Setelah pulang dari rumah Mak Sarmi aku langsung mandi, hatiku terasa sangat sakit saat suami yang ku percaya bisa melindungiku justru menyakiti dan memporak porandakan hatiku.
Mereka pikir aku ini budak apa yang bisa di perlakukan semena-mena dan di minta bekerja tanpa diberi upah. Aku mencoba menenangkan diri di kamar mandi, membiarkan air mengalir membasahi tubuhku, seolah-olah bisa menghapus rasa sakit dan kekecewaan yang mengganjal di hatiku. Tapi air mata tak bisa terbendung. Aku terisak, teringat akan semua kepercayaan yang kuberikan pada Mas Tedy dan bagaimana rasanya sebagai istri yang tak pernah di hargai. Setelah selesai mandi, aku duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah cermin. Bayangan diriku yang kusut dan lelah terasa begitu menyedihkan. Bagaimana bisa suamiku sendiri, selalu membela keluarganya meski mereka bersalah di banding aku istrinya. Tak mau berlarut-larut dalam kesedihan, aku memutuskan ke dapur setelah selesai berganti baju. Aku memasak ala kadarnya untuk makan siang, saat Mas Tedy kembali ia langsung membuka tudung saji tetapi dengan cepat menutupnya kembali dan berlalu keluar. Sudah ku pastikan kalau dirinya tidak akan doyan masakan seperti itu. Ntut..!! Ntut...!! Ntut....!! "Ayah, mau beli pentol. Adek minta uang," ujar Kayla berlari menghampiri sang Ayah yang sudah berdiri di depan teras. "Ayah nggak punya uang, Kay, minta Ibumu pasti punya," balas Mas Tedy nampak acuh. Ku lihat Kayla berlari ke arahku dengan wajah yang cemberut dia terlihat sangat terburu-buru. "Ibu, Adek mau jajan pentol, minta duitnya. Cepatan ya, Bu, nanti keburu pergi looh," rengek Kayla. "Iya sebentar ya," balasku. Aku mengambil uang warung yang ada di dalam toples, uang pecahan dua ribu satu lembar itu ku berikan pada Kayla. "Hore," teriak Kayla kegirangan. Dirinya segera berlari keluar menemui pedagang pentol yang berhenti di pinggir jalan. Aku mengawasi Kayla dari dalam warung, tiba-tiba pandangan mataku tertuju kepada Arslen yang tiba-tiba datang dengan mengendarai sepedanya. Ternyata bocah itu sudah lincah naik sepeda. "Len, kamu mau beli pentol enggak," panggil Mas Teddy. Arslen berhenti dan menjawab, "Mau, Om, tapi aku nggak bawa uang." "Sini tak kasih uang buat beli pentol," ujar Mas Tedy. Aku langsung menyoroti Mas Tedy yang terlihat merogoh saku celana kolornya, ia mengambil uang satu lembar berwarna coklat. Arslen mendekat dan mengambil uang itu dengan senang, "Asyik." Hatiku yang merasa kesal kini semakin dongkol dengan sikap Mas Tedy, bisa-bisanya ia bersikap seperti itu kepada putri kandungnya sendiri. Kayla meminta uang bilangnya tidak ada giliran Arslen enggak minta malah dikasih. Arslen sudah berlalu mengendarai sepedanya menuju penjual pentol, dari arah utara terlihat Mbak Sutri membawa tabung gas dan aku bisa menebak dia akan membeli gas isi ulang. Tak membutuhkan waktu lama Mbak Sutri sudah sampai di depan rumahku dan menyapa Mas Tedy. "Nyantai aja kamu, Ted?" "Iya, Mbak, mau beli gas ya," balas Mas Tedy. "Iya nih," ujar Mbak Sutri. Mbak Sutri melangkah mendekat ke arahku lalu mengucapkan apa yang akan di belinya, "Gas, Li, sama minyak goreng satu." "Iya, Mbak, tambah apa