Baru saja Valeria meninggalkan Marvelion dan juga Sofia. Dia hendak masuk ke ruang pertemuan tadi tapi tiba-tiba tubuhnya terangkat ke udara.Valeria terpekik karena kaget. Tangan kekar sudah menggendongnya ala bridal style pergi dari tempat itu."Salvatore! Apa yang kamu lakukan?"Pria itu tak menjawab. Wajah dinginnya terlihat tak bersahabat. Entah apa yang mengacaukan suasana hatinya."Salvatore aku mau kembali ke ruang pertemuan," kata Valeria lagi."Pertemuan sudah selesai."Hanya itu yang dilontarkan dari mulut Salvatore. Meskipun Valeria merengek untuk minta di turunkan dari gendongannya, dia tidak mengidahkan hal itu.Mata Valeria membulat saat Salvatore berjalan begitu saja melewati kamar Valeria. Langkah kaki Salvatore terus berjalan sampai di depan sebuah kamar."Salvatore! Kamu membawaku kemana? Kamarku ada di sana!"Salvatore dengan mudahnya membuka kamarnya sendiri lalu membawa Valeria masuk ke dalam. Dia mengunci pintu itu, karena tahu Valeria pasti akan kabur.Tanpa ba
Angin malam menghembus dengan kencang. Antonio merapatkan jaket hitamnya. Pria itu sedang melakukan tugas dari Salvatore untuk mengawal pasukan dalam sebuah transakasi.Antonio menatap gudang tua di depan mereka, tempat yang disepakati untuk malam ini. Bau garam dari pelabuhan tercium tajam, dan udara dingin malam itu membuatnya merasa semakin tidak nyaman."Jangan lengah," katanya kepada anak buahnya, tangannya menggenggam erat senjata di balik jaketnya.Ketika truk besar memasuki area, lampu depannya menerangi pintu gudang yang terbuka. Seorang pria berbadan besar turun dari truk, diikuti oleh beberapa anak buahnya yang membawa peti kayu besar. Antonio memberi isyarat pada anak buahnya untuk mendekat."Kita lakukan ini cepat," kata pria itu, suaranya berat dan tajam.Antonio hanya mengangguk, membuka tas besar berisi uang tunai. Dia berjalan mendekat, kini berada tepat dihadapan pria itu. Antonio merasakan ada yang tidak beres dengannya saat pria itu menyeringai."Berikan uang itu t
Valeria terbangun dari tidurnya. Matanya langsung disuguhkan dengan pemandangan Salvatore yang sudah rapi dengan setetan jas berwarna hitam."Sudah bangun? Kenapa tidak membangunkan aku?" Valeria duduk di tepi ranjang."Ini masih sangat awal, kamu bisa kembali tidur. Aku ada beberapa urusan yang harus diselesaikan sebelum pergi ke lapangan.""Apa kamu terbiasa bangun pagi?""Hm," jawab Salvatore yang masih sibuk membenarkan dasinya.Valeria tak menyangka, dibalik wajah dingin, sikap yang tegas, dan semua kesuksesannya ini. Salvatore adalah orang yang sangat disiplin dan terstruktur."Harusnya, aku sarapan denganmu. Tapi aku tidak punya banyak waktu."Valeria berjalan mendekatinya. "Santai saja, aku akan sarapan dengan Mona dan Morgan."Tangan Salvatore berhenti bergerak. Dia langsung menoleh ke arah Valeria sambil menatapnya tajam. "Aku tidak suka dengan Morgan.""Pfft! Dia sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri.""Itu kan kamu, bukan dia. Aku jelas tahu apa yang dia pikirkan tentan
Valeria pergi ke proyek bersama Mona dan Morgan. Tempat proyek itu berlangsung sangat tidak jauh dari hotel yang mereka tempati.Hari ini sinar matahari cukup terik di atas kepala mereka. Membuat peluh menetes dari dahi masing-masing. Mona terlihat kegerahan, sesekali mengibaskan tangannya untuk menyejukkan diri. Namun, Valeria dan Morgan tetap terlihat tenang bahkan sangat profesional."Rencana ini bisa dilaksanakan jika bengunan sudah selesai, Nyonya," kata pekerja proyek."Tentu saja, terimakasih atas kerja kerasnya hari ini. Kami akan sering-sering datang untuk melihat perkembangan."Valeria menjabat tangan pria itu lalu beranjak pergi dari sana. Dia melihat Salvatore sedang berbincang dengan Anderson. Mereka tampak serius, membuat Valeria memilih untuk tidak mendekat."Nyonya Valeria," sapa Anderson membuat valeria mau tak mau harus mendatangi mereka untuk menyapa."Pak Anderson, Tuan Salvatore," sapa balik Valeria.Salvatore terlihat dingin menanggapi Valeria. Kebingungan terlih
