Valeria pergi ke proyek bersama Mona dan Morgan. Tempat proyek itu berlangsung sangat tidak jauh dari hotel yang mereka tempati.Hari ini sinar matahari cukup terik di atas kepala mereka. Membuat peluh menetes dari dahi masing-masing. Mona terlihat kegerahan, sesekali mengibaskan tangannya untuk menyejukkan diri. Namun, Valeria dan Morgan tetap terlihat tenang bahkan sangat profesional."Rencana ini bisa dilaksanakan jika bengunan sudah selesai, Nyonya," kata pekerja proyek."Tentu saja, terimakasih atas kerja kerasnya hari ini. Kami akan sering-sering datang untuk melihat perkembangan."Valeria menjabat tangan pria itu lalu beranjak pergi dari sana. Dia melihat Salvatore sedang berbincang dengan Anderson. Mereka tampak serius, membuat Valeria memilih untuk tidak mendekat."Nyonya Valeria," sapa Anderson membuat valeria mau tak mau harus mendatangi mereka untuk menyapa."Pak Anderson, Tuan Salvatore," sapa balik Valeria.Salvatore terlihat dingin menanggapi Valeria. Kebingungan terlih
"Salvatore, aku ...,""Aku tidak akan memaksamu," kata Salvatore sambil mengusap pipi Valeria.Dengan sengaja, Valeria menarik tengkuk Salvatore ke arahnya untuk mencium bibir Salvatore. Tak bisa dipungkiri jika Valeria juga sangat menginginkan Salvatore, tapi di dalam hatinya masih ragu untuk berhubungan dengan pria.Salvatore membalas ciuman Valeria yang tampak ragu-ragu. Dia mengusap pipi Valeria dengan lembut, memberikan kenyamanan untuk Valeria.Lagipula, meskipun Salvatore sangat ingin, dia tidak akan memaksa jika batin Valeria masih belum bisa menerimanya. Kali ini, Salvatore merasakan hanya tubuh Valeria yang membutuhkannya.Lidah mereka saling beradu dan menyecap satu sama lain. Suara erangan tertahan Valeria menghiasai ruangan itu.Tangan Salvatore tak tinggal diam, dia mengelus tubuh Valeria dari balik bathrobe yang sudah dia singkap ke samping. Tubuh halus Valeria kini berada di bawah kulitnya.Usapan lembut tangan Salvatore menjelajahi perut Valeria lalu perlahan naik ke
"Salvatore, aku ...,""Aku tidak akan memaksamu," kata Salvatore sambil mengusap pipi Valeria.Dengan sengaja, Valeria menarik tengkuk Salvatore ke arahnya untuk mencium bibir Salvatore. Tak bisa dipungkiri jika Valeria juga sangat menginginkan Salvatore, tapi di dalam hatinya masih ragu untuk berhubungan dengan pria.Salvatore membalas ciuman Valeria yang tampak ragu-ragu. Dia mengusap pipi Valeria dengan lembut, memberikan kenyamanan untuk Valeria.Lagipula, meskipun Salvatore sangat ingin, dia tidak akan memaksa jika batin Valeria masih belum bisa menerimanya. Kali ini, Salvatore merasakan hanya tubuh Valeria yang membutuhkannya.Lidah mereka saling beradu dan menyecap satu sama lain. Suara erangan tertahan Valeria menghiasai ruangan itu.Tangan Salvatore tak tinggal diam, dia mengelus tubuh Valeria dari balik bathrobe yang sudah dia singkap ke samping. Tubuh halus Valeria kini berada di bawah kulitnya.Usapan lembut tangan Salvatore menjelajahi perut Valeria lalu perlahan naik ke
