Aku berjalan keluar menghampiri lelaki pegawai bank keliling."Ada apa ya, Mas?" tanyaku. Aku sudah menebak pasti yang di lontarkan pertanyaan seperti biasa. Aku menoleh ke arah Mas Tedy serta kedua kakak iparku yang duduk di kursi ruang tamu, expresi mereka seperti menanti apa yang bakal terjadi kepadaku."Bu Lasmini kok enggak ada di rumah ya, Mbak, padahal sudah ku telpon biar standby di rumah. Aku juga sudah menunggu selama satu jam tapi sepertinya di sedang keluar. Maaf mengganggu waktumu, Mbak, tadi aku mau bertanya sama suamimu saja tapi dia malah masuk dan manggil kamu," ujar lelaki itu.Sudah ku duga kan dia akan bertanya tentang kemana perginya Yu Lasmini, tetangga kami yang terlilit hutang itu. Aku juga enggak tahu dari mana lelaki itu bisa ngerti namaku padahal kami enggak pernah berkenalan."Aku juga enggak lihat sih, Mas, tadi sebelum Dzuhur dia juga ke sini mau ngutang tapi aku enggak mau kasih." Aku menyampaikan apa adanya, saat ini sudah sekitar jam dua-nan."Ooh begi
Waktu sore terasa begitu lama saat di nanti-nantikan, aku sibukkan dengan bermain bersama anak-anak. Tak ku pedulikan Mas Tedy yang turus menyindirku gila, bahkan tawa si Sutri yang sedang bergosip di rumah Mak Sarmi begitu terdengar nyaring di telingaku."Besok malam Ibu dapat jatah yasinan, kamu bantu masak-masak ya," ucap Mak Sarmi kepada Mbak Sutri."Haduh, Mak, yasinan itu kan masak banyak banget nanti kuku panjangku bisa patah, kutekku juga luntur. Mamak lupa kalau punya menantu yang rajin dan pintar masak," balas Mbak Sutri sembari memainkan kukunya.Karena rumah kami yang bersebelahan tentu saja aku bisa mendengar obrolan mereka. Seperti biasa kalau ada acara apapun seperti yasinan, ngadain syukuran dan lainnya aku di pinta Mak Sarmi layaknya pembantu di rumahnya."Kamu bantu nyicipin aja seperti biasa," ujar Mak Sarmi. Mereka tertawa bersama seolah-olah obrolan mereka itu lucu."Li, Lia...!" Mak Sarmi memanggilku, aku hanya menoleh karena sudah menduga apa yang akan di perint
* Apabila sesuatu hal yang kau senangi ternyata tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi padamu.* _______ Aku tak memperdulikan Si Sutri yang terus merengek di lengan Mak Sarmi. Aku mengajak Kayla untuk mencoba motor baru. "Sayang, ayo kita nyari Kak Shaka," ujarku pada Kayla. "Asyik," balas Kayla kegirangan. Aku meninggalkan orang-orang yang menatapku dengan tatapan tak suka, dan aku tak mau peduli dengan hal itu. Dalam perjalanan aku tersenyum menyapa tetangga yang kebetulan bertemu. "Ibu, itu Kakak." Kayla menunjuk ke arah samping kiri dimana ada tiga anak lelaki yang berjalan kaki. "Ooh iya," balasku. Aku membelokkan sepeda motor ke arah Shaka dan kedua temannya. "Ya Allah, Kak, kamu enggak ingat waktu apa. Ini udah hampir magrib baru pulang, enggak ngaji lagi kamu!" ucapku dengan nada tegas. Memang seperti inilah aku setiap hari di pusingkan dengan kelakuan putraku, di saat anak lainnya sudah berangkat ngaji anakku justru baru pulang dari main. Dan ini akan membu
Aku segera masuk ke dalam kamar putraku meminta Shaka untuk mengemasi barangnya. Aku juga mengemasi barangku sendiri dan barang milik Kayla. "Kita mau kemana, Bu?" tanya Shaka. "Kita mau menginap di rumah Mbah Koko," balasku. "Tapi kenapa barangnya harus dibawa semua, memangnya kita akan menginap berapa lama?" tanya Shaka lagi. "Sudahlah, Kak, kemasi aja dan bawa semua barang-barang kamu. Kita akan tinggal di rumah Mbah Koko, disana kita jauh lebih di hargai dari pada disini," balasku. Shaka menurut dan tak bertanya apapun lagi, aku berada di rumah sendiri serasa di rumah majikan, lebih baik tinggal bersama orang tuaku. Setelah di sana aku berencana akan membuka usaha kecil-kecilan entah itu apa yang penting tidak membebani orang tua. Aku mendengar obrolan Mas Tedy dan keluarganya di ruang tamu namun aku tak mau peduli. Biarlah mereka puas menghinaku, menuduhku yang bukan-bukan dan membucarakanku sepuasnya. "Ted, istrimu pasti habis maling, mana mungkin Lia yang cuma di rumah