lagi?" tanyaku. Aku mengambilkan pesanan Mbak Sutri dan melayaninya dengan baik sama dengan pelanggan lainnya, apalagi dia jarang hutang. Meski hutang sesekali tetapi dia pasti akan mengembalikan bila ku ingatkan. "Udah itu aja," balasnya. "Total tiga puluh sembilan ribu, Mbak." Aku menyebutkan jumlah nominal belanjaan Mbak Sutri, ia membayar dengan uang lima puluh ribu dan menerima kembalian dariku. "Ted, kamu bisa pasangin gasnya nggak? Mas Tarji lagi keluar, aku enggak bisa pasang sendiri?" tanya Mbak Sutri saat hendak pulang. "Bisa, ya sudah ayo aku pasangkan sekarang," balas Mas Tedy dengan cepat. "Eh sekalian sama bawain galonnya ya, soalnya tinggal dikit air minum di rumahku," ujar Mbak Sutri kepada suamiku. Mas Tedy mengangguk sama sekali tak keberatan bila barang bawaannya ditambahi. "Li, ini aku bayar air. Nanti galon kosongnya biar dibawa Tedy sekalian," ujar Mbak Sutri menyerahkan uang sepuluh ribu. Aku menerima uang sepuluh ribu yang di serahkan oleh Mbak Sutri lalu memberinya kembalian empat ribu. Aku menatap tajam ke arah Mas Tedy yang melirikku namun ia terlihat sangat cuek dan membuang muka. Siapa yang tak sakit hati saat istri minta bantuan suami tetapi, suami enggan membantu dengan alasan karena aku sudah terbiasa bisa mengerjakan sendiri. Tetapi saat orang lain meminta bantuan langsung di sanggupi. Tanpa sadar aku sudah mengepalkan kedua tanganku menatap benci ke arah Mas Tedy yang berjalan mengikuti langkah Mbak Sutri. Mas Tedy memikul air galon dan tangan satunya membawa tabung gas, sedangkan Mbak Sutri berjalan santai membawa sebotol minyak goreng. Tidak hanya sekali dua kali aku meminta bantuan Mas Tedy untuk mengangkat galon ke atas meja tetapi dia selalu menolak sehingga aku terbiasa melakukannya sendiri. Pasang gas pun aku juga melakukan sendiri tanpa pernah meminta bantuan darinya. Sudah hampir satu jam Mas Tedy belum juga kembali membuat aku penasaran dengan apa yang sedang mereka lakukan. "Mas Tedy ngapain sih di rumahnya Mbak Sutri kok lama banget," gumamku bertanya-tanya. Meski sangat kesal dengannya tak bisa di pungkiri saat dia tak ada kabar aku masih mengkhawatirkannya. "Bukannya Mas Tarji lagi keluar, apa Mas Tarji sudah pulang ya dan Mas Tedy makan di sana," batinku. Aku yang sangat penasaran, entah kenapa hatiku tiba-tiba terdorong untuk menyusul Mas Tedy. Karena tak ada pembeli aku memutuskan untuk melihat apa yang sedang di lakukan Mas Tedy di rumah Kakaknya. Saat sampai di depan rumah Mas Tarji keadaan terlihat sangat sepi, pintu rumah pun tertutup tidak rapat membuat aku masuk begitu saja. "Mas, Mas Tedy." Aku mendorong pintu untuk masuk ke dalam dan memanggil suamiku. Sepi, tak ada suara apapun. Aku yakin Mas Tarji pasti belum pulang, apalagi di luar hanya ada sandal Mas Tedy dan Mbak Sutri saja. Aku berjalan dengan pelan, entah kenapa jantungku terasa sangat berdebar saat tak menemui suamiku. Aku menuju dapurnya Mbak Sutri karena Mas Tedy ke sini tujuannya memasang gas pasti letaknya di dapur. Saat sampai di ambang pintu dapur aku sangat syok melihat Mbak Sutri dan Mas Tedy sama-sama berdiri. Aku melihat Mbak Sutri bersandar pada dinding dan Mas Tedy membelakangiku "Mas Tedy, Mbak