Hari berlalu semakin cepat, hari di mana Leonardo akan keluar kota akhirnya tiba. Pria itu, pagi-pagi sekali juga bersiap dengan pakaian yang sudah Alice siapkan sejak malam hari.Hubungan mereka masih tetap sama, dingin dan juga hampa. Namun, Alice tak pernah mengeluh selama Leonardo masih menerima dirinya di dalam rumah.“Ini tasmu.” Alice memberikan tas kerja suaminya dengan wajah yang sedih. Mereka baru saja bertemu setelah dirinya di rawat dan sekarang Leonardo sudah harus pergi meninggalkan dirinya.“Ingat kataku. Jangan membuat ibu marah, jaga dia dan perhatikan makanannya,” kata Leonardo penuh harap. Ibunya tengah tidak sehat karena terlalu sering marah.“Baik, aku akan menjaga ibu dengan benar. Tolong percaya padaku, ya.”Leonardo menghela napas, Alice begitu semangat tiap harinya sedangkan dirinya tak pernah diterima dengan benar di rumah. Ia menatap istrinya lagi, “Apa kamu tidak lelah? Jika lelah–”“Aku tidak lelah, Leon. Aku akan tetap berada di sampingmu sampai kamu send
Alice yang baru saja selesai dengan rutinitasnya. Kembali ke kamarnya dengan tubuhnya lelah dan lemas. Seharian dia hanya makan sedikit saja dan belum makan apa pun setelahnya karena Luna menyembunyikan semua makanan yang ada di atas meja. Terpaksa Alice hanya membawa dua buah apel naik ke kamar untuk mengganjal perutnya yang lapar.Selesai mandi, Alice meraih satu apel dan langsung memakannya dengan tangan yang bergetar hebat. Perutnya terasa perih sejak sore.“Kenapa ibu tega sekali padaku,” katanya dengan nada yang lemah. Satu gigitan habis, ia menggigit bagian yang lain hingga menghabiskan setengah buah apel yang manis. Alice tersenyum cerah karena perutnya sudah terisi dengan sempurna dengan sepotong apel merah yang manis.“Ah, terima kasih apel, aku berhutang banyak padamu.” Alice meletakkan sisa apel ke atas piring lalu, meriah ponsel yang yang Arsen berikan padanya.Ponsel yang Leonardo berikan padanya saat itu, sudah hancur saat kecelakaan terjadi. Alice menghela napas pela
Tengah malam, Alice yang tiba-tiba lapar kembali terbangun. Ia melirik satu apel lain yang masih tersisa di atas meja. Ia mengeluh karena terpaksa harus bangun sedangkan dirinya masih sangat mengantuk.Baru saja ia menurunkan kakinya, ponselnya terlihat menyala. Ia raih dengan perlahan dan tersenyum mendapati nomor Leonardo tertera di sana.Alice mengerutkan kening karena tak biasanya Loenardo mengirim sebuah foto padanya. Rasa penasaran yang besar membuatnya langsung membuka tanpa memikirkan hal lain selain kerinduan.Senyum yang tadinya terlihat cantik kini berubah menjadi lengkungan kesedihan. Sebuah foto kaki telanjang di bawah selimut. Terlihat putih dan bersih, Alice tahu itu kaki wanita.Ia menelan ludah, tersenyum kecut mendapati gambar yang ia tahu sengaja dikirim agar ia menyerah. Entah siapa yang mengirim Alice tidak peduli. Yang ia tahu, Leonardo memang tidak bisa mencintai dirinya.“Apa tujuanmu mengirim ini padaku?” balas Alice melalui ketikan di ponselnya. Ia mencoba ku
“Aku harap kamu sudah sadar jika dia bukan yang terbaik, Alice,” kata seseorang yang sejak tadi juga merasakan kesedihan dan kemarahan secara bersamaan. Ia menatap wanita yang saat ini berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan tatapan kesedihan.Alice menoleh, ia berjalan dengan langkah lemah. “Apa kamu ada makanan? Aku lapar.”Arsen menepuk jidat halusnya. Ia berdiri dan langsung berlari ke arah dapur. Karena terlalu bahagia dan rindu, ia sampai lupa menyiapkan minuman dan makanan untuk Alice.Alice terkekeh, ia berjalan mengikuti Arsen yang tidak pernah berubah sejak dulu. Di dapur besar itu, Arsen sudah mengeluarkan beberapa isi dari lemari pendingin. Ada banyak sampai dia bingung harus masak yang mana dulu.Alice menggeleng. “Biar aku yang masak.” Arsen menggaruk kepala yang tidak gatal, lalu meraih gelas dan mengisi dengan susu yang dingin. “Minum dulu. Aku tidak ingin kamu jatuh pingsan sebelum makanan selesai.”Alice langsung meminum susu yang Arsen berikan, sementara k
Arsen duduk dengan salah satu kaki menumpu pada kaki yang lain. Ia menatap Silviana dengan tatapan tak berminat seperti biasa. Tatapan yang tidak Silviana sukai sejak dulu.“Hentikan tatapan remeh itu, Arsen,” ujar Silvia mulai jengah, “coba sekali saja kau tatap aku dengan tatapan lain, cinta mungkin.”Arsen tertawa rendah, ia menggeleng dengan mulut yang masih terbuka menertawakan rasa percaya diri Silviana uang memuakkan.“Cinta?” ulang Arsen, “aku sudah memberikan seluruh cintamu padanya, Silviana.”“Jangan gila. Kita semua tahu jika Amelia sudah menikah,” kata Silviana, “dan aku rasa dia menikahi pria tua bodoh yang jelek.”Arsen menghentikan tawanya, ia menatap Silvia dengan serius kali ini, “Benar kau tidak tahu siapa suami kakakmu?”Silvia menyandarkan punggungnya, merasa tidak suka dengan pembahasan ini, tetapi agar dia bisa berlama-lama bersama Arsen akhirnya ia menahan diri.“Sudah aku katakan! Dia menikahi pria tua yang jelek. Aku melihat penampilannya dengan pakaian yang
Sampai di hotel, Leonardo langsung masuk ke dalam kamarnya. Disusul oleh Dara yang bingung karena Leonardo terus diam sepanjang perjalanan mereka. Wanita cantik itu mulai menyadari itu ketika bosnya memakan makanan yang menurutnya biasa saja.“Pak, Anda sakit?” tanya Dara setelah duduk di sebelah Leonardo.Leonardo menggeleng. “Dara tolong buatkan saya kopi.”Dara langsung berdiri. Ia takut jika bosnya benar-benar sakit. Rencana jalan-jalan berdua bisa saja gagal dan kemungkinan tidak ia dapatkan lagi. Dengan langkah tergesa Dara membuatkan kopi untuk Leonardo, berharap dengan kopi buatannya semua menjadi lebih baik.Tidak lama, Dara tiba dengan kopi seperti yang Leonardo inginkan. Lebih banyak kopi dibandingkan dengan gula.“Pak kopi Anda.” Dara meletakkan kopi di atas meja. Lalu duduk kembali di samping Leonardo dengan tangan yang mulai bergerak lincah memijat lengan.“Pak, apakah Anda sakit?” tanya Dara panik.“Aku tahu kamu bertanya seperti itu karena takut jatah liburanmu terpoto
“Mau kemana lagi?” tanya Luna pada menantunya. Wanita itu, entah sejak kapan sudah duduk depan teras dengan teh yang sudah tersedia di atas meja.Alice menoleh pada mertuanya, lalu mendekat pelan. “Ibu, aku ingin menjenguk ibuku, dia kurang sehat.”“Sakit lagi? Aku rasa dia sengaja melakukan ini,” dengus Luna menatap sinis menantunya.“Ibuku tidak mungkin berbohong, Bu. Dia memang sakit beberapa hari ini,” kata Alice menjelaskan, “sarapan ini sudah aku siapkan. Pelayan akan bawa ke kamar nanti,” sambungnya.Luna berdecih, dia berdiri dan berjalan ke arah Alice yang sudah khawatir dengan apa yang akan terjadi. Satu tarikan kuat Luna lakukan pada rambut menantunya.Alice memegang tangan ibu mertuanya yang masih kita dengan cekalan di rambut. “I-ibu, tolong maafkan aku.”“Aku tahu kamu hanya beralasan saja selama ini, Alice,” kata Luna dengan suara yang gemetar oleh kemarahan yang tertahan, “kamu ingin menemui pria yang kemarin, bukan?”Alice terdiam sejenak. Udara di antara mereka teras
Leonardo merebahkan diri di atas ranjangnya. Ranjang yang Alice tempati lebih tepatnya. Ranjang yang awalnya adalah miliknya setahun yang lalu. Kini berubah menjadi kasur istrinya yang semua serba merah muda. Leonardo memejamkan mata, menghirup napas dalam dan membuangnya perlahan.Kamar itu tiba-tiba terasa lebih dingin dari biasanya. Ia membuka mata dan melihat tangan yang digunakan menampar istrinya beberapa menit yang lalu. Tangan itu bahkan masih terasa panas dan bergetar.“Ini sudah benar, Leo. Dia memang harus disadarkan agar tahu diri,” katanya dengan bibir bergetar. Ada rasa menyesal, tetapi lebih memilih untuk merelakan.“Ini sudah benar. Gadis itu memang seharusnya meninggalkan rumah ini,” katanya lagi setelah beberapa menit ia berpikir. Ia masih menimbang apa yang akan diungkapkan pada kakeknya nanti. Lagi-lagi Leonardo menghela napas dalam, merasa beban dalam hatinya semakin berat setelah langkah Alice yang semakin menjauh.Leonardo membalik diri dengan posisi miring, men