Alice menatap kepergian suaminya dengan perasaan hampa. Akankah Leonardo benar-benar membawa Dara ke rumah? Lalu, dia harus bagaimana? Menghela napas dalam, ia bergegas berjalan ke arah taman belakang. Menyiram bunga dan membersihkan rumput serta dedaunan kering yang berjatuhan.“Nyonya, saya yang akan mencabut rumputnya, Anda istirahat saja,” kata tukang kebun yang sudah bersiap untuk mengerjakan.Alice mengangguk, ia mengerjakan pekerjaan yang lain. Apa pun asal tidak mendapatkan kemarahan ibu mertuanya lagi.Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering, Alice melihat ada nama ibunya di sana. Ia mengerutkan kening karena tak biasanya dalam jangka waktu yang dekat ibunya akan menelepon.Tidak ingin membuang waktu lama, ia bergegas mencari ibu mertuanya untuk meminta izin.“Di mana ibu?” tanyanya pada pelayan yang kebetulan lewat.“Nyonya Luna dan nona Alisa baru saja keluar,” jawabnya dengan hormat.Alice mengangguk, ia lantas melangkah ke rumah tangga menuju kamarnya. Sampai di lant
Alice menggeleng. “Jangan Ayah, jangan lakukan itu padanya.”“Lihatlah, bagaimana dia memperlakukanmu, Nak? Bahkan untuk pakaian saja dia tak mampu memberimu?”“Ayah, ini bukan salah Leon, aku yang ingin berpakaian seperti ini,” ujar Alice cepat.Dipenuhi perasaan campur aduk yang sulit diungkapkan. Ia tak menyangka jika Alice, yang selama ini ia kenal sebagai gadis lembut dan penurut, kini berubah begitu banyak. Namun, yang paling membuatnya terkejut adalah bagaimana Alice bersikeras membela Leonardo—seorang pria yang jelas-jelas tidak memperlakukan dirinya dengan baik."Ayah tidak mengerti," kata Alice dengan nada tegas, meskipun ada kelembutan di matanya yang selalu membuat Oscar teringat akan putrinya yang dulu, "Leonardo punya sisi baik yang tidak dilihat orang lain. Dia tidak seperti yang Ayah lihat.”Oscar menghela napas panjang, berusaha menahan amarah dan ketidakpercayaannya, "Alice, Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu. Bagaimana kamu bisa terus membela seseorang yang tidak
Alice memasuki rumah dengan jantung berdebar, hari sudah gelap dan ia melewati banyak sekali pekerjaan rumah.Samar ia mendengar suara kekehan seseorang. Alice menajamkan telinga, mencoba mengenali suara siapa selain suara Alisa dan ibu mertuanya.“Baru pulang kamu, hah!” sinis Luna melihat Alice yang baru masuk rumah.Alice menoleh ke sumber suara, di ruang tamu, sudah ada ibu mertuanya serta adik iparnya yang menatapnya sinis. Alice terperangah tak percaya ketika tatapannya bertemu dengan satu wanita cantik di sebelah Luna.“Selamat malam, Nyonya,” sapa Dara dengan senyum cantiknya.Alice membalas dengan senyum terpaksa, ia baru mengingat jika malam ini, ibu mertuanya begitu ingin wanita—puteranya berkunjung. Alice mengedarkan pandangan. Ia tak menemukan di mana Leonardo, artinya suaminya berada di dalam kamar.“Selamat malam, Nona Dara,” balas Alice dengan senyum kecil.Ia menatap ibu mertuanya dengan tatapan menyesal, “Ibu, aku akan naik berganti setelah itu turun kembali.”Luna
Di dalam dapur berukuran besar. Wanita dengan pakaian tidur sedang berjongkok di sudut meja dengan air mata yang terus mengalir. Kakinya merah melepuh, sedang hatinya menganga dengan luka yang baru.Bahunya bergetar, ia menutup mulut agar tangisnya tak terdengar oleh siapa pun. Bayangan-bayangan bagaimana Dara yang mengecup suaminya masih terlihat dengan jelas, apalagi, ketika ia melihat tatapan rela Leonardo, hatinya semakin hancur.‘Dia tidak mencintaiku, seharusnya aku menyadari ini,’ batinnya menjerit sakit.Napas terengah dengan air mata yang terus mengalir, Alice menepuk dadanya yang sesak oleh kenyataan pahit yang ia alami.Begitu banyak kepedihan dan kesakitan. Leonardo bahkan sudah menasehati dirinya berulang kali agar tidak terlalu banyak berharap. Namun, dengan tekad yang kuat ia menolak semua. Ia seolah menantang takdir yang bilang miliknya.‘Sudah cukup Alice. Apalagi yang kamu harapkan? Benar kata ayahmu, mereka tidak memperlakukanmu baik karena tidak tahu siapa dirimu,’
Di dalam ruangan kerja Leonardo, pria itu duduk dengan tenang, menatap kakeknya yang terlihat sangat murka.Pria itu adalah horison, pria yang memiliki hubu lama dengan Oscar di masa lalu. Pria yang menjodohkan cucunya dengan putri Oscar dengan tujuan yang penting. Namun, sepertinya Leonardo tidak bisa diajak bekerja sama.“Di mana kamu semalam sampai tidak tahu kemana istrimu berada?” tanya Horrison dengan suara yang dingin.Ia menatap marah pada cucunya yang terlihat sangat santai dalam menghadapi apa pun. Dalam hal ini, Horison menyukai ketahanan cucunya. Namun, dalam hal ini, dia kecewa.“Kenapa kakek begitu khawatir. Bisa saja dia ke pasar seperti biasa,” jawab Leonardo dengan santai.Horison menatap semakin tidak percaya, bagaimana bisa dengan santainya Leonardo tidak merasa khawatir sama sekali.“Bagaimana jika tidak? Bahkan pelayan yang biasa ia temani berada di dapur,” ucap Horison menguji cucunya.Leonardo menghela napas jengah, ia merasa jika kakeknya sangat berlebihan. Apa
Alice menatap dengan tatapan nanar, tatkala menyaksikan dengan jelas bagaimana tatapan Leonardo yang begitu hangat pada Dara. Ia tersenyum kecut, ketika menyaksikan Dara yang dengan berani duduk di sebelah suaminya.“Kenapa mendadak diam? Kalian membicarakan aku, ya?” tanya Dara sekali lagi.Ia jelas melihat kedua pria yang bersamanya ini saling mengobrol hangat tadi, tetapi setelah ia tiba, mendadak semua terdiam.“Pak Bram, Anda membicarakan saya?” tanya Dara pada Bram yang langsung menjepit mulut ketika Dara tiba.“Huem, hanya membicarakan pekerjaan Anda yang luar biasa,” jawab Bram berkilah.Dara tersenyum lebar, “Terima kasih atas pujian Anda, Pak. Saya hanya bekerja seperti yang pernah Pak Leo ajarkan pada saya.”Bram terlihat bingung, kemudian menatap Leonardo dengan beribu pertanyaan di dalam kepala hebatnya.Namun, dengan cepat Leonardo menepis apa yang ada di kepala Bram. Ia tidak akan membuat Asistennya berpikir salah tentang dirinya.Tidak lama, makanan yang mereka pesan t
Luna dan Alisa keluar dari kamar ketika mendengar suara mobil Leonardo yang memasuki halaman rumah. Lebih terkejut ketika mendapati Alice mengekor di belakang suaminya.Luna ingin mendekat tetapi Alisa mencoba menahan ibunya, ia juga penasaran dengan apa yang baru saja dilihat. Alice dengan penampilan berbeda, dengan sang kakak yang terlihat begitu murka.“Leon, aku bisa jelaskan padamu,” kata Alice yang sudah berada di dalam kamar mereka. Leonardo membawa Alice masuk ke kamar dan menguncinya. Pria itu bahkan sudah membuang jas miliknya ke sembarang arah.“Apa kamu ingin balas dendam padaku?” tanya Leonardo dengan tatapan marah. Hatinya begitu diremas melihat bagaimana tatapan Arsen yang begitu teduh pada Alice tadi.Alice menggeleng. “Tidak. Aku sudah katakan kamu salah paham, aku dan Arsen–”“Jangan sebut namanya!” sentak Leonardo begitu kesal.Alice sampai terlonjak kebelakang, begitu terkejut dengan suara keras Leonardo padanya. Pria itu melepas dasinya paksa, mendengar nama Arsen
Sore hari, Leonardo baru turun ke lantai bawah. Seharian ia memang mengerjakan semua pekerjaan dari rumah. Ia percayakan semua pada Bram dan juga Dara. Keduanya harus selalu bekerja sama untuk mewujudkan nilai yang lebih baik.Ketika Leonardo keluar dari kamar. Ia tak mendapati Alice di atas ranjang. Leonardo menatap dengan tatapan rumit sprei dengan bercak merah di atas kasur.Setelah yakin jika Alice di dalam kamar mandi, ia bergegas keluar. Sejujurnya Leonardo menghindari pertemuan dengan Alice. Takut jika mereka bertemu bayangan tak terkendali beberapa jam lalu kembali terlintas.Leonardo masuk ke dalam bar mini. Bar yang sangat jarang dimasuki jika tidak dalam keresahan yang mendalam.Horison menatap cucunya dengan pandangan rumit. Ia sempat melihat kedua cucunya pulang dengan keadaan marah siang tadi. Sebagai orang tua, ia berharap banyak jika Leonardo mempertahankan pernikahan mereka.Sementara itu, Alisa masih tetap berdiri di pojok ruangan. Setelah memastikan sang kakek masuk
“Sudahlah Kak, jangan lagi membahas ini,” kata Alisa jengah. Setiap bertemu kakaknya yang dibahas adalah pertunangan yang sudah terlanjur terjadi.Leo mendengus, “Semoga kamu dan dia bahagia,” kata Leo mendoakan, ia tidak ingin adiknya menyesal karena terpaksa memilih jalan lain.“Aku bahagia. Lagipula, aku bukan wanita bodoh yang harus menunggu pria tidak peka seperti dia,” sindir Alisa pada Bram yang sudah berada di dalam ruangannya.Alisa menghela napas pelan, “Ada apa Kakak memanggilku?”Mendesah dengan jawaban adiknya, “Aku ingin kamu membantuku mencari model kamar anak yang lucu. Aku–”“Kakak ingin mengadopsi anak? Tidak boleh, Kak!” potong Alisa cepat.“Ibu tidak akan suka, lagipula, kamu bisa menikah dan dapatkan anak dengan mudah,” papar Alisa lagi. Sudah lima tahun, ini bukan waktu yang sebentar untuk menahan rindu, ia yakin kakaknya sangat kesepian dan menderita selama ini.“Jaga ucapanmu. Patuhi saja, besok kamu libur, datang kerumah dan minta tukang untuk menyelesaikan se
Leo kembali ke rumahnya dengan rasa malu yang besar. Ayah mertuanya menguliti dirinya dengan begitu santai. “Ayah memang benar, aku memang tidak bisa mengambil keputusan dengan benar,” gumamnya.“Aku senang karena akhirnya ayah menjagamu, Alice. Akan tetapi, tetap saja aku khawatir, siapa yang mengurus makanmu ketika kamu malas untuk bergerak?”Leonardo menghempaskan diri di atas sofa, menutup wajah dengan tangan kekar. Penyesalan yang teramat besar dan mendalam, ia tahu istrinya baik-baik saja, tetapi tak memiliki kekuatan untuk berjumpa bahkan melihat wajahnya.Leonardo mendesah, ia menatap foto yang berada di dinding, foto—Alice dengan senyum indah ketika mereka liburan. “Apakah kamu tidak merindukanku, sudah dua malam dan kita tidak saling memeluk, Sayang,” gumamnya merasa dunianya hancur.Beralih dari tempatnya, Leonardo masuk ke dalam bilik ruangannya, ruangan yang memisahkan dirinya dan Alice dalam jangka waktu yang lama. Bilik yang membuatnya banyak menyesal karena tak banya
Leo membuang napas, menatap tumpukan berkas yang Bram bawa untuknya. Sementara, hatinya masih gelisah karena Alice belum ditemukan.Ia meraih ponselnya yang terletak tidak jauh dari tumpukan, masih berharap ada kabar baik untuk menemukan keberadaan istrinya.Dalam keheningan dan kekacauan pikirannya, ia menekan nomor seseorang, berharap kali ini ia mendapatkan informasi yang lebih akurat.“Halo, Silvia,” katanya setelah wanita di belahan sana menerima cepat panggilan darinya.“[Halo, kakak ipar, tidak biasanya menelepon, ada apa?]” jawab Silvia langsung tanpa basa-basi.“Alice. Sejak pagi dia belum kembali, apakah dia menemuimu?”Beberapa saat hening, mengantarkan rasa khawatir semakin membesar, “Kak, sudah beberapa hari aku tidak bertemu Kak Amelia,” jawab Silvia, “saat ini aku berada di kediaman ibuku, jadi kami belum bertemu sama sekali.”Semakin gelisah dan rapuh, harus bagaimana sekarang? Tidak seorang pun mengetahui keberadaan istrinya. Tidak ibu mertuanya bahkan adik iparnya.“
Seorang wanita paruh baya sedikit berlari ke arah ruang tamu setelah mendapat laporan dari pelayan.Ia begitu terkejut karena belum beberapa hari tinggal di rumah ini, sudah beberapa tamu yang mendatangi dirinya.Leonardo menoleh dan langsung berdiri. Ia terpaku melihat wanita yang pernah ditemui kini terlihat lebih cantik dan segar.“Nyonya, senang bertemu lagi denganmu,” kata Leo masih belum terbiasa.Amanda mendekat dengan senyum ramah. “Panggil aku Ibu. Kamu menikahi putriku,” ujarnya masih ramah.“Ibu, maafkan aku,” ucap Leo menyesal.Amanda mengangguk meminta Leo duduk meski ia merasa sedikit aneh. “Kamu sendiri, di mana Alice?” Leonardo terpaku, tak menyangka jika pernyataan itu akan keluar. Menelan saliva, “Ibu, sebenarnya tujuanku datang untuk mencari Alice,” kata Leo berterus terang, “dia meninggalkan rumah dan belum kembali.”Terkejut, tetapi Amanda mencoba untuk tenang, ia bisa melihat bagaimana ke khawatiran Leonardo atas kepergian putrinya.“Sudah mencari di rumah ayah
Leo mengendarai kembali mobil miliknya dengan kecepatan penuh. Pria itu, tak mementingkan keselamatan agar lebih cepat sampai dan menemukan Alice—istrinya.“Aku tidak akan membiarkan Arsen mengambil kesempatan atas keterpurukan istriku. Tidak akan,” katanya dengan tatapan marah.Karena terlalu laju membawa mobilnya, pria yang tengah gelisah itu, hampir saja menabrak mobil yang tiba-tiba berhenti dipinggir jalan. Suara decitan terdengar memekakkan telinga pengedara yang lain.Tak ada waktu untuk meminta maaf, Leo dengan cepat melajukan mobil ke arah kediaman Arsen. Pria itu, menang yang paling memungkinkan mendekati istrinya.Sesampainya di kediaman Arsen, Leo melihat mobil pria yang menjadi rivalnya dalam cinta itu melaju ke arah berlawanan. Terlihat terburu dan mencurigakan.“Sial. Apakah dia tahu aku akan datang,” kata Leo, ia menghidupkan lagi mesin mobil menyusul Arsen yang terlihat terburu-buru.Seperti terlihat saling kejar, tetapi jelas Arsen tidak tahu jika dirinya diikuti dar
“Selamat pagi, Kak,” sapa Alisa, “eh maksud saya, Pak.”Alisa menggaruk tengkuk karena ketahuan lupa lagi. Wanita dengan penampilan modis serta riasan sedikit berani itu berjalan di belakang Leo dengan langkah yang seksi.Di belakang, Bram sampai menunduk karena tak sanggup dengan cara Alisa yang semakin berani berpenampilan.“Pak, bagaimana tidur Anda, kulihat–”“Apa jadwalku hari ini?” tanya Leo memotong ucapan tidak masuk akal dari Lisa.Mendengus kasar, “Pak kita bahkan belum sampai di ruangan, biarkan saya bernapas dulu,” jawab Lisa kesal karena kakaknya terlalu menekan dirinya.Leonardo menatap sinis pada adiknya, hari ini suasana hatinya sedang kacau, tetapi Alisa sengaja membuatnya semakin buruk.“Maaf saya terlambat.” Bram masuk ke dalam ruang besi, menekan tombol paling atas setelah mengatur napas.Leonardo berdecak, “Lain kali jangan terlalu banyak mengobrol pada mereka Bram. Fokus pada dirimu saja,” kata Leo sembari melirik sinis pada adiknya yang langsung melakukan aksi g
