Sore hari, Leonardo baru turun ke lantai bawah. Seharian ia memang mengerjakan semua pekerjaan dari rumah. Ia percayakan semua pada Bram dan juga Dara. Keduanya harus selalu bekerja sama untuk mewujudkan nilai yang lebih baik.Ketika Leonardo keluar dari kamar. Ia tak mendapati Alice di atas ranjang. Leonardo menatap dengan tatapan rumit sprei dengan bercak merah di atas kasur.Setelah yakin jika Alice di dalam kamar mandi, ia bergegas keluar. Sejujurnya Leonardo menghindari pertemuan dengan Alice. Takut jika mereka bertemu bayangan tak terkendali beberapa jam lalu kembali terlintas.Leonardo masuk ke dalam bar mini. Bar yang sangat jarang dimasuki jika tidak dalam keresahan yang mendalam.Horison menatap cucunya dengan pandangan rumit. Ia sempat melihat kedua cucunya pulang dengan keadaan marah siang tadi. Sebagai orang tua, ia berharap banyak jika Leonardo mempertahankan pernikahan mereka.Sementara itu, Alisa masih tetap berdiri di pojok ruangan. Setelah memastikan sang kakek masuk
Malam hari, setelah makan malam, Alice bahkan tak keluar kamar. Luna dan Alisa jelas saja murka karena seharian menantu dan iparnya tidak terlihat.“Ibu sangat yakin, wanita itu sengaja mengurung diri di kamar karena menghindari pekerjaan,” kesal Luna menatap ke lantai atas.Alisa mengangguk setuju, selama dia pulang, Alice memang lebih sering meninggalkan pekerjaannya.“Aku akan ke kamarnya dan menyeretnya keluar, Bu,” kata Alisa sudah bersiap naik. Namun, Leonardo berdehem dan menatap tak suka dengan sikap adiknya.Luna menoleh dan menatap Leonardo yang membawa nampan makanan, “Makanan untuk siapa itu?”“Alice belum makan, Bu. Aku akan membawa makanan untuknya.” Leonardo sudah bersiap naik tangga. Namun, Luna segera mencegah.“Biar pelayan yang membawakannya,” ucap Luna. Ia memanggil pelayan yang kebetulan terlihat dan memintanya untuk membawa nampan ke kamar Alice. Memang selama ini, Luna tak masalah jika Alice makan di dalam kamar asal mereka tidak semeja. Namun, ini pertama kalin
Di dalam kamar, Silvia terus mondar mandir seperti setrikaan. Mengetahui jika semua orang sudah menemukan keberadaan Alice semakin membuatnya takut. Ia juga baru mengetahui jika ayahnya baru saja menemui Alice di kediamannya.“Bagaimana bisa ayah begitu cepat menemukannya?” Silvia memijat pangkal hidung. “Bagaimana jika dia mengadu dan mengatakan semuanya pada ayah?”Silviana menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu kencang. Ia menatap sekeliling, mencari cara untuk tetap tenang meskipun pikiran-pikirannya berlarian liar di dalam kepalanya. “Tenang Silviana, kamu tidak akan tersingkir,” ucapnya pada diri sendiri.Silviana begitu takut, Alice akan menguasai semuanya sendiri. Selama ini dialah yang bekerja dengan sepenuh jiwanya. Merawat ayahnya dan menjaga nama baik ayahnya. Kehadiran Alice akan meredupkan namanya dan dia kembali tersisih."Bagaimana jika Alice mengusirku dan Ibu?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Jantungnya berdegu
“Kamu tidur di mana Leo?” tanya Luna menatap putranya yang keluar dari ruang kerja dengan rambut acak-acakan. Kemeja Leonardo bahkan terlihat sangat berantakan dengan salah satu kancingnya terlepas. Alisa yang baru turun dari lantai atas juga terlihat terkejut karena pertama kalinya Leonardo bangun siang dengan penampilan yang berantakan.“Kak. Ada apa denganmu? Kemarin kamu tidak ke kantor,” ucap Lisa, “dan hari ini, penampilanmu bahkan sangat mengerikan.”Leonardo menatap sinis pada Alisa yang langsung bersembunyi di belakang ibunya. Takut jika ia mendapat murka dan uang bulanannya terpotong.Luna menghela napas dalam, menatap kedua anaknya yang tak pernah akur sejak kecil. Ia mendekat dan menatap Leonardo dari dekat. “Ada apa sebenarnya?”Leonardo menggeleng dan melangkah melewati ibu dan adiknya. Di depan pintu kamar, Horison sama herannya dengan kedua wanita di rumahnya. Ia berjalan pelan ke arah Luna.“Ada apa dengannya?” tanya Horison menatap cucu lelakinya.Luna menoleh pada
Saat ini Alice sudah berada di depan gedung pencakar langit. Ia meneguk ludahnya bukan karena akan bertemu Dara atau Sartika, melainkan takut jika di dalam kebetulan ada yang melihatnya.‘A-ku harus bagaimana?’ batinnya menatap Leonardo dengan tatapan bingung.Pria di sebelahnya, tiba-tiba saja ingin membawanya ke kantor. Mendadak banyak bicara dan sedikit aneh.“L-leon–”Alice menghentikan suaranya ketika Bram turun dari mobil mewahnya. Ia terlihat berlari ke arah mereka. “Pak, saya sudah mendapat apa yang Anda minta.” Bram memberikan tote bag berwarna krem kepada Alice, senyumnya sedikit canggung namun penuh perhatian. Alice mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan pemberian yang tiba-tiba itu. Ia menerima tas tersebut dengan ragu, merasakan berat di dalamnya yang tak biasa.“Apa ini, Pak Bram?” tanyanya sambil melirik ke arah totebag yang kini ada di tangannya.“Buka saja,” jawab Leonardo singkat, senyumannya kini berubah menjadi sedikit misterius.Dengan hati-hati, Rachel memb
Mata indah itu mulai terbuka perlahan. Alice mengerjap pelan, melihat sekeliling dengan warna biru muda. Alice masih tidak mengerti dirinya berada di mana saat ini.“Akhirnya kamu sadarkan diri, Alice.” Arsen menggenggam tangan Alice erat dan mengecupnya lembut.Beberapa saat Alice terdiam hingga ia berkata, “A-ku di mana?” tanyanya dengan suara lemah.“Jangan banyak bicara dulu. Kamu tidak tahu bagaimana khawatirnya aku beberapa hari,” kata Arsen dengan nada yang serak.Alice tersenyum kecil, ia menatap Arsen yang benar-benar sedih. Kemudian ia melihat ke arah pintu yang mulai terbuka.“A-ayah,” kata Alice dengan suara lemah.Oscar berjalan mendekat. Beberapa orang sudah bersiap di depan pintu menjaga keamanan mereka. Sementara Arsen ia melepas tak rela tangan Alice dan bergeser sedikit jauh. Ia bahkan terlihat mengusap air matanya yang sempat terjatuh.“Ayah senang karena akhirnya kamu sudah membuka mata, Sayang,” kata Oscar, “kamu harus tahu, Arsen sudah tiga hari tidak pulang kare
Pada jam makan siang, di resto terkenal yang Leonardo tidak tahu jika itu adalah milik istrinya. Tempat di mana ia mendapati Alice dan Arsen berduaan beberapa minggu yang lalu.Leonardo menatap pergelangan tangan yang ia sempat jam mahal bermerek. Ini sudah setengah jam ia menunggu tetapi, batang hidung pria yang menjadi penyebab berubahnya sang istri tak juga terlihat.Leonardo menghubungi Bram yang berada di kantor. Pria itu mengkonfirmasi masih jika Arsen masih berada di perjalanan menuju tempat pertemuan.“Sialan, dia mempermainkan aku,” desis Leonardo tak habis pikir.Leonardo memesan kopi kedua, ia benar-benar tak tahu di mana keberadaan Alice uang sudah menghilang selama beberapa hari setelah kejadian itu.Rasa menyesal tentu saja ada. Ia sebagai suami tak melakukan apa pun saat itu. Jika kakeknya tahu, maka habislah dia.“Tuan, kopi Anda,” kata pelayan restoran sopan.Leonardo tak menjawab, ia masih tetap menatap pintu masuk. Menunggu pria yang tiba-tiba menjadi orang ketiga
“Silviana, tolong tenangkan dirimu, Nak,” ucap Delima mendekati putrinya, ia mengusap lengan Silvia yang sudah bergetar karena emosi yang meluap.“Kamu memang anak Oscar, tolong jangan dengarkan siapa pun kecuali ibu, ya.” Delima meremas kain gaunnya.Terdengar tawa Silvia yang semakin membuat Delima merasa bersalah dan malu. Berkata jujur disaat hati Silvia tidak tenang akan memperburuk keadaan.“Keluarlah Bu. Aku ingin sendiri.” Silvia melangkah ke arah pintu kamarnya, membuka dan meminta ibunya untuk keluar.Delima menghela napas dalam. Silvia dalam mood yang tak baik. Untuk itu, ia memilih untuk mengalah dan meninggalkan kamar putrinya. Ia harus menanyakan pada Eldhan di mana Oscar yang sudah sering kali meninggalkan rumah.Di lantai bawah, Delima tidak mendapati siapa-siapa, kecuali Burhan. Salah satu orang kepercayaannya Oscar yang selalu pergi bersama Hary. Delima berjalan ke arah luar di mana Burhan duduk dengan seorang penjaga.Burhan yang tahu jika dirinya di panggil segera