Di dalam kamar, Silvia terus mondar mandir seperti setrikaan. Mengetahui jika semua orang sudah menemukan keberadaan Alice semakin membuatnya takut. Ia juga baru mengetahui jika ayahnya baru saja menemui Alice di kediamannya.“Bagaimana bisa ayah begitu cepat menemukannya?” Silvia memijat pangkal hidung. “Bagaimana jika dia mengadu dan mengatakan semuanya pada ayah?”Silviana menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu kencang. Ia menatap sekeliling, mencari cara untuk tetap tenang meskipun pikiran-pikirannya berlarian liar di dalam kepalanya. “Tenang Silviana, kamu tidak akan tersingkir,” ucapnya pada diri sendiri.Silviana begitu takut, Alice akan menguasai semuanya sendiri. Selama ini dialah yang bekerja dengan sepenuh jiwanya. Merawat ayahnya dan menjaga nama baik ayahnya. Kehadiran Alice akan meredupkan namanya dan dia kembali tersisih."Bagaimana jika Alice mengusirku dan Ibu?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Jantungnya berdegu
“Kamu tidur di mana Leo?” tanya Luna menatap putranya yang keluar dari ruang kerja dengan rambut acak-acakan. Kemeja Leonardo bahkan terlihat sangat berantakan dengan salah satu kancingnya terlepas. Alisa yang baru turun dari lantai atas juga terlihat terkejut karena pertama kalinya Leonardo bangun siang dengan penampilan yang berantakan.“Kak. Ada apa denganmu? Kemarin kamu tidak ke kantor,” ucap Lisa, “dan hari ini, penampilanmu bahkan sangat mengerikan.”Leonardo menatap sinis pada Alisa yang langsung bersembunyi di belakang ibunya. Takut jika ia mendapat murka dan uang bulanannya terpotong.Luna menghela napas dalam, menatap kedua anaknya yang tak pernah akur sejak kecil. Ia mendekat dan menatap Leonardo dari dekat. “Ada apa sebenarnya?”Leonardo menggeleng dan melangkah melewati ibu dan adiknya. Di depan pintu kamar, Horison sama herannya dengan kedua wanita di rumahnya. Ia berjalan pelan ke arah Luna.“Ada apa dengannya?” tanya Horison menatap cucu lelakinya.Luna menoleh pada
Saat ini Alice sudah berada di depan gedung pencakar langit. Ia meneguk ludahnya bukan karena akan bertemu Dara atau Sartika, melainkan takut jika di dalam kebetulan ada yang melihatnya.‘A-ku harus bagaimana?’ batinnya menatap Leonardo dengan tatapan bingung.Pria di sebelahnya, tiba-tiba saja ingin membawanya ke kantor. Mendadak banyak bicara dan sedikit aneh.“L-leon–”Alice menghentikan suaranya ketika Bram turun dari mobil mewahnya. Ia terlihat berlari ke arah mereka. “Pak, saya sudah mendapat apa yang Anda minta.” Bram memberikan tote bag berwarna krem kepada Alice, senyumnya sedikit canggung namun penuh perhatian. Alice mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan pemberian yang tiba-tiba itu. Ia menerima tas tersebut dengan ragu, merasakan berat di dalamnya yang tak biasa.“Apa ini, Pak Bram?” tanyanya sambil melirik ke arah totebag yang kini ada di tangannya.“Buka saja,” jawab Leonardo singkat, senyumannya kini berubah menjadi sedikit misterius.Dengan hati-hati, Rachel memb
Mata indah itu mulai terbuka perlahan. Alice mengerjap pelan, melihat sekeliling dengan warna biru muda. Alice masih tidak mengerti dirinya berada di mana saat ini.“Akhirnya kamu sadarkan diri, Alice.” Arsen menggenggam tangan Alice erat dan mengecupnya lembut.Beberapa saat Alice terdiam hingga ia berkata, “A-ku di mana?” tanyanya dengan suara lemah.“Jangan banyak bicara dulu. Kamu tidak tahu bagaimana khawatirnya aku beberapa hari,” kata Arsen dengan nada yang serak.Alice tersenyum kecil, ia menatap Arsen yang benar-benar sedih. Kemudian ia melihat ke arah pintu yang mulai terbuka.“A-ayah,” kata Alice dengan suara lemah.Oscar berjalan mendekat. Beberapa orang sudah bersiap di depan pintu menjaga keamanan mereka. Sementara Arsen ia melepas tak rela tangan Alice dan bergeser sedikit jauh. Ia bahkan terlihat mengusap air matanya yang sempat terjatuh.“Ayah senang karena akhirnya kamu sudah membuka mata, Sayang,” kata Oscar, “kamu harus tahu, Arsen sudah tiga hari tidak pulang kare
Pada jam makan siang, di resto terkenal yang Leonardo tidak tahu jika itu adalah milik istrinya. Tempat di mana ia mendapati Alice dan Arsen berduaan beberapa minggu yang lalu.Leonardo menatap pergelangan tangan yang ia sempat jam mahal bermerek. Ini sudah setengah jam ia menunggu tetapi, batang hidung pria yang menjadi penyebab berubahnya sang istri tak juga terlihat.Leonardo menghubungi Bram yang berada di kantor. Pria itu mengkonfirmasi masih jika Arsen masih berada di perjalanan menuju tempat pertemuan.“Sialan, dia mempermainkan aku,” desis Leonardo tak habis pikir.Leonardo memesan kopi kedua, ia benar-benar tak tahu di mana keberadaan Alice uang sudah menghilang selama beberapa hari setelah kejadian itu.Rasa menyesal tentu saja ada. Ia sebagai suami tak melakukan apa pun saat itu. Jika kakeknya tahu, maka habislah dia.“Tuan, kopi Anda,” kata pelayan restoran sopan.Leonardo tak menjawab, ia masih tetap menatap pintu masuk. Menunggu pria yang tiba-tiba menjadi orang ketiga
“Silviana, tolong tenangkan dirimu, Nak,” ucap Delima mendekati putrinya, ia mengusap lengan Silvia yang sudah bergetar karena emosi yang meluap.“Kamu memang anak Oscar, tolong jangan dengarkan siapa pun kecuali ibu, ya.” Delima meremas kain gaunnya.Terdengar tawa Silvia yang semakin membuat Delima merasa bersalah dan malu. Berkata jujur disaat hati Silvia tidak tenang akan memperburuk keadaan.“Keluarlah Bu. Aku ingin sendiri.” Silvia melangkah ke arah pintu kamarnya, membuka dan meminta ibunya untuk keluar.Delima menghela napas dalam. Silvia dalam mood yang tak baik. Untuk itu, ia memilih untuk mengalah dan meninggalkan kamar putrinya. Ia harus menanyakan pada Eldhan di mana Oscar yang sudah sering kali meninggalkan rumah.Di lantai bawah, Delima tidak mendapati siapa-siapa, kecuali Burhan. Salah satu orang kepercayaannya Oscar yang selalu pergi bersama Hary. Delima berjalan ke arah luar di mana Burhan duduk dengan seorang penjaga.Burhan yang tahu jika dirinya di panggil segera
Di dalam ruangan serba biru muda, wanita cantik dengan rambut tergerai tangah menikmati makanan yang ayahnya siapkan. Wajahnya cerah dengan tawa yang tak pernah terhenti sejak beberapa hari sebelumnya.Alice meraih minuman yang Ayahnya—Oscar berikan lalu meminumnya hingga setengah“Ayah, apa tidak rindu pada ibu Delima, sudah beberapa hari Ayah di sini,” katanya menggoda ayahnya dengan kerlingan cantik.Oscar berdecak, ia mengusap kepala putrinya dan kembali menyuapinya dengan buahan yang sudah dipotong-potong kecil.“Ayo habiskan. Setelah itu istirahat.” Oscar menyuapi kembali dengan sayang.Diantara keduanya sudah tak ada lagi rahasia. Alice sudah tahu jika ayahnya tak bersalah, pun Oscar sudah tahu kenapa putrinya meninggalkan rumah.“Ayah, ibu Delima begitu mencintai Ayah, jadi mungkin saja dia melakukan itu karena takut aku–”“Jangan bahas lagi, ayah tidak ingin mendengar tentang orang lain selama bersamamu,” potong Oscar dengan suara yang lembut tetapi sangat tegas.“Ha, baiklah
“Tenang dulu, oke!” Dara mengangkat kedua tangan meminta semua orang bersabar dan tidak berteriak ke arahnya.Gadis yang sudah hampir satu jam menjelaskan semua dengan baik itu sudah terlihat sangat kelelahan dan—frustasi.“Nona Dara tolong panggilkan pak Direktur utama, katakan padanya jika kami tak mendapat upah secara full,” teriak salah seorang hang sejak tadi menjadi pemimpin untuk yang lain.“Baiklah! Tanpa kalian berteriak pada Direktur sudah mendengarnya,” kata Dara jengah dan kesal pada Bram yang tak turun membantunya menghadapi massa.“Kepemimpinan pak Leonardo memang tidak bagus, bahkan tidak pernah mau mendengarkan keluh kesah kami selama ini,” sahut yang lain, “lebih baik pak Horison kembali menjabat atau kami mogok bekerja.”“Baiklah, tolong tenangkan diri kalian. Ini bukan karena kesalahan pak Direktur, tolong mengertilah!” ucap Dara kehabisan kata-kata, sudah menjelaskan panjang lebar dengan baik tetapi mereka terlalu bar-bar.Dari arah belakang, Bram datang dengan gag
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t
“Aku akan memikirkan ini dengan segera,” kata Bram pada akhirnya.Dara mengangguk. “Terima kasih, aku hanya ingin Sera baik-baik saja dan jauh dari mereka.”Dara teringat sesuatu. Ia menatap Bram dengan rasa khawatiran yang semakin mencuat. “Bram, bukankah kamu pergi menjemput pak Leo? Kamu tidak memberitahu siapa Sera padanya kan?” tanyanya serius.Bram terdiam, ia memaksa untuk tersenyum, “Dara, aku–”“Jangan katakan jika pak Leo sudah tahu siapa Sera, Bram?” Dara semakin khawatir, ia mencoba percaya pada Bram sepenuhnya.“Pak Leo sudah tahu,” jawabnya tanpa menoleh, pria itu sebenarnya lebih khawatir pada Alice, apalagi tatapannya tadi seolah sudah mengetahui semuanya.“Ba-bagaimana kamu bisa memberitahunya, Bram?” pekik Dara tertahan, takut jika Sera mendengar obrolan mereka.“Jika pak Leo tahu, istrinya sudah pasti–” Dara terdiam lagi, ia menatap Bram semakin lamat, “apakah kamu membawa Sera ke rumahnya? Kamu pergi membawa anakku mengantarnya ke rumah?”Leo membuang napas kasar,
“Leon, siapa gadis yang bersama Bram tadi?” Alice yang hendak memejamkan mata menoleh ke belakang. Ia tidak bisa memejamkan mata mengingat tatapan gadis tadi padanya.“Dia Sera,” jawab Leo singkat, “ayo kita tidur.”Alice mengerutkan kening, tak biasa Leo seperti menolak obrolan mereka. Ibu dari tiga anak itu kembali berkata, “Sera? Aku tidak tahu jika Bram memiliki kekuarga–”“Alice, lebih baik kita–”“Aku hanya ingin tahu, tatapan gadis tadi seperti tidak asing,” imbuhnya, selama Bram bekerja dengannya, ia tak tahu jika pria itu memiliki keluarga.“Apakah dia keluarga Bram? Kenapa kita tidak tahu jika selama ini–”“Alice, kita bahas besok ya,” katanya, “aku sangat mengantuk dan lelah.” Leo meraih Alice dalam dekapannya, ia memeluk istrinya dan mulai memejamkan mata hingga tertidur dengan lelapnya.Alice mendesah pelan, ia menyesal karena telah memaksa Leo menjawab pertanyaan, “Maafkan aku, seharusnya tadi tidak memaksamu untuk menjawab,” gumamnya pelan seperti berbisik.Sementara it
“Ibu … Damian jatuh cinta,” teriak jatuh Laila dari arah luar. Gadis berusia 18 tahun dengan suara melengking itu, berlari dengan sangat kencang.Alice yang masih berada di dapur sampai berdecak karena terkejut. “Ibu, aku yakin kak Laila sangat ditakuti di sekolahnya,” kata gadis kecil berusia sembilan tahu dengan susu di tangan kanannya.Alice menggeleng sembari meletakkan telunjuk di ujung bibir. “Jangan sampai kakakmu dengar, Ibu tidak ingin kamu mendapatkan masalah.”Clara mendengus kecil, “Dia sangat kejam, Ibu. Aku–”“Kamu membicarakanku, Clara?” Laila mendekat dengan tatapan memicing tajam pada adiknya. “Tidak. Mana mungkin aku berani membicarakan wanita angin badai sepertimu, Kak,” katanya dengan senyum yang manis.Laila membuang napas kasar, ia duduk di dekat Clara dan meraih gelas susu adiknya.“Itu milik–”“Mengalah saja. Andaikan dulu kamu lahir lelaki, kamu tidak akan menyusahkan aku,” ketusnya, ia tersenyum lega setelah menghabiskan susu milik adiknya.“Laila …,” tegur
Alice membuang napas pelan, kemudian menatap Leo yang masih terpaku. Bibirnya tersenyum kecil, kemudian melirik pada mertuanya yang terlihat syok di belakang Leo.“Satu lagi,” kata Alice tetapi tatapannya lurus pada Leo, “aku tidak akan menjamin keselamatanmu. Bisnis, dan apa pun yang kamu perjuangkan selama ini, aku tidak akan bertanggung jawab lagi.”Dara mengepalkan tangan, ia semakin yakin jika Alice bukan wanita baik. “Kamu berani melakukan itu pada Pak Leo? Dia–”“Ini bukan untuknya, tetapi untukmu.” Alice menoleh ke arah Dara yang langsung terdiam.Tersenyum kecil, Alice mengulurkan tangan dan menepuk wajah Dara yang sudah bengkak dengan pelan. “Aku memperingatkan dirimu, Nona Dara. Keluargamu, mereka tidak bersalah tetapi dengan cerobohnya, kamu menyeret mereka dalam kebusukanmu.”Alisa mengerutkan kening, tahu jika Dara tak memiliki keluarga, lalu ancaman macam apa yang Alice katakan. Namun, ketika wanita yang terlalu menggilai kakaknya itu bersuara, rasa penasarannya terjawa
Dara bersedekap, ia tak sabar menunggu kehadiran Leo. Dara yakin pria itu akan langsung datang apalagi ketika Alisa yang tak menjawab panggilan darinya.“Walaupun kakak datang, aku yakin dia akan langsung mengusirmu,” kata Alisa, ia sengaja tak menerima panggilan kakaknya, ingin melihat langsung apa yang akan kakaknya lakukan.Dara mendesah mengejek, “Kamu hanya tidak tahu sebesar apa kakakmu mencintaiku, Lisa. Aku yakin dia akan berlari dan meninggalkan istrinya yang sombong itu,” katanya percaya diri.“Oh, aku sangat tidak sabar. Jika benar seperti itu, kenapa harus datang ke sini? Kenapa tidak meminta kakakku datang ke tempatmu saja?” celetuk Lisa jengah.Dara terkekeh. Ia duduk dengan kaki menyilang. “Aku sengaja, aku ingin menunjukkan pada kalian jika Leo memang mencintaiku.”Alisa mendengus dingin, tetapi di dalam hati ia begitu takut dengan apa yang terjadi. Jika benar kakaknya datang, ia berjanji akan keluar dari perusahaan.Suara mobil terdengar, tidak hanya Dara dan Alisa, L
Malam yang mereka nantikan akhirnya tiba. Keluarga inti telah hadir semua, kecuali Luna dan Delima. Delima jelas menolak dengan keras, sementara Luna, Leonardo tidak mengizinkan ibunya bergabung karena kesehatan.“Terima kasih atas jamuan yang sangat istimewa,” kata pihak dari lelaki. Mereka semua sudah berkumpul di ruang keluarga setelah makan malam yang luar biasa.“Kita adalah keluarga. Menjamu keluarga dengan baik adalah kewajiban,” balas Amanda ramah, ia duduk di sebelah Silvia yang sejak tadi belum juga mengeluarkan suara.“Silvia, adalah putri kami, kebahagiaannya adalah kebahagiaan kami,” imbuh Amanda lagi.“Terima kasih Nyonya, Anda adalah Ibu yang baik,” timpal ibu Daniel, saya tidak mempermasalahkan nyonya Delima tidak hadir, saya akan berdoa atas kebahagiaan dirinya.”“Terima kasih, Bi. Saya sungguh sangat menyesal karena tidak bisa membawa ibu saya datang,” balas Silviana akhirnya.“Tidak apa. Aku mengerti,” katanya, “panggil aku Ibu, sebentar lagi kamu dan putraku ini ak
“Bagaimana? Apakah ibu masih marah?” bisik Alice ketika suaminya sudah keluar dari dalam rumah. “Tidak. Ayo kita ke rumah ibu, aku sedikit sibuk hari ini dan kemungkinan akan datang terlambat.”“Bagaimana jika aku dan anak-anak bersama supir saja, pergilah bersama Alisa,” kata Alice kemudian.“Tidak masalah?”“Tidak, pergilah. Aku dan anak-anak akan bersama supir,” katanya lagi, meminta kedua anaknya untuk keluar.Leonardo meminta maaf karena dia benar-benar terburu-buru. Pria itu mendapat telepon mendadak dari Bram yang sudah berada di kantor lebih dulu.“Tolong hati-hati. Beritahu jika kalian sudah sampai, ya.” Leo memeluk istrinya, kemudian mencium kedua anaknya secara bergantian.“Hum. Pergilah! Aku tidak mau kalian terlambat.” ________Setelah kepergian Leo, Alice dan kedua anaknya pun berlalu setelah berpamitan kembali dengan Luna. Wanita itu, masih saja bersikap acuh pada sang menantu yang entah karena apa sebenarnya.“Ibu, ada apa dengan nenek?” tanya Damian.“Nenekmu baik-b