Setelah acara selesai, Leonardo langsung berpamitan pada tuan rumah. Oscar memberikan senyuman terbaik meski hatinya diliputi dengan banyak pertanyaan dan juga rasa penasaran.“Terima kasih karena sudah menyempatkan hadir, Tuan Muda,” ujar Oscar tersenyum hangat.“Terima kasih juga padamu Tuan, Anda sangat luar biasa,” balas Leonardo dengan senyum hangatnya, “maaf karena kakek tidak bisa hadir seperti yang Anda harapkan.”Oscar tertawa ramah, Ia tahu jika Horison tidak akan hadir, untuk itu, ia sangat berharap informasi yang Hary berikan padanya adalah benar. Namun, semua sepertinya tidak seperti yang terjadi. Pasti ada kesalah pahaman yang seharusnya ia terima.Setelah berpamitan, Leonardo melangkah dengan tegap, ia bahkan tak menghiraukan Dara yang masih sibuk mengobrol dengan Silvia di tempat yang berbeda. Pria itu melangkah tegap ke arah di mana mobil dan supirnya berada.Di ujung sana, Arsen menatap Leonardo dengan tatapan elangnya, ia bahkan dengan diam-diam mengikuti kemana Leo
Sampai di rumah, Alice lebih dahulu masuk ke dalam rumah. Ia berjalan tergesa karena perutnya mendadak sakit. Seingatnya, sore tadi, tidak sesakit ini, tetapi kenapa sekarang menjadi lebih sakit, pikirnya.Alice menaiki anak tangga dengan memegang perut juga menenteng heel miliknya.“Kenapa perutku menjadi lebih sakit?” gumamnya lirih.Setelah tiba di kamar, ia bergegas masuk ke dalam ruang ganti, mengganti gaun miliknya dengan pakaian biasa. Setelah itu, berjalan ke arah kamar mandi.Sementara di lantai bawah, Leonardo masuk dengan langkah tegap, ia menatap Alice yang sudah menghilang menaiki tangga dengan tertatih tadi. Sisa roti milik Alice ia biarkan di dalam mobil.“Kamu sudah pulang, Leo?” Luna mendekati putranya dan tidak menemukan Alice berada di sebelah Leonardo.“Heum, Ibu kenapa belum tidur?” tanya Leo kembali. “Ibu tidak bisa tidur sebelum kamu kembali. Di mana wanita itu?” “Alice, di kamar Bu. Sepertinya perutnya sakit,” jelas Leonardo.Luna berdecak, ia tak akan percay
Alice kembali naik ke kamarnya dengan langkah tertatih, tubuhnya terasa lemah seiring rasa sakit yang semakin menusuk di perutnya. Setiap langkah yang ia ambil di tangga terasa seperti perjuangan tersendiri, dan tangan kirinya mencengkeram erat pegangan tangga, sementara tangan kanannya memegang perutnya yang berdenyut. Napasnya tersengal, namun ia terus memaksa dirinya untuk maju, mencoba mengabaikan rasa sakit yang semakin parah. Kamar tidurnya terasa begitu jauh, tapi Alice tahu ia harus sampai di sana. Di ruang pribadinya, ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan dan mungkin jawaban atas apa yang sedang dialaminya.“Ah, kenapa rasanya sakit sekali, ya?” gumamnya dengan lirih.Alice meraih obat yang Leonardo berikan tadi, mengeluarkan satu butir lagi dan berniat untuk meminumnya. Namun, hal yang mengejutkan dirinya adalah Leonardo meraih obat itu dan membuangnya.Alice menatap nanar butiran obat itu, lalu menatap Leonardo dengan tatapan sedih, “Leon, apa yang kamu lakukan?”
