“Aku dengar kamu bicara di telepon.” Ale menjelaskan dari mana dia tahu. Alca langsung memiringkan tubuhnya agar dapat melihat wajah sang istri. Mendengarkan apa yang diceritakannya. “Tadi, aku mau menitip pesan untuk membeli kue, tapi tanpa sengaja aku dengar kamu bicara dengan seseorang, dan membahas Zira. Jadi aku pikir kamu bertemu dengan Zira.” Ale menjelaskan pada Alca. Alca merasa bersalah sekali karena tidak langsung izin Ale. Padahal dia sudah berjanji pada Ale. “Aku minta maaf karena tidak menepati janjiku sendiri. Padahal aku sendiri janji jika tidak akan menemui Zira lagi.” Alca meraih tangan Ale meyakinkan istrinya itu. Ale sadar jika Alca sudah berjanji padanya. Namun, di saat seperti tadi, pastinya sulit untuknya tidak datang. Karena nyawa seseorang jadi taruhan.“Aku memaafkan kamu. Apalagi kamu menceritakan sebelum aku tanya.” Ale ingat bagaimana Alca yang menceritakan padanya sebelum bertanya. Alca merasa lega karena Ale tidak sama sekali marah padanya.“Apa ta
Kandungan Ale sudah menginjak sembilan bulan. Sebentar lagi Ale akan melahirkan. Alca akhirnya mengalah untuk tidur di kamar Ale dan Dima. Dengan kesepakatan bersama, Ale melepas beberapa foto Dima yang terpasang di kamar. Terutama yang ada di dinding. Yaitu foto pernikahan Ale dan Dima. Alih-alih mengganti foto dengan foto Ale dan Alca, mereka membiarkan dinding tetap kosong. “Halo, Sayang. Papa tidak sabar bertemu denganmu.” Alca mendaratkan kecupan di perut Ale. Kandungan Ale sudah menginjak sembilan bulan dan bisa melahirkan lebih awal dari tanggal perkiraan melahirkan atau lebih lewat dari tanggal perkiraan melahirkan. “Sabar, Papa. Sebentar lagi kita bertemu.” Ale tersenyum sambil membelai rambut Alca. Alca menegakkan kepalanya. Kemudian menatap sang istri. “Aku benar-benar berdebar-debar menunggu anak kita lahir.” “Jangan takut. Nanti aku jadi ikut takut.” Ale menekuk bibirnya. Dia merasa takut ketika suaminya ikut takut. Alca memikirkan ucapan sang istri. Jika dirinya t
“Aku ke sini untuk melihat seperti apa wanita yang menghancurkan hidupku.” Zira bicara lembut, tapi jelas menusuk. Ale yang mendengar itu pun langsung terperangah. Jantungnya terasa dihantam batu besar. Benar-benar di luar dugaannya Zira akan mengatakan seperti itu. Bibir Ale tertutup rapat. Tak berani berkata sepatah kata pun.“Aku menjalani hubungan dengan Alca sejak sekolah menengah atas. Sudah cukup lama aku menjalin hubungan. Ada banyak mimpi yang kami bangun selama ini. Namun, seketika hancur berkeping-keping.” Zira menahan sesak yang menyelimuti hatinya. Ale tidak berani menjawab apa-apa mengingat apa yang dikatakan Zira ada benarnya. Dia adalah pihak yang menghancurkan semua mimpi Zira.“Apa kamu tahu jika saat menikah denganmu Alca masih berhubungan denganku?” Zira menatap Ale dengan tatapan nanar. “Aku tidak tahu sebelumnya, dan aku baru tahu saat melihatmu di toko Kak Lolo.” Ale menjawab apa adanya. “Lalu apa yang kamu pikirkan saat itu?” Zira menatap tajam pada Ale.
