Ale melihat Alca yang sedang belajar memandikan bayi. Kemudian berlanjut memakaikan popok pada boneka yang tadi siang dibeli. Beberapa kali Alca tampak salah. Namun, dia mengulangnya lagi. Itu membuat Ale tersenyum. Belum lagi Alca yang bergumam sendiri membuat Ale merasa lucu. “Ternyata Kak Alca benar-benar menanti anak aku.” Ale bergumam. Merasa begitu bahagia sekali ketika Alca menanti anaknya. “Sepertinya gendongnya tadi begini.” Alca masih mencari posisi pas untuk menggendong anaknya. Dia masih merasa bingung memosisikan tangannya.Ale yang gemas perlahan masuk ke kamar. Kemudian meraih tangan Alca yang salah sewaktu memegang bayi. Ale yang tiba-tiba di belakangnya jelas membuat Alca begitu terkejut sekali. “Cara pegagangnya seperti ini.” Ale membenarkan cara pegang Alca. “Al.” Alca menatap Ale yang berada di belakangnya. Senyum Alca mengembang ketika mendapat arahan bagaimana menggendong yang benar dari istrinya.“Kak Alca fokus.” Ale menegur sang suami yang sedang melihat
Ale kini fokus pada kandungannya. Apalagi kini kandungannya sudah menginjak delapan bulan. Sudah mendekati hari melahirkan. Hari ini Ale memeriksakan kandungan. Tak sendiri dia ditemani oleh Alca. Suaminya itu meluangkan waktu di tengah kesibukannya. Apalagi pemeriksaan kandungan kali ini di jam kerja.“Kenapa Mama Mauren tidak bisa ikut mengantarkan?” Di dalam perjalanan, Alca bertanya pada istrinya itu. “Katanya papa tidak enak badan. Jadi mama tidak bisa ikut.” Tadi Mama Mauren menghubungi untuk mengabari jika tidak bisa ikut memeriksakan kandungan. “Kalau begitu kita ke rumah Mama Mauren saja besok saat aku libur. Sekalian kita melihat keadaan Papa David.” Alca memberikan ide pada sang istri. “Boleh-boleh.” Ale setuju sekali. Karena dia juga ingin mengecek keadaan papa mertuanya itu. Ale dan Alca sampai di rumah sakit. Mereka segera melakukan pendaftaran. Tadi Alca sudah mendaftarkan Ale lewat saluran telepon. Jadi kali ini hanya tinggal konfirmasi saja. Setelah urusan pen
“Zira mau bunuh diri?” tanya Alca memastikan.“Al, tolong. Sekali ini saja, Al. Tolong datang ke apartemen Zira. Tante tidak bisa membujuknya. Dia ingin melompat dari apartemen.” Mama Zaida benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia ketakutan sekali. Alca benar-benar berada dalam dilema. Dia sudah janji pada Ale untuk tidak berhubungan dengan Zira lagi. Namun, ternyata mama Zira menghubunginya seperti ini. Membuatnya tidak tahu harus bagaimana lagi. “Al, sekali ini saja. Tante mohon.” Mama Zaida memohon dengan kesungguhan hati. “Baiklah, aku akan ke sana.” Alca akhirnya memutuskan untuk datang ke sana. Tak membuang waktu, akhirnya Alca segera ke apartemen Zira. Mencegah Zira untuk bunuh diri lagi.Di saat Alca pergi, Ale hanya terdiam di balik tembok yang mengarah ke ruang tamu. Tadi Ale berniat untuk menitip pesan pada sang suami. Meminta untuk membelikan kue untuknya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar kalimat yang keluar dari mulut Alca yang mengatakan jik
Alca segera bergegas ke unit apartemen Zira. Dia berlari-lari ke lift agar segera dapat mencegah Zira melakukan hal yang tak terduga. Akhirnya Alca sampai juga di apartemen Zira. Dia berusaha membuka apartemen Zira dengan kode yang diketahuinya. Beruntung kode apartemen Zira belum dibuka. Saat membuka pintu apartemen, pemandangan pertama adalah Zira yang berada di balkon. Dia duduk di sana. Seolah tengah bersiap untuk naik ke pagar dan meloncat. Tampak Mama Zaida dari kejauhan menjaga anaknya. Pastinya wanita paruh baya itu tidak bisa membujuk sang anak. Alca mengayunkan langkahnya ke arah Zira. Dilihatnya wanita itu tampak kacau sekali. Matanya bengkak. Entah sudah berapa banyak air mata yang dibuangnya. Melihat hal itu, Alca benar-benar tidak tega sama sekali. “Ra.” Alca mencoba memanggil Zira.Zira langsung menangis ketika melihat Alca. Rasa rindunya membuatnya segera berdiri untuk menghampiri Alca.Mama Zaida bersyukur sekali Zira mau mengayunkan langkahnya menjauh dari balko