Di tempat yang berbeda, Dara kesal karena Leonardo meninggalkan dirinya di acara Silva. Bosnya itu tak mengatakan apa pun dan langsung melesat pergi.“Dia sudah berubah banyak. Leonardo meninggalkan aku di pesta begitu saja,” gumam Silviana tak tahan ingin menjerit kesal.“Semua karena Alice. Wanita itu merusak momen indah yang seharusnya aku bagikan,” ujar Dara sekali lagi, “aku tidak mengerti kenapa Leonardo selalu saja membawanya di acara penting.”Dara menyeringai, “Tidak. Di acara tadi, Leonardo bahkan tak memperkenalkan Alice lada kolega penting, yang artinya Leonardo hanya membawa Alice keluar dari rumah.”Dara keluar dari mobilnya. Melangkah naik ke unit miliknya dengan senyum yang terus mengembang. Dara yakin, jika Leonardo masih tetap Leonardo yang dulu, hanya saja, mungkin sekarang terlalu tertekan karena pernikahan yang dipaksakan.Dara terus tersenyum sepanjang perjalanan menuju unit miliknya. Di setiap langkah, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan romantis yang membuat
“Seperti yang kamu ketahui," Oscar memulai dengan suara tenang namun tegas, “dia adalah cucu dari teman lama ayah.”Silvia mengerutkan kening, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. Kata-kata ayahnya membuatnya berpikir keras. ‘Cucu dari teman lama ayah?’ gumamnya dalam hati, mencoba mengaitkan fakta yang baru saja didengarnya.Ia menyadari sesuatu yang aneh: jika ayahnya berteman dengan pria yang jauh lebih tua, maka hubungan itu mungkin lebih rumit dari yang ia bayangkan. Pikiran itu membuatnya semakin bingung. Bagaimana mungkin ayahnya, yang ia kenal sebagai sosok yang selalu penuh pertimbangan, memiliki hubungan sedekat itu dengan seseorang dari generasi berbeda? Dan mengapa hubungan itu tiba-tiba menjadi begitu penting?Oscar mengusap kepala Silvia lembut. “Sudah jangan dipikirkan. Ayah lelah, kalian kembali ke kamar, ya.”Delima yang tentu keberatan. Ia baru saja akan menemani suaminya. Namun lagi-lagi ia mendapatkan penolakan, “Aku akan menemanimu sampai terlelap. Biar Silva
Alice menatap kepergian suaminya dengan perasaan hampa. Akankah Leonardo benar-benar membawa Dara ke rumah? Lalu, dia harus bagaimana? Menghela napas dalam, ia bergegas berjalan ke arah taman belakang. Menyiram bunga dan membersihkan rumput serta dedaunan kering yang berjatuhan.“Nyonya, saya yang akan mencabut rumputnya, Anda istirahat saja,” kata tukang kebun yang sudah bersiap untuk mengerjakan.Alice mengangguk, ia mengerjakan pekerjaan yang lain. Apa pun asal tidak mendapatkan kemarahan ibu mertuanya lagi.Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering, Alice melihat ada nama ibunya di sana. Ia mengerutkan kening karena tak biasanya dalam jangka waktu yang dekat ibunya akan menelepon.Tidak ingin membuang waktu lama, ia bergegas mencari ibu mertuanya untuk meminta izin.“Di mana ibu?” tanyanya pada pelayan yang kebetulan lewat.“Nyonya Luna dan nona Alisa baru saja keluar,” jawabnya dengan hormat.Alice mengangguk, ia lantas melangkah ke rumah tangga menuju kamarnya. Sampai di lant