"Salvatore, aku ...,""Aku tidak akan memaksamu," kata Salvatore sambil mengusap pipi Valeria.Dengan sengaja, Valeria menarik tengkuk Salvatore ke arahnya untuk mencium bibir Salvatore. Tak bisa dipungkiri jika Valeria juga sangat menginginkan Salvatore, tapi di dalam hatinya masih ragu untuk berhubungan dengan pria.Salvatore membalas ciuman Valeria yang tampak ragu-ragu. Dia mengusap pipi Valeria dengan lembut, memberikan kenyamanan untuk Valeria.Lagipula, meskipun Salvatore sangat ingin, dia tidak akan memaksa jika batin Valeria masih belum bisa menerimanya. Kali ini, Salvatore merasakan hanya tubuh Valeria yang membutuhkannya.Lidah mereka saling beradu dan menyecap satu sama lain. Suara erangan tertahan Valeria menghiasai ruangan itu.Tangan Salvatore tak tinggal diam, dia mengelus tubuh Valeria dari balik bathrobe yang sudah dia singkap ke samping. Tubuh halus Valeria kini berada di bawah kulitnya.Usapan lembut tangan Salvatore menjelajahi perut Valeria lalu perlahan naik ke
"Salvatore, aku ...,""Aku tidak akan memaksamu," kata Salvatore sambil mengusap pipi Valeria.Dengan sengaja, Valeria menarik tengkuk Salvatore ke arahnya untuk mencium bibir Salvatore. Tak bisa dipungkiri jika Valeria juga sangat menginginkan Salvatore, tapi di dalam hatinya masih ragu untuk berhubungan dengan pria.Salvatore membalas ciuman Valeria yang tampak ragu-ragu. Dia mengusap pipi Valeria dengan lembut, memberikan kenyamanan untuk Valeria.Lagipula, meskipun Salvatore sangat ingin, dia tidak akan memaksa jika batin Valeria masih belum bisa menerimanya. Kali ini, Salvatore merasakan hanya tubuh Valeria yang membutuhkannya.Lidah mereka saling beradu dan menyecap satu sama lain. Suara erangan tertahan Valeria menghiasai ruangan itu.Tangan Salvatore tak tinggal diam, dia mengelus tubuh Valeria dari balik bathrobe yang sudah dia singkap ke samping. Tubuh halus Valeria kini berada di bawah kulitnya.Usapan lembut tangan Salvatore menjelajahi perut Valeria lalu perlahan naik ke
Langkah kaki Valeria berjalan mendekat ke arah meja di mana Salvatore duduk. Dia dengan kesal menaruh pantatnya di atas kursi."Aku pikir kamu tidak datang, karena tidak membalas pesanku," ucap pria tersebut.Valeria tidak menjawab dan tiba-tiba saja mengambil air mineral yang ada di atas meja. Dia membasuh tenggorokannya yang tiba-tiba kering setelah bertemu dengan Julian dan juga yang lainnya."Ada sesuatu yang terjadi saat kamu datang ke sini?" tanya Salvatore dengan tenang.Jawaban tak segera diberikan oleh Valeria. Dia justru menatap lekat Salvatore."Mau pergi denganku?" tanya Valeria."Kemana?""Beli bikini."Bukannya terkejut, Salvatore justru menyandarkan punggungnya. "Untuk pesta kolam renang yang diadakan Julian?"Valeria sengaja melebarkan kedua bola matanya. "Kamu tahu itu?""Dia baru saja mengundangku.""Kamu datang?""Tidak.""Kenapa tidak?" tanya Valeria penasaran."Aku tidak membuang-buang waktuku untuk hal-hal seperti itu."Valeria berdecih lalu ikut menyandarkan pun
Sore semakin petang saat Valeria menatap pantulan dirinya di cermin. Bikini yang dipilihnya malam ini terlihat sempurna di tubuhnya. Membuat Valeria tersenyum sendiri saat melihat pantulan tubuhnya.Valeria mengenakan bikini dua potong berwarna oranye terang yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Bagian atasnya berupa bra segitiga kecil dengan tali tipis yang diikat di belakang leher dan punggung, memperlihatkan belahan dada yang indah dan kulitnya yang bercahaya.Detail ornamen bintang yang menghiasi bagian atas bikini memberikan kesan glamor dan playful, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Bagian bawahnya adalah celana bikini rendah yang minimalis, dengan tali yang halus di sisi pinggulnya, menonjolkan perubahan drastis pada tubuhnya yang kini tampak lebih ramping dan kencang.Ia memutar sedikit badannya, memperhatikan bagaimana lekukan tubuhnya kini berbeda dari satu tahun yang lalu. Tubuh yang dulu dipenuhi keraguan, kini menjadi kebanggaan. Setiap tetes keringat ya
Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da
Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba
Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t
Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi
Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa
Kamar tidur itu terasa hangat dengan cahaya lembut yang memancar dari lampu meja. Udara malam yang sejuk menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang mengalir seperti ombak tenang. Di depan cermin besar yang terpasang di dinding, Valeria berdiri dengan ekspresi frustrasi.Tangannya sibuk menarik-narik gaun berwarna pastel yang kini tampak terlalu ketat di bagian perutnya yang membuncit. Pakaian lain berserakan di sekitar kakinya, menandakan betapa keras usahanya untuk menemukan sesuatu yang nyaman dikenakan."Kenapa sih nggak ada satu pun yang muat? Apa aku harus pakai bajunya Aunty Giulia aja mulai sekarang?" Valeria mengomel sendiri, wajahnya berkerut lucu.Pintu kamar berderit pelan, dan Salvatore muncul di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun sorot matanya dipenuhi rasa cinta yang mendalam.Setelah percakapannya dengan Lorenzo di tepi kolam, perasaannya seolah memuncak—seakan ada benang merah yang mengikat hatinya lebih erat kepada Valeria. Rasa
Malam merambat pelan, membawa kesunyian yang menenangkan di sekitar rumah keluarga Morreti. Angin sepoi-sepoi membelai permukaan kolam renang, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di tepi kolam itu, Salvatore duduk di bangku kayu, membiarkan pikirannya melayang.Bersama semua kegugupan dan ketakutannya, akhirnya dia merasa lega. Keluarga Valeria menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu embel-embel masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Namun, di tengah kelegaan itu, terselip perasaan kosong—seperti ada bagian dirinya yang masih hilang di dalam kabut ingatan yang gelap."Kau sendirian di sini?"Suara berat namun lembut itu membuat Salvatore menoleh. Lorenzo berdiri di belakangnya, membawa dua gelas wine di tangannya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik mata yang bijak itu, ada rasa lelah yang terpendam."Ya, aku hanya ..., mencoba menenangkan diri dan mencari udara segar." Salvatore tersenyum tipis.Lorenzo menyerahkan salah satu gelas wine kepada Salvatore dan
Sebuah mobil hitam mengawal perjalanan Salvatore menuju ke kediaman Morreti dan rombongan lainnya kembali ke markas. Morgan yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik Salvatore lewat kaca spion, melihat pria itu menggigit bibir bawahnya, tanda jelas kegugupan."Hei, tenang saja." Morgan membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Keluarga Valeria tidak menggigit, kok."Salvatore menghela napas panjang. "Itu bukan masalahnya. Aku tidak ingat apa-apa. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"Valeria, yang duduk di samping Salvatore, menggenggam tangannya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan mencintaimu, Salvatore. Lagipula, aku di sini bersamamu."Salvatore menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh keyakinan Valeria. Perlahan, kegugupannya sedikit mereda."Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya?" bisik Salvatore, suaranya penuh harap."Tidak akan." Valeria tersenyum lembut.Morgan sedikit merinding dan tertawa geli diam-diam. Salv