Mendapati pertanyaan itu membuat Alca terdiam. Dia merasa bingung harus menjawab apa.“Zira, sebaiknya kamu istirahat. Lihatlah, wajahmu pucat sekali. Apa kamu mau Alca melihatmu seperti ini.” Mama Zaida mencoba membuat Alca tidak menjawab pertanyaan Zira. Alca sudah banyak berjanji tadi. Takut akan banyak beban jika menjawab lagi. Alca dan Zira mengalihkan pandangan pada Mama Zaida ketika wanita paruh baya itu bicara. “Apa aku berantakan sekali?” tanya Zira seraya melihat ke arah tubuhnya. “Jelas kamu berantakan sekali. Jadi kamu harus pergi mandi. Malu dekat-dekat Alca lagi.” Mama Zaida membujuk anaknya untuk pergi dari Alca. Ini cara agar Alca punya celah untuk pergi. “Al, aku akan mandi dulu. Aku mohon jangan pergi dulu.” Zira menatap Alca dengan penuh permohonan. Alca memilih diam. Dia takut ketika harus berjanji lagi dan tidak bisa menempati.“Iya, Alca akan menunggu.” Sebelum Alca menjawab, Mama Zaida langsung menjawab. “Baiklah, aku akan mandi dulu.” Zira langsung berdi
“Kamu meminta aku membencimu?” tanya Zira memastikan.“Iya, bencilah aku agar kamu bisa melupakan aku.” Alca memberanikan diri mengatakan hal itu. Walaupun sejujurnya berat untuknya. Zira tidak menyangka jika Alca akan memperlakukan dirinya seperti ini. “Kamu adalah Zira yang tangguh. Jadi bangkitlah dan lupakan aku. Aku menjagamu dengan baik. Tidak merusakmu sama sekali. Jadi aku yakin kamu akan mendapatkan pria lain yang lebih baik dariku.” Alca berharap jika Zira mau berhenti memaksa dirinya untuk bersamanya. “Aku ingin kamu berhenti untuk mengakhiri hidupmu. Bangkit dan teruslah jalani hidupmu dengan baik.” Penolakan Alca seperti terhadap dirinya membuatnya merasa semakin sakit. Ternyata hanya dirinya yang sangat mencintai. Tidak dengan Alca. “Pergilah!” Zira menangis. Menumpahkan kesedihan dengan tangisnya. “Pergi!” Zira berteriak mengusir Alca. Alca hanya bisa melihat kemarahan Zira itu. Memang itu yang dia inginkan. Semakin Zira membencinya. Semakin Zira akan dapat melupa
“Aku dengar kamu bicara di telepon.” Ale menjelaskan dari mana dia tahu. Alca langsung memiringkan tubuhnya agar dapat melihat wajah sang istri. Mendengarkan apa yang diceritakannya. “Tadi, aku mau menitip pesan untuk membeli kue, tapi tanpa sengaja aku dengar kamu bicara dengan seseorang, dan membahas Zira. Jadi aku pikir kamu bertemu dengan Zira.” Ale menjelaskan pada Alca. Alca merasa bersalah sekali karena tidak langsung izin Ale. Padahal dia sudah berjanji pada Ale. “Aku minta maaf karena tidak menepati janjiku sendiri. Padahal aku sendiri janji jika tidak akan menemui Zira lagi.” Alca meraih tangan Ale meyakinkan istrinya itu. Ale sadar jika Alca sudah berjanji padanya. Namun, di saat seperti tadi, pastinya sulit untuknya tidak datang. Karena nyawa seseorang jadi taruhan.“Aku memaafkan kamu. Apalagi kamu menceritakan sebelum aku tanya.” Ale ingat bagaimana Alca yang menceritakan padanya sebelum bertanya. Alca merasa lega karena Ale tidak sama sekali marah padanya.“Apa ta
Kandungan Ale sudah menginjak sembilan bulan. Sebentar lagi Ale akan melahirkan. Alca akhirnya mengalah untuk tidur di kamar Ale dan Dima. Dengan kesepakatan bersama, Ale melepas beberapa foto Dima yang terpasang di kamar. Terutama yang ada di dinding. Yaitu foto pernikahan Ale dan Dima. Alih-alih mengganti foto dengan foto Ale dan Alca, mereka membiarkan dinding tetap kosong. “Halo, Sayang. Papa tidak sabar bertemu denganmu.” Alca mendaratkan kecupan di perut Ale. Kandungan Ale sudah menginjak sembilan bulan dan bisa melahirkan lebih awal dari tanggal perkiraan melahirkan atau lebih lewat dari tanggal perkiraan melahirkan. “Sabar, Papa. Sebentar lagi kita bertemu.” Ale tersenyum sambil membelai rambut Alca. Alca menegakkan kepalanya. Kemudian menatap sang istri. “Aku benar-benar berdebar-debar menunggu anak kita lahir.” “Jangan takut. Nanti aku jadi ikut takut.” Ale menekuk bibirnya. Dia merasa takut ketika suaminya ikut takut. Alca memikirkan ucapan sang istri. Jika dirinya t
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker