Setelah kepergian mas Tedy aku berganti mengeluarkan sepeda motor yang akan aku bawa ke pasar. Aku menata Bronjong dan tas sangkek yang akan aku bawa ke pasar juga.
Aku segera membangunkan Kayla untuk mengajaknya mandi dan berangkat sekolah. Shaka juga sudah selesai mandi, dia sudah bisa menyiapkan semua kebutuhannya sendiri. Tepat jam tujuh kurang sepuluh menit kami sudah bersiap untuk berangkat. Kayla duduk di depan dan Shaka duduk di atas bronjong. Aku melihat Mbak Sutri berangkat bersama Arslen, mbak Sutri nampak memakai baju baru dan Arslen membawa mobilan di tangannya. "Kayla, ayo buruan nanti telat," sapa mbak Sutri menyapa kami. Aku hanya mengangguk sembari menatapnya. Baru saja kemarin mas Tarji bilang tidak punya uang tetapi kenapa hari ini Mbak Sutri nampak memakai baju baru dan Arslen punya mainan baru. Kenapa aku bisa tahu, ya karena rumah kami bersebelahan hanya terhalang rumah Mak Sarmi saja sedangkan mbak Sutri sering datang ke rumahku. Kemarin mas Tarji datang lagi meminta hutang uang dan janjinya akan di bayar setelah mendapat uang dari hasil panen kebunnya. Kebun mas Tarji juga di garap orang lain dia hanya menerima tiga puluh persennya saja. Aku tak mau memikirkan masalah itu berlarut-larut, aku segera menstater sepeda motorku dan siap berangkat. Tak sampai lima belas menit kami sudah sampai di sekolahan Shaka. "Ibuk, mau beli telur gulung," rengek Kayla. "Ya udah kita beli dulu, setelah ini sekolah yang pintar ya Ibu mau belanja dulu di pasar. "Asyik, nanti beliin stroberi ya, Buk," pinta putriku. Meskipun uangku pas-pasan namun aku tetap membelikan pesanan putriku. "Iya," balasku sembari tersenyum merasa gemas dengan wajah imut Kayla. Setelah telur gulung pesananku udah jadi kamu berangkat menuju sekolahan Kayla. Aku mengantarkannya sampai di dalam kelas. "Eeh, ini mas asli loh. Kemaren aku dapat uang arisan tiga juta aku langsung beliin kalung sama gelang. Bagus kan, bagus kan. Arslen juga minta mobilan remote baru." Aku mendengar suara yang nggak asing di telingaku, aku segera mengintip kelas sebelah yang termasuk kelas TK B. Aku mengintip dari kelas Kayla, kelas ini ada pintu yang menghubungkan kelas A dan kelas B. Aku melihat Mbak Sutri sedang memarkan gelang serta kalung kepada Ibu-Ibu wali murid, karena kelas belum masuk jadi Ibu-Ibu belum keluar. Tadi saat mbak Sutri melewatiku aku tak nggeh karena dia memakai baju lengan panjang. Aku segera mendekati mbak Sutri dan ikut mengamati kalung serta gelangnya. Aku tersenyum miris, tentu saja dia menipu banyak orang karena aku bisa membedakan mana emas asli dan emas imitasi karena sebelum berjualan sembako aku jualan online termasuk emas imitasi. "Oohh mbak Sutri habis dapat arisan, kalau gitu bidang dong balikin kalung Kayla yang waktu itu kamu pinjam. Sekalian uang kemarin yang mas Tarji pinjam juga." Aku menimbrung obrolan mereka. "Ya ampun, Lia, kamu tega banget sih menagih hutang di sini." Mbak Sutri terlihat gugup dan segera berdiri dari duduknya. "Lah punya hutang, dapat arisan bukannya buat bayar hutang malah buat bergaya gimana sih kamu, Sut," ucap salah satu wali murid. Mimik wajah Mbak Sutri berubah, ia terlihat jelas menyimpan kesal kepadaku dan merasa tak enak hati dengan wali murid lainnya. Kemarin mas Tarji meminjam duit seratus ribu kepada mas Tedy karena memang mas Tedy nggak punya uang dan aku nggak mau ngasih jadi mas Tedy mengambil beras sepuluh kilo dan meminta mas Tarji menjualnya. Ternyata uang itu buat bayar