Alca menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Memandangi langit-langit kamar. “Kadang aku ingin egois, Dim. Mau memiliki Ale seutuhnya. Tanpa aku sadar, tanpamu aku tak akan bisa mendapatkan Ale.” Alca merutuki dirinya sendiri yang dengan bodohnya cemburu dengan Dima. Saat memikirkan Dima, Alca teringat dengan buku harian milik Dima. Sudah lama sekali Alca tidak membaca buku harian itu. Dengan segera Alca memiringkan tubuhnya. Tangannya meraih laci yang berada di nakas. Mengambil buku harian di dalamnya. Alca segera membuka sambil memosisikan tubuhnya tengkurap. Mencari posisi nyaman untuk membaca.Halaman demi halaman dibuka. Alca mencari halaman berapa terakhir dibacanya. Saat dia mendapatkan, dia segera membacanya kembali. Dima menuliskan bagaimana pernikahannya dengan Ale. Seberapa bahagianya Dima saat menikah dengan Ale. Dima juga menuliskan jika dia ingin selalu membahagiakan Ale. Ale tidak memiliki siapa-siapa lagi. Orang tua angkatnya meninggalkan Ale. Sampai di hari perni
Alca tersenyum ketika melihat sang istri yang tampak baru bangun tidur. “Apa aku membangunkan kamu?” Alca sedikit panik ketika ternyata pintunya yang dibuka membangunkan sang istri. “Tidak, aku memang sudah bangun.” Ale berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Melihat sang istri yang sedang berusaha bangkit, Alca segera menghampiri sang istri. Membantu sang istri untuk bangun. Ale melihat suami yang membantunya. Ada perasaan senang ketika melihat sang suami yang mau membantunya. Alca membantu sang istri untuk duduk di tempat tidur. Alca ikut duduk di tempat tidur. Berada di samping sang istri. “Apa kamu menungguku?” tanya Alca tersenyum. “Iya, dan aku sampai ketiduran.” Ale mendudukkan pandangannya. Tadi Alca terlalu asyik membaca buku harian Dima. Sampai-sampai tak kunjung turun untuk menyusul sang istri. “Maaf, membuatmu menunggu.” Alca meraih dagu sang istri. Memandangi wajah sang istri. Dima benar-benar menggambarkan Ale sempurna hingga membuatnya benar-benar jatuh cinta.
“Aku mau makan kue dan secangkir coklat.” Ale memikirkan hal itu ketika kesedihan menghampiri. Coklat adalah minuman yang menenangkan. “Baiklah, aku akan mengajakmu ke tempat di mana kuenya enak.” Alca berdiri mengajak sang istri untuk pergi. “Kalau begitu aku bersiap dulu.” Ale jadi bersemangat. Setengah jam Ale dan Alca bersiap. Mereka begitu bersemangat sekali pergi berdua. Alca menggandeng sang istri dengan erat. Kemudian mengajaknya keluar. Saat keluar ternyata sudah ada Papa David yang sudah pulang. Ale dan Alca menyalami Papa David. “Kamu sudah pulang?” tanya Papa David. Dia tidak tahu jika Alca sudah pulang. Alca bingung harus menjawab apa.“Aku memintanya pulang, agar membantu membawa barang.” Mama Mauren menjelaskan pada sang suami. Mama Mauren sengaja tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya.“Oh ....” Papa David percaya saja. Mama Mauren bernapas lega. Karena suaminya percaya. Dia memang tidak mau sampai suaminya tahu. Lagi pula masalah Alca dan mantannya sudah se
Alca segera mencari burger yang diminta sang istri. Kebetulan yang diminta sang istri bukan sesuatu yang sulit. Alca memilih ke restoran cepat saji. Karena di sana dia akan mendapatkan burger itu. Alca memesan lima burger. Karena sang istri tidak mengatakan berapa yang harus dibeli. Selain burger hitam Alca juga membeli burger biasa. Mama Mauren ada di rumah. Jadi tidak hanya Ale saja yang akan makan. Beberapa ayam juga dibeli Alca. Setelah mendapatkan semua yang dicarinya, Alca segera pulang. Tak sabar untuk memberikan pada istrinya.Saat sampai di rumah, Alca sudah disambut oleh sang istri. Tampaknya sang istri sudah tidak sabar untuk memakannya. “Apa kamu dapat?” Pertanyaan itu langsung terlontar saat Alca keluar dari mobilnya.Alca tidak menjawab, tetapi hanya tersenyum. Segera dia membuka pintu belakang. Mengambil makanan yang dibelinya. Ale berbinar ketika melihat sang suami membawa makanan. Dia yakin itu adalah makanan yang dipesannya. Alca menghampiri sang istri. Menun