“Terima kasih, Pak.” Dara melingkarkan tangan erat pada pinggang alot Leonardo. Wanita yang hampir saja melompat dari gedung apartemen itu, berhasil dibujuk dan diselamatkan.Tangan Leo masih menggantung, tak membalas pelukan itu sama sekali. Dara—merasa hatinya tercubit dengan sikap Leo yang semakin dingin padanya.“Pak …,” ucap Dara lirih.“Apa kamu gila? Kamu bisa mati sia-sia Dara.” Leo melepaskan pelukan Dara sedikit kasar. Pria itu, menatap kesal pada sekretarisnya yang semakin tidak masuk akal.Dara menunduk takut. Tangannya saling bertaut dengan air mata yang mulai bercucuran.“Saya tidak bisa berpikir dengan benar, Pak. Rasa cinta saya yang begitu besar membuat saya tidak tahu harus melakukan apa,” kata Dara masih dengan posisi menunduk.“Kenapa tidak mengerti juga Dara, ini salah. Kamu menutup hati untuk orang lain hanya untuk rasa yang tak terbalas,” balas Leo mulai melembutkan suaranya.Dara mendongak, tatapannya sayu dengan air masih mengenang di kelopak mata. “Pak, ini s
Mereka berdua sama-sama terdiam beberapa menit. Hingga Alice mengusap perutnya pelan. “Lapar lagi?” tanya Leo terkekeh. Alice tersenyum kecil, ia menampilkan gigi rapi dengan wajah yang merah karena malu, “Tadi, hanya makan sedikit,” katanya. Leonardo mencubit pelan pipi yang mulai mengembang. “Kalau begitu, ayo kita makan lagi. Sepertinya aku juga mulai lapar." Alice mengangguk setuju, dengan hati-hati ia turun dari pangkuan Leonardo—suaminya. Wanita dengan perut buncit itu, melangkah ke arah sofa, duduk dengan rapi, menunggu Leo menyiapkan makan malam yang kesekian untuknya. “Suami yang manis,” kata Alice sembari tersenyum hangat. Leonardo yang mendengar ucapan Alice hanya menggeleng pelan, ia dengan cekatan membuat susu dan juga membuat makan malam ringan untuk sang istri. Setelah selesai, Leo membawa semua pada sang istri. “Minum susunya dulu.” Leonardo menyerahkan gelas susu hangat, kemudian menyerahkan semangkuk buah dan beberapa roti di piring yang lain. “Teri
Setelah makan malam bersama, Oscar membawa wanitanya ke kamar utama. Akan tetapi, Amanda menolak.“Aku harus kembali,” katanya berhasil membuat Oscar terpaku. Pria yang baru saja akan menunjukkan sesuatu itu, menatap Amanda dengan lekat.“Kembali? Kamu tidak bercanda kan?”Amanda tersenyum, “Tentu saja. Aku tidak mungkin bermalam di rumahmu, Oscar,” katanya.“Jelaskan kenapa?” Oscar mendekat dan menggenggam tangan wanitanya.“Ini terlalu cepat, aku akan kembali padamu setelah urusanmu dengan Delima selesai,” katanya dengan senyuman lembut, “lagipula, apa yang publik katakan jika tahu, aku tiba-tiba muncul?”“Aku akan mengurus semuanya. Lagipula, mengapa harus memikirkan perkataan orang lain, Manda?”“Karena kamu adalah Oscar. Kepulangan Alice bahkan masih menjadi berita hangat. Mereka bisa saja semakin terkejut jika aku tiba-tiba muncul,” imbuh Amanda lagi.“Tetapi, aku tidak bisa membiarkanmu pergi, mengertilah,” katanya memelas.Amanda terkekeh pelan, “Jangan bersikap seperti pria m