Di dalam kamarnya, Silvia masih mencoba mengingat siapa yang ayahnya sebutkan. Selama menjadi putri tunggal setelah kepergian Alice, Silvia memang berusaha mengenal siapa saja relawan yang ayahnya undang dalam pertemuan penting atau sekedar makan malam menghabiskan waktu.“Leonardo? Siapa dia?” tanya Silviana pada diri sendiri.Ia duduk di pinggir ranjang. Meraih laptop yang berada di atas nakas. Lalu, mengetik nama seseorang yang harus ia undang.Silviana memicingkan mata ketika mendapati foto bernamakan, Leonardo di dalam laptopnya. Tampan dan juga berkarismatik. Silvia bisa melihat aura berbeda pada pria yang mengenakan kacamata bening itu.“Pengusaha muda berusia tiga puluh tahun, dia bahkan sudah memiliki banyak cabang di beberapa kota?” ucap Silviana membacakan informasi yang ia terima.Silvana terus mencari informasi lain, ia masih penasaran kenapa ayahnya harus mengundang orang yang lain yang tak ia kenal.“Apa mungkin ayah akan menjodohkan aku dengannya?” terka Silvia lagi.S
Di tempat yang berbeda. Pria dengan setelan jas warna hitam baru saja mendudukkan diri di kursinya. Ia baru saja selesai makan siang dengan beberapa orang relasi.Dia—Arsen pria yang menyimpan nama wanita di dalam hatinya bernama Alice Amelia. Wanita yang selama ini menjadi pemenang dalam hatinya.Jhon—Asisten Arsen, menoleh ke arah pintu. Kemudian tak lama, seorang wanita cantik melangkah masuk.“Hai, Arsen. Akhirnya kita bertemu.” Silviana mendekat ke arah Arsen dan mengecup pelan pipi pria yang langsung mengerang marah karena perlakuan Silviana.Jhon menggeleng pelan. Ia berpura-pura sibuk dengan laptopnya. Takut mendapat omelan dan semacamnya.“Silvia, apa kau tidak malu!” geram Arsen menatap kesal pada Silvia yang menatapnya memuja.“Tidak. Itu hukuman karena kau mempermainkan aku. Kau tidak tahu, berapa lama aku menunggumu di lantai bawah?”Arsen mendengus kasar, “Keluarlah! Aku tidak ada waktu untuk mendengar semua ocehanmu!” usir Arsen tegas.Silvia berdecak, ia melangkah kear
Alice mengerutkan kening. Ia seperti mengenal suara yang baru saja ia dengar. Dengan perlahan ia bertanya, “Kau siapa?”Mobil mengarah ke pinggir jalan dengan perlahan. Alice masih penasaran dengan wajah pria yang masih tertutupi oleh topi berwarna hitam di depannya.Ketika mesin mobil sudah dimatikan, pria yang mengemudi juga perlahan menoleh, barulah Alice bisa melihat siapa yang bersamanya.“Jhon?” pekik Alice tertahan, “kapan kau kembali, bagaimana kabarmu?” tanya Alice dengan wajah tak sabar.Jhon—Asisten Arsen terkekeh kecil, “Sudah lama. Senang bertemu denganmu, Nona Amelia.”Alice mengangguk. “Senang bertemu denganmu juga, Jhon. Di mana Arsen?”Wajah ceria Jhon tiba-tiba saja berubah muram. Pria itu bahkan mengusap air mata yang tak terlihat. “Pak Arsen tidak baik-baik saja, Nona. Dia sudah beberapa kali menolak untuk menjaga kesehatan setelah tahu, Anda menghilang.”Alice menghela napas pelan, “Jhon, kau tidak berbohong, kan?” “Saya tidak berbohong, Nona. Saya bersumpah atas
“Berikan ponselmu, Alice!” ucap Leonardo sekali lagi.Alice menelan ludah kasar, ia dengan gemetar memberikan ponselnya pada Leonardo. Bukan karena ia takut disangka tidak setia. Namun, takut jika Jhon atau siapa pun di balik layar membongkar siapa dirinya. “Apakah dia pria yang bersamamu saat itu?” tanya Leonardo memeriksa nomor yang tak dikenal.Ia menatap Alice yang memasang wajah ragu seperti mengingat sesuatu, ‘Apa dia sedang memikirkan alasan untuk membohongiku,’ batin Leonardo.“Aku tidak mengerti,” jawab Alice sudah tahu apa yang Leonardo ucapkan. “Kenapa harus berbohong, Alice. Katakan saja jika kau memang sudah menemukan pria yang–”Leonardo terpaku, tubuhnya membeku seketika, ketika Alice langsung memeluknya. “Jangan katakan apa pun. Aku tidak peduli kamu dan Ibu tidak menyukaiku, tapi berpikir jika aku tidak setia itu—tidak benar.”“Lepaskan pelukanmu Alice!”Alice menggeleng, ia tidak akan melepaskan pelukannya. Ini sangat jarang ia lakukan, untuk itu, beberapa menit be
Beberapa minggu kemudian. Di kediaman keluarga Oscar sudah dihias dengan begitu indah. Memang hanya untuk merayakan keberhasilan toko berlian Silvia, tetapi Delima menghiasnya dengan begitu indah.Silviana sudah bersiap, gaun warna gold dengan manik berlian di pinggang sebagai aksen. Rambut panjangnya sengaja digelung agar nampak leher putih yang mulus.Ia juga mengenakan berlian terbaiknya, juga yang paling ia sukai adalah geling kecil dengan harga yang fantastis.“Kamu sangat cantik, Nak.” Delima mendekat, mengusap lengan putrinya lembut. Tatapan mereka saling bertemu di pantulan cermin besar di dalam kamar.Silvia tersenyum, ia juga memuji kecantikan dirinya. Malam ini, dia akan bertemu dengan Arsen, dan dengan kecantikannya dia akan mendapatkan hati pria itu.“Ibu, apakah Arsen akan mengakui kecantikanku?” tanya Silvia dengan hati yang berbunga.“Tentu saja, jika dia tidak mengakuinya, Ibu yakin dia hanya malu. Kamu adalah gadis tercantik yang pernah Ibu lihat.”Silvia berbalik da
Di halaman rumah yang sangat luas. Dua orang sudah berdiri dengan perasaan yang berbeda. Jika Leonardo terpaku dengan keindahan rumah bertingkat tiga di hadapannya. Berbeda dengan Alice yang sudah bergetar sejak memasuki mobil beberapa menit yang lalu.Dengan keadaan yang terpaksa dia, menuruti permintaan Leonardo untuk ikut dengannya. Tidak ada cara lain, sebelum Leonardo meminta wanita lain bersamanya.Leonardo merapikan kerah kemejanya, memastikan penampilannya sempurna. Ia melangkah dengan penuh percaya diri, aura kewibawaan terpancar dari setiap gerakannya. Di belakangnya, Alice berjalan dengan kepala menunduk, Langkahnya terasa berat, dan hatinya masih dipenuhi dengan rasa nyeri yang sulit diungkapkan.Menyadari itu, Loenardo menghentikan langkah tanpa berbalik. “Angkat kepalamu!” “Eh, aku–” Alice terdiam, kata-kata yang ingin ia sampaikan terhenti di tenggorokannya ketika seorang wanita cantik melangkah maju dan berdiri di sebelah Leonardo.Wanita itu memiliki pesona yang sul
Dara melihat ke segala arah, untuk menemukan wanita yang sudah mengundang dirinya. Mereka tidak dekat, tetapi Dara adalah salah satu pelanggan di toko Silviana selama ini.Keberuntungan Dara, bisa mendapat undangan dari putri miliarder yang hanya beberapa orang penting saja yang menerima undangan.Mata indah Dara berbinar, tatkala menemukan sosok cantik dengan penampilan sungguh luar biasa cantiknya. Wanita dengan gaun berwarna gold dengan aksen berlian di pinggang.“Pak, itu nona Silviana,” tunjuk Dara pada Silviana yang tak menoleh pada mereka.Leonardo menatap ke arah mana Dara menunjuk, ia melihat wanita muda hampir seusia istrinya. Senyum mereka bahkan terlihat mirip sekilas.Leonardo menggeleng kuat. Ia membawa Dara untuk memenui tuan rumah. Ia sungguh penasaran dengan pria yang kakeknya maksud.“Kamu mengenal ayahnya?” tanya Leonardo penasaran pada Dara.“Tentu saja Pak. Bukan mengenal, tetapi tahu. Tuan Oscar adalah orang terkaya nomor satu. Dia memiliki kekayaan di mana-mana,
Sampai di halam rumah, Arsen mencari di mana letak mobil Leonardo. Ia yakin jika Alice berada di dalam mobil untuk bersembunyi. Ia tidak akan membiarkan Alice menghilangkan kali ini. Ia akan ungkap semua di depan Leonardo agar tidak lagi di remehkan.Arsen yakin, Leonardo tidak memperlakukan baik Alice selama ini. Dari semua informasi yang Jhon berikan, dia yakin Alice menderita.Arsen merogoh ponselnya, menelepon Jhon untuk membantunya mencari Alice di antara mobil yang terparkir.Tak lama, Silvia sampai pada Arsen yang terlihat bingung. Ia juga melihat kemana arah pandang Arsen yang terlalu mencurigakan baginya. “Arsen, kau cari siapa?”Arsen tersadar, melihat Leonardo di ujung sana dengan wanita cantik di sebelahnya. Setelah itu, ia menatap Silvia dengan tatapan rumit. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, bisa saja menjadi masalah.Arsen menghela napas, “Jhon. Aku mencari pria itu.”Alis Silvia mengkerut tak mengerti. Tak lama, pelayan datang menghampiri dan memintanya masuk kembali
Luna menghela napas berulang kali, ia duduk dan menatap menantunya. “Ibu hanya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Laila di sana.”Leo mengangguk paham. Ia meraih tangan ibunya. “Ibu, Damian akan menjaganya selama satu bulan, lagipula ada Arsen di sana.”“Arsen? Kamu masih percaya pada pria itu? Bagaimana jika–”“Ibu, tolong percaya dengan keputusan yang sudah aku ambil, Arsen adalah satu-satunya yang bisa menjaga Laila setelah Damian.”Lagi-lagi Luna mendengus, ia tak suka dengan pria bernama Arsen. Pria itu ingin merebut Alice dari putranya bahkan dengan terang-terangan mengakui Laila dan Damian sebagai anak.“Kalian tidak ada yang mengerti dengan kekhawatiranku. Aku hanya ingin cucuku hidup dengan damai, tidak perlu sekolah di tempat jauh, kita bisa–”“Maafkan aku karena memotong ucapanmu Bu. Tetapi ini adalah keputusan mereka. Laila ingin sekolah bisnis seperti Silviana, sementara Damian, putraku adalah penerus, dia harus memiliki pendidikan yang jauh lebih hebat.”Membuang na
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t