Alice menggeleng. “Jangan Ayah, jangan lakukan itu padanya.”“Lihatlah, bagaimana dia memperlakukanmu, Nak? Bahkan untuk pakaian saja dia tak mampu memberimu?”“Ayah, ini bukan salah Leon, aku yang ingin berpakaian seperti ini,” ujar Alice cepat.Dipenuhi perasaan campur aduk yang sulit diungkapkan. Ia tak menyangka jika Alice, yang selama ini ia kenal sebagai gadis lembut dan penurut, kini berubah begitu banyak. Namun, yang paling membuatnya terkejut adalah bagaimana Alice bersikeras membela Leonardo—seorang pria yang jelas-jelas tidak memperlakukan dirinya dengan baik."Ayah tidak mengerti," kata Alice dengan nada tegas, meskipun ada kelembutan di matanya yang selalu membuat Oscar teringat akan putrinya yang dulu, "Leonardo punya sisi baik yang tidak dilihat orang lain. Dia tidak seperti yang Ayah lihat.”Oscar menghela napas panjang, berusaha menahan amarah dan ketidakpercayaannya, "Alice, Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu. Bagaimana kamu bisa terus membela seseorang yang tidak
Alice memasuki rumah dengan jantung berdebar, hari sudah gelap dan ia melewati banyak sekali pekerjaan rumah.Samar ia mendengar suara kekehan seseorang. Alice menajamkan telinga, mencoba mengenali suara siapa selain suara Alisa dan ibu mertuanya.“Baru pulang kamu, hah!” sinis Luna melihat Alice yang baru masuk rumah.Alice menoleh ke sumber suara, di ruang tamu, sudah ada ibu mertuanya serta adik iparnya yang menatapnya sinis. Alice terperangah tak percaya ketika tatapannya bertemu dengan satu wanita cantik di sebelah Luna.“Selamat malam, Nyonya,” sapa Dara dengan senyum cantiknya.Alice membalas dengan senyum terpaksa, ia baru mengingat jika malam ini, ibu mertuanya begitu ingin wanita—puteranya berkunjung. Alice mengedarkan pandangan. Ia tak menemukan di mana Leonardo, artinya suaminya berada di dalam kamar.“Selamat malam, Nona Dara,” balas Alice dengan senyum kecil.Ia menatap ibu mertuanya dengan tatapan menyesal, “Ibu, aku akan naik berganti setelah itu turun kembali.”Luna
Leo kembali ke rumahnya dengan rasa malu yang besar. Ayah mertuanya menguliti dirinya dengan begitu santai. “Ayah memang benar, aku memang tidak bisa mengambil keputusan dengan benar,” gumamnya.“Aku senang karena akhirnya ayah menjagamu, Alice. Akan tetapi, tetap saja aku khawatir, siapa yang mengurus makanmu ketika kamu malas untuk bergerak?”Leonardo menghempaskan diri di atas sofa, menutup wajah dengan tangan kekar. Penyesalan yang teramat besar dan mendalam, ia tahu istrinya baik-baik saja, tetapi tak memiliki kekuatan untuk berjumpa bahkan melihat wajahnya.Leonardo mendesah, ia menatap foto yang berada di dinding, foto—Alice dengan senyum indah ketika mereka liburan. “Apakah kamu tidak merindukanku, sudah dua malam dan kita tidak saling memeluk, Sayang,” gumamnya merasa dunianya hancur.Beralih dari tempatnya, Leonardo masuk ke dalam bilik ruangannya, ruangan yang memisahkan dirinya dan Alice dalam jangka waktu yang lama. Bilik yang membuatnya banyak menyesal karena tak banya
Leo membuang napas, menatap tumpukan berkas yang Bram bawa untuknya. Sementara, hatinya masih gelisah karena Alice belum ditemukan.Ia meraih ponselnya yang terletak tidak jauh dari tumpukan, masih berharap ada kabar baik untuk menemukan keberadaan istrinya.Dalam keheningan dan kekacauan pikirannya, ia menekan nomor seseorang, berharap kali ini ia mendapatkan informasi yang lebih akurat.“Halo, Silvia,” katanya setelah wanita di belahan sana menerima cepat panggilan darinya.“[Halo, kakak ipar, tidak biasanya menelepon, ada apa?]” jawab Silvia langsung tanpa basa-basi.“Alice. Sejak pagi dia belum kembali, apakah dia menemuimu?”Beberapa saat hening, mengantarkan rasa khawatir semakin membesar, “Kak, sudah beberapa hari aku tidak bertemu Kak Amelia,” jawab Silvia, “saat ini aku berada di kediaman ibuku, jadi kami belum bertemu sama sekali.”Semakin gelisah dan rapuh, harus bagaimana sekarang? Tidak seorang pun mengetahui keberadaan istrinya. Tidak ibu mertuanya bahkan adik iparnya.“
