Pada jam makan siang, di resto terkenal yang Leonardo tidak tahu jika itu adalah milik istrinya. Tempat di mana ia mendapati Alice dan Arsen berduaan beberapa minggu yang lalu.Leonardo menatap pergelangan tangan yang ia sempat jam mahal bermerek. Ini sudah setengah jam ia menunggu tetapi, batang hidung pria yang menjadi penyebab berubahnya sang istri tak juga terlihat.Leonardo menghubungi Bram yang berada di kantor. Pria itu mengkonfirmasi masih jika Arsen masih berada di perjalanan menuju tempat pertemuan.“Sialan, dia mempermainkan aku,” desis Leonardo tak habis pikir.Leonardo memesan kopi kedua, ia benar-benar tak tahu di mana keberadaan Alice uang sudah menghilang selama beberapa hari setelah kejadian itu.Rasa menyesal tentu saja ada. Ia sebagai suami tak melakukan apa pun saat itu. Jika kakeknya tahu, maka habislah dia.“Tuan, kopi Anda,” kata pelayan restoran sopan.Leonardo tak menjawab, ia masih tetap menatap pintu masuk. Menunggu pria yang tiba-tiba menjadi orang ketiga
“Silviana, tolong tenangkan dirimu, Nak,” ucap Delima mendekati putrinya, ia mengusap lengan Silvia yang sudah bergetar karena emosi yang meluap.“Kamu memang anak Oscar, tolong jangan dengarkan siapa pun kecuali ibu, ya.” Delima meremas kain gaunnya.Terdengar tawa Silvia yang semakin membuat Delima merasa bersalah dan malu. Berkata jujur disaat hati Silvia tidak tenang akan memperburuk keadaan.“Keluarlah Bu. Aku ingin sendiri.” Silvia melangkah ke arah pintu kamarnya, membuka dan meminta ibunya untuk keluar.Delima menghela napas dalam. Silvia dalam mood yang tak baik. Untuk itu, ia memilih untuk mengalah dan meninggalkan kamar putrinya. Ia harus menanyakan pada Eldhan di mana Oscar yang sudah sering kali meninggalkan rumah.Di lantai bawah, Delima tidak mendapati siapa-siapa, kecuali Burhan. Salah satu orang kepercayaannya Oscar yang selalu pergi bersama Hary. Delima berjalan ke arah luar di mana Burhan duduk dengan seorang penjaga.Burhan yang tahu jika dirinya di panggil segera
Di dalam ruangan serba biru muda, wanita cantik dengan rambut tergerai tangah menikmati makanan yang ayahnya siapkan. Wajahnya cerah dengan tawa yang tak pernah terhenti sejak beberapa hari sebelumnya.Alice meraih minuman yang Ayahnya—Oscar berikan lalu meminumnya hingga setengah“Ayah, apa tidak rindu pada ibu Delima, sudah beberapa hari Ayah di sini,” katanya menggoda ayahnya dengan kerlingan cantik.Oscar berdecak, ia mengusap kepala putrinya dan kembali menyuapinya dengan buahan yang sudah dipotong-potong kecil.“Ayo habiskan. Setelah itu istirahat.” Oscar menyuapi kembali dengan sayang.Diantara keduanya sudah tak ada lagi rahasia. Alice sudah tahu jika ayahnya tak bersalah, pun Oscar sudah tahu kenapa putrinya meninggalkan rumah.“Ayah, ibu Delima begitu mencintai Ayah, jadi mungkin saja dia melakukan itu karena takut aku–”“Jangan bahas lagi, ayah tidak ingin mendengar tentang orang lain selama bersamamu,” potong Oscar dengan suara yang lembut tetapi sangat tegas.“Ha, baiklah
“Tenang dulu, oke!” Dara mengangkat kedua tangan meminta semua orang bersabar dan tidak berteriak ke arahnya.Gadis yang sudah hampir satu jam menjelaskan semua dengan baik itu sudah terlihat sangat kelelahan dan—frustasi.“Nona Dara tolong panggilkan pak Direktur utama, katakan padanya jika kami tak mendapat upah secara full,” teriak salah seorang hang sejak tadi menjadi pemimpin untuk yang lain.“Baiklah! Tanpa kalian berteriak pada Direktur sudah mendengarnya,” kata Dara jengah dan kesal pada Bram yang tak turun membantunya menghadapi massa.“Kepemimpinan pak Leonardo memang tidak bagus, bahkan tidak pernah mau mendengarkan keluh kesah kami selama ini,” sahut yang lain, “lebih baik pak Horison kembali menjabat atau kami mogok bekerja.”“Baiklah, tolong tenangkan diri kalian. Ini bukan karena kesalahan pak Direktur, tolong mengertilah!” ucap Dara kehabisan kata-kata, sudah menjelaskan panjang lebar dengan baik tetapi mereka terlalu bar-bar.Dari arah belakang, Bram datang dengan gag
“Sekarang katakan padaku? Di mana pak Abrahan sekarang?” tanya Leonardo pada Bram. Ini sudah dua hari setelah kekacauan yang terjadi. Bahkan berita tidak benar sudah tersebar dengan sangat cepat.Beberapa orang bahkan dengan cepat menolak kerja sama dengannya hanya karena masalah kecil. Leonardo memijat pangkal hidung. Tiba-tiba sekali Abrahan menghilang tak tahu kemana setelah melakukan banyak kekacauan.“Kami tidak menemukannya di kediamannya, Pak. Kemungkinan dia melarikan diri beserta anak dan istrinya,” lapor Bram yakin.Leonardo berdecak, ia menatap laptop miliknya, menekan salah satu nama dan semua selesai dalam satu kali tindakan.“Biarkan saja. Aku pastikan dia akan kembali memohon sebelum dia bulan kehilangannya,” kata Leonardo begitu yakin. Leonardo dan Bram menoleh ke arah pintu, di sana sudah berdiri seorang gadis dengan senyum menawan di bibirnya.Dara melangkah dengan gaya sensual, menatap Leonardo dengan tatapan cinta yang tak bisa lagi disembunyikan.“Pak, saya ingin
Sepanjang malam Leonardo hanya diam duduk di pinggir ranjang, menatap Alice yang tertidur begitu nyenyak. Ia bisa melihat lengan yang lecet yang hampir sembuh juga wajah dengan goresan yang samar.Leonardo menghela napas pelan, terlalu rumit dan juga membingungkan. Ia tak tahu harus melakukan apa.Perlahan ia menaikkan selimut berwarna merah muda sebatas leher, kemudian berdiri dan meninggalkan Alice sendiri dalam tidurnya.Setelah makan malam selesai, Leonardo kembali ke ruang kerjanya. Disusul oleh Luna yang masih geram karena tadi Leonardo yang terlihat membela Alice.“Kamu tidak sadar juga? Lihatlah perusahaan kamu sampai mendapat berita jelek karena wanita itu, Leo,” tukas Luna geram.“Bu, pak Abrahan yang bertanggung jawab. Pria itu yang menggelapkan uang dan kabur bersama keluarganya,” balas Leonardo sopan.Luna menatap sinis pada putranya yang masih berdiri di antara buku yang berjejer rapi di tak raksasa. Ada banyak buku bacaan yang bisa mereka baca setiap harinya.“Ibu seben
Hari berlalu semakin cepat, hari di mana Leonardo akan keluar kota akhirnya tiba. Pria itu, pagi-pagi sekali juga bersiap dengan pakaian yang sudah Alice siapkan sejak malam hari.Hubungan mereka masih tetap sama, dingin dan juga hampa. Namun, Alice tak pernah mengeluh selama Leonardo masih menerima dirinya di dalam rumah.“Ini tasmu.” Alice memberikan tas kerja suaminya dengan wajah yang sedih. Mereka baru saja bertemu setelah dirinya di rawat dan sekarang Leonardo sudah harus pergi meninggalkan dirinya.“Ingat kataku. Jangan membuat ibu marah, jaga dia dan perhatikan makanannya,” kata Leonardo penuh harap. Ibunya tengah tidak sehat karena terlalu sering marah.“Baik, aku akan menjaga ibu dengan benar. Tolong percaya padaku, ya.”Leonardo menghela napas, Alice begitu semangat tiap harinya sedangkan dirinya tak pernah diterima dengan benar di rumah. Ia menatap istrinya lagi, “Apa kamu tidak lelah? Jika lelah–”“Aku tidak lelah, Leon. Aku akan tetap berada di sampingmu sampai kamu send
Alice yang baru saja selesai dengan rutinitasnya. Kembali ke kamarnya dengan tubuhnya lelah dan lemas. Seharian dia hanya makan sedikit saja dan belum makan apa pun setelahnya karena Luna menyembunyikan semua makanan yang ada di atas meja. Terpaksa Alice hanya membawa dua buah apel naik ke kamar untuk mengganjal perutnya yang lapar.Selesai mandi, Alice meraih satu apel dan langsung memakannya dengan tangan yang bergetar hebat. Perutnya terasa perih sejak sore.“Kenapa ibu tega sekali padaku,” katanya dengan nada yang lemah. Satu gigitan habis, ia menggigit bagian yang lain hingga menghabiskan setengah buah apel yang manis. Alice tersenyum cerah karena perutnya sudah terisi dengan sempurna dengan sepotong apel merah yang manis.“Ah, terima kasih apel, aku berhutang banyak padamu.” Alice meletakkan sisa apel ke atas piring lalu, meriah ponsel yang yang Arsen berikan padanya.Ponsel yang Leonardo berikan padanya saat itu, sudah hancur saat kecelakaan terjadi. Alice menghela napas pela