Langkah kaki Valeria berjalan mendekat ke arah meja di mana Salvatore duduk. Dia dengan kesal menaruh pantatnya di atas kursi."Aku pikir kamu tidak datang, karena tidak membalas pesanku," ucap pria tersebut.Valeria tidak menjawab dan tiba-tiba saja mengambil air mineral yang ada di atas meja. Dia membasuh tenggorokannya yang tiba-tiba kering setelah bertemu dengan Julian dan juga yang lainnya."Ada sesuatu yang terjadi saat kamu datang ke sini?" tanya Salvatore dengan tenang.Jawaban tak segera diberikan oleh Valeria. Dia justru menatap lekat Salvatore."Mau pergi denganku?" tanya Valeria."Kemana?""Beli bikini."Bukannya terkejut, Salvatore justru menyandarkan punggungnya. "Untuk pesta kolam renang yang diadakan Julian?"Valeria sengaja melebarkan kedua bola matanya. "Kamu tahu itu?""Dia baru saja mengundangku.""Kamu datang?""Tidak.""Kenapa tidak?" tanya Valeria penasaran."Aku tidak membuang-buang waktuku untuk hal-hal seperti itu."Valeria berdecih lalu ikut menyandarkan pun
Sore semakin petang saat Valeria menatap pantulan dirinya di cermin. Bikini yang dipilihnya malam ini terlihat sempurna di tubuhnya. Membuat Valeria tersenyum sendiri saat melihat pantulan tubuhnya.Valeria mengenakan bikini dua potong berwarna oranye terang yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Bagian atasnya berupa bra segitiga kecil dengan tali tipis yang diikat di belakang leher dan punggung, memperlihatkan belahan dada yang indah dan kulitnya yang bercahaya.Detail ornamen bintang yang menghiasi bagian atas bikini memberikan kesan glamor dan playful, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Bagian bawahnya adalah celana bikini rendah yang minimalis, dengan tali yang halus di sisi pinggulnya, menonjolkan perubahan drastis pada tubuhnya yang kini tampak lebih ramping dan kencang.Ia memutar sedikit badannya, memperhatikan bagaimana lekukan tubuhnya kini berbeda dari satu tahun yang lalu. Tubuh yang dulu dipenuhi keraguan, kini menjadi kebanggaan. Setiap tetes keringat ya
Morgan dan Mona saling memandang dengan khawatir di depan tempat diadakannya pesta kolam renang Julian. Mereka tahu Valeria sedang di dalam pesta kolam renang itu, dan mereka tidak bisa membiarkannya sendirian. Terlalu banyak orang asing yang datang—pengusaha, rekan bisnis Julian, dan pria-pria yang mungkin punya niat tidak baik. Valeria memang mampu menjaga dirinya sendiri, tapi mereka tetap merasa harus ada di sisinya, apalagi Morgan.“Kita harus masuk,” kata Mona tegas, meski sedikit ragu dengan keputusan ini. “Aku tidak nyaman membiarkan Valeria di sana sendirian. Terlalu banyak pria yang akan memperhatikan dia.”“Tapi masalahnya,” kata Mona sambil menatap petugas keamanan di pintu masuk, “kita tidak bisa masuk dengan pakaian ini.”Keduanya melihat ke bawah, pada pakaian kerja formal yang mereka kenakan. Mona dengan rok pensilnya, dan Morgan dengan kemeja yang rapi. Pesta ini jelas memiliki aturan berpakaian yang ketat—bikini atau pakaian renang. Tidak ada yang diizinkan masuk tan
Pesta semakin ramai dengan tamu yang terus berdatangan, musik yang semakin keras, dan suasana yang semakin menggila. Namun, di antara keramaian itu, Morgan tetap siaga. Matanya tak pernah lepas dari Valeria. Ia tahu betul bagaimana banyak pria di pesta ini tak hanya tertarik pada kecantikan Valeria, tapi juga bermaksud mendekat lebih dari sekadar berbicara.Beberapa kali, Morgan harus berdiri di antara Valeria dan pria-pria yang mendekat dengan niat yang tak sepenuhnya baik. Seorang pria berotot yang mabuk mencoba menggoda Valeria dengan cara kasar, menyentuh pundaknya dengan sikap yang terlalu akrab. Dengan cepat, Morgan berdiri di antara mereka, tatapannya dingin. “Maaf, tapi Valeria tidak tertarik,” katanya tegas.Pria itu mundur dengan kesal, melirik Morgan sebelum berbalik dan pergi. Tapi tidak lama kemudian, ada lagi yang mencoba mendekat. Kali ini, seorang pria lain mencoba menyenggol Valeria dengan sengaja, mengundang tawa dari teman-temannya. Morgan dengan cepat meraih lengan
Mona dan Valeria menepi dari keramaian pesta, mencari tempat yang lebih tenang di dekat meja minuman. Suasana pesta semakin ramai, musik terus berdentum, namun di sudut tersebut mereka bisa sejenak menarik napas."Aish! Kau tau? Aku sebenarnya ingin segera pergi dari sini," kata Valeria."Padahal anda tidak perlu datang ke tempat ini, Nyonya. Tuan Morgan sangat mengkhawatirkan anda."Valeria mengibas udara di depannya. "Dia selalu begitu kepadaku, padahal aku bisa menjaga diriku sendiri. Tapi, menyenangkan melihat wajah Julian yang seperti orang kikuk."Mona sedang menuangkan minuman untuk Valeria, sementara Valeria duduk santai dengan senyuman puas, merasa senang malam itu berjalan lancar. Semua mata tertuju padanya, dan ia merasa menang. Namun, suasana damai itu tidak bertahan lama.Dari arah kerumunan, Margareta muncul bersama Sofia. Keduanya melangkah mendekat dengan ekspresi tidak bersahabat, terutama Margareta yang menatap Valeria dengan sorot iri. “Wow, Valeria, kau benar-benar
Matahari siang di Milan menyinari jendela kamar rumah sakit, menciptakan bayangan lembut di lantai keramik putih. Sofia duduk di tepi ranjangnya, jemarinya gemetar saat merapikan pakaian ke dalam koper kecil. Tubuhnya sudah membaik, dan sesuai keputusan pengadilan, hari ini dia harus kembali ke penjara.Isabella, ibunya, dengan sabar membantu melipat baju dan memasukkannya ke dalam koper. Namun, keheningan di antara mereka terasa berat.Tak ada lagi percakapan ringan atau tawa seperti dulu. Hanya suara gesekan kain dan resleting koper yang mengisi ruangan.Pintu kamar terbuka perlahan. Julian, muncul di ambang pintu dengan ekspresi datar. "Mom, dokter memanggilmu," katanya singkat.Isabella menoleh, sejenak ragu. "Julian, tolong bantu adikmu berkemas, ya? Mommy akan segera kembali."Tanpa menunggu jawaban, Isabella melangkah keluar, meninggalkan Julian dan Sofia berdua.Julian mengambil alih koper, tangannya dengan terampil memasukkan barang-barang Sofia tanpa suara. Gerakannya efisie
Musim semi di Jepang selalu memancarkan pesona tersendiri. Bunga sakura yang bermekaran, angin sepoi-sepoi yang membawa harum bunga, dan sinar matahari yang hangat menyelimuti halaman rumah sakit.Valeria duduk di kursi roda, menikmati pemandangan itu dengan senyum tipis di wajahnya. Firgo mendorong kursi rodanya perlahan, memastikan Valeria merasa nyaman."Indah, ya?" gumam Valeria, matanya tak lepas dari kelopak bunga sakura yang beterbangan tertiup angin."Memang," jawab Firgo. "Seindah keberanianmu malam itu. Kau tahu, aku masih tidak habis pikir kenapa kau begitu nekat."Valeria menoleh, keningnya sedikit berkerut. "Kau marah padaku?""Bukan marah." Firgo menghela napas. "Lebih ke jengkel. Kau tidak memikirkan keselamatanmu sendiri dan itu membuat panik seluruh pasukan saat melihatmu berlari ke arah Tuan Salvatore dan menodong pria yang menyerangnya dengan pistol. Tapi ..., aku salut. Kau benar-benar berbeda dari kebanyakan wanita."Valeria tersenyum. "Aku hanya melakukan apa yan
Antonio berdiri di samping brankar tidurnya, tubuhnya yang masih dipenuhi perban bergerak perlahan saat dia mengganti pakaian rumah sakit dengan setelan kasual. Luka-luka di tubuhnya masih terlihat jelas, namun dia sepertinya tidak terganggu dengan itu. Pintu kamar rawat terbuka perlahan, dan Salvatore masuk dengan langkah hati-hati."Kau sudah mau pergi?" tanya Salvatore dengan nada khawatir.Antonio tersenyum tipis. "Aku sudah terlalu lama di sini. Ada banyak hal yang harus kuurus."Salvatore berjalan mendekat, meski kakinya masih gemetar, ia mencoba menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. "Biar aku yang bantu. Apa yang bisa kulakukan?""Tidak perlu." Antonio menggeleng pelan, memasukkan kemejanya ke dalam celana. "Kau percayalah padaku. Aku akan mengurus semuanya. Saat ini, yang perlu kau lakukan adalah fokus pada kesembuhanmu."Salvatore menghela napas. "Tapi—""Jangan khawatir." Antonio menepuk bahu Salvatore, "kita sudah sejauh ini. Kau hanya perlu pulih dulu. Biar aku yang jaga se
Sinar matahari sore menembus jendela rumah sakit, memberikan kilau hangat di ruangan putih yang biasanya terasa dingin. Salvatore mendorong pintu perlahan, mencoba tidak membuat suara yang mengganggu. Matanya langsung tertuju pada Valeria, yang masih terbaring di ranjangnya dengan wajah pucat namun tersenyum manis begitu melihatnya."Hei," sapa Salvatore dengan lembut.Valeria langsung menoleh ke arahnya dan tersenyum ceria. Senyuman itu—senyuman yang sejak dulu selalu membuatnya merasa tenang, Salvatore mengingat rasa itu. Namun senyuman itu kini justru membuat dadanya berdegup lebih kencang.Valeria membalas sapaan itu dengan suara pelan. "Kau kembali.""Ya, bagaimana keadaanmu? Merasa lebih baik?"Valeria mengangguk pelan. "Hm, lebih baik daripada kemarin."Salvatore mengangkat kantong belanja di tangannya. "Aku membawakanmu makanan dan buah-buahan. Juga susu vanilla, seperti yang kau inginkan."Tatapan Valeria berbinar. "Susu vanilla? Kau ingat?"Salvatore tersipu, meletakkan bara
Firgo mengetuk pintu kamar rawat inap Valeria sebelum masuk. Wajahnya tenang, tetapi matanya menyiratkan kekhawatiran. Dia menyerahkan telepon genggamnya kepada Valeria. "Morgan ingin bicara."Valeria mengangkat alis, "Oh, sepertinya akan ada sesi ceramah gratis."Begitu telepon menempel di telinganya, suara Morgan langsung terdengar—keras dan penuh emosi."Valeria! Apa yang kau pikirkan?! Pergi tanpa bilang apa-apa, ikut operasi berbahaya dalam keadaan hamil pula! Kau tahu betapa gilanya aku mencari-cari kabar tentangmu?!"Valeria menarik napas panjang, memegang telepon dengan satu tangan, sementara tangan lainnya dengan lembut mengelus perutnya yang masih terasa perih. "Aku baik-baik saja, Morgan. Kau tidak perlu berteriak begitu.""Jangan bilang aku tidak perlu berteriak! Kau pikir ini lelucon? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?! Dan bayi itu?!" Di ujung sana Morgan sedang mondar-mandir di lobi markas Il Leone d'Ombra.Senyum kecil menghiasi wajah Valeria. "Bayi ini baik-baik s
Valeria membuka matanya perlahan. Cahaya lampu kamar rawat terasa menyilaukan, tetapi bukan itu yang membuatnya tercekat. Di sampingnya, Salvatore duduk dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Tatapan pria itu tajam, tetapi terselip kegelisahan yang sulit disembunyikan."Salvatore ...." Suara Valeria serak, hampir berbisik. "Bagaimana dengan bayiku?"Begitu mendengar suaranya, Salvatore langsung menggenggam tangannya erat. "Kau sudah sadar? Dia ..., baik-baik saja."Valeria menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Rasa sakit di perutnya masih terasa, tetapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang membuat dadanya sesak—haru, rindu, dan kelegaan yang begitu mendalam.Salvatore ada di sini.Tangannya gemetar saat dia mengangkatnya, menyentuh pipi pria itu dengan lembut. "Aku ..., aku pikir aku tak akan pernah melihatmu lagi." Suaranya pecah dalam isakan kecil.Salvatore mengeraskan rahangnya, menahan emosinya sendiri. "Aku di sini. Aku ..., tidak akan ke mana-mana."Air mata Valeria ak
Malam di Milan terasa dingin. Julian berjalan keluar dari rumah sakit dengan langkah tenang, tetapi pikirannya kacau. Ibunya masih di dalam, menjaga Sofia—adiknya yang telah menghancurkan hidupnya. Sang ayah, Giovani, bahkan tak peduli lagi dengan keluarga mereka sejak nama besar Ricci runtuh.Saat Julian hendak berjalan ke mobilnya, suara familiar menghentikan langkahnya."Julian?"Dia mendesah pelan, lalu menoleh. Margareta berdiri tak jauh darinya, mengenakan mantel mahal yang dulu mungkin ia beli dari uang Julian sendiri. Wajah wanita itu masih sama—cantik, angkuh, penuh percaya diri. Tapi Julian tak lagi melihatnya seperti dulu."Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya datar.Margareta tersenyum, mendekatinya dengan langkah gemulai. "Aku kebetulan lewat. Lalu aku melihatmu ..., jadi aku ingin menyapa."Julian mengangkat alis. "Kebetulan lewat di rumah sakit, malam-malam begini?" Nada suaranya terdengar sarkastik.Margareta tertawa kecil. "Aku ingin tahu ..., bagaimana keadaanmu s
Begitu roda pesawat menyentuh landasan Jepang, Salvatore segera bangkit dari kursinya. Dia tak peduli pada tubuhnya yang masih lemah, langkahnya langsung mengikuti para anak buah yang membawa Valeria ke luar pesawat dengan tandu.Udara malam Jepang yang dingin menusuk kulit, tetapi keringat dingin tetap mengalir di pelipisnya. Mereka semua bergerak cepat menuju kendaraan yang sudah disiapkan. Firgo sudah lebih dulu mengatur segalanya—termasuk mencari rumah sakit yang aman, tempat dokter-dokternya bisa dibayar untuk menutup mulut.Di perjalanan menuju rumah sakit, Salvatore duduk diam di samping Valeria. Matanya terus mengamati wajah wanita itu. Wajah yang seharusnya asing, tetapi justru terasa familiar. Wajah yang entah mengapa, menjadi yang pertama muncul dalam pikirannya saat dia mulai sadar dari kegelapan ingatannya yang hilang.Jika dia istriku… berarti aku sangat mencintainya, bukan?Tapi kenapa? Kenapa dia tidak bisa mengingatnya?Salvatore menggigit bibir bawahnya, frustrasi de
Di dalam pesawat pribadi yang terbang di atas Samudra Pasifik, suasana terasa tegang. Lampu-lampu kabin berpendar samar, menciptakan bayangan-bayangan panjang di wajah-wajah yang kelelahan dan terluka.Di salah satu kursi, Valeria terbaring lemah dengan napas tersengal. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi dahinya, dan matanya sesekali terpejam menahan rasa sakit. Wanita itu sudah setengah kehilangan kesadarannya. Darah masih merembes dari perban darurat yang melilit perutnya, bukti dari luka yang Alessio tinggalkan.Salvatore duduk di sampingnya, menggenggam erat tangannya yang juga berlumuran darah. Jari-jarinya sedikit gemetar, bukan karena rasa takut, melainkan karena sesuatu yang mengusik pikirannya.Dia masih belum sepenuhnya memahami kenapa melihat Valeria seperti ini membuat hatinya terasa seakan diremas. Sebuah perasaan yang familiar, namun asing pada saat yang bersamaan.Antonio, yang duduk tak jauh dari mereka, tampak lelah dengan luka di lengannya yang terus mengalirk