Ale begitu terkejut ketika Mama Mauren berada di depan rumah. Pikirannya melayang memikirkan apakah mertuanya itu dengar yang dikatakan oleh Zira. Mama Mauren menatap Ale seraya mengambil ponselnya di dalam tas. Kemudian mencoba menghubungi seseorang. “Pulanglah sekarang!” perintah Mama Mauren itu seolah tak terbantahkan. Ale hanya terdiam ketika mendengar Mama Mauren bicara di dalam sambungan telepon. Dia merasa jika mertuanya itu pasti bicara pada suaminya. Dari nada bicara Mama Mauren yang ketus, membuat Ale yakin jika tadi Mama Mauren mendengar pembicaraannya dan Zira. “Ayo masuk!” Mama Mauren menarik kopernya. Mengajak Ale untuk masuk ke rumah. Ale benar-benar takut sekali. Karena mama mertuanya justru diam. Alih-alih bertanya padanya, dia justru diam saja. Tak mau membantah, Ale langsung bergegas masuk. Di dalam rumah Mama Mauren langsung memanggil asisten rumah tangga. Meminta asisten rumah tangga untuk membawa kopernya ke atas. Ale memilih duduk di sofa ruang keluarga
Mama Mauren langsung memeluk Alca. Dia menangis di pelukan Alca. “Maafkan Mama menempatkan kamu di situasi tidak nyaman. Membuatmu harus menikah karena keinginan Mama yang ingin mempertahankan apa yang dimiliki Ale. Pasti kamu tersiksa.” Mama Mauren menganggap Alca adalah anaknya juga. Namun, dia lupa jika sebagai orang tua, dia harusnya memikirkan bagaimana perasaan anaknya itu. “Ma.” Alca tidak menyangka jika reaksi mamanya akan seperti itu. Dia pikir mamanya akan marah, tapi ternyata tidak.“Mama tidak sama sekali memikirkan perasaanmu. Pasti tidak enak menikah tanpa cinta.” Mama Mauren masih menangis. Alca melepaskan pelukannya. “Jangan merasa bersalah, Ma. Mamang aku akui jika awalnya aku tidak mencintai Ale, tapi sekarang aku mencintainya.” Alca mencoba meyakinkan Mama Mauren.Mama Mauren beralih menatap Ale. Tangannya membelai lembut wajah Ale. “Aku lupa jika menantu adalah anak, sampai aku tidak percaya jika apa yang ditinggalkan Dima akan dijaga. Maafkan Mama yang tidak
Mendapati pertanyaan itu Ale mengangguk. Dia memang sudah punya nama untuk anaknya. Alca menegakkan tubuhnya. Menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh sang istri. Ale menarik tangan Alca. Mengajaknya untuk duduk di tempat tidur. Dia segera meraih tangan suaminya. Menggenggamnya erat. “Kak, aku mau menamai anak ini kita dengan nama Dima. Apa kamu keberatan?” Ale menatap Alca penuh harap. Berharap sang suami mau menuruti keinginannya. Ale sengaja ingin menamai anaknya dengan nama mendiang suaminya. Agar nama itu selalu bersamanya. Untuk sesaat Alca terdiam. Sedang bahagianya, tiba-tiba sang istri meminta nama Dima untuk dipakai menamai anaknya. Bukan Alca tidak suka, tapi bayang-bayang Dima seolah menghantuinya terus. Tak akan pernah terlepas. Apalagi jika nama Dima itu akan selalu terucap setiap hari. “Bisakah kamu memberikan aku waktu.” Alca tidak bisa menjawab langsung. Dia ingin menyiapkan hatinya dulu. Ale pikir suaminya akan langsung setuju. Namun, ternyata tidak. Dia masih b
Alca menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Memandangi langit-langit kamar. “Kadang aku ingin egois, Dim. Mau memiliki Ale seutuhnya. Tanpa aku sadar, tanpamu aku tak akan bisa mendapatkan Ale.” Alca merutuki dirinya sendiri yang dengan bodohnya cemburu dengan Dima. Saat memikirkan Dima, Alca teringat dengan buku harian milik Dima. Sudah lama sekali Alca tidak membaca buku harian itu. Dengan segera Alca memiringkan tubuhnya. Tangannya meraih laci yang berada di nakas. Mengambil buku harian di dalamnya. Alca segera membuka sambil memosisikan tubuhnya tengkurap. Mencari posisi nyaman untuk membaca.Halaman demi halaman dibuka. Alca mencari halaman berapa terakhir dibacanya. Saat dia mendapatkan, dia segera membacanya kembali. Dima menuliskan bagaimana pernikahannya dengan Ale. Seberapa bahagianya Dima saat menikah dengan Ale. Dima juga menuliskan jika dia ingin selalu membahagiakan Ale. Ale tidak memiliki siapa-siapa lagi. Orang tua angkatnya meninggalkan Ale. Sampai di hari perni
Alca tersenyum ketika melihat sang istri yang tampak baru bangun tidur. “Apa aku membangunkan kamu?” Alca sedikit panik ketika ternyata pintunya yang dibuka membangunkan sang istri. “Tidak, aku memang sudah bangun.” Ale berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Melihat sang istri yang sedang berusaha bangkit, Alca segera menghampiri sang istri. Membantu sang istri untuk bangun. Ale melihat suami yang membantunya. Ada perasaan senang ketika melihat sang suami yang mau membantunya. Alca membantu sang istri untuk duduk di tempat tidur. Alca ikut duduk di tempat tidur. Berada di samping sang istri. “Apa kamu menungguku?” tanya Alca tersenyum. “Iya, dan aku sampai ketiduran.” Ale mendudukkan pandangannya. Tadi Alca terlalu asyik membaca buku harian Dima. Sampai-sampai tak kunjung turun untuk menyusul sang istri. “Maaf, membuatmu menunggu.” Alca meraih dagu sang istri. Memandangi wajah sang istri. Dima benar-benar menggambarkan Ale sempurna hingga membuatnya benar-benar jatuh cinta.
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker