“Kamu tidur di mana Leo?” tanya Luna menatap putranya yang keluar dari ruang kerja dengan rambut acak-acakan. Kemeja Leonardo bahkan terlihat sangat berantakan dengan salah satu kancingnya terlepas. Alisa yang baru turun dari lantai atas juga terlihat terkejut karena pertama kalinya Leonardo bangun siang dengan penampilan yang berantakan.“Kak. Ada apa denganmu? Kemarin kamu tidak ke kantor,” ucap Lisa, “dan hari ini, penampilanmu bahkan sangat mengerikan.”Leonardo menatap sinis pada Alisa yang langsung bersembunyi di belakang ibunya. Takut jika ia mendapat murka dan uang bulanannya terpotong.Luna menghela napas dalam, menatap kedua anaknya yang tak pernah akur sejak kecil. Ia mendekat dan menatap Leonardo dari dekat. “Ada apa sebenarnya?”Leonardo menggeleng dan melangkah melewati ibu dan adiknya. Di depan pintu kamar, Horison sama herannya dengan kedua wanita di rumahnya. Ia berjalan pelan ke arah Luna.“Ada apa dengannya?” tanya Horison menatap cucu lelakinya.Luna menoleh pada
Saat ini Alice sudah berada di depan gedung pencakar langit. Ia meneguk ludahnya bukan karena akan bertemu Dara atau Sartika, melainkan takut jika di dalam kebetulan ada yang melihatnya.‘A-ku harus bagaimana?’ batinnya menatap Leonardo dengan tatapan bingung.Pria di sebelahnya, tiba-tiba saja ingin membawanya ke kantor. Mendadak banyak bicara dan sedikit aneh.“L-leon–”Alice menghentikan suaranya ketika Bram turun dari mobil mewahnya. Ia terlihat berlari ke arah mereka. “Pak, saya sudah mendapat apa yang Anda minta.” Bram memberikan tote bag berwarna krem kepada Alice, senyumnya sedikit canggung namun penuh perhatian. Alice mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan pemberian yang tiba-tiba itu. Ia menerima tas tersebut dengan ragu, merasakan berat di dalamnya yang tak biasa.“Apa ini, Pak Bram?” tanyanya sambil melirik ke arah totebag yang kini ada di tangannya.“Buka saja,” jawab Leonardo singkat, senyumannya kini berubah menjadi sedikit misterius.Dengan hati-hati, Rachel memb
Mata indah itu mulai terbuka perlahan. Alice mengerjap pelan, melihat sekeliling dengan warna biru muda. Alice masih tidak mengerti dirinya berada di mana saat ini.“Akhirnya kamu sadarkan diri, Alice.” Arsen menggenggam tangan Alice erat dan mengecupnya lembut.Beberapa saat Alice terdiam hingga ia berkata, “A-ku di mana?” tanyanya dengan suara lemah.“Jangan banyak bicara dulu. Kamu tidak tahu bagaimana khawatirnya aku beberapa hari,” kata Arsen dengan nada yang serak.Alice tersenyum kecil, ia menatap Arsen yang benar-benar sedih. Kemudian ia melihat ke arah pintu yang mulai terbuka.“A-ayah,” kata Alice dengan suara lemah.Oscar berjalan mendekat. Beberapa orang sudah bersiap di depan pintu menjaga keamanan mereka. Sementara Arsen ia melepas tak rela tangan Alice dan bergeser sedikit jauh. Ia bahkan terlihat mengusap air matanya yang sempat terjatuh.“Ayah senang karena akhirnya kamu sudah membuka mata, Sayang,” kata Oscar, “kamu harus tahu, Arsen sudah tiga hari tidak pulang kare
Pada jam makan siang, di resto terkenal yang Leonardo tidak tahu jika itu adalah milik istrinya. Tempat di mana ia mendapati Alice dan Arsen berduaan beberapa minggu yang lalu.Leonardo menatap pergelangan tangan yang ia sempat jam mahal bermerek. Ini sudah setengah jam ia menunggu tetapi, batang hidung pria yang menjadi penyebab berubahnya sang istri tak juga terlihat.Leonardo menghubungi Bram yang berada di kantor. Pria itu mengkonfirmasi masih jika Arsen masih berada di perjalanan menuju tempat pertemuan.“Sialan, dia mempermainkan aku,” desis Leonardo tak habis pikir.Leonardo memesan kopi kedua, ia benar-benar tak tahu di mana keberadaan Alice uang sudah menghilang selama beberapa hari setelah kejadian itu.Rasa menyesal tentu saja ada. Ia sebagai suami tak melakukan apa pun saat itu. Jika kakeknya tahu, maka habislah dia.“Tuan, kopi Anda,” kata pelayan restoran sopan.Leonardo tak menjawab, ia masih tetap menatap pintu masuk. Menunggu pria yang tiba-tiba menjadi orang ketiga