“Sayang, kamu kenapa?” Alca panik ketika sang istri mengaduh kesakitan. Dia segera berdiri dan menghampiri sang istri. Memastikan keadaan sang istri. “Perutku tiba-tiba mulas. Hanya saja rasanya sudah hilang.” Ale menjelaskan apa yang terjadi.“Apa kamu akan melahirkan?” tanya Alca panik. “Ada apa, Al?” Mama Mauren yang melihat Alca berdiri sambil membelai lembut bahu Ale, begitu penasaran sekali. “Ma, perut Ale sakit.” Alca mengalihkan pandangan pada Mama Mauren. Mama Mauren segera menghampiri Ale. “Bagaimana rasa sakitnya?” tanya Mama Mauren. “Mulas, Ma, tapi rasanya hilang.” Ale menjelaskan pada mertuanya lagi. “Ma, apa Ale mau melahirkan?” Alca menatap Mama Mauren. Dia tidak tega sekali melihat istrinya kesakitan. “Kita tunggu saja. Jika ini kontraksi pertama. Artinya jaraknya akan sangat jauh dengan melahirkan. Mulasnya masih jarang. Kita tunggu intensitas mulasnya dulu.” Mama Mauren memberikan pada anak dan menantunya. “Lalu apa yang harus kita lakukan, Ma?” Alca benar
“Sayang, apa kontraksinya bertambah?” tanya Ale. “Bukan, Kak. Tapi, dia menendang.” Ale bukan berteriak kontraksi, tapi karena bayinya menendang.” Ale tersenyum. Alca bernapas lega. Ternyata itulah alasan Ale. Mungkin karena tadi saat istrinya mengaduh, Alca langsung menjauhkan tubuhnya. Jadi mungkin tidak terasa tendangannya. “Aku pikir kamu kontraksi lagi.” Alca mengembuskan napasnya. Dia bernapas lega karena ternyata hanya tendangan. “Sayang, ternyata kamu merespons ucapan papa. Jadi kamu cepatlah keluar agar kita bisa bertemu.” Alca kembali membelai lembut perut Ale. Alca mendaratkan kecupan di perut sang istri. Dia benar-benar tak sabar bertemu dengan anak di dalam kandungan sang istri. “Sebaiknya kamu istirahat saja. Kata mama kamu harus istirahat.” Alca menyejajarkan tubuhnya dengan sang istri. Membelai lembut wajah sang istri. “Iya.” Ale mengangguk. Dia akan berusaha untuk tidur. Lagi pula saat persalinan dia butuh tenaga. Alca mengusap-usap kepala Ale bak anak kecil. Me
“Iya, Kak. Mulasnya mulai terasa lebih dekat jaraknya.” Ale menjelaskan apa yang dirasakannya. “Apa kita ke dokter sekarang?” tanya Alca. Dia tidak tega melihat sang istri kesakitan. “Tunggu dulu saja, Kak.” Ale masih belum yakin akan segera melahirkan. Jadi lebih baik dia menunggu di rumah saja. Dari pada di rumah sakit. Alca tidak mau memaksa jika sang istri tidak mau. Dia pun memilih mengusap perut Ale. Memastikan Ale merasa lebih baik. Saat merasa lebih baik, Ale memilih kembali memejamkan matanya. Dia ingat jika dia butuh tenaga untuk melahirkan. Jadi tentu saja dia akan menggunakan waktu untuk terus beristirahat. Alca terus mengusap perut sang istri. Lambat laun, dia juga mengantuk. Karena itu dia memejamkan matanya. Namun, saat mendengar suara istrinya merintih, dia kembali membuka mata dan mengusap perutnya. Menjelang pagi, kontraksi perut Ale lebih intens. Tiba-tiba air ketuban merembes ke celah-celah pahanya. “Kak ... Kak ....” Ale membangunkan Alca. Alca yang semp
Semua sudah siap. Barang-barang sudah dimasukkan ke dalam mobil semua. Di dalam mobil duduk diapit oleh Mama Mauren dan Alca. Mama Arriel memilih duduk di depan. Bersebelahan dengan sopir. Papa David dan Papa Adriel di mobil satu lagi bersama dengan sopir. Mereka beriringan menuju ke rumah sakit. Ale terus meringis kesakitan. Dia merasa kontraksi yang dirasakannya sudah mulai intens. Membuatnya kesakitan. “Sabar, Sayang, kita akan segera sampai di rumah sakit.” Alca berusaha untuk meyakinkan sang istri. Cengkeraman tangan Ale menandakan jika sang istri benar-benar merasakan sakit yang teramat. Ale berusaha menahan mulas yang dirasakan. Tubuhnya sudah keringat dingin merasakan sakit itu. Rasanya benar-benar nikmat. “Aku tidak punya pengalaman apa-apa perihal melahirkan normal. Bagaimana ini?” Mama Mauren menatap teman sekaligus iparnya itu. Dia bingung menenangkan sang menantu. “Kami pikir aku juga punya? Kamu tahu bukan jika aku melahirkan Alca dengan operasi.” Mama Arriel ya