Di dalam dapur berukuran besar. Wanita dengan pakaian tidur sedang berjongkok di sudut meja dengan air mata yang terus mengalir. Kakinya merah melepuh, sedang hatinya menganga dengan luka yang baru.Bahunya bergetar, ia menutup mulut agar tangisnya tak terdengar oleh siapa pun. Bayangan-bayangan bagaimana Dara yang mengecup suaminya masih terlihat dengan jelas, apalagi, ketika ia melihat tatapan rela Leonardo, hatinya semakin hancur.‘Dia tidak mencintaiku, seharusnya aku menyadari ini,’ batinnya menjerit sakit.Napas terengah dengan air mata yang terus mengalir, Alice menepuk dadanya yang sesak oleh kenyataan pahit yang ia alami.Begitu banyak kepedihan dan kesakitan. Leonardo bahkan sudah menasehati dirinya berulang kali agar tidak terlalu banyak berharap. Namun, dengan tekad yang kuat ia menolak semua. Ia seolah menantang takdir yang bilang miliknya.‘Sudah cukup Alice. Apalagi yang kamu harapkan? Benar kata ayahmu, mereka tidak memperlakukanmu baik karena tidak tahu siapa dirimu,’
Di dalam ruangan kerja Leonardo, pria itu duduk dengan tenang, menatap kakeknya yang terlihat sangat murka.Pria itu adalah horison, pria yang memiliki hubu lama dengan Oscar di masa lalu. Pria yang menjodohkan cucunya dengan putri Oscar dengan tujuan yang penting. Namun, sepertinya Leonardo tidak bisa diajak bekerja sama.“Di mana kamu semalam sampai tidak tahu kemana istrimu berada?” tanya Horrison dengan suara yang dingin.Ia menatap marah pada cucunya yang terlihat sangat santai dalam menghadapi apa pun. Dalam hal ini, Horison menyukai ketahanan cucunya. Namun, dalam hal ini, dia kecewa.“Kenapa kakek begitu khawatir. Bisa saja dia ke pasar seperti biasa,” jawab Leonardo dengan santai.Horison menatap semakin tidak percaya, bagaimana bisa dengan santainya Leonardo tidak merasa khawatir sama sekali.“Bagaimana jika tidak? Bahkan pelayan yang biasa ia temani berada di dapur,” ucap Horison menguji cucunya.Leonardo menghela napas jengah, ia merasa jika kakeknya sangat berlebihan. Apa
Alice menatap dengan tatapan nanar, tatkala menyaksikan dengan jelas bagaimana tatapan Leonardo yang begitu hangat pada Dara. Ia tersenyum kecut, ketika menyaksikan Dara yang dengan berani duduk di sebelah suaminya.“Kenapa mendadak diam? Kalian membicarakan aku, ya?” tanya Dara sekali lagi.Ia jelas melihat kedua pria yang bersamanya ini saling mengobrol hangat tadi, tetapi setelah ia tiba, mendadak semua terdiam.“Pak Bram, Anda membicarakan saya?” tanya Dara pada Bram yang langsung menjepit mulut ketika Dara tiba.“Huem, hanya membicarakan pekerjaan Anda yang luar biasa,” jawab Bram berkilah.Dara tersenyum lebar, “Terima kasih atas pujian Anda, Pak. Saya hanya bekerja seperti yang pernah Pak Leo ajarkan pada saya.”Bram terlihat bingung, kemudian menatap Leonardo dengan beribu pertanyaan di dalam kepala hebatnya.Namun, dengan cepat Leonardo menepis apa yang ada di kepala Bram. Ia tidak akan membuat Asistennya berpikir salah tentang dirinya.Tidak lama, makanan yang mereka pesan t
Luna dan Alisa keluar dari kamar ketika mendengar suara mobil Leonardo yang memasuki halaman rumah. Lebih terkejut ketika mendapati Alice mengekor di belakang suaminya.Luna ingin mendekat tetapi Alisa mencoba menahan ibunya, ia juga penasaran dengan apa yang baru saja dilihat. Alice dengan penampilan berbeda, dengan sang kakak yang terlihat begitu murka.“Leon, aku bisa jelaskan padamu,” kata Alice yang sudah berada di dalam kamar mereka. Leonardo membawa Alice masuk ke kamar dan menguncinya. Pria itu bahkan sudah membuang jas miliknya ke sembarang arah.“Apa kamu ingin balas dendam padaku?” tanya Leonardo dengan tatapan marah. Hatinya begitu diremas melihat bagaimana tatapan Arsen yang begitu teduh pada Alice tadi.Alice menggeleng. “Tidak. Aku sudah katakan kamu salah paham, aku dan Arsen–”“Jangan sebut namanya!” sentak Leonardo begitu kesal.Alice sampai terlonjak kebelakang, begitu terkejut dengan suara keras Leonardo padanya. Pria itu melepas dasinya paksa, mendengar nama Arsen