Seorang wanita paruh baya sedikit berlari ke arah ruang tamu setelah mendapat laporan dari pelayan.Ia begitu terkejut karena belum beberapa hari tinggal di rumah ini, sudah beberapa tamu yang mendatangi dirinya.Leonardo menoleh dan langsung berdiri. Ia terpaku melihat wanita yang pernah ditemui kini terlihat lebih cantik dan segar.“Nyonya, senang bertemu lagi denganmu,” kata Leo masih belum terbiasa.Amanda mendekat dengan senyum ramah. “Panggil aku Ibu. Kamu menikahi putriku,” ujarnya masih ramah.“Ibu, maafkan aku,” ucap Leo menyesal.Amanda mengangguk meminta Leo duduk meski ia merasa sedikit aneh. “Kamu sendiri, di mana Alice?” Leonardo terpaku, tak menyangka jika pernyataan itu akan keluar. Menelan saliva, “Ibu, sebenarnya tujuanku datang untuk mencari Alice,” kata Leo berterus terang, “dia meninggalkan rumah dan belum kembali.”Terkejut, tetapi Amanda mencoba untuk tenang, ia bisa melihat bagaimana ke khawatiran Leonardo atas kepergian putrinya.“Sudah mencari di rumah ayah
Leo mengendarai kembali mobil miliknya dengan kecepatan penuh. Pria itu, tak mementingkan keselamatan agar lebih cepat sampai dan menemukan Alice—istrinya.“Aku tidak akan membiarkan Arsen mengambil kesempatan atas keterpurukan istriku. Tidak akan,” katanya dengan tatapan marah.Karena terlalu laju membawa mobilnya, pria yang tengah gelisah itu, hampir saja menabrak mobil yang tiba-tiba berhenti dipinggir jalan. Suara decitan terdengar memekakkan telinga pengedara yang lain.Tak ada waktu untuk meminta maaf, Leo dengan cepat melajukan mobil ke arah kediaman Arsen. Pria itu, menang yang paling memungkinkan mendekati istrinya.Sesampainya di kediaman Arsen, Leo melihat mobil pria yang menjadi rivalnya dalam cinta itu melaju ke arah berlawanan. Terlihat terburu dan mencurigakan.“Sial. Apakah dia tahu aku akan datang,” kata Leo, ia menghidupkan lagi mesin mobil menyusul Arsen yang terlihat terburu-buru.Seperti terlihat saling kejar, tetapi jelas Arsen tidak tahu jika dirinya diikuti dar
“Selamat pagi, Kak,” sapa Alisa, “eh maksud saya, Pak.”Alisa menggaruk tengkuk karena ketahuan lupa lagi. Wanita dengan penampilan modis serta riasan sedikit berani itu berjalan di belakang Leo dengan langkah yang seksi.Di belakang, Bram sampai menunduk karena tak sanggup dengan cara Alisa yang semakin berani berpenampilan.“Pak, bagaimana tidur Anda, kulihat–”“Apa jadwalku hari ini?” tanya Leo memotong ucapan tidak masuk akal dari Lisa.Mendengus kasar, “Pak kita bahkan belum sampai di ruangan, biarkan saya bernapas dulu,” jawab Lisa kesal karena kakaknya terlalu menekan dirinya.Leonardo menatap sinis pada adiknya, hari ini suasana hatinya sedang kacau, tetapi Alisa sengaja membuatnya semakin buruk.“Maaf saya terlambat.” Bram masuk ke dalam ruang besi, menekan tombol paling atas setelah mengatur napas.Leonardo berdecak, “Lain kali jangan terlalu banyak mengobrol pada mereka Bram. Fokus pada dirimu saja,” kata Leo sembari melirik sinis pada adiknya yang langsung melakukan aksi g