*Bukan masalah jika saat ini kita gagal. Tidak pula rugi jika impian belum jadi kenyataan. Asalkan kita tidak berhenti dan terus berjalan, berjuang, dan berusaha. Yakin, sukses menanti kita di masa depan.* _______ Aku mengangguk membenarkan ucapan Bapak, entah kenapa respon Bapak seperti itu apa beliau marah atau tak menerima kalau anaknya ini berstatus janda. "Tapi kenapa? Apa salah kamu hingga Tedy menceraikanmu, Nduk?" kini Mamak ikut bertanya. Aku menceritakan semua tentang masalah rumah tanggaku yang telah terjadi beberapa tahun terakhir ini. Aku juga menceritakan kalau aku mempunyai uang dari hasil menulis jadi aku tak perlu memusingkan bagaimana cara mencukupi kedua anakku. "Masya Allah, apa benar sebanyak itu, Nduk?" Mamak tertegun mendengar nominal yang ku sebutkan. "Enggeh, Mak, setelah gaji yang dari aplikasi satunya cair aku berencana ingin membuka warung sembako di sini. Semoga Bapak mau membantuku untuk membuat warung. Aku tak mau hanya mengandalkan gaji penulis ka
Setelah keluar aku melihat seorang lelaki memakai peci berdiri di depan pintu."Kang Doper, ada apa ya?" tanyaku setelah memastikan lelaki itu."Loh ada Lia toh, ku kira Bapak dan Mamakmu di rumah karena pintunya terbuka," balas lelaki itu."Iya, Kang, aku sekarang mau tinggal di sini sama anak-anak, kalau Bapak dan Mamak di kebun belum pulang," balasku menjelaskan."Lah kok mau tinggal disini memangnya udah enggak tinggal sama suamimu lagi. Sebenarnya aku ada perlu sama orang tuamu tapi mereka enggak ada, ku titipin sama kamu aja ya," ujar Kang Doper."Enggeh, Kang, mau nitip apa? Nanti biar ku sampaikan sama Mamak dan Bapak," balasku. Aku sengaja tak merespon tentang mantan suamiku."Ini dapat undangan dari Pak Sugi nanti malam, beliau mau mengadakan syukuran anaknya karena berhasil lulus sebagai dokter," ujar Kang Doper sembari menyerahkan kertas undangan."Anaknya pak Sugi tuh yang mana ya, Kang? Apa yang sulung?" tanyaku berbasa basi."Iya, Li, yang Heru itu loh, yang kuliah di
"Bapak belum pulang ya, Mak?" tanyaku."Bapak nganterin srikaya ke rumahnya Mas Joko," balas Mamak.Rupanya Mamak dan Bapak habis panen buah srikaya, dan di jual di pengepul sayuran."La enggak di ambil Mas Joko di kebun tah," ujarku."Enggak, cuma dapat satu karung. Lagian srikaya murah banget, Nduk, kalau kamu mau itu di ember ada udah matang dari pohonnya," ujar Mamak menunjuk ember yang tadi di bawanya ke kebun."Nanti saja lah, Mak, memang Mamak mau buat apa kok ngupas singkong?" tanyaku."Kamu itu dari dulu emang enggak suka srikaya padahal buah gratis." Mamak menggeleng-gelengkan kepala."Mau buat kelenyem, tadi dapat singkong dua karung udah di ambil Mbah Surip, Mamak bawa pulang sedikit buat cemilan," imbuh Mamak.Mbah Surip tetangga Mamak yang selalu membeli singkong, singkong itu aka
Bapak berdiri dan masuk ke dalam, tak lama setelah itu Bapak membawa kendi dan gelas lalu menuang air kendi ke dalam gelas hingga penuh.Bapak menyodorkan gelas itu dan berucap, "Minumlah, kalau makan mbokya pelan-pelan to, Nduk."Aku menerima gelas itu, meneguknya hingga kandas. Dada yang tadinya terasa sesak kini sudah lega, aku menatap ke arah Ibu meminta penjelasan atas perkataannya. Atau justru aku yang hanya salah dengar."Mamak enggak salah ngomong kan? Bukannya Heri udah punya istri?" tanyaku memastikan setelah meletakkan gelas di atas meja. Perutku mendadak kenyang padahal baru makan tiga suap."Iya, tapi beliau melamarmu untuk Heri. Kabar berita tentang kamu yang berstatus janda sudah menyebar di rumah Pak Sugi tadi," balas Mamak.Aku mengernyitkan dahi menatap Mamak ingin bertanya siapa yang menyebarkan berita itu sehingga begitu cepat sekali t
Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden
Tedy dengan tangan gemetar meraih ponselnya, bersiap menelepon Lia untuk datang dan mendukungnya di kantor. Ia masih yakin, selama Lia ada di pihaknya, semua akan baik-baik saja. Tapi sebelum sempat menekan nomor, pintu kantor terbuka, dan di sanalah Heri bersama Lia masuk dengan wajah tersenyum.Kehadiran mereka membuat ruangan yang tadinya penuh ketegangan seketika menjadi hening. Heri dan Lia terlihat santai, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Keduanya tampak harmonis, bercakap-cakap ringan sambil berjalan masuk.Heri menatap ke arah Excel dan Pak Budi, lalu bertanya dengan nada heran,“Lagi ada apa ini? Kok ramai?”Excel dan Pak Budi saling pandang sejenak sebelum Pak Budi angkat bicara. “Pak Heri, maaf mengganggu, Tedy ini karyawan OB baru, tadi bikin ulah di kantor. Dia datang dan berani mengancam kami semua. Dia bilang mau mengambil alih posisi Anda dan mengusir kami.”Mendengar penjelasan itu, Heri memandang Tedy dengan wajah terkejut. “Apa? Te
Pagi itu, Tedy berdiri di depan cermin di kosannya, memandangi penampilannya yang baru. Lia baru saja membelikannya kemeja putih dan celana panjang hitam yang tampak lebih rapi dari biasanya. Sarapan pun sudah disiapkan oleh Lia dengan penuh perhatian. Tedy merasa seperti raja, yakin bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.Lia tersenyum sambil membereskan sisa sarapan, “Mas Tedy, udah waktunya kamu ambil alih posisi Heri. Kamu lebih pantas dari dia. Aku yakin kamu bisa.”Tedy tersenyum lebar, merasa puas dengan perkataan Lia. Ia mengangguk, mengikat dasinya dengan gaya yang baru saja diajarkan oleh Lia. Dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya, ia merasa siap menaklukkan dunia. Dalam pikirannya, Heri hanyalah langkah kecil menuju kekuasaan yang lebih besar. "Aku udah siap jadi bos, Li," kata Tedy sambil merapikan kemejanya. "Mulai hari ini, semua orang bakal liat siapa yang lebih pantas," imbuhnya lagi.Dengan percaya diri yang tinggi, Tedy melangkah keluar dari
Pagi itu, Tedy terbangun dengan mata yang masih berat. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari sosok Lia yang biasanya selalu ada di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah dinginnya kasur tanpa kehadiran Lia. Ia bangkit setengah terhuyung, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang.Tedy bergumam pelan, “Gila, gue ketiduran sampe siang gini.”Tedy menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, mencoba mengingat kejadian semalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia teringat betapa berbeda malam tadi. Lia benar-benar berbeda, begitu liar dan menggairahkan. Bahkan, ia merasa heran pada dirinya sendiri—senjatanya, yang biasanya hanya bertahan sepuluh menit, kini kuat dan bertahan sepanjang malam. Ia keluar lebih dari sekali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.Tedy tertawa kecil, “Lia emang ganas semalam… tapi kenapa aku bisa sekuat itu, ya?”Tedy mengangkat bahu, tak terlalu memikirkan jawabannya. Baginya, semalam adalah malam yang sempurna. Lia pasti sudah