kelabakan, mereka melepaskan diri dengan cara saling menjauh."Lia," ujar Mas Tedy dan Mbak Sutri bersamaan."Apa yang kalian lakukan, kenapa kalian berpelukan dan berciuman kalian main api di belakangku!" tuduhku dengan emosi."Bu-bukan begitu, Bu. Biar aku jelasin semuanya dulu, kami tidak melakukan seperti apa yang kamu tuduhkan," balas Mas Tedy dengan mengelak. Ia terlihat sangat gugup sedangkan Mbak Sutri terus menunduk."Mau jelasin apa lagi, Mas, aku jelas-jelas melihat dengan mata kepalaku sendiri kalian sedang beric**man. Kalian tega berselingkuh, aku akan adukan sama Mas Tarji!" Aku berlari keluar Manahan rasa sakit dan kecewa di dalam hati. Rasa kecewa atas sikap Mas Tedy kini semakin membuncah setelah melihat kenyataan ini."Bu, tunggu." Aku menoleh kebelakang dan melihat Mas Tedy berlari mengejarku.Saat sampai di rumah, Mas Tedy berhasil menggenggam tanganku dan ia berucap, "Bu, aku tidak berselingkuh dengan Mbak Sutri. Kamu ha
"Mbak Lia, saya minta maaf yang sebesar-besarnya karena teledor dalam menjaga murid didik kami. Tadi Kayla di cubit sama budhenya karena Kayla mendorong Arslen sampai jatuh," balas Bu Jesi wali kelas Kayla.Aku memeluk putriku dan membawanya dalam gendongan, "Apa mereka bertengkar, Bu? Saya nggak percaya kalau Kayla berani mendorong temannya tanpa sebab."Bu Jesi nampak terlihat sungkan lalu ia mengakui bahwa dirinya tak ada saat kejadian."Saya enggak ada di saat kejadian itu, Mbak. Saya sudah tanya dengan Mbak Sutri katanya Kayla tiba-tiba mendorong Arslen yang lagi bermain dengan teman lainnya, Mbak Sutri yang tak terima langsung mencubit lengan Kayla. Ibu-Ibu lainnya juga membenarkan ucapan Mbak Sutri," balas Bu Jesi.Aku membuka lengan Kayla yang tertutup telapak tangannya, lengan Kayla berwarna kebiruan sudah di pastikan Mbak Sutri terlalu keras saat mencubit."Lihatlah, Bu, lengan Kayla sampai lembam begini. Sejak kapan Mbak Sutri mencubit, Kayla pasti sudah terlalu lama mena
"Kamu bisa diam enggak, bikin mood makanku hilang saja. Makan sudah enggak enak kamu malah mengganggu suasana saja!!" balas Mas Tedy dengan lantang."Ibu...." Aku mendengar Kayla memanggilku."Dasar suami enggak peka," ucapku dengan ketus. Aku berlalu menuju kamar Kayla, ia pasti terbangun saat mendengar gebrakan meja tadi."Dasar istri enggak pernah bersyukur!!" balas Mas Tedy dengan ketus juga.Aku masuk ke dalam kamar Kayla, ternyata benar ia terbangun dan badannya terlihat menggigil."Sayang, kamu kaget ya. Maafkan Ayah, tadi Ayah enggak sengaja mukul meja dengan keras karena ayam tetangga masuk rumah dan susah di suruh keluar," ucapku memberi alasan agar Kayla tak merasa takut. "Aku mendekap tubuh Kayla yang terasa panas, padahal tadi masih baik-baik saja. "Kamu demam, Sayang?""Kayla takut, Bu," balas Kayla dengan lirih."Takut sama siapa, Sayang? Kan Ayah enggak sengaja." Aku berharap Kayla tak trauma dengan apa yang di lakukan Mbak Sutri."Budhe Sutri jahat, dia menyeramkan.
Aku benar-benar emosi saat mendengar pengakuan si Sutri yang tak sengaja mencubit Kayla. Mana ada orang mencubit tak di sengaja, emangnya dia sudah pikun apa?."Dasar Ibu enggak becus ngurus anak, sedari tadi anaknya nangis manggil-manggil Ibu yang di panggil malah main di rumah orang."Aku menoleh ke belakang dan melihat sosok mas Tedy yang berjalan ke arahku. Raut wajahnya terlihat kesal dan marah, seperti aku telah membuat kesalahan yang begitu besar."Ooh selain pelit, ternyata enggak becus ngurus anak juga tah. Pantas saja anaknya ketularan pelit juga, buah memang jatuh tak jauh dari tempatnya ya," ujar Mbak Sutri. Ia bersedakap dada terlihat santai dan tak merasa bersalah."Memangnya ngapain sih siang-siang kesini, tuh ada orang beli juga. Ayo pulang, Kayla udah nangis terus emang kamu enggak denger apa?!" Mas Tedy tak merespon ucapan si Sutri ia memaksaku untuk pulang.Sebelum aku pulang aku kembali mencubit lengan si Sutri dengan keras, hingga ia menjerit. Lengan si Sutri keme
Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden
Tedy dengan tangan gemetar meraih ponselnya, bersiap menelepon Lia untuk datang dan mendukungnya di kantor. Ia masih yakin, selama Lia ada di pihaknya, semua akan baik-baik saja. Tapi sebelum sempat menekan nomor, pintu kantor terbuka, dan di sanalah Heri bersama Lia masuk dengan wajah tersenyum.Kehadiran mereka membuat ruangan yang tadinya penuh ketegangan seketika menjadi hening. Heri dan Lia terlihat santai, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Keduanya tampak harmonis, bercakap-cakap ringan sambil berjalan masuk.Heri menatap ke arah Excel dan Pak Budi, lalu bertanya dengan nada heran,“Lagi ada apa ini? Kok ramai?”Excel dan Pak Budi saling pandang sejenak sebelum Pak Budi angkat bicara. “Pak Heri, maaf mengganggu, Tedy ini karyawan OB baru, tadi bikin ulah di kantor. Dia datang dan berani mengancam kami semua. Dia bilang mau mengambil alih posisi Anda dan mengusir kami.”Mendengar penjelasan itu, Heri memandang Tedy dengan wajah terkejut. “Apa? Te
Pagi itu, Tedy berdiri di depan cermin di kosannya, memandangi penampilannya yang baru. Lia baru saja membelikannya kemeja putih dan celana panjang hitam yang tampak lebih rapi dari biasanya. Sarapan pun sudah disiapkan oleh Lia dengan penuh perhatian. Tedy merasa seperti raja, yakin bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.Lia tersenyum sambil membereskan sisa sarapan, “Mas Tedy, udah waktunya kamu ambil alih posisi Heri. Kamu lebih pantas dari dia. Aku yakin kamu bisa.”Tedy tersenyum lebar, merasa puas dengan perkataan Lia. Ia mengangguk, mengikat dasinya dengan gaya yang baru saja diajarkan oleh Lia. Dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya, ia merasa siap menaklukkan dunia. Dalam pikirannya, Heri hanyalah langkah kecil menuju kekuasaan yang lebih besar. "Aku udah siap jadi bos, Li," kata Tedy sambil merapikan kemejanya. "Mulai hari ini, semua orang bakal liat siapa yang lebih pantas," imbuhnya lagi.Dengan percaya diri yang tinggi, Tedy melangkah keluar dari
Pagi itu, Tedy terbangun dengan mata yang masih berat. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari sosok Lia yang biasanya selalu ada di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah dinginnya kasur tanpa kehadiran Lia. Ia bangkit setengah terhuyung, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang.Tedy bergumam pelan, “Gila, gue ketiduran sampe siang gini.”Tedy menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, mencoba mengingat kejadian semalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia teringat betapa berbeda malam tadi. Lia benar-benar berbeda, begitu liar dan menggairahkan. Bahkan, ia merasa heran pada dirinya sendiri—senjatanya, yang biasanya hanya bertahan sepuluh menit, kini kuat dan bertahan sepanjang malam. Ia keluar lebih dari sekali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.Tedy tertawa kecil, “Lia emang ganas semalam… tapi kenapa aku bisa sekuat itu, ya?”Tedy mengangkat bahu, tak terlalu memikirkan jawabannya. Baginya, semalam adalah malam yang sempurna. Lia pasti sudah