Sutri kalian pada ngapain!!" ujarku berteriak. Aku melihat mereka sedang bercumbu, hatiku terasa nyeri menyaksikan kenyataan di depan mata. Suamiku yang pelit dan dzolim bisa mengkhianati juga.Seketika kedua insan manusia itu terlihat kelabakan, mereka melepaskan diri dengan cara saling menjauh."Lia," ujar Mas Tedy dan Mbak Sutri bersamaan."Apa yang kalian lakukan, kenapa kalian berpelukan dan berciuman kalian main api di belakangku!" tuduhku dengan emosi."Bu-bukan begitu, Bu. Biar aku jelasin semuanya dulu, kami tidak melakukan seperti apa yang kamu tuduhkan," balas Mas Tedy dengan mengelak. Ia terlihat sangat gugup sedangkan Mbak Sutri terus menunduk."Mau jelasin apa lagi, Mas, aku jelas-jelas melihat dengan mata kepalaku sendiri kalian sedang beric**man. Kalian tega berselingkuh, aku akan adukan sama Mas Tarji!" Aku berlari keluar Manahan rasa sakit dan kecewa di dalam hati. Rasa kecewa atas sikap Mas Tedy kini semakin membuncah setelah melihat kenyataan ini."Bu, tunggu." Aku menoleh kebelakang dan melihat Mas Tedy berlari mengejarku.Saat sampai di rumah, Mas Tedy berhasil menggenggam tanganku dan ia berucap, "Bu, aku tidak berselingkuh dengan Mbak Sutri. Kamu ha
"Mbak Lia, saya minta maaf yang sebesar-besarnya karena teledor dalam menjaga murid didik kami. Tadi Kayla di cubit sama budhenya karena Kayla mendorong Arslen sampai jatuh," balas Bu Jesi wali kelas Kayla.Aku memeluk putriku dan membawanya dalam gendongan, "Apa mereka bertengkar, Bu? Saya nggak percaya kalau Kayla berani mendorong temannya tanpa sebab."Bu Jesi nampak terlihat sungkan lalu ia mengakui bahwa dirinya tak ada saat kejadian."Saya enggak ada di saat kejadian itu, Mbak. Saya sudah tanya dengan Mbak Sutri katanya Kayla tiba-tiba mendorong Arslen yang lagi bermain dengan teman lainnya, Mbak Sutri yang tak terima langsung mencubit lengan Kayla. Ibu-Ibu lainnya juga membenarkan ucapan Mbak Sutri," balas Bu Jesi.Aku membuka lengan Kayla yang tertutup telapak tangannya, lengan Kayla berwarna kebiruan sudah di pastikan Mbak Sutri terlalu keras saat mencubit."Lihatlah, Bu, lengan Kayla sampai lembam begini. Sejak kapan Mbak Sutri mencubit, Kayla pasti sudah terlalu lama mena
"Kamu bisa diam enggak, bikin mood makanku hilang saja. Makan sudah enggak enak kamu malah mengganggu suasana saja!!" balas Mas Tedy dengan lantang."Ibu...." Aku mendengar Kayla memanggilku."Dasar suami enggak peka," ucapku dengan ketus. Aku berlalu menuju kamar Kayla, ia pasti terbangun saat mendengar gebrakan meja tadi."Dasar istri enggak pernah bersyukur!!" balas Mas Tedy dengan ketus juga.Aku masuk ke dalam kamar Kayla, ternyata benar ia terbangun dan badannya terlihat menggigil."Sayang, kamu kaget ya. Maafkan Ayah, tadi Ayah enggak sengaja mukul meja dengan keras karena ayam tetangga masuk rumah dan susah di suruh keluar," ucapku memberi alasan agar Kayla tak merasa takut. "Aku mendekap tubuh Kayla yang terasa panas, padahal tadi masih baik-baik saja. "Kamu demam, Sayang?""Kayla takut, Bu," balas Kayla dengan lirih."Takut sama siapa, Sayang? Kan Ayah enggak sengaja." Aku berharap Kayla tak trauma dengan apa yang di lakukan Mbak Sutri."Budhe Sutri jahat, dia menyeramkan.
Aku benar-benar emosi saat mendengar pengakuan si Sutri yang tak sengaja mencubit Kayla. Mana ada orang mencubit tak di sengaja, emangnya dia sudah pikun apa?."Dasar Ibu enggak becus ngurus anak, sedari tadi anaknya nangis manggil-manggil Ibu yang di panggil malah main di rumah orang."Aku menoleh ke belakang dan melihat sosok mas Tedy yang berjalan ke arahku. Raut wajahnya terlihat kesal dan marah, seperti aku telah membuat kesalahan yang begitu besar."Ooh selain pelit, ternyata enggak becus ngurus anak juga tah. Pantas saja anaknya ketularan pelit juga, buah memang jatuh tak jauh dari tempatnya ya," ujar Mbak Sutri. Ia bersedakap dada terlihat santai dan tak merasa bersalah."Memangnya ngapain sih siang-siang kesini, tuh ada orang beli juga. Ayo pulang, Kayla udah nangis terus emang kamu enggak denger apa?!" Mas Tedy tak merespon ucapan si Sutri ia memaksaku untuk pulang.Sebelum aku pulang aku kembali mencubit lengan si Sutri dengan keras, hingga ia menjerit. Lengan si Sutri keme
Aku berjalan keluar menghampiri lelaki pegawai bank keliling."Ada apa ya, Mas?" tanyaku. Aku sudah menebak pasti yang di lontarkan pertanyaan seperti biasa. Aku menoleh ke arah Mas Tedy serta kedua kakak iparku yang duduk di kursi ruang tamu, expresi mereka seperti menanti apa yang bakal terjadi kepadaku."Bu Lasmini kok enggak ada di rumah ya, Mbak, padahal sudah ku telpon biar standby di rumah. Aku juga sudah menunggu selama satu jam tapi sepertinya di sedang keluar. Maaf mengganggu waktumu, Mbak, tadi aku mau bertanya sama suamimu saja tapi dia malah masuk dan manggil kamu," ujar lelaki itu.Sudah ku duga kan dia akan bertanya tentang kemana perginya Yu Lasmini, tetangga kami yang terlilit hutang itu. Aku juga enggak tahu dari mana lelaki itu bisa ngerti namaku padahal kami enggak pernah berkenalan."Aku juga enggak lihat sih, Mas, tadi sebelum Dzuhur dia juga ke sini mau ngutang tapi aku enggak mau kasih." Aku menyampaikan apa adanya, saat ini sudah sekitar jam dua-nan."Ooh begi
Waktu sore terasa begitu lama saat di nanti-nantikan, aku sibukkan dengan bermain bersama anak-anak. Tak ku pedulikan Mas Tedy yang turus menyindirku gila, bahkan tawa si Sutri yang sedang bergosip di rumah Mak Sarmi begitu terdengar nyaring di telingaku."Besok malam Ibu dapat jatah yasinan, kamu bantu masak-masak ya," ucap Mak Sarmi kepada Mbak Sutri."Haduh, Mak, yasinan itu kan masak banyak banget nanti kuku panjangku bisa patah, kutekku juga luntur. Mamak lupa kalau punya menantu yang rajin dan pintar masak," balas Mbak Sutri sembari memainkan kukunya.Karena rumah kami yang bersebelahan tentu saja aku bisa mendengar obrolan mereka. Seperti biasa kalau ada acara apapun seperti yasinan, ngadain syukuran dan lainnya aku di pinta Mak Sarmi layaknya pembantu di rumahnya."Kamu bantu nyicipin aja seperti biasa," ujar Mak Sarmi. Mereka tertawa bersama seolah-olah obrolan mereka itu lucu."Li, Lia...!" Mak Sarmi memanggilku, aku hanya menoleh karena sudah menduga apa yang akan di perint
* Apabila sesuatu hal yang kau senangi ternyata tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi padamu.* _______ Aku tak memperdulikan Si Sutri yang terus merengek di lengan Mak Sarmi. Aku mengajak Kayla untuk mencoba motor baru. "Sayang, ayo kita nyari Kak Shaka," ujarku pada Kayla. "Asyik," balas Kayla kegirangan. Aku meninggalkan orang-orang yang menatapku dengan tatapan tak suka, dan aku tak mau peduli dengan hal itu. Dalam perjalanan aku tersenyum menyapa tetangga yang kebetulan bertemu. "Ibu, itu Kakak." Kayla menunjuk ke arah samping kiri dimana ada tiga anak lelaki yang berjalan kaki. "Ooh iya," balasku. Aku membelokkan sepeda motor ke arah Shaka dan kedua temannya. "Ya Allah, Kak, kamu enggak ingat waktu apa. Ini udah hampir magrib baru pulang, enggak ngaji lagi kamu!" ucapku dengan nada tegas. Memang seperti inilah aku setiap hari di pusingkan dengan kelakuan putraku, di saat anak lainnya sudah berangkat ngaji anakku justru baru pulang dari main. Dan ini akan membu