“Silviana, tolong tenangkan dirimu, Nak,” ucap Delima mendekati putrinya, ia mengusap lengan Silvia yang sudah bergetar karena emosi yang meluap.“Kamu memang anak Oscar, tolong jangan dengarkan siapa pun kecuali ibu, ya.” Delima meremas kain gaunnya.Terdengar tawa Silvia yang semakin membuat Delima merasa bersalah dan malu. Berkata jujur disaat hati Silvia tidak tenang akan memperburuk keadaan.“Keluarlah Bu. Aku ingin sendiri.” Silvia melangkah ke arah pintu kamarnya, membuka dan meminta ibunya untuk keluar.Delima menghela napas dalam. Silvia dalam mood yang tak baik. Untuk itu, ia memilih untuk mengalah dan meninggalkan kamar putrinya. Ia harus menanyakan pada Eldhan di mana Oscar yang sudah sering kali meninggalkan rumah.Di lantai bawah, Delima tidak mendapati siapa-siapa, kecuali Burhan. Salah satu orang kepercayaannya Oscar yang selalu pergi bersama Hary. Delima berjalan ke arah luar di mana Burhan duduk dengan seorang penjaga.Burhan yang tahu jika dirinya di panggil segera
Di dalam ruangan serba biru muda, wanita cantik dengan rambut tergerai tangah menikmati makanan yang ayahnya siapkan. Wajahnya cerah dengan tawa yang tak pernah terhenti sejak beberapa hari sebelumnya.Alice meraih minuman yang Ayahnya—Oscar berikan lalu meminumnya hingga setengah“Ayah, apa tidak rindu pada ibu Delima, sudah beberapa hari Ayah di sini,” katanya menggoda ayahnya dengan kerlingan cantik.Oscar berdecak, ia mengusap kepala putrinya dan kembali menyuapinya dengan buahan yang sudah dipotong-potong kecil.“Ayo habiskan. Setelah itu istirahat.” Oscar menyuapi kembali dengan sayang.Diantara keduanya sudah tak ada lagi rahasia. Alice sudah tahu jika ayahnya tak bersalah, pun Oscar sudah tahu kenapa putrinya meninggalkan rumah.“Ayah, ibu Delima begitu mencintai Ayah, jadi mungkin saja dia melakukan itu karena takut aku–”“Jangan bahas lagi, ayah tidak ingin mendengar tentang orang lain selama bersamamu,” potong Oscar dengan suara yang lembut tetapi sangat tegas.“Ha, baiklah
“Tenang dulu, oke!” Dara mengangkat kedua tangan meminta semua orang bersabar dan tidak berteriak ke arahnya.Gadis yang sudah hampir satu jam menjelaskan semua dengan baik itu sudah terlihat sangat kelelahan dan—frustasi.“Nona Dara tolong panggilkan pak Direktur utama, katakan padanya jika kami tak mendapat upah secara full,” teriak salah seorang hang sejak tadi menjadi pemimpin untuk yang lain.“Baiklah! Tanpa kalian berteriak pada Direktur sudah mendengarnya,” kata Dara jengah dan kesal pada Bram yang tak turun membantunya menghadapi massa.“Kepemimpinan pak Leonardo memang tidak bagus, bahkan tidak pernah mau mendengarkan keluh kesah kami selama ini,” sahut yang lain, “lebih baik pak Horison kembali menjabat atau kami mogok bekerja.”“Baiklah, tolong tenangkan diri kalian. Ini bukan karena kesalahan pak Direktur, tolong mengertilah!” ucap Dara kehabisan kata-kata, sudah menjelaskan panjang lebar dengan baik tetapi mereka terlalu bar-bar.Dari arah belakang, Bram datang dengan gag
“Sekarang katakan padaku? Di mana pak Abrahan sekarang?” tanya Leonardo pada Bram. Ini sudah dua hari setelah kekacauan yang terjadi. Bahkan berita tidak benar sudah tersebar dengan sangat cepat.Beberapa orang bahkan dengan cepat menolak kerja sama dengannya hanya karena masalah kecil. Leonardo memijat pangkal hidung. Tiba-tiba sekali Abrahan menghilang tak tahu kemana setelah melakukan banyak kekacauan.“Kami tidak menemukannya di kediamannya, Pak. Kemungkinan dia melarikan diri beserta anak dan istrinya,” lapor Bram yakin.Leonardo berdecak, ia menatap laptop miliknya, menekan salah satu nama dan semua selesai dalam satu kali tindakan.“Biarkan saja. Aku pastikan dia akan kembali memohon sebelum dia bulan kehilangannya,” kata Leonardo begitu yakin. Leonardo dan Bram menoleh ke arah pintu, di sana sudah berdiri seorang gadis dengan senyum menawan di bibirnya.Dara melangkah dengan gaya sensual, menatap Leonardo dengan tatapan cinta yang tak bisa lagi disembunyikan.“Pak, saya ingin