Sore semakin petang saat Valeria menatap pantulan dirinya di cermin. Bikini yang dipilihnya malam ini terlihat sempurna di tubuhnya. Membuat Valeria tersenyum sendiri saat melihat pantulan tubuhnya.Valeria mengenakan bikini dua potong berwarna oranye terang yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Bagian atasnya berupa bra segitiga kecil dengan tali tipis yang diikat di belakang leher dan punggung, memperlihatkan belahan dada yang indah dan kulitnya yang bercahaya.Detail ornamen bintang yang menghiasi bagian atas bikini memberikan kesan glamor dan playful, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Bagian bawahnya adalah celana bikini rendah yang minimalis, dengan tali yang halus di sisi pinggulnya, menonjolkan perubahan drastis pada tubuhnya yang kini tampak lebih ramping dan kencang.Ia memutar sedikit badannya, memperhatikan bagaimana lekukan tubuhnya kini berbeda dari satu tahun yang lalu. Tubuh yang dulu dipenuhi keraguan, kini menjadi kebanggaan. Setiap tetes keringat ya
Morgan dan Mona saling memandang dengan khawatir di depan tempat diadakannya pesta kolam renang Julian. Mereka tahu Valeria sedang di dalam pesta kolam renang itu, dan mereka tidak bisa membiarkannya sendirian. Terlalu banyak orang asing yang datang—pengusaha, rekan bisnis Julian, dan pria-pria yang mungkin punya niat tidak baik. Valeria memang mampu menjaga dirinya sendiri, tapi mereka tetap merasa harus ada di sisinya, apalagi Morgan.“Kita harus masuk,” kata Mona tegas, meski sedikit ragu dengan keputusan ini. “Aku tidak nyaman membiarkan Valeria di sana sendirian. Terlalu banyak pria yang akan memperhatikan dia.”“Tapi masalahnya,” kata Mona sambil menatap petugas keamanan di pintu masuk, “kita tidak bisa masuk dengan pakaian ini.”Keduanya melihat ke bawah, pada pakaian kerja formal yang mereka kenakan. Mona dengan rok pensilnya, dan Morgan dengan kemeja yang rapi. Pesta ini jelas memiliki aturan berpakaian yang ketat—bikini atau pakaian renang. Tidak ada yang diizinkan masuk tan
Pesta semakin ramai dengan tamu yang terus berdatangan, musik yang semakin keras, dan suasana yang semakin menggila. Namun, di antara keramaian itu, Morgan tetap siaga. Matanya tak pernah lepas dari Valeria. Ia tahu betul bagaimana banyak pria di pesta ini tak hanya tertarik pada kecantikan Valeria, tapi juga bermaksud mendekat lebih dari sekadar berbicara.Beberapa kali, Morgan harus berdiri di antara Valeria dan pria-pria yang mendekat dengan niat yang tak sepenuhnya baik. Seorang pria berotot yang mabuk mencoba menggoda Valeria dengan cara kasar, menyentuh pundaknya dengan sikap yang terlalu akrab. Dengan cepat, Morgan berdiri di antara mereka, tatapannya dingin. “Maaf, tapi Valeria tidak tertarik,” katanya tegas.Pria itu mundur dengan kesal, melirik Morgan sebelum berbalik dan pergi. Tapi tidak lama kemudian, ada lagi yang mencoba mendekat. Kali ini, seorang pria lain mencoba menyenggol Valeria dengan sengaja, mengundang tawa dari teman-temannya. Morgan dengan cepat meraih lengan
Mona dan Valeria menepi dari keramaian pesta, mencari tempat yang lebih tenang di dekat meja minuman. Suasana pesta semakin ramai, musik terus berdentum, namun di sudut tersebut mereka bisa sejenak menarik napas."Aish! Kau tau? Aku sebenarnya ingin segera pergi dari sini," kata Valeria."Padahal anda tidak perlu datang ke tempat ini, Nyonya. Tuan Morgan sangat mengkhawatirkan anda."Valeria mengibas udara di depannya. "Dia selalu begitu kepadaku, padahal aku bisa menjaga diriku sendiri. Tapi, menyenangkan melihat wajah Julian yang seperti orang kikuk."Mona sedang menuangkan minuman untuk Valeria, sementara Valeria duduk santai dengan senyuman puas, merasa senang malam itu berjalan lancar. Semua mata tertuju padanya, dan ia merasa menang. Namun, suasana damai itu tidak bertahan lama.Dari arah kerumunan, Margareta muncul bersama Sofia. Keduanya melangkah mendekat dengan ekspresi tidak bersahabat, terutama Margareta yang menatap Valeria dengan sorot iri. “Wow, Valeria, kau benar-benar
Salvatore membawa Valeria dengan hati-hati ke kamar hotelnya. Langkahnya cepat namun penuh ketenangan, sementara Valeria menggigit bibirnya menahan rasa sakit di kakinya. Saat mereka tiba di kamar Valeria, Salvatore langsung menempatkan Valeria di sofa, matanya memindai luka di kaki Valeria dengan penuh perhatian.Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Salvatore berjongkok di depan Valeria, mengambil kain bersih dan alkohol dari kotak kecil di meja untuk membersihkan luka di kakinya. Valeria mengamati pria itu yang terlihat begitu tenang namun tatapannya begitu dingin. Setiap gerakan Salvatore terasa telaten, namun keheningan di antara mereka terasa berat, seolah ada badai yang tertahan di balik sikap tenang Salvatore.“Kenapa kau harus melakukan itu?” Akhirnya, suara Salvatore pecah, nadanya rendah namun tegas, penuh kekecewaan yang tidak disembunyikan. Dia mengangkat pandangannya, mata tajamnya mengunci pada Valeria yang duduk di depannya. “Kenapa kau merasa perlu mengekspos dirimu sepe
Salvatore membawa Valeria dengan hati-hati ke kamar hotelnya. Langkahnya cepat namun penuh ketenangan, sementara Valeria menggigit bibirnya menahan rasa sakit di kakinya. Saat mereka tiba di kamar Valeria, Salvatore langsung menempatkan Valeria di sofa, matanya memindai luka di kaki Valeria dengan penuh perhatian.Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Salvatore berjongkok di depan Valeria, mengambil kain bersih dan alkohol dari kotak kecil di meja untuk membersihkan luka di kakinya. Valeria mengamati pria itu yang terlihat begitu tenang namun tatapannya begitu dingin. Setiap gerakan Salvatore terasa telaten, namun keheningan di antara mereka terasa berat, seolah ada badai yang tertahan di balik sikap tenang Salvatore.“Kenapa kau harus melakukan itu?” Akhirnya, suara Salvatore pecah, nadanya rendah namun tegas, penuh kekecewaan yang tidak disembunyikan. Dia mengangkat pandangannya, mata tajamnya mengunci pada Valeria yang duduk di depannya. “Kenapa kau merasa perlu mengekspos dirimu sepe
Beberapa hari setelah kejadian sebelumnya, Valeria kembali ke rutinitasnya bekerja di Salerno. Ia sering bolak-balik dari proyek lapangan ke hotel, menjalani tugasnya dengan profesionalisme yang tinggi.Sejak hari terakhir waktu itu juga, Valeria lebih sering menghindari Salvatore. Rupanya, pria itu juga amat sangat sibuk sehingga tidak ada waktu untuk mengejar Valeria seperti biasanya.Hari ini Valeria kembali ke hotel sendirian karena Morgan dan Mona harus mengurus sesuatu. Kebetulan juga Marvelion berjalan di belakang Valeria.Marvelion, yang sejak sebelumnya sudah menunjukkan ketertarikannya pada Valeria, mengetahui bahwa Valeria baru saja selesai dari proyek dan sedang sendirian di lokasi. Kesempatan ini membuatnya mendekati Valeria lagi dengan sikap yang lebih berani.Marvelion kini semakin terpesona setelah melihat Valeria di pesta kolam beberapa waktu lalu. Ia terus mencoba menggoda Valeria, berharap bisa membuatnya jatuh cinta."Baru pulang?" Marvelion sudah berjalan menyusul
Keesokan harinya, Valeria dan Morgan tiba di lokasi pembangunan lebih awal dari biasanya. Saat mereka berdua berjalan di sekitar area konstruksi, Valeria mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Morgan juga terlihat semakin diam dan memperhatikan setiap sudut bangunan yang sudah berdiri.“Ada yang aneh dengan proyek ini,” ujar Morgan tiba-tiba, memecah keheningan. Dia mengarahkan tangannya ke beberapa struktur bangunan di depan mereka.Valeria mengikuti arah pandang Morgan dan memperhatikan dengan cermat. Beberapa dinding dan fondasi tampak lebih rendah dari desain yang mereka terima dari Solara Crop. Pilar-pilar yang seharusnya menopang bagian atas gedung terlihat lebih ramping dan tidak sesuai dengan ukuran yang seharusnya. Valeria mengerutkan kening, mencoba mengingat setiap detail dari cetak biru yang mereka terima.“Seharusnya tidak begini, kan? Apa ini ulah Julian?” tanya Valeria sambil memeriksa lebih dekat.“Aku tidak yakin,” jawab Morgan, “Tapi yang pasti, ini tidak sesuai
Lima Tahun Kemudian ....Di markas Il Leone d'Ombra, seorang gadis kecil duduk di samping seorang pria bertubuh kekar. Suasana ruangan itu penuh dengan aroma logam dan minyak senjata, namun gadis kecil itu tampak tidak terganggu sedikit pun.Antonio, pria yang tengah merapikan senjata, berkali-kali menarik napas panjang. Di sebelahnya, Elettra—gadis kecil berusia lima tahun dengan rambut ikal kecokelatan dan mata secerah musim semi—terus berbicara tanpa jeda."Uncle Antonio, kenapa peluru ini warnanya beda? Apa senjatanya juga beda? Kalau senjata ini bisa buat tembak monster nggak? Kenapa di sini gelap banget? Uncle nggak takut hantu?"Antonio menghela napas, berusaha tetap fokus membersihkan senjatanya. "Elettra, bukankah kau seharusnya menggambar atau bermain boneka? Anak seusiamu biasanya tidak tertarik pada senjata.""Aku bukan anak kecil biasa, Uncle. Aku Elettra Marino! Aku harus tahu semuanya supaya bisa melindungi Mommy dan Daddy. Kalau Uncle nggak mau jawab, aku tanya sama Da
Elena menangis tak henti-henti di pelukan Lorenzo. Tubuhnya bergetar, wajahnya penuh kekhawatiran."Tuhan, jangan ambil putriku ..., jangan ambil cucuku ...," isaknya berulang kali.Lorenzo mencoba menenangkan istrinya, meski dalam hatinya sendiri ada badai yang tak kalah hebat. "Tenanglah, sayang. Valeria perempuan yang kuat. Dia akan baik-baik saja." Meski suaranya terdengar tenang, genggaman tangannya pada bahu Elena menunjukkan betapa kerasnya dia menahan diri untuk tidak ikut larut dalam kepanikan.Sementara itu, Anna mondar-mandir di koridor rumah sakit. Setiap detik terasa seperti menit, setiap menit terasa seperti jam."Kenapa lama sekali? Kenapa belum ada kabar?" Anna bergumam, tatapannya kosong.Di tengah semua kegaduhan itu, Salvatore justru terdiam. Dia berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya tertuju pada pintu ruang operasi, seolah menunggu keajaiban. Namun, dalam keheningannya, tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi pelipisnya."Valeria ...,
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Kini perut Valeria sudah semakin membesar, hampir memasuki usia delapan bulan.Musim semi menghiasi kota dengan udara hangat dan bunga bermekaran. Valeria duduk di bangku kayu di tepi jalan, menikmati es krim stroberi yang mencair perlahan di tangannya.Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Di sampingnya, Salvatore duduk santai, sesekali menyeka tetesan es krim yang hampir jatuh ke gaun Valeria."Kau tahu, Salvatore," ucap Valeria sambil menjilati sendok es krimnya. "Aku berharap anak kita nanti suka es krim sepertiku. Bagaimana menurutmu?"Salvatore tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus siap-siap mengisi freezer penuh es krim. Anak kita akan jadi pecinta es krim garis keras sepertimu."Valeria tertawa terbahak. Suara tawanya menggema lembut di tengah keramaian jalan. Beberapa orang yang lewat ikut tersenyum melihat pasangan itu, seolah kebahagiaan mereka menular.Tas belanja di kaki mereka penuh dengan perlengkapan ba
Matahari mulai tenggelam, menciptakan gradasi oranye dan ungu di langit senja. Salvatore duduk di kursi balkon kamar Valeria, memandangi langit dengan tatapan kosong.Angin sore berhembus lembut, namun tidak mampu mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Julian terus terngiang di kepalanya, mengalun seperti nada minor yang menghantui."Lepaskan Sofia .... Hentikan penyiksaannya ...."Salvatore memijit pelipisnya. Rasa pusing itu kembali datang, semakin tajam seiring bayangan-bayangan samar yang muncul. Wajah Sofia, jeruji penjara, dan suara erangan kesakitan yang entah berasal dari mana. Apa benar semua itu ulahnya?Dia mendesah panjang, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bagaimana mungkin dia mencintai Valeria namun di saat yang sama menyakiti orang lain? Apakah ini sisi gelapnya yang tersembunyi?"Salvatore?"Suara lembut Valeria membuyarkan lamunannya. Salvatore menoleh, melihat Valeria berdiri di sampingnya dengan segelas jus segar di tangannya. Senyum perempuan itu t
Setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Salvatore dan Valeria keluar dengan senyum lega. Hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi mereka baik-baik saja. Kaki Salvatore hanya memerlukan sedikit terapi, dan kehamilan Valeria dalam keadaan sehat. Beban yang sempat menggantung di benak mereka pun perlahan terangkat."Ayo, kita makan siang. Aku sudah lapar," ujar Valeria ceria, menggenggam tangan Salvatore dengan erat."Aku juga," Salvatore tersenyum hangat. "Ada restoran di sekitar sini yang katanya enak. Mau coba?""Tahu darimana?""Tadi aku sempat mendengar percakapan orang di rumah sakit. Mau coba makan di sana?"Valeria mengangguk antusias. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran kecil berdesain klasik yang tak jauh dari rumah sakit. Suasananya tenang dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap ke taman kota.Mereka memilih meja di dekat jendela, menikmati pemandangan hijau di luar sembari menunggu pesanan datang. Percakapan ringan mengalir, sesekali diiringi
Sinar matahari pagi menerobos jendela ruang makan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas meja kayu panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai hidangan sarapan. Aroma roti panggang yang baru matang, telur dadar lembut, dan kopi hitam pekat menguar di udara, memberikan suasana hangat di rumah keluarga Valeria.Di ujung meja, Salvatore duduk dengan rapi dalam setelan kasual, mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana panjang gelap. Di sebelahnya, Valeria tampak anggun dalam gaun sederhana berwarna pastel yang lembut membungkus tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit, seolah secara naluriah melindungi kehidupan kecil di dalamnya.Elena meletakkan cangkir kopi di depannya, kemudian duduk di samping Lorenzo. Giulia dan Roberto juga telah mengambil tempat, memulai sarapan dengan senda gurau kecil."Kalian tampak rapi pagi ini." Elena membuka percakapan dengan senyum keibuan. "Ada acara khusus?"Valeria dan Sa
Kamar tidur itu terasa hangat dengan cahaya lembut yang memancar dari lampu meja. Udara malam yang sejuk menyusup melalui jendela yang sedikit terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang mengalir seperti ombak tenang. Di depan cermin besar yang terpasang di dinding, Valeria berdiri dengan ekspresi frustrasi.Tangannya sibuk menarik-narik gaun berwarna pastel yang kini tampak terlalu ketat di bagian perutnya yang membuncit. Pakaian lain berserakan di sekitar kakinya, menandakan betapa keras usahanya untuk menemukan sesuatu yang nyaman dikenakan."Kenapa sih nggak ada satu pun yang muat? Apa aku harus pakai bajunya Aunty Giulia aja mulai sekarang?" Valeria mengomel sendiri, wajahnya berkerut lucu.Pintu kamar berderit pelan, dan Salvatore muncul di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun sorot matanya dipenuhi rasa cinta yang mendalam.Setelah percakapannya dengan Lorenzo di tepi kolam, perasaannya seolah memuncak—seakan ada benang merah yang mengikat hatinya lebih erat kepada Valeria. Rasa
Malam merambat pelan, membawa kesunyian yang menenangkan di sekitar rumah keluarga Morreti. Angin sepoi-sepoi membelai permukaan kolam renang, menciptakan riak-riak kecil yang memantulkan cahaya bulan. Di tepi kolam itu, Salvatore duduk di bangku kayu, membiarkan pikirannya melayang.Bersama semua kegugupan dan ketakutannya, akhirnya dia merasa lega. Keluarga Valeria menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu embel-embel masa lalu yang tidak bisa diingatnya. Namun, di tengah kelegaan itu, terselip perasaan kosong—seperti ada bagian dirinya yang masih hilang di dalam kabut ingatan yang gelap."Kau sendirian di sini?"Suara berat namun lembut itu membuat Salvatore menoleh. Lorenzo berdiri di belakangnya, membawa dua gelas wine di tangannya. Wajahnya tampak tenang, namun di balik mata yang bijak itu, ada rasa lelah yang terpendam."Ya, aku hanya ..., mencoba menenangkan diri dan mencari udara segar." Salvatore tersenyum tipis.Lorenzo menyerahkan salah satu gelas wine kepada Salvatore dan
Sebuah mobil hitam mengawal perjalanan Salvatore menuju ke kediaman Morreti dan rombongan lainnya kembali ke markas. Morgan yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik Salvatore lewat kaca spion, melihat pria itu menggigit bibir bawahnya, tanda jelas kegugupan."Hei, tenang saja." Morgan membuka percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Keluarga Valeria tidak menggigit, kok."Salvatore menghela napas panjang. "Itu bukan masalahnya. Aku tidak ingat apa-apa. Bagaimana kalau aku salah bicara? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?"Valeria, yang duduk di samping Salvatore, menggenggam tangannya erat. "Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan mencintaimu, Salvatore. Lagipula, aku di sini bersamamu."Salvatore menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh keyakinan Valeria. Perlahan, kegugupannya sedikit mereda."Kalau begitu, jangan tinggalkan aku, ya?" bisik Salvatore, suaranya penuh harap."Tidak akan." Valeria tersenyum lembut.Morgan sedikit merinding dan tertawa geli diam-diam. Salv