“Terima kasih, Pak.” Dara melingkarkan tangan erat pada pinggang alot Leonardo. Wanita yang hampir saja melompat dari gedung apartemen itu, berhasil dibujuk dan diselamatkan.Tangan Leo masih menggantung, tak membalas pelukan itu sama sekali. Dara—merasa hatinya tercubit dengan sikap Leo yang semakin dingin padanya.“Pak …,” ucap Dara lirih.“Apa kamu gila? Kamu bisa mati sia-sia Dara.” Leo melepaskan pelukan Dara sedikit kasar. Pria itu, menatap kesal pada sekretarisnya yang semakin tidak masuk akal.Dara menunduk takut. Tangannya saling bertaut dengan air mata yang mulai bercucuran.“Saya tidak bisa berpikir dengan benar, Pak. Rasa cinta saya yang begitu besar membuat saya tidak tahu harus melakukan apa,” kata Dara masih dengan posisi menunduk.“Kenapa tidak mengerti juga Dara, ini salah. Kamu menutup hati untuk orang lain hanya untuk rasa yang tak terbalas,” balas Leo mulai melembutkan suaranya.Dara mendongak, tatapannya sayu dengan air masih mengenang di kelopak mata. “Pak, ini s
Mereka berdua sama-sama terdiam beberapa menit. Hingga Alice mengusap perutnya pelan. “Lapar lagi?” tanya Leo terkekeh. Alice tersenyum kecil, ia menampilkan gigi rapi dengan wajah yang merah karena malu, “Tadi, hanya makan sedikit,” katanya. Leonardo mencubit pelan pipi yang mulai mengembang. “Kalau begitu, ayo kita makan lagi. Sepertinya aku juga mulai lapar." Alice mengangguk setuju, dengan hati-hati ia turun dari pangkuan Leonardo—suaminya. Wanita dengan perut buncit itu, melangkah ke arah sofa, duduk dengan rapi, menunggu Leo menyiapkan makan malam yang kesekian untuknya. “Suami yang manis,” kata Alice sembari tersenyum hangat. Leonardo yang mendengar ucapan Alice hanya menggeleng pelan, ia dengan cekatan membuat susu dan juga membuat makan malam ringan untuk sang istri. Setelah selesai, Leo membawa semua pada sang istri. “Minum susunya dulu.” Leonardo menyerahkan gelas susu hangat, kemudian menyerahkan semangkuk buah dan beberapa roti di piring yang lain. “Teri
Setelah makan malam bersama, Oscar membawa wanitanya ke kamar utama. Akan tetapi, Amanda menolak.“Aku harus kembali,” katanya berhasil membuat Oscar terpaku. Pria yang baru saja akan menunjukkan sesuatu itu, menatap Amanda dengan lekat.“Kembali? Kamu tidak bercanda kan?”Amanda tersenyum, “Tentu saja. Aku tidak mungkin bermalam di rumahmu, Oscar,” katanya.“Jelaskan kenapa?” Oscar mendekat dan menggenggam tangan wanitanya.“Ini terlalu cepat, aku akan kembali padamu setelah urusanmu dengan Delima selesai,” katanya dengan senyuman lembut, “lagipula, apa yang publik katakan jika tahu, aku tiba-tiba muncul?”“Aku akan mengurus semuanya. Lagipula, mengapa harus memikirkan perkataan orang lain, Manda?”“Karena kamu adalah Oscar. Kepulangan Alice bahkan masih menjadi berita hangat. Mereka bisa saja semakin terkejut jika aku tiba-tiba muncul,” imbuh Amanda lagi.“Tetapi, aku tidak bisa membiarkanmu pergi, mengertilah,” katanya memelas.Amanda terkekeh pelan, “Jangan bersikap seperti pria m
Setelah sarapan bersama selesai. Oscar berpamitan pada putri dan juga menantunya. Pria itu sudah dijemput oleh beberapa orang yang berseragam rapi.“Ayah kenapa tidak tinggal bersama kami saja,” kata Alice mencoba mencegah kepulangan ayahnya.Tertawa renyah, “Jika Ayah di sini, siapa yang mengurus semua pekerjaan Ayah di rumah?”Menghela napas berat, “Maaf karena aku tidak bisa membentuk banyak, Ayah. Aku–”“Setelah anakmu lahir, Ayah akan menyerahkan semuanya, jadi bersiapkan mulai saat ini,” tukas Oscar serius, sudah lama ia ingin menyerahkan, tetapi Alice selalu menolak dengan alasan belum siap.“Ayah, aku takut mengecewakan semua orang. Aku hanya wanita biasa,” imbuh Alice merasa tak percaya diri. “Mereka semua sudah berharap kepemimpinan di serahkan padaku. Mereka sudah mengetahui sejak kembali kamu, Nak.” Oscar mengusap kepala putrinya.“Jangan khawatir, ada Arsen dan juga Leo yang akan membantu. Ayah sudah memberitahu ini pada Arsen dan anak itu menerima.”Alice melirik suamin