Alice kembali naik ke kamarnya dengan langkah tertatih, tubuhnya terasa lemah seiring rasa sakit yang semakin menusuk di perutnya. Setiap langkah yang ia ambil di tangga terasa seperti perjuangan tersendiri, dan tangan kirinya mencengkeram erat pegangan tangga, sementara tangan kanannya memegang perutnya yang berdenyut. Napasnya tersengal, namun ia terus memaksa dirinya untuk maju, mencoba mengabaikan rasa sakit yang semakin parah. Kamar tidurnya terasa begitu jauh, tapi Alice tahu ia harus sampai di sana. Di ruang pribadinya, ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan dan mungkin jawaban atas apa yang sedang dialaminya.“Ah, kenapa rasanya sakit sekali, ya?” gumamnya dengan lirih.Alice meraih obat yang Leonardo berikan tadi, mengeluarkan satu butir lagi dan berniat untuk meminumnya. Namun, hal yang mengejutkan dirinya adalah Leonardo meraih obat itu dan membuangnya.Alice menatap nanar butiran obat itu, lalu menatap Leonardo dengan tatapan sedih, “Leon, apa yang kamu lakukan?”
Di tempat yang berbeda, Dara kesal karena Leonardo meninggalkan dirinya di acara Silva. Bosnya itu tak mengatakan apa pun dan langsung melesat pergi.“Dia sudah berubah banyak. Leonardo meninggalkan aku di pesta begitu saja,” gumam Silviana tak tahan ingin menjerit kesal.“Semua karena Alice. Wanita itu merusak momen indah yang seharusnya aku bagikan,” ujar Dara sekali lagi, “aku tidak mengerti kenapa Leonardo selalu saja membawanya di acara penting.”Dara menyeringai, “Tidak. Di acara tadi, Leonardo bahkan tak memperkenalkan Alice lada kolega penting, yang artinya Leonardo hanya membawa Alice keluar dari rumah.”Dara keluar dari mobilnya. Melangkah naik ke unit miliknya dengan senyum yang terus mengembang. Dara yakin, jika Leonardo masih tetap Leonardo yang dulu, hanya saja, mungkin sekarang terlalu tertekan karena pernikahan yang dipaksakan.Dara terus tersenyum sepanjang perjalanan menuju unit miliknya. Di setiap langkah, pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan romantis yang membuat
“Seperti yang kamu ketahui," Oscar memulai dengan suara tenang namun tegas, “dia adalah cucu dari teman lama ayah.”Silvia mengerutkan kening, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. Kata-kata ayahnya membuatnya berpikir keras. ‘Cucu dari teman lama ayah?’ gumamnya dalam hati, mencoba mengaitkan fakta yang baru saja didengarnya.Ia menyadari sesuatu yang aneh: jika ayahnya berteman dengan pria yang jauh lebih tua, maka hubungan itu mungkin lebih rumit dari yang ia bayangkan. Pikiran itu membuatnya semakin bingung. Bagaimana mungkin ayahnya, yang ia kenal sebagai sosok yang selalu penuh pertimbangan, memiliki hubungan sedekat itu dengan seseorang dari generasi berbeda? Dan mengapa hubungan itu tiba-tiba menjadi begitu penting?Oscar mengusap kepala Silvia lembut. “Sudah jangan dipikirkan. Ayah lelah, kalian kembali ke kamar, ya.”Delima yang tentu keberatan. Ia baru saja akan menemani suaminya. Namun lagi-lagi ia mendapatkan penolakan, “Aku akan menemanimu sampai terlelap. Biar Silva
Alice menatap kepergian suaminya dengan perasaan hampa. Akankah Leonardo benar-benar membawa Dara ke rumah? Lalu, dia harus bagaimana? Menghela napas dalam, ia bergegas berjalan ke arah taman belakang. Menyiram bunga dan membersihkan rumput serta dedaunan kering yang berjatuhan.“Nyonya, saya yang akan mencabut rumputnya, Anda istirahat saja,” kata tukang kebun yang sudah bersiap untuk mengerjakan.Alice mengangguk, ia mengerjakan pekerjaan yang lain. Apa pun asal tidak mendapatkan kemarahan ibu mertuanya lagi.Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering, Alice melihat ada nama ibunya di sana. Ia mengerutkan kening karena tak biasanya dalam jangka waktu yang dekat ibunya akan menelepon.Tidak ingin membuang waktu lama, ia bergegas mencari ibu mertuanya untuk meminta izin.“Di mana ibu?” tanyanya pada pelayan yang kebetulan lewat.“Nyonya Luna dan nona Alisa baru saja keluar,” jawabnya dengan hormat.Alice mengangguk, ia lantas melangkah ke rumah tangga menuju kamarnya. Sampai di lant
Alice menggeleng. “Jangan Ayah, jangan lakukan itu padanya.”“Lihatlah, bagaimana dia memperlakukanmu, Nak? Bahkan untuk pakaian saja dia tak mampu memberimu?”“Ayah, ini bukan salah Leon, aku yang ingin berpakaian seperti ini,” ujar Alice cepat.Dipenuhi perasaan campur aduk yang sulit diungkapkan. Ia tak menyangka jika Alice, yang selama ini ia kenal sebagai gadis lembut dan penurut, kini berubah begitu banyak. Namun, yang paling membuatnya terkejut adalah bagaimana Alice bersikeras membela Leonardo—seorang pria yang jelas-jelas tidak memperlakukan dirinya dengan baik."Ayah tidak mengerti," kata Alice dengan nada tegas, meskipun ada kelembutan di matanya yang selalu membuat Oscar teringat akan putrinya yang dulu, "Leonardo punya sisi baik yang tidak dilihat orang lain. Dia tidak seperti yang Ayah lihat.”Oscar menghela napas panjang, berusaha menahan amarah dan ketidakpercayaannya, "Alice, Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu. Bagaimana kamu bisa terus membela seseorang yang tidak
Alice memasuki rumah dengan jantung berdebar, hari sudah gelap dan ia melewati banyak sekali pekerjaan rumah.Samar ia mendengar suara kekehan seseorang. Alice menajamkan telinga, mencoba mengenali suara siapa selain suara Alisa dan ibu mertuanya.“Baru pulang kamu, hah!” sinis Luna melihat Alice yang baru masuk rumah.Alice menoleh ke sumber suara, di ruang tamu, sudah ada ibu mertuanya serta adik iparnya yang menatapnya sinis. Alice terperangah tak percaya ketika tatapannya bertemu dengan satu wanita cantik di sebelah Luna.“Selamat malam, Nyonya,” sapa Dara dengan senyum cantiknya.Alice membalas dengan senyum terpaksa, ia baru mengingat jika malam ini, ibu mertuanya begitu ingin wanita—puteranya berkunjung. Alice mengedarkan pandangan. Ia tak menemukan di mana Leonardo, artinya suaminya berada di dalam kamar.“Selamat malam, Nona Dara,” balas Alice dengan senyum kecil.Ia menatap ibu mertuanya dengan tatapan menyesal, “Ibu, aku akan naik berganti setelah itu turun kembali.”Luna
Di dalam dapur berukuran besar. Wanita dengan pakaian tidur sedang berjongkok di sudut meja dengan air mata yang terus mengalir. Kakinya merah melepuh, sedang hatinya menganga dengan luka yang baru.Bahunya bergetar, ia menutup mulut agar tangisnya tak terdengar oleh siapa pun. Bayangan-bayangan bagaimana Dara yang mengecup suaminya masih terlihat dengan jelas, apalagi, ketika ia melihat tatapan rela Leonardo, hatinya semakin hancur.‘Dia tidak mencintaiku, seharusnya aku menyadari ini,’ batinnya menjerit sakit.Napas terengah dengan air mata yang terus mengalir, Alice menepuk dadanya yang sesak oleh kenyataan pahit yang ia alami.Begitu banyak kepedihan dan kesakitan. Leonardo bahkan sudah menasehati dirinya berulang kali agar tidak terlalu banyak berharap. Namun, dengan tekad yang kuat ia menolak semua. Ia seolah menantang takdir yang bilang miliknya.‘Sudah cukup Alice. Apalagi yang kamu harapkan? Benar kata ayahmu, mereka tidak memperlakukanmu baik karena tidak tahu siapa dirimu,’
Di dalam ruangan kerja Leonardo, pria itu duduk dengan tenang, menatap kakeknya yang terlihat sangat murka.Pria itu adalah horison, pria yang memiliki hubu lama dengan Oscar di masa lalu. Pria yang menjodohkan cucunya dengan putri Oscar dengan tujuan yang penting. Namun, sepertinya Leonardo tidak bisa diajak bekerja sama.“Di mana kamu semalam sampai tidak tahu kemana istrimu berada?” tanya Horrison dengan suara yang dingin.Ia menatap marah pada cucunya yang terlihat sangat santai dalam menghadapi apa pun. Dalam hal ini, Horison menyukai ketahanan cucunya. Namun, dalam hal ini, dia kecewa.“Kenapa kakek begitu khawatir. Bisa saja dia ke pasar seperti biasa,” jawab Leonardo dengan santai.Horison menatap semakin tidak percaya, bagaimana bisa dengan santainya Leonardo tidak merasa khawatir sama sekali.“Bagaimana jika tidak? Bahkan pelayan yang biasa ia temani berada di dapur,” ucap Horison menguji cucunya.Leonardo menghela napas jengah, ia merasa jika kakeknya sangat berlebihan. Apa