arisan dan dia yang menang. "Li, kamu nggak usah cari masalah deh. Bukannya kata mas Tarji, suamimu tuh ngasih secara cuma-cuma ya. Dia bantuin masnya yang nggak bisa kerja dengan baik, kok kamu tega sih memintanya lagi. Kata Tedy barang dan uang yang di berikan untuk kami tuh sedekah jadi aku mau-mau saja menerimanya, tapi kenapa kamu nagih sebagai hutang. Kalau dari awal aku tahu itu hutang aku nggak mau Nerima loh." Aku merasa kesal sebab ucapan mbak Sutri membuat para wali murid itu beralih menatapku. Bagaimana bisa mbak Sutri berbicara seperti itu dengan nada yang memelas lagi. "Ayo Ibu-Ibu segera keluar karena sudah jam tujuh, anak-anak harus segera masuk." Salah satu seorang guru menegur kami untuk segera keluar. "Ingat ya, Mbak, aku nggak pernah memberikan uangku atau kalungku sama Kayla secara cuma-cuma untukmu. Kamu saja yang ke-PD-an. Mas Tarji datang dengan menyebut hutang, jadi hutang tetap hutang. Aku nggak pernah ikhlas, kalau kamu nggak membayarnya!!" Aku memberi peringatan kepada mbak Sutri. Aku segera menuju kelas Kayla lagi untuk berpamitan. Guru kelas Kayla juga sudah masuk. "Li." Aku menoleh karena ada yang memanggilku. "Iya, Tari, ada apa??" tanyaku. "Apa bener yang kamu katakan tadi, kalau suamimu sering ngasih sedekah sama Masnya tang cacat itu?!" "Sebenarnya sih nggak sedekah, Tar, tapi suamiku emang kayak gitu. Masnya minta hutang tapi nggak pernah di bayar dia diam aja." "Sabar ya, Li, semoga kamu selalu di lancarkan usahamu dan rezkimu. Setiap hari iparmu tuh jelekin kamu terus padahal kalau ada kamu dia sok-sokan baik sama kamu." "Ooh benarkah, ya udah lah nggak apa-apa. Mulut-mulut dia kok, yang penting aku kerja buat nafkah kedua anakku." Tari ini ibu-ibu wali murid yang enggan di dekati wali murid lainnya dengan alasan dia orang yang nggak punya dan penampilannya selalu kurang menarik. "Aku berangkat dulu ya, Tar, nanti kalau kesiangan barang-barang di pasar juga pada habis." Aku segera meninggalkan Tari setelah dia mengangguk. Aku menuju dimana sepeda motorku parkir. "Ehh Lia, kalau sedekah tuh jangan diminta lagi biar jadi barokah. Sedekah dengan saudara itu pahalanya besar, nanti kamu pasti akan mendapat Rezki yang berlipat ganda. Bahkan kalau kamu ikhlas dan rajin bersedekah sama saudara di jamin kamu bakalan kaya." Wali murid kelas B itu memanggilku dengan ceramah. "Amin... Makasih doanya, Mbak, semoga ada malaikat lewat dan mengabulkan doanya sampean." Aku segera menstater sepeda motor matic ku meninggalkan parkiran itu. Aku tak peduli saat tatapan mbak Sutri terlihat sinis ke arahku. Saat sampai di rumah aku melihat mas Tedy sudah sampai di rumah, mukanya terlihat masam entah apa yang telah terjadi pada dirinya. "Kamu udah pulang, Mas?" tanyaku. Aku mencoba mencari tahu apa yang membuat dirinya terlihat masam begitu."Kamu kenapa nggak mampir ke kebun di tungguin lontong sayurnya malah nggak ada mampir. Cepat ambilin lontongnya," balas Mas Tedy. Oalah berarti cuma masalah lontong sayur aku kira ada masalah serius yang terjadi saat dia berada di kebun. "Nggak ada, Mas, aku nggak beli karena uangnya udah habis buat belanja, kalau pesen sesuatu harusnya kamu peka. Ngasih duit aja enggak kok," ujarku dengan santai. Aku berlalu masuk untuk mengajak Kayla berganti baju. Bruak!!! Aku mendengar suara benda yang di banting, Mas Tedy entah membanting apa aku tak tahu. "Bu, kamu jadi istri kok pelit banget. Sama suami sendiri perhitungannya sampai segitu, dasar istri medit!!" ucap Mas Tedy dengan pedas. Ia menyambar handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. "Lah, dia yang medit malah nuduh aku yang medit. Dasar suami dzholim tapi merasa terdzolimi," batinku dalam hati. **** Hari ini hari Minggu, aku ikut membantu mas Tedy untuk menggiling jagung. Dari jam setengah empat pagi aku sudah sibuk memas
Setelah pulang dari rumah Mak Sarmi aku langsung mandi, hatiku terasa sangat sakit saat suami yang ku percaya bisa melindungiku justru menyakiti dan memporak porandakan hatiku. Mereka pikir aku ini budak apa yang bisa di perlakukan semena-mena dan di minta bekerja tanpa diberi upah. Aku mencoba menenangkan diri di kamar mandi, membiarkan air mengalir membasahi tubuhku, seolah-olah bisa menghapus rasa sakit dan kekecewaan yang mengganjal di hatiku. Tapi air mata tak bisa terbendung. Aku terisak, teringat akan semua kepercayaan yang kuberikan pada Mas Tedy dan bagaimana rasanya sebagai istri yang tak pernah di hargai. Setelah selesai mandi, aku duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah cermin. Bayangan diriku yang kusut dan lelah terasa begitu menyedihkan. Bagaimana bisa suamiku sendiri, selalu membela keluarganya meski mereka bersalah di banding aku istrinya. Tak mau berlarut-larut dalam kesedihan, aku memutuskan ke dapur setelah selesai berganti baju. Aku memasak ala kadar
Seketika kedua insan manusia itu terlihat kelabakan, mereka melepaskan diri dengan cara saling menjauh."Lia," ujar Mas Tedy dan Mbak Sutri bersamaan."Apa yang kalian lakukan, kenapa kalian berpelukan dan berciuman kalian main api di belakangku!" tuduhku dengan emosi."Bu-bukan begitu, Bu. Biar aku jelasin semuanya dulu, kami tidak melakukan seperti apa yang kamu tuduhkan," balas Mas Tedy dengan mengelak. Ia terlihat sangat gugup sedangkan Mbak Sutri terus menunduk."Mau jelasin apa lagi, Mas, aku jelas-jelas melihat dengan mata kepalaku sendiri kalian sedang beric**man. Kalian tega berselingkuh, aku akan adukan sama Mas Tarji!" Aku berlari keluar Manahan rasa sakit dan kecewa di dalam hati. Rasa kecewa atas sikap Mas Tedy kini semakin membuncah setelah melihat kenyataan ini."Bu, tunggu." Aku menoleh kebelakang dan melihat Mas Tedy berlari mengejarku.Saat sampai di rumah, Mas Tedy berhasil menggenggam tanganku dan ia berucap, "Bu, aku tidak berselingkuh dengan Mbak Sutri. Kamu ha
"Mbak Lia, saya minta maaf yang sebesar-besarnya karena teledor dalam menjaga murid didik kami. Tadi Kayla di cubit sama budhenya karena Kayla mendorong Arslen sampai jatuh," balas Bu Jesi wali kelas Kayla.Aku memeluk putriku dan membawanya dalam gendongan, "Apa mereka bertengkar, Bu? Saya nggak percaya kalau Kayla berani mendorong temannya tanpa sebab."Bu Jesi nampak terlihat sungkan lalu ia mengakui bahwa dirinya tak ada saat kejadian."Saya enggak ada di saat kejadian itu, Mbak. Saya sudah tanya dengan Mbak Sutri katanya Kayla tiba-tiba mendorong Arslen yang lagi bermain dengan teman lainnya, Mbak Sutri yang tak terima langsung mencubit lengan Kayla. Ibu-Ibu lainnya juga membenarkan ucapan Mbak Sutri," balas Bu Jesi.Aku membuka lengan Kayla yang tertutup telapak tangannya, lengan Kayla berwarna kebiruan sudah di pastikan Mbak Sutri terlalu keras saat mencubit."Lihatlah, Bu, lengan Kayla sampai lembam begini. Sejak kapan Mbak Sutri mencubit, Kayla pasti sudah terlalu lama mena
"Kamu bisa diam enggak, bikin mood makanku hilang saja. Makan sudah enggak enak kamu malah mengganggu suasana saja!!" balas Mas Tedy dengan lantang."Ibu...." Aku mendengar Kayla memanggilku."Dasar suami enggak peka," ucapku dengan ketus. Aku berlalu menuju kamar Kayla, ia pasti terbangun saat mendengar gebrakan meja tadi."Dasar istri enggak pernah bersyukur!!" balas Mas Tedy dengan ketus juga.Aku masuk ke dalam kamar Kayla, ternyata benar ia terbangun dan badannya terlihat menggigil."Sayang, kamu kaget ya. Maafkan Ayah, tadi Ayah enggak sengaja mukul meja dengan keras karena ayam tetangga masuk rumah dan susah di suruh keluar," ucapku memberi alasan agar Kayla tak merasa takut. "Aku mendekap tubuh Kayla yang terasa panas, padahal tadi masih baik-baik saja. "Kamu demam, Sayang?""Kayla takut, Bu," balas Kayla dengan lirih."Takut sama siapa, Sayang? Kan Ayah enggak sengaja." Aku berharap Kayla tak trauma dengan apa yang di lakukan Mbak Sutri."Budhe Sutri jahat, dia menyeramkan.
Aku benar-benar emosi saat mendengar pengakuan si Sutri yang tak sengaja mencubit Kayla. Mana ada orang mencubit tak di sengaja, emangnya dia sudah pikun apa?."Dasar Ibu enggak becus ngurus anak, sedari tadi anaknya nangis manggil-manggil Ibu yang di panggil malah main di rumah orang."Aku menoleh ke belakang dan melihat sosok mas Tedy yang berjalan ke arahku. Raut wajahnya terlihat kesal dan marah, seperti aku telah membuat kesalahan yang begitu besar."Ooh selain pelit, ternyata enggak becus ngurus anak juga tah. Pantas saja anaknya ketularan pelit juga, buah memang jatuh tak jauh dari tempatnya ya," ujar Mbak Sutri. Ia bersedakap dada terlihat santai dan tak merasa bersalah."Memangnya ngapain sih siang-siang kesini, tuh ada orang beli juga. Ayo pulang, Kayla udah nangis terus emang kamu enggak denger apa?!" Mas Tedy tak merespon ucapan si Sutri ia memaksaku untuk pulang.Sebelum aku pulang aku kembali mencubit lengan si Sutri dengan keras, hingga ia menjerit. Lengan si Sutri keme
Aku berjalan keluar menghampiri lelaki pegawai bank keliling."Ada apa ya, Mas?" tanyaku. Aku sudah menebak pasti yang di lontarkan pertanyaan seperti biasa. Aku menoleh ke arah Mas Tedy serta kedua kakak iparku yang duduk di kursi ruang tamu, expresi mereka seperti menanti apa yang bakal terjadi kepadaku."Bu Lasmini kok enggak ada di rumah ya, Mbak, padahal sudah ku telpon biar standby di rumah. Aku juga sudah menunggu selama satu jam tapi sepertinya di sedang keluar. Maaf mengganggu waktumu, Mbak, tadi aku mau bertanya sama suamimu saja tapi dia malah masuk dan manggil kamu," ujar lelaki itu.Sudah ku duga kan dia akan bertanya tentang kemana perginya Yu Lasmini, tetangga kami yang terlilit hutang itu. Aku juga enggak tahu dari mana lelaki itu bisa ngerti namaku padahal kami enggak pernah berkenalan."Aku juga enggak lihat sih, Mas, tadi sebelum Dzuhur dia juga ke sini mau ngutang tapi aku enggak mau kasih." Aku menyampaikan apa adanya, saat ini sudah sekitar jam dua-nan."Ooh begi
Waktu sore terasa begitu lama saat di nanti-nantikan, aku sibukkan dengan bermain bersama anak-anak. Tak ku pedulikan Mas Tedy yang turus menyindirku gila, bahkan tawa si Sutri yang sedang bergosip di rumah Mak Sarmi begitu terdengar nyaring di telingaku."Besok malam Ibu dapat jatah yasinan, kamu bantu masak-masak ya," ucap Mak Sarmi kepada Mbak Sutri."Haduh, Mak, yasinan itu kan masak banyak banget nanti kuku panjangku bisa patah, kutekku juga luntur. Mamak lupa kalau punya menantu yang rajin dan pintar masak," balas Mbak Sutri sembari memainkan kukunya.Karena rumah kami yang bersebelahan tentu saja aku bisa mendengar obrolan mereka. Seperti biasa kalau ada acara apapun seperti yasinan, ngadain syukuran dan lainnya aku di pinta Mak Sarmi layaknya pembantu di rumahnya."Kamu bantu nyicipin aja seperti biasa," ujar Mak Sarmi. Mereka tertawa bersama seolah-olah obrolan mereka itu lucu."Li, Lia...!" Mak Sarmi memanggilku, aku hanya menoleh karena sudah menduga apa yang akan di perint
Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden
Tedy dengan tangan gemetar meraih ponselnya, bersiap menelepon Lia untuk datang dan mendukungnya di kantor. Ia masih yakin, selama Lia ada di pihaknya, semua akan baik-baik saja. Tapi sebelum sempat menekan nomor, pintu kantor terbuka, dan di sanalah Heri bersama Lia masuk dengan wajah tersenyum.Kehadiran mereka membuat ruangan yang tadinya penuh ketegangan seketika menjadi hening. Heri dan Lia terlihat santai, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Keduanya tampak harmonis, bercakap-cakap ringan sambil berjalan masuk.Heri menatap ke arah Excel dan Pak Budi, lalu bertanya dengan nada heran,“Lagi ada apa ini? Kok ramai?”Excel dan Pak Budi saling pandang sejenak sebelum Pak Budi angkat bicara. “Pak Heri, maaf mengganggu, Tedy ini karyawan OB baru, tadi bikin ulah di kantor. Dia datang dan berani mengancam kami semua. Dia bilang mau mengambil alih posisi Anda dan mengusir kami.”Mendengar penjelasan itu, Heri memandang Tedy dengan wajah terkejut. “Apa? Te
Pagi itu, Tedy berdiri di depan cermin di kosannya, memandangi penampilannya yang baru. Lia baru saja membelikannya kemeja putih dan celana panjang hitam yang tampak lebih rapi dari biasanya. Sarapan pun sudah disiapkan oleh Lia dengan penuh perhatian. Tedy merasa seperti raja, yakin bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.Lia tersenyum sambil membereskan sisa sarapan, “Mas Tedy, udah waktunya kamu ambil alih posisi Heri. Kamu lebih pantas dari dia. Aku yakin kamu bisa.”Tedy tersenyum lebar, merasa puas dengan perkataan Lia. Ia mengangguk, mengikat dasinya dengan gaya yang baru saja diajarkan oleh Lia. Dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya, ia merasa siap menaklukkan dunia. Dalam pikirannya, Heri hanyalah langkah kecil menuju kekuasaan yang lebih besar. "Aku udah siap jadi bos, Li," kata Tedy sambil merapikan kemejanya. "Mulai hari ini, semua orang bakal liat siapa yang lebih pantas," imbuhnya lagi.Dengan percaya diri yang tinggi, Tedy melangkah keluar dari
Pagi itu, Tedy terbangun dengan mata yang masih berat. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari sosok Lia yang biasanya selalu ada di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah dinginnya kasur tanpa kehadiran Lia. Ia bangkit setengah terhuyung, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang.Tedy bergumam pelan, “Gila, gue ketiduran sampe siang gini.”Tedy menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, mencoba mengingat kejadian semalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia teringat betapa berbeda malam tadi. Lia benar-benar berbeda, begitu liar dan menggairahkan. Bahkan, ia merasa heran pada dirinya sendiri—senjatanya, yang biasanya hanya bertahan sepuluh menit, kini kuat dan bertahan sepanjang malam. Ia keluar lebih dari sekali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.Tedy tertawa kecil, “Lia emang ganas semalam… tapi kenapa aku bisa sekuat itu, ya?”Tedy mengangkat bahu, tak terlalu memikirkan jawabannya. Baginya, semalam adalah malam yang sempurna. Lia pasti sudah