“Halo, Sayang.” Ale yang mengangkat sambungan telepon segera menyapa Dima, suaminya. “Maaf, Bu. Ini bukan pemilik ponsel.” Suara asing yang terdengar membuat Ale terkesiap. Tentu saja itu membuat Ale bingung. Kenapa orang lain yang mengangkat sambungan telepon tersebut. “Ini siapa?” Ale melempar pertanyaan itu pada orang yang sedang memegang ponsel suaminya. Alca yang mendengar ikut bingung ketika Ale bertanya tentang siapa gerangan orang yang berada di sambungan telepon. Padahal tadi jelas Ale mengatakan jika Dimalah yang menghubungi. “Saya, pengguna jalan, Bu. Saya hanya ingin mengabari jika pemilik ponsel dan mobil ini mengalami kecelakaan di tol 97 km.” Orang di sambungan telepon memberitahu. Tubuh Ale seketika lemas. Jantungnya terasa dihantam batu besar dan terasa begitu sesak. Tangan Ale memegangi dadanya yang terasa sesak. Bersamaan tubuh Ale yang lemas dan terduduk di lantai, air matanya menetes dari mata indahnya. Alca langsung memenangi tubuh Ale yang terduduk di lant
Ale dan Alca begitu terkejut dengan surat wasiat Dima itu. Alca semakin tidak mengerti kenapa adik sepupunya itu begitu lancangnya membuat surat wasiat tanpa memberitahu apa pun padanya. Ini seolah keputusan sepihak saja. “Apa-apaan ini? Aku tidak terima dengan surat wasiat macam ini!” Suara Ale bergetar. Tangisnya pecah ketika mendapati permintaan suaminya itu. Ale menatap pengacara dengan tatapan kekesalan. Dia merasa warisan yang dibuat Dima benar-benar konyol sekali. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak bisa menerima surat wasiat itu. “Apa surat ini asli?” Papa David bertanya pada pengacara. Sebenarnya dia tak kalah terkejut karena anaknya menyiapkan surat wasiat sebelum meninggal.“Surat ini sudah sah secara hukum, Pak. Ini, beliau juga memberikan rekaman sebagai bukti jika memang surat ini buat secara sah.” Pengacara memberikan file rekaman yang dibuat oleh Dima. Alca langsung meraih file itu. Dia segera menyambungkan pada televisi yang berada di ruang keluarga. Saat
Ale menangis di kamar. Suaminya benar-benar menempatkan dirinya di posisi yang tidak nyaman sekali. Menikah dengan kakak sepupu sang suami jelas bukan pilihan untuk Ale. Jika dia boleh memilih, lebih baik dia sendiri seumur hidupnya, dibanding harus menikah lagi. Namun, justru sang suami membuat surat wasiat yang cukup aneh, dan kini surat wasiat sang suami menjadi masalah di dalam keluarga. “Kenapa kamu harus meninggalkan warisan sebanyak itu untukku? Kenapa juga kamu meminta aku menikah dengan Kak Alca.” Ale yang melihat foto suaminya merasa begitu terpukul sekali. Dia tidak mengerti kenapa suaminya harus memintanya hal konyol itu. Dada Ale terasa sesak ketika mendapati kenyataan seperti sekarang. Belum hilang rasa sedihnya kehilangan suaminya, justru bertambah dengan keinginan suaminya menikah dengan sepupu sang suami. Ale terus menangis. “Bolehkah aku menukar semuanya itu. Aku tidak butuh semua itu. Aku hanya mau kamu.” Ale memeluk foto Dima. Dia merasa suaminya begitu jahat
“Baiklah, pernikahan akan dilaksanakan empat bulan sepuluh hari dari hari meninggalnya Dima. Ini sudah sesuai dengan waktu di mana kapan wanita dapat menikah setelah suaminya meninggal.” Papa David menatap keluarga semua yang hadir.Setelah kemarin Ale menyetujui pernikahan dengan Alca, akhirnya semua keluarga segera bertemu. Mereka segera membahas rencana pernikahan yang terjadi antara Ale dan Alca. Pernikahan yang diinginkan oleh Dima. “Baiklah.” Alca setuju dengan semua itu. “Sepertinya tidak perlu ada pesta. Yang terpenting pernikahannya sah saja,” tambahnya. Semua keluarga mengangguk setuju. Lagi pula apa kata orang juga. Baru saja Dima meninggal, tetapi sudah mengadakan pernikahan. Walaupun sebenarnya itu adalah keinginan Dima juga. “Mama akan urus semuanya.” Mama Mauren merasa bertanggung jawab atas pernikahan menantunya. “Jadi sambil menunggu pernikahan ini terlaksana Alca yang akan menjaga Ale.” Mama Mauren menatap Alca. Memindahkan tanggung jawab pada Alca. Al
Ale menunggu alat tes kehamilan terlihat warnanya. Perasaannya campur aduk. Dia bingung karena apa yang harus dilakukannya. Saat dua garis tercetak di alat tes kehamilan, tangis Ale pecah. Dia tidak menyangka jika dirinya akan hamil. Ternyata buah cintanya bersama sang suami hadir juga di rahimnya. “Ale.” Suara panggilan disertai dengan ketukan pintu terdengar. Ale yang mendengar suara pintu segera menghapus air matanya. Dia keluar dari toilet untuk menemui Alca. “Bagaimana?” Pertanyaan pertama yang diberikan Alca pada Ale. “Positif.” Ale menunjukan alat tes kehamilan. Tubuh Alca membeku. Rasanya, dia masih tidak bisa membayangkan akan menikah dengan wanita yang sedang mengandung anak sepupunya itu. Ale dan Alca akhirnya kembali ke ruang perawatan. Di sana sudah ada dokter yang menunggu. Ale segera memberikan alat tes kehamilan pada dokter. Dokter melihat alat tes kehamilan yang menunjukan jika Ale hamil. Karena terdapat dua garis merah di alat tes kehamilan. “Alat tes ke
“Huek … huek ….” Ale memuntahkan isi perutnya. Kehamilannya ini benar-benar payah sekali. Padahal sudah masuk empat bulan, tetapi mualnya belum juga hilang. Belum lagi terkadang kepalanya pusing. Setelah isi perutnya keluar barulah Ale merasa lega sekali. Akhirnya lega juga. Dengan segera Ale keluar dari toilet dan membersihkan bibirnya di wastafel di depan kaca toilet. Sebelum keluar dari toilet, Ale merapikan make up-nya terlebih dahulu.Ale keluar dari toilet. Namun, dia dikagetkan dengan kehadiran Alca di dekat toilet wanita. Pria itu berdiri bersandar dengan tembok sambil melipat tangannya di dada. Melihat Alca di sana seketika nyali Ale ciut. Dia justru takut Alca marah. Karena baru saja klien datang Ale tiba-tiba pergi begitu saja. Rasa mualnya, membuatnya tidak sempat berpamitan. “Kak Alca kenapa ke sini? Klien kita ditinggal?” Dengan wajah ragu, Ale bertanya. “Dia sudah pergi.” Alca menjawab ketus. “Kenapa pergi?” Ale menatap Alca dengan rasa penasaran. Alca melepa
Pagi ini Ale bekerja, sayangnya Alca tidak menjemputnya. Karena itu dia memutuskan untuk berangkat bekerja sendiri dengan menaiki taksi. Ale berpikir jika Alca sengaja tidak menjemputnya karena berpikir jika dirinya tidak akan ke kantor. Beruntung pagi ini Ale jauh lebih baik. Jadi bisa datang ke kantor dengan keadaan sehat. Saat sampai di kantor, dia segera ke ruangannya. Kali ini, semangatnya cukup besar untuk ke kantor. Mengingat seharian kemarin dia di rumah. Saat lift terbuka, Ale mengayunkan langkahnya ke meja kerjanya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Anisa, temannya yang berkerja di bagian HRD. “Nisa kenapa di sini?” Ale menatap temannya itu. Penasaran dengan keberadaan sang teman. “Aku dipindahkan ke sini, Al. Memang Pak Alca tidak bilang kamu?” Tubuh Ale membeku. Tidak ada pembicaraan sama sekali tentang hal ini padanya. Jadi tentu saja dia tidak tahu apa-apa. “Maksudnya kamu dipindah sementara ke sini?” tanya Ale memastikan. Nisa sedikit bingung deng
Pernikahan Ale dan Alca diadakan di rumah. Mereka hanya mengadakan acara tersebut dengan sederhana. Hanya keluarga dan teman dekat saja yang datang. Acara akad nikah pun terlaksana dengan lancar. Tidak ada kendala apa pun. Ale dan Alca kini jadi pasangan suami istri. Keluarga turut senang ketika mereka akhirnya menikah. “Mama titip Ale dan anak Dima padamu, Al.” Mama Mauren memeluk keponakannya. Kini cucunya akan menjadi anak Ale. Tentu saja dia harus menitipkan cucunya pada keponakannya itu. “Alca akan menjaga mereka, Ma. Mama jangan khawatir.” Alca menenangkan Mama Mauren. Ale yang mendengar janji Alca itu hanya dapat mencibir dalam hati. Kadang Ale merasa Alca sering sekali berdusta. Bilang ingin menjaganya, tetapi nyatanya tidak pernah sekalipun Alca menjaganya. Yang ada justru perlakuan ketus yang didapatkan Ale. “Mama tetap jadi mama kamu. Jadi jangan sungkan untuk meminta tolong.” Mama Mauren berpindah pada Ale. Walaupun Ale sudah bukan menantunya karena ditinggal mat