Aku segera masuk ke dalam kamar putraku meminta Shaka untuk mengemasi barangnya. Aku juga mengemasi barangku sendiri dan barang milik Kayla. "Kita mau kemana, Bu?" tanya Shaka. "Kita mau menginap di rumah Mbah Koko," balasku. "Tapi kenapa barangnya harus dibawa semua, memangnya kita akan menginap berapa lama?" tanya Shaka lagi. "Sudahlah, Kak, kemasi aja dan bawa semua barang-barang kamu. Kita akan tinggal di rumah Mbah Koko, disana kita jauh lebih di hargai dari pada disini," balasku. Shaka menurut dan tak bertanya apapun lagi, aku berada di rumah sendiri serasa di rumah majikan, lebih baik tinggal bersama orang tuaku. Setelah di sana aku berencana akan membuka usaha kecil-kecilan entah itu apa yang penting tidak membebani orang tua. Aku mendengar obrolan Mas Tedy dan keluarganya di ruang tamu namun aku tak mau peduli. Biarlah mereka puas menghinaku, menuduhku yang bukan-bukan dan membucarakanku sepuasnya. "Ted, istrimu pasti habis maling, mana mungkin Lia yang cuma di rumah
Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden
Tedy dengan tangan gemetar meraih ponselnya, bersiap menelepon Lia untuk datang dan mendukungnya di kantor. Ia masih yakin, selama Lia ada di pihaknya, semua akan baik-baik saja. Tapi sebelum sempat menekan nomor, pintu kantor terbuka, dan di sanalah Heri bersama Lia masuk dengan wajah tersenyum.Kehadiran mereka membuat ruangan yang tadinya penuh ketegangan seketika menjadi hening. Heri dan Lia terlihat santai, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Keduanya tampak harmonis, bercakap-cakap ringan sambil berjalan masuk.Heri menatap ke arah Excel dan Pak Budi, lalu bertanya dengan nada heran,“Lagi ada apa ini? Kok ramai?”Excel dan Pak Budi saling pandang sejenak sebelum Pak Budi angkat bicara. “Pak Heri, maaf mengganggu, Tedy ini karyawan OB baru, tadi bikin ulah di kantor. Dia datang dan berani mengancam kami semua. Dia bilang mau mengambil alih posisi Anda dan mengusir kami.”Mendengar penjelasan itu, Heri memandang Tedy dengan wajah terkejut. “Apa? Te
Pagi itu, Tedy berdiri di depan cermin di kosannya, memandangi penampilannya yang baru. Lia baru saja membelikannya kemeja putih dan celana panjang hitam yang tampak lebih rapi dari biasanya. Sarapan pun sudah disiapkan oleh Lia dengan penuh perhatian. Tedy merasa seperti raja, yakin bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.Lia tersenyum sambil membereskan sisa sarapan, “Mas Tedy, udah waktunya kamu ambil alih posisi Heri. Kamu lebih pantas dari dia. Aku yakin kamu bisa.”Tedy tersenyum lebar, merasa puas dengan perkataan Lia. Ia mengangguk, mengikat dasinya dengan gaya yang baru saja diajarkan oleh Lia. Dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya, ia merasa siap menaklukkan dunia. Dalam pikirannya, Heri hanyalah langkah kecil menuju kekuasaan yang lebih besar. "Aku udah siap jadi bos, Li," kata Tedy sambil merapikan kemejanya. "Mulai hari ini, semua orang bakal liat siapa yang lebih pantas," imbuhnya lagi.Dengan percaya diri yang tinggi, Tedy melangkah keluar dari
Pagi itu, Tedy terbangun dengan mata yang masih berat. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari sosok Lia yang biasanya selalu ada di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah dinginnya kasur tanpa kehadiran Lia. Ia bangkit setengah terhuyung, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang.Tedy bergumam pelan, “Gila, gue ketiduran sampe siang gini.”Tedy menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, mencoba mengingat kejadian semalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia teringat betapa berbeda malam tadi. Lia benar-benar berbeda, begitu liar dan menggairahkan. Bahkan, ia merasa heran pada dirinya sendiri—senjatanya, yang biasanya hanya bertahan sepuluh menit, kini kuat dan bertahan sepanjang malam. Ia keluar lebih dari sekali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.Tedy tertawa kecil, “Lia emang ganas semalam… tapi kenapa aku bisa sekuat itu, ya?”Tedy mengangkat bahu, tak terlalu memikirkan jawabannya. Baginya, semalam adalah malam yang sempurna. Lia pasti sudah