Sore hari, Leonardo baru turun ke lantai bawah. Seharian ia memang mengerjakan semua pekerjaan dari rumah. Ia percayakan semua pada Bram dan juga Dara. Keduanya harus selalu bekerja sama untuk mewujudkan nilai yang lebih baik.Ketika Leonardo keluar dari kamar. Ia tak mendapati Alice di atas ranjang. Leonardo menatap dengan tatapan rumit sprei dengan bercak merah di atas kasur.Setelah yakin jika Alice di dalam kamar mandi, ia bergegas keluar. Sejujurnya Leonardo menghindari pertemuan dengan Alice. Takut jika mereka bertemu bayangan tak terkendali beberapa jam lalu kembali terlintas.Leonardo masuk ke dalam bar mini. Bar yang sangat jarang dimasuki jika tidak dalam keresahan yang mendalam.Horison menatap cucunya dengan pandangan rumit. Ia sempat melihat kedua cucunya pulang dengan keadaan marah siang tadi. Sebagai orang tua, ia berharap banyak jika Leonardo mempertahankan pernikahan mereka.Sementara itu, Alisa masih tetap berdiri di pojok ruangan. Setelah memastikan sang kakek masuk
Malam hari, setelah makan malam, Alice bahkan tak keluar kamar. Luna dan Alisa jelas saja murka karena seharian menantu dan iparnya tidak terlihat.“Ibu sangat yakin, wanita itu sengaja mengurung diri di kamar karena menghindari pekerjaan,” kesal Luna menatap ke lantai atas.Alisa mengangguk setuju, selama dia pulang, Alice memang lebih sering meninggalkan pekerjaannya.“Aku akan ke kamarnya dan menyeretnya keluar, Bu,” kata Alisa sudah bersiap naik. Namun, Leonardo berdehem dan menatap tak suka dengan sikap adiknya.Luna menoleh dan menatap Leonardo yang membawa nampan makanan, “Makanan untuk siapa itu?”“Alice belum makan, Bu. Aku akan membawa makanan untuknya.” Leonardo sudah bersiap naik tangga. Namun, Luna segera mencegah.“Biar pelayan yang membawakannya,” ucap Luna. Ia memanggil pelayan yang kebetulan terlihat dan memintanya untuk membawa nampan ke kamar Alice. Memang selama ini, Luna tak masalah jika Alice makan di dalam kamar asal mereka tidak semeja. Namun, ini pertama kalin
Di dalam kamar, Silvia terus mondar mandir seperti setrikaan. Mengetahui jika semua orang sudah menemukan keberadaan Alice semakin membuatnya takut. Ia juga baru mengetahui jika ayahnya baru saja menemui Alice di kediamannya.“Bagaimana bisa ayah begitu cepat menemukannya?” Silvia memijat pangkal hidung. “Bagaimana jika dia mengadu dan mengatakan semuanya pada ayah?”Silviana menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu kencang. Ia menatap sekeliling, mencari cara untuk tetap tenang meskipun pikiran-pikirannya berlarian liar di dalam kepalanya. “Tenang Silviana, kamu tidak akan tersingkir,” ucapnya pada diri sendiri.Silviana begitu takut, Alice akan menguasai semuanya sendiri. Selama ini dialah yang bekerja dengan sepenuh jiwanya. Merawat ayahnya dan menjaga nama baik ayahnya. Kehadiran Alice akan meredupkan namanya dan dia kembali tersisih."Bagaimana jika Alice mengusirku dan Ibu?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Jantungnya berdegu
“Kamu tidur di mana Leo?” tanya Luna menatap putranya yang keluar dari ruang kerja dengan rambut acak-acakan. Kemeja Leonardo bahkan terlihat sangat berantakan dengan salah satu kancingnya terlepas. Alisa yang baru turun dari lantai atas juga terlihat terkejut karena pertama kalinya Leonardo bangun siang dengan penampilan yang berantakan.“Kak. Ada apa denganmu? Kemarin kamu tidak ke kantor,” ucap Lisa, “dan hari ini, penampilanmu bahkan sangat mengerikan.”Leonardo menatap sinis pada Alisa yang langsung bersembunyi di belakang ibunya. Takut jika ia mendapat murka dan uang bulanannya terpotong.Luna menghela napas dalam, menatap kedua anaknya yang tak pernah akur sejak kecil. Ia mendekat dan menatap Leonardo dari dekat. “Ada apa sebenarnya?”Leonardo menggeleng dan melangkah melewati ibu dan adiknya. Di depan pintu kamar, Horison sama herannya dengan kedua wanita di rumahnya. Ia berjalan pelan ke arah Luna.“Ada apa dengannya?” tanya Horison menatap cucu lelakinya.